Kisah dark matter barangkali merupakan salah satu bab teraneh dalam kosmologi. Pada 1930-an silam, astronom non-konvensional Swiss, Fritz Zwicky dari Cal Tech, memperhatikan bahwa galaksi-galaksi di Gugus Coma tidak bergerak secara benar di bawah gravitasi Newtonian. Galaksi-galaksi ini dia dapati bergerak begitu cepat sehingga mereka semestinya terbang memisah dan gugus itu semestinya bubar, menurut hukum gerak Newton. Satu-satunya cara, pikirnya, sehingga gugus Coma dapat terus bersatu, tidak terbang memisah, adalah bila gugus tersebut mempunyai ratusan kali lebih banyak materi daripada yang bisa dilihat oleh teleskop. Entah karena hukum Newton tidak benar pada jarak galaktik atau sebab lainnya, terdapat sejumlah besar materi tak tampak yang terluputkan di gugus Coma yang menjaga kesatuannya.
Ini merupakan indikasi pertama dalam sejarah bahwa terdapat sesuatu yang sangat keliru berkenaan dengan distribusi materi di alam semesta. Sayangnya, astronom di seluruh dunia menolak atau mengabaikan penelitian rintisan Zwicky untuk beberapa alasan.
Pertama, astronom enggan mempercayai bahwa gravitasi Newtonian, yang telah mendominasi fisika selama beberapa abad, boleh jadi salah. Terdapat preseden untuk penanganan krisis seperti ini dalam astronomi. Ketika orbit Uranus dianalisa di abad 19, ia didapati terhuyung—menyimpang sedikit dari persamaan Isaac Newton. Jadi Newton keliru, atau, kalau tidak, harus ada satu planet baru yang gravitasinya menarik Uranus. Pilihan terakhir yang benar, dan Neptunus ditemukan dalam upaya pertama pada tahun 1846 dengan menganalisa lokasi yang diprediksikan oleh hukum Newton.
Kedua, terdapat pertanyaan mengenai kepribadian Zwicky dan bagaimana astronom memperlakukan “orang luar”. Zwicky adalah seorang visioner yang sering dicemooh atau diabaikan dalam seumur hidupnya. Pada 1933, bersama Walter Baade, dia membuat kata “supernova” dan memprediksikan secara tepat bahwa sebuah bintang neutron kecil, berdiameter sekitar 14 mil, akan menjadi ampas terakhir bintang meledak. Ide tersebut begitu asing sama sekali sehingga disindir dalam kartun Los
Angeles Times pada 19 Januari 1934. Zwicky geram kepada sekelompok kecil
astronom elit yang, dia pikir, mencoba membuatnya tidak diakui, mencuri ide-idenya, dan meniadakan waktu baginya dengan teleskop 100 inchi dan 200 inchi. (Sesaat sebelum meninggal pada 1974, Zwicky menerbitkan sendiri sebuah katalog galaksi. Katalog tersebut membuka dengan judul kepala, “A
Reminder to the High Priests of American Astronomy and to their Sycophants”.
Esai ini memberikan kritik panas terhadap sifat eksklusif alamiah para elit astronomi, yang cenderung menghalang-halangi pemberontak seperti dirinya. “Penjilat dan pencuri masa kini sepertinya bebas, khususnya dalam Astronomi Amerika, untuk mendaulat penemuan yang dibuat oleh serigala dan non-konformis yang sendirian,” tulisnya. Dia menyebut individu-individu ini “bajingan bulat”, karena “mereka adalah bajingan dari arah mana pun Anda memandang mereka”. Dia marah karena merasa diabaikan ketika Hadiah Nobel dianugerahkan kepada orang lain atas penemuan bintang neutron.)
Pada 1962, persoalan aneh terkait gerak galaktik ditemukan ulang oleh astronom Vera Rubin. Dia mempelajari rotasi galaksi Bima Sakti dan menemukan masalah yang sama; dia juga mendapat sambutan dingin dari komunitas astronomi. Normalnya, semakin jauh sebuah planet berada dari Matahari, semakin lambat ia bergerak. Semakin dekat ia, semakin cepat ia bergerak. Itulah mengapa Merkurius dinamai dengan nama dewa kecepatan, sebab ia begitu dekat dengan Matahari, dan itulah mengapa kecepatan Pluto
10 kali lebih lambat daripada Merkuri, sebab ia merupakan yang terjauh dari Matahari. Namun, ketika Vera Rubin menganalisis bintang-bintang biru di galaksi kita, dia mendapati bahwa bintang-bintang tersebut mengitari galaksi pada laju yang sama, terlepas dari jarak mereka ke pusat galaksi (yang disebut kurva rotasi flat), dengan demikian melanggar ajaran mekanika Newtonian. Nyatanya, dia menemukan bahwa galaksi Bima Sakti berotasi begitu cepat sehingga, menurut aturan, semestinya terbang berpisahan. Tapi galaksi tersebut telah cukup stabil selama sekitar 10 miliar tahun; adalah misteri mengapa kurva rotasi berbentuk flat. Untuk menjaga galaksi tersebut dari disintegrasi, ia harus 10 kali lebih berat daripada berat yang dibayangkan ilmuwan saat ini. Rupanya, 90% massa galaksi Bima Sakti terluputkan!
Vera Rubin diabaikan, sebagian karena dia adalah wanita. Dengan sejumlah kepedihan, dia mengenang bahwa, ketika dirinya mendaftar di jurusan sains Swarthmore College dan mengatakan secara sambil lalu kepada petugas penerimaan bahwa dirinya senang melukis, sang pewawancara berkata, “Sudahkah kau mempertimbangkan karir di mana kau dapat melukis objek-objek astronomi?” Dia mengenang, “Itu menjadi tag line dalam keluarga saya: selama bertahun-tahun, manakala ada sesuatu yang berjalan keliru pada seseorang, kami mengatakan, ‘Sudahkah kau mempertimbangkan karir di mana kau dapat melukis objek-objek astronomi?’” Saat dia memberitahu guru fisika SMA-nya bahwa dirinya diterima di Vassar, sang guru menjawab, “Kau pasti baik-baik saja sepanjang menjauh dari sains.” Dia kemudian mengenang, “Perlu harga diri yang sangat besar untuk mendengarkan hal-hal seperti itu dan tidak runtuh.”
Setelah lulus, dia melamar dan diterima di Harvard, tapi dia mundur karena menikah dan mengikuti suaminya, seorang kimiawan, ke Cornell. (Dia mendapat surat dari Harvard, dengan tulisan tangan di bagian bawahnya, “Celaka kalian wanita. Setiap kali saya mendapatkan seorang yang cocok, dia pergi dan menikah.”) Baru-baru ini, dia menghadiri sebuah konferensi astronomi di Jepang, dan diberitahu bahwa dirinya merupakan satu-satunya wanita di situ. “Saya betul-betul tidak bisa mengatakan kisah tersebut untuk waktu yang lama tanpa mencucurkan air mata, sebab tak diragukan lagi dalam satu generasi....tidak banyak yang berubah,” dia mengaku.
Meski demikian, pengaruh penelitian seksamanya, dan penelitian orang lain, lambat-laun mulai meyakinkan komunitas astronomi tentang persoalan massa yang terluputkan. Pada 1978, Rubin dan koleganya menyelidiki 11 galaksi
spiral; yang kesemuanya berputar terlalu cepat untuk tetap bersatu, menurut hukum Newton. Pada tahun yang sama, astronom radio asal Belanda, Albert Bosma, mempublikasikan analisis paling lengkap atas lusinan galaksi spiral; yang hampir kesemuanya menampilkan perilaku anomali yang sama. Ini tampaknya akhirnya meyakinkan komunitas astronomi bahwa dark matter memang eksis.
Solusi paling sederhana untuk persoalan menyusahkan ini adalah mengasumsikan bahwa galaksi-galaksi dilingkungi oleh halo tak tampak yang mengandung 10 kali lebih banyak materi daripada bintang-bintang itu sendiri. Sejak saat itu, telah dikembangkan cara lain yang lebih canggih untuk mengukur kehadiran materi tak tampak. Salah satu yang paling impresif adalah dengan mengukur distorsi cahaya bintang ketika berjalan melewati materi tak tampak. Seperti lensa kacamata Anda, dark matter bisa menekuk cahaya (lantaran massanya dan juga tarikan gravitasinya yang besar). Belakangan, dengan secara seksama menganalisa foto-foto teleskop antariksa Hubble dengan komputer, ilmuwan mampu menyusun peta distribusi dark
matter di seluruh alam semesta.
Sedang berlangsung pertarungan sengit untuk menemukan dari apa
dark matter tersusun. Beberapa ilmuwan berpikir ia mungkin tersusun dari
materi biasa, kalau tidak, ia akan sangat suram (yakni, tersusun dari bintang
brown dwarf, bintang neutron, black hole, dan seterusnya, yang hampir tak
terlihat). Objek-objek semacam itu menyatu sebagai “materi baryonik”, yaitu materi yang tersusun dari baryon familiar (seperti neutron dan proton). Secara kolektif, mereka disebut MACHO (singkatan untuk Massive Compact Halo Objects).
Yang lainnya berpikir bahwa dark matter mungkin tersusun dari materi non-baryonik sangat panas, seperti neutrino (disebut dark matter panas). Namun, neutrino bergerak begitu cepat sehingga tidak dapat menerangkan sebagian besar penggumpalan dark matter dan galaksi yang kita jumpai di alam. Yang lain masih mengangkat tangan dan berpikir bahwa dark matter tersusun dari tipe materi yang sama sekali baru, disebut “dark matter dingin”, atau WIMP (weakly interacting massive particles), yang merupakan kandidat teratas untuk menjelaskan sebagian besar dark matter.