• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORITIK

C. Aspek Finansial dan Non Finansial

2. Non Finansial

a. Iklim Organisasi

Istilah iklim organisasi pertama kalinya dipakai oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi. Iklim organisasi merupakan kondisi hubungan antara orang di dalam organisasi dirasakan oleh individu. Hubungan yang terjadi baik antara staf dengan staf, antara pimpinan, antara staf dengan pimpinan, maupun antara staf dalam organisasi pada lintas divisi/bidang. Triatna (2015:76) mengemukakan bahwa iklim organisasi yang kondusif akan mewujudkan kinerja yang baik pada individu dalam suatu organisasi. Menurut Sonnentag dan Frese (Triatna, 2015:77), kinerja individu akan menyebabkan berbagai hal yang menjadikan individu merasa puas atau tidak puas di dalam organisasi tempat dia bekerja.

Tagiuri dan Litwin (Wirawan, 2007:121) mendefinisikan iklim organisasi sebagai “ .. a relatively enduring quality of the internal environment of an organization that (a) is experienced by its members, (b) influences their behavior, and can be described in term of the values of a particular set of characteristics (or attributes) of the organization.”, yang dalam Bahasa Indonesia

dapat diartikan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi; memengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi.

Iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya pemasok, konsumen, konsultan dan kontraktor) mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang memengaruhi sikap dan perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kinerja organisasi (Wirawan, 2007:122). Keith Davis (Sutiyanto:2011), mengemukakan bahwa pengertian

iklim organisasi sebagai “The human environment within an

organization’s employees do their work”. Pernyataan Davis

tersebut mengandung arti bahwa iklim organisasi itu adalah yang menyangkut semua lingkungan yang ada atau yang dihadapi oleh manusia di dalam suatu organisasi tempat mereka melaksanakan pekerjaannya.

Davis (Triatna, 2015:72) menyebutkan empat faktor yang dapat mendukung iklim organisasi, yaitu sebagai berikut:

1) Sistem sosial yang berupa karakteristik psikologi sosial yang ditunjukkan oleh nilai, keyakinan, dan sistem nilai yang berkembang di lingkungan organisasi.

2) Lingkungan fisik atau alam organisasi seperti ukuran, luas, area bangunan, bentuk dan desain bangunan, dan teknologi yang digunakan.

3) Struktur dan sistem organisasi yang berupa prosedur operasional standar (POS), program kegiatan, rincian tugas pokok, pola interaksi dan pola komunikasi.

4) Lingkungan sosial sebagai konsekuensi dari interaksi manusia sebagai individu dan subjek organisasi.

b. Sosial

Walgito (2002:57) mengemukakan pengertian interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain atau sebaliknya.

Interaksi di dalam organisasi terjadi antara pekerja dengan pekerja maupun pekerja dengan atasan. Di dalam organisasi akan dijumpai berbagai aksi dan reaksi timbal balik antar anggota

organisasi. Apabila reaksi antar pekerja positif maka akan muncul tim kerja yang akrab dan penuh persahabatan sehingga membuat mereka menjadi lebih rajin dan senang untuk bekerja. Apabila pekerja dihargai oleh atasannya dan dilibatkan dalam kegiatan keorganisasian maka moralitas pekerja juga akan meningkat (Anorogo dan Widiyanti, 1990: 17).

Interaksi di dalam masyarakat dapat terjadi antar individu maupun kelompok. Di dalam masyarakat terdapat banyak kelompok sosial maupun lembaga kemasyarakatan, dari kelompok inilah individu mengadakan hubungan atau kerja sama yaitu melalui suatu proses sosial. Proses sosial adalah cara-cara berhubungan apabila orang perorangan dan kelompok saling bertemu. Dengan adanya interaksi sosial di dalam masyarakat, maka diharapkan antar individu maupun kelompok dapat saling mewujudkan hubungan yang statis dan dinamis (Anorogo dan Widiyanti, 1990: 23).

Guru sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial masyarakat dan lingkungannya, oleh karena itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi sosial yang memadahi, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan yang tidak terbatas pada pembelajaran di sekolah tetapi juga pendidikan di dalam masyarakat. Guru dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua

atau wali peserta didik, serta masyarakat sekitar (Mulyasa, 2007:173-174).

c. Psikologi

Psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology

merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa (Syah, 1997:7).

Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji perilaku individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Perilaku yang dimaksud adalah dalam pengertian yang luas sebagai manifestasi hayati (hidup) yang meliputi jenis motorik, kognitif, konatif dn efektif. Perilaku motorik adalah perilaku dalam bentuk gerakan. Perilaku kognitif adalah perilaku dalam bentuk bagaimana individu mengenal alam di sekitarnya. Perilaku konatif adalah perilaku yang berupa dorongan dari alam individu. Perilaku afektif adalah perilaku dalam bentuk perasaan atau emosi (Surya, 2004:1-2).

Terdapat berbagai jenis pendekatan dalam memberikan penjelasan mengenai apa, mengapa dan bagaimana perilaku individu. Menurut Surya (2004:2-3) pendekatan-pendekatan utama tersebut adalah pendekatan behaviorisme, pendekatan

kognitif, pendekatan humanistik, pendekatan psikoanalisa dan pendekatan neurobiologi. Pendekatan behaviorisme, lebih mengutamakan hal-hal yang nampak dari individu. Menurut pendekatan ini, perilaku itu adalah segala sesuatu yang dapat diamati oleh alat indera kita sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif, menjelaskan bahwa perilaku itu sebagai proses internal (di dalam). Pendekatan ini menganggap bahwa perilaku merupakan suatu proses input-output yaitu penerimaan dan pengolahan informasi, untuk kemudian menghasilkan keluaran.

Pendekatan psikoanalisa, lebih mengutamakan hal-hal yang berada di bawah kesadaran individu. Pendekatan ini menggangap bahwa perilaku individu dikontrol oleh bagian yang tidak sadar. Pendekatan humanistik, lebih menekankan pada martabat kemanusiaan pada individu yang berbeda dengan hewan dan makhluk lainnya. Menurut pendekatan ini, manusia sudah sejak awalnya mempunyai dorongan untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia di lingkungannya. Setiap individu bertanggung jawab terhadap tindakannya masing-masing. Pendekatan Neurobiologi, yang mengaitkan perilaku individu dengan kejadian-kejadian di dalam otak dan sistem syaraf. Menurut pendekatan ini, perilaku seseorang amat tergantung pada kondisi

otak dan sistem syarafnya. Apabila otak dan syaraf terganggu, maka perilaku akan terganggu pula.

d. Motivasi

Motivasi sangatlah diperlukan dalam melakukan sesuatu hal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Mc. Donals mengatakan bahwa motivation is an energy change within the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reactions. Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan (Djamarah, 2011:148). Perubahan energi dalam diri seseorang itu berbentuk suatu aktivitas nyata berupa kegiatan fisik. Karena seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat dia lakukan untuk mencapainya.

Echols dan Shadily (Fathurrohman dan Suryana, 2012:52) mengatakan bahwa motivasi didefinisi sebagai “penguat alasan,

daya batin, dorongan”. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donelly

(Fathurrohman dan Suryana, 2012:52) motivasi adalah konsep yang menguraikan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku. Motivasi merupakan unsur psikologis bagi seorang guru dalam rangka untuk keberhasilan dalam mengajar. Guru yang tidak punya motivasi mengajar tidak akan berhasil dalam mengajar. Guru

mempunyai motivasi karena terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang timbul akibat dari hubungannya dengan sekolah.

Menurut Djamarah (2011:149-151), macam-macam motivasi dari dua sudut pandang yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik yang berasal dari dalam diri pribadi seseorang. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari luar diri seseorang. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi ini ada kaitannya dengan imbalan yang diterima seseorang sesudah melakukan pekerjaan.

Sagir (Sastrohadiwiryo, 2005: 269-270) mengemukakan unsur-unsur penggerak motivasi, yaitu:

1) Kinerja (Achievement)

Seseorang yang memiliki keinginan berkinerja

sebagai suatu “kebutuhan” atau needs dapat

mendorongnya mencapai sasaran. 2) Penghargaan (Recognition)

Penghargaan, pengakuan, atau recognition atas suatu kinerja yang telah dicapai seseorang akan merupakan perangsang yang kuat. Pengakuan atas suatu kinerja, akan

memberikan kepuasan batin yang lebih tinggi daripada penghargaan dalam bentuk materi atau hadiah.

3) Tantangan (Challenge)

Adanya tantangan yang dihadapi, merupakan perangsang kuat bagi manusia untuk mengatasinya. Suatu sasaran yang tidak menantang atau dengan mudah dapat dicapai biasanya tidak mampu menjadi perangsang, bahkan cenderung menjadi kegiatan rutin.

4) Tanggung Jawab (Responsibility)

Adanya rasa ikut memiliki (sense of belonging) atau

rumongso handarbeni akan menimbulkan motivasi untuk turut merasa bertanggung jawab.

5) Pengembangan (Development)

Pengembangan kemampuan seseorang, baik dari pengalaman kerja atau kesempatan untuk maju, dapat merupakan perangsang kuat bagi tenaga kerja untuk bekerja lebih giat atau lebih bergairah.

6) Keterlibatan (Involvement)

Rasa terlibat akan menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab, rasa dihargai yang merupakan

“tantangan” yang harus dijawab, melalui peran serta

berkinerja untuk pengembangan usaha dan pengembangan pribadi.

Adanya rasa keterlibatan (involvement) bukan saja menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility), tetapi juga menimbulkan mawas diri untuk bekerja lebih baik, menghasilkan produk yang lebih bermutu.

7) Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan untuk maju dalam bentuk jenjang karier yang terbuka, dari tingkat bawah sampai tingkat manajemen puncak merupakan perangsang yang cukup kuat bagi tenaga kerja. Bekerja tanpa alasan atau kesempatan untuk meraih kemajuan atau perbaikan nasib, tidak akan merupakan perangsang untuk berkinerja atau bekerja produktif.

Dokumen terkait