• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSOALAN KUCING

Dalam dokumen Michio Kaku - Dunia Paralel (Halaman 169-174)

Erwin Schrödinger, yang pertama kali memperkenalkan persamaan gelombang, berpikir bahwa ini sudah keterlaluan. Dia mengaku kepada Bohr bahwa dirinya menyesal pernah mengajukan konsep gelombang jika itu memperkenalkan konsep probabilitas ke dalam fisika.

Untuk melumpuhkan ide probabilitas, dia mengajukan sebuah eksperimen. Bayangkan seekor kucing yang terkurung dalam kotak. Di dalam kotak, terdapat sebotol gas beracun, tersambung dengan palu yang terhubung dengan Geiger counter13 yang ditempatkan dekat sepotong uranium. Tak ada yang membantah bahwa pembusukan radioaktif atom uranium adalah murni sebuah peristiwa quantum yang tidak bisa diprediksi terlebih dahulu. Katakanlah ada kemungkinan 50% bahwa sebuah atom uranium akan membusuk pada detik berikutnya. Jika sebuah atom uranium membusuk, itu merangsang Geiger counter, yang menyebabkan palu merusak kaca [botol], membunuh si kucing. Sebelum Anda membuka kotak, mustahil untuk mengatakan apakah kucing itu mati atau hidup. Nyatanya, untuk menerangkan si kucing, fisikawan menambahkan fungsi gelombang kucing hidup dan kucing mati—dengan kata lain, kita menaruh si kucing di underworld dengan kemungkinan 50% mati dan 50% hidup secara serempak.

Sekarang buka kotak tersebut. Sekali kita mengintip ke dalam kotak, suatu pengamatan dijalankan, fungsi gelombang kolaps, dan kita melihat bahwa si kucing, katakanlah, hidup. Bagi Schrödinger, ini sangat pandir. Bagaimana mungkin seekor kucing mati dan hidup pada waktu yang sama, hanya karena kita belum menatapnya? Apakah ia tiba-tiba menjadi eksis segera setelah kita mengamatinya? Einstein juga jengkel dengan interpretasi ini. Setiap kali tamu datang ke rumahnya, dia akan mengatakan: tataplah bulan. Apakah ia tiba-tiba menjadi eksis ketika seekor tikus menatapnya? Einstein yakin jawabannya tidak. Tapi dalam beberapa hal, jawabannya bisa ya.

Situasi memuncak pada tahun 1930 dalam sebuah perselisihan bersejarah antara Einstein dan Bohr di Solvay Conference. Wheeler di kemudian hari menyatakan bahwa itu adalah perdebatan terhebat yang pernah dia ketahui dalam sejarah intelektual. Dalam 30 tahun, dia tidak pernah mendengar perdebatan antara dua sosok besar mengenai satu isu mendalam dengan konsekuensi mendalam terhadap pemahaman alam semesta.

Einstein, yang selalu tegas, berani, dan amat fasih, mengeluarkan serangan “eksperimen pikiran” untuk melumpuhkan teori quantum. Bohr, yang tak henti menggumam, terguncang usai setiap serangan. Fisikawan Paul Ehrenfest mengenang, “Menakjubkan bagi saya untuk hadir dalam dialog antara Bohr dan E. E., seperti pemain catur, dengan contoh yang terus baru. Semacam perpetuum mobile kedua, sungguh-sungguh bermaksud menerobos ketidakpastian. Bohr selalu, dari awan asap filsafat, mencari alat untuk menghancurkan contoh satu demi satu. Einstein seperti jack-in-the-box14, muncul dengan segar setiap pagi. Oh, itu sangat menyenangkan. Tapi terus terang saya hampir pro Bohr dan kontra E. Dia bersikap terhadap Bohr persis seperti sikap kampiun yang menang mutlak.”

Terakhir, Einstein mengajukan sebuah eksperimen yang menurutnya akan menjadi serangan penghabisan terhadap teori quantum. Bayangkan sebuah kotak berisi gas photon. Jika kotak tersebut memiliki shutter (pengatur cahaya), ia dapat secara singkat melepaskan satu photon. Karena seseorang bisa mengukur kecepatan shutter secara akurat, dan juga mengukur energi photon, maka dia bisa menentukan kondisi photon dengan presisi tak terhingga, dengan demikian melanggar prinsip ketidakpastian.

Ehrenfest menulis, “Bagi Bohr, ini adalah pukulan telak. Saat itu dia tidak melihat ada solusi. Dia amat tidak senang sepanjang malam itu, berjalan dari satu orang ke orang lain, mencoba meyakinkan mereka bahwa ini tidak benar, sebab jika E benar, maka berarti akhir fisika. Tapi dia tidak bisa berpikir untuk menyangkal. Saya takkan pernah melupakan penglihatan kedua lawan meninggalkan klub universitas. Einstein, seorang sosok besar, berjalan tenang dengan senyum tipis yang mengejek, sementara Bohr berderap di sampingnya, amat kecewa.”

Ketika Ehrenfest kemudian bertemu dengan Bohr secara kebetulan, Bohr terkelu; yang dia lakukan hanya menggumamkan kata-kata yang sama berulang-ulang, “Einstein...Einstein...Einstein.”

Keesokan harinya, setelah melewati malam yang tegang dan tidak bisa tidur, Bohr mampu menemukan cacat kecil dalam argumen Einstein. Setelah memancarkan photon, kotak itu sedikit lebih ringan, karena materi dan energi adalah ekuivalen. Artinya kotak itu sedikit bertambah berat di bawah gravitasi, sebab energi mempunyai berat, berdasarkan teori gravitasi Einstein sendiri. Tapi ini menimbulkan ketidakpastian pada energi photon. Jika seseorang

kemudian mengkalkulasi ketidakpastian berat dan ketidakpastian kecepatan shutter, dia mendapati bahwa kotak itu persis mematuhi prinsip ketidakpastian. Praktisnya, Bohr memakai teori gravitasi Einstein sendiri untuk menyangkal Einstein! Bohr memperoleh kemenangan. Einstein kalah.

Saat Einstein kemudian mengeluh bahwa “Tuhan tidak bertaruh dengan dunia”, Bohr dikabarkan menyerang balik, “Berhenti memerintah Tuhan tentang apa yang harus Dia lakukan.” Akhirnya, Einstein mengakui bahwa Bohr telah berhasil menyangkal argumennya. Einstein di kemudian hari menulis, “Saya yakin teori ini niscaya mengandung sepotong kebenaran definitif.” (Namun, Einstein memandang hina fisikawan yang tidak mengapresiasi paradoks halus yang melekat dalam teori quantum. Dia suatu kali menulis, “Tentu saja, hari ini setiap bajingan berpikir dirinya tahu jawabannya, padahal dia sedang menipu dirinya sendiri.”)

Setelah perdebatan sengit ini dan perdebatan lainnya dengan para fisikawan quantum, Einstein akhirnya menyerah, tapi mengambil pendekatan berbeda. Dia mengakui teori quantum benar, tapi hanya dalam domain tertentu, hanya sebagai penaksiran terhadap kebenaran sesungguhnya. Sebagaimana relativitas yang menggeneralisir (tapi tidak menghancurkan) teori Newton, dia ingin menyerap teori quantum ke dalam sebuah teori yang lebih powerful dan lebih umum, unified field theory.

(Perdebatan ini, antara Einstein dan Schrödinger di satu pihak, dengan Bohr dan Heisenberg di pihak lain, tidak dapat diabaikan dengan mudah, sebab “eksperimen pikiran” ini sekarang bisa dijalankan di laboratorium. Walaupun para ilmuwan tidak bisa membuat seekor kucing terlihat mati dan hidup, mereka kini dapat memanipulasi tiap-tiap atom dengan nanoteknologi. Belakangan, eksperimen-eksperimen aneh ini dilakukan dengan Buckyball yang mengandung 60 atom karbon, sehingga “dinding”—yang menurut ramalan Bohr memisahkan objek besar dari objek quantum—ambruk dengan cepat. Fisikawan eksperimen bahkan sekarang tengah merenungkan apa yang dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa sebuah virus, yang terdiri dari ribuan atom, bisa berada di dua tempat pada waktu yang sama.)

BOM

Sayangnya, diskusi tentang paradoks sedap ini tersela oleh kenaikan Hitler pada 1933 dan ketergesaan untuk membangun bom atom. Selama bertahun-tahun diketahui, melalui persamaan E = mc2 Einstein yang terkenal, bahwa di

dalam atom terkunci gudang energi sangat besar. Tapi kebanyakan fisikawan tak mengindahkan ide bahwa kita mampu memanfaatkan energi ini. Bahkan Ernest Rutherford, orang yang menemukan nukleus atom, berkata, “Energi yang dihasilkan oleh pemecahan atom sangat kecil. Seseorang yang mengharapkan sumber tenaga dari pengubahan atom-atom ini hanya berbicara omong kosong.”

Pada 1939, Bohr melakukan perjalanan menentukan ke AS, mendarat di New York untuk bertemu dengan mahasiswanya, John Wheeler. Dia membawa kabar tak menyenangkan: Otto Hahn dan Lise Meitner menunjukkan bahwa nukleus atom dapat dipecah dua, melepaskan energi, dalam proses yang disebut fission (fisi/pemecahan). Karena segala sesuatu dalam teori quantum adalah soal probabilitas dan kemungkinan, mereka mengestimasi probabilitas sebuah neutron akan mencerai-beraikan nukleus uranium, melepaskan dua atau lebih neutron, yang kemudian memfisi lebih banyak lagi nukleus uranium, yang kemudian melepas lebih banyak lagi neutron, dan seterusnya, menimbulkan reaksi berantai yang sanggup meluluh-lantakkan sebuah kota modern. (Dalam mekanika quantum, Anda takkan pernah bisa tahu apakah neutron tertentu akan memfisi sebuah atom uranium, tapi Anda bisa menghitung—dengan akurasi luar biasa—probabilitas miliaran atom uranium akan mengalami fisi dalam sebuah bom. Itulah kekuatan mekanika quantum.)

Komputasi quantum mereka mengindikasikan bahwa sebuah bom atom bisa dibuat. Dua bulan kemudian, Bohr, Eugene Wigner, Leo Szilard, dan Wheeler bertemu di kantor lama Einstein di Princeton untuk membahas kemungkinan pembuatan bom atom. Bohr percaya bahwa untuk membuat bom atom diperlukan seluruh sumber daya sebuah bangsa. (Beberapa tahun kemudian, Szilard membujuk Einstein untuk menulis surat penting kepada Presiden Franklin Roosevelt, guna mendesaknya membangun bom atom.)

Pada tahun yang sama, Nazi, sadar bahwa pelepasan energi dahsyat dari atom uranium bisa memberi mereka senjata tak terkalahkan, memerintahkan mahasiswa Bohr, Heisenberg, untuk menciptakan bom atom bagi Hitler. Semalaman, pembahasan terkait probabilitas fisi quantum menjadi amat serius, dengan mempertaruhkan nasib sejarah manusia. Pembahasan probabilitas penemuan kucing hidup segera tergantikan oleh pembahasan probabilitas pemfisian uranium.

Pada 1941, sementara Nazi menyerbu sebagian besar Eropa, Heisenberg mengadakan perjalanan rahasia untuk bertemu mentor lamanya, Bohr, di

Kopenhagen. Sifat persis pertemuan itu masih diselubungi misteri, dan sandiwara-sandiwara peraih penghargaan mengenai itu telah dikarang, dengan sejarawan yang masih memperdebatkan isinya. Apakah Heisenberg menawarkan untuk menyabotase bom atom Nazi? Ataukah Heisenberg mencoba merekrut Bohr untuk pembuatan bom Nazi? Enam dekade kemudian, pada 2002, banyak dari misteri terkait maksud kedatangan Heisenberg tersebut akhirnya terangkat, ketika keluarga Bohr merilis sebuah surat yang ditulis Bohr kepada Heisenberg pada 1950-an tapi tak pernah dikirimkan. Dalam surat tersebut, Bohr mengenang ketika Heisenberg mengatakan dalam pertemuan itu bahwa kemenangan Nazi tidak dapat dielakkan. Karena tidak ada yang menghentikan kekuatan dahsyat Nazi, adalah logis semata bila Bohr bekerja untuk Nazi.

Bohr gempar, terguncang setengah mati. Sambil gemetar, dia menolak mengizinkan penelitiannya tentang teori quantum jatuh ke tangan Nazi. Karena Denmark berada di bawah kekuasaan Nazi, Bohr menyusun pelarian rahasia dengan pesawat, dan dia hampir mati lemas akibat kurangnya oksigen dalam perjalanan pesawat menuju kebebasan itu.

Dalam pada itu, di Universitas Columbia, Enrico Fermi menunjukkan bahwa reaksi nuklir berantai bisa dikerjakan. Setelah sampai pada kesimpulan ini, dia memandang tajam ke New York City dan menyadari bahwa satu bom bisa menghancurkan segala sesuatu yang dia lihat dari kaki langit kota terkenal itu. Wheeler, menyadari sedemikian tinggi pertaruhan itu, dengan sukarela meninggalkan Princeton dan bergabung dengan Fermi di lantai bawah tanah Stagg Field di Universitas Chicago, di mana mereka bersama-sama membangun reaktor nuklir pertama, yang secara resmi membuka zaman nuklir.

Pada dekade berikutnya, Wheeler menyaksikan beberapa dari perkembangan terpenting dalam peperangan atom. Selama perang, dia membantu mengawasi pembangunan Hanford Reservation raksasa di Negara Bagian Washington, yang memproduksi plutonium mentah yang diperlukan untuk membangun bom yang di kemudian hari meluluh-lantakkan Nagasaki. Beberapa tahun kemudian, dia mengerjakan bom hidrogen, menyaksikan ledakan bom hidrogen pertama pada 1952 dan kehancuran yang ditimbulkan ketika sebuah kepingan Matahari terlepas ke atas sebuah pulau kecil di Samudera Pasifik. Tapi setelah berada di garis depan sejarah keduniaan selama lebih dari satu dekade, dia akhirnya kembali ke cinta pertamanya, misteri-misteri teori quantum.

Dalam dokumen Michio Kaku - Dunia Paralel (Halaman 169-174)