• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Fakhru Raz

Pandangan kedua adalah dari mufasir terkenal Ahli Sunnah yang bernama Fakhru Razi. Dalam tafsirnya atas ayat ini, ia mengatakan,

Dalam ayat ini ada beberapa poin: pertama, sesungguhnya Allah swt. memerintahkan kaum Mukminin agar bersama orang-orang yang benar. Ketika ada kewajiban untuk bersama orang-orang yang benar, pasti ada orang-orang yang benar di setiap waktu. Dan ini sebagai kendala bagi orang-orang untuk sepakat dalam kebatilan. Ketika kesepakatan dalam kebatilan telah terhalangi, maka setiap ada kesepakatan mengenai sesuatu, kesepakatan mereka adalah kebenaran. Oleh karena itu, ini merupakan dalil bahwa ijma dan kesepakatan umat adalah hujjah ‘bukti

sempurna’.

Barangkali seseorang akan mengatakan, “Mengapa maksud dari ayat “kûnû ma'a al-shâdiqîn” (hendaknya kalian bersama orang-orang benar), tidak bisa maknai demikian, "Hendaknya kalian berada di atas jalan orang-orang yang

benar?” Sebagaimana seorang ayah tatkala berpesan kepada

anaknya, “Hendaknya kamu bersama orang-orang yang

saleh!”, yakni ikutilah cara orang-orang yang saleh. Dan makna ini tidak menunjukkan dalil bahwa di setiap waktu

pasti ada orang yang benar!”

Jawabannya: secara literal, makna ini bertentangan dengan ayat. Karena, kalimat “kûnû ma'a al-shâdiqîn” menya-

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

178

takan bahwa keberadaan orang-orang yang benar merupa- kan sebuah keharusan, dan bersama mereka adalah sebuah perintah.

Namun, boleh jadi dia akan mengatakan lagi, “Anggap

saja benar demikian, akan tetapi bukankah perintah ini terjadi pada masa Nabi saw. saja. Dan perintah agar harus bersama Nabi saw. tidak menunjukkan harus adanya orang yang benar dalam setiap zaman.

Jawabannya: perintah ini sama seperti perintah-perintah lainnya yang ada dalam Al-Qur’an, yakni berlaku sampai Hari Kiamat atas seluruh hamba, dan tidak khusus berlaku pada zaman Nabi saw. saja.

Selain itu, pada tahapan pertama, Allah swt. memerintahkan kaum Mukminin untuk bertakwa, dan perintah ini juga mencakup seluruh orang yang tidak bertakwa. Artinya, orang yang dituju oleh perintah ini adalah orang-orang yang mungkin berbuat salah. Dan ayat menunjukkan bahwa orang-orang yang berbuat salah hendaknya senantiasa bersama orang-orang terjaga dari kesalahan, sehingga orang-orang yang terjaga dari kesalahan itu bisa mencegah mereka untuk tidak berbuat salah. Dan ini ada pada setiap zaman. Oleh karena itu, ayat ini berlaku pada seluruh zaman, tidak hanya pada zaman Nabi saw. Sampai di sini jelas bahwa maksud dari shâdiqîn ‘orang-orang

yang benar’ dalam ucapan Fakhru Razi adalah orang-orang yang terjaga dari kesalahan. Dan orang-orang ini ada di setiap zaman. Sampai di sini, pandangan berikut argumentasinya benar dan tidak bermasalah. Akan tetapi Fakhru Razi kemu- dian mengatakan:

AYAT SHADIQIN 179

Orang-orang yang benar, yang terjaga dari kesalahan adalah himpunan umat; bukan orang-orang tertentu dari umat. Karena, kalau orang-orangnya tertentu, maka wajib bagi siapa saja untuk mengetahui orang-orang tersebut, sehingga ia dapat bersama mereka. Padahal untuk mengenal mereka tidaklah mudah. Dan kita tidak tahu siapa saja orang-orang tertentu yang terjaga dari kesalahan. Dengan demikian, maka orang-orang maksum adalah himpunan umat sehing- ga konklusinya adalah validitas ijma dan kesepakatan umat.

Kritik

Ada dua poin utama dalam pandangan Fakhru Razi:

Poin pertama: shâdiqîn ‘orang-orang yang benar’ dan yang maksum ini bukanlah orang-orang tertentu, karena kita tidak punya cukup pengetahuan dan pengenalan tentang mereka.

Kiranya kritik atas poin Fakhru Razi sudah cukup jelas. Pengetahuan ihwal mereka dapat diperoleh oleh setiap orang sekedar merujuk argumentasi-argumentasi atas bukti kemak-

suman para Imam Syi‘ah. Terdapat banyak hadis yang

menyebutkan nama-nama mereka secara tegas, definitive dan diriwayatkan secara mutawatir. Hadis-hadis ini banyak di- sebutkan dalam sumber-sumber Ahli Sunnah juga Syi‘ah Imamiyah.

Poin kedua: shâdiqîn ‘orang-orang yang benar’ dan maksum

(terjaga dari kesalahan) itu adalah himpunan umat. Panda- ngan ini juga menuai banyak kritik.

1. Mengakui kemaksuman selain empat belas Imam Mak- sum bertentangan dengan ijma seluruh kaum Muslimin. 2. Makna shâdiqîn dalam ayat menunjukkan keumuman

yang merupakan pencakupan kelas, bukan himpunan. Penjelasannya, sebagaimana yang digagas oleh Fakhru Razi, kemaksuman adalah milik himpunan umat; bukan

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

180

seluruh umat. Dan himpunan ini sendiri adalah sesuatu konvensional, asumtif (hasil asumsi di benak) yang tidak memiliki realita yang menghubungkan ikatan persatuan orang-orang. Prinsip utama dalam pemaknaan pencaku- pan kelas, sedangkan keumuman himpunan adalah pemaknaan metaforis yang harus disertai oleh arahan (qarinah) tertentu. Sementara berdasarkan prinsip harfiah dalam pemaknaan, makna harfiah dan hakiki dari kata umum ialah makna cakupan suatu kelas dalam satu himpunan jenis.

3. Kemaksuman adalah sebuah sifat yang riil dan faktual sehingga melazimkan suatu entitas penyandang yang juga riil, sedangkan keumuman himpunan adalah entitas yang senyatanya tidak riil. Oleh karena itu, sebuah sifat yang sejatinya riil tidak mungkin tegak di atas entitas konvensional yang tidak riil dan hanya asumsi di benak tanpa wujud nyatanya di alam luar.

4. Pandangan Fakhru Razi bertentangan dengan arahan (qarinah) literal yang ada pada kata shâdiqîn dan pada kalimat “Ya ayyuha al-ladzîna âmanû”, dimana ketika kita membandingkan kedua kata dan kalimat ini, tampak sekali maksud dari kalimat al-ladzîna âmanû ‘orang-orang

yang beriman’ tentu berbeda dengan shâdiqîn ‘orang-

orang yang benar’.

5. Kalaulah shâdiqîn dikatakan sebagai himpunan umat, ini justru bertentangan dengan statemen Fakhru Razi sendiri. Karena, dalam penjelasannya ditegaskan bahwa shâdiqîn tidak terbatas untuk Nabi saw. Ia mengatakan:

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap zaman pasti ada orang- orang mukmin yang berbuat salah. Demikian juga ada

AYAT SHADIQIN 181

orang-orang yang benar yang maksum dari dosa. Sehingga orang-orang mukmin ini hendaknya bersama orang-orang yang benar yang maksum.

Atas dasar ini, pada orang-orang mukmin yang diwajib- kan agar bersama orang-orang yang benar terdapat kemungkinan mereka untuk berbuat dosa. Sementara shâdiqîn ‘orang-orang yang benar’ adalah orang-orang yang terjaga dari dosa, yakni mereka adalah orang-orang yang maksum.

Pasal Kelima

Hadis-hadis Syi‘ah dan Ahli Sunnah Mengenai Ayat

Hakim Haskani1 dalam Syawâhid Al-Tanzîl2 menukilkan hadis-

hadis. Di antaranya, kata shâdiqîn dalam ayat adalah Nabi saw. dan Ali bin Abi Thalib a.s. atau keluarga Nabi saw. yang lain. Berikut ini kami ketengahkan satu dari sekian hadis tersebut.

ق نبا انثدح :لاق يوسبلا نايفس نب بوقعي انثدح نع ،عفنا نع ،سنأ نب كلام نع ،بنع نبا الله دبع "الله وقتا" "لَاعت هلوق في رمع ق دممح باحصا الله رمأ :لا – و هيلع الله ىلص ملس و هلآ – لها و ادممح نيعي " َيقِداهصلا َعَم اوُنوُك و" :مله لاق ث ،الله اوفايُ نأ مهعجمبأ .هتيب 3

1. Dzahabi, ulama besar ilmu rijal Ahli Sunnah, tentang Haskani mengatakan: “Ia adalah Syeikh yang bisa dipercaya, ia memiliki perhatian serius terhadap

ilmu hadis. Ia memiliki usia yang panjang dan dan sanad yang bagus dalam hadis.”Tadzkirah Al-Huffâdh: jil. 3/1200, cet. Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut.

2 . Syawâhid Al-Tanzîl: jil. 1, hal. 341. 3 . Ibid: jil. 1, hal. 345, hadis 357.

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

182

Ya’kub bin Baswi meriwayatkan dari Ibnu Qa’nab, dari Malik bin Anas, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar bahwa

dalam firman Allah swt. yang berbunyi, “Bertakwalah kepada Allah!”, adalah perintah Allah swt. kepada seluruh sahabat Nabi saw. untuk takut kepada-Nya. Kemudian Allah swt. berfirman, “Hendaknya kalian bersama Orang-orang yang

benar”, yakni bersama Rasulullah saw. dan Ahlul Baitnya.”

Ahli Hadis dan ulama besar Syi‘ah, Ibnu Syahr Asyub1 juga meriwayatkan hadis ini dari tafsir Ya’qub bin Sufyan; dari Malik bin Anas; dari Nafi’; dari Ibnu Umar.

Kulaini, ulama besar ahli hadis Syi‘ah dalam kitab Ushûl Kâfî meriwayatkan: رفعج بِأ تلأس :لاق يلجعلا ةيواعم نب ديرب نع هنيذا نبا نع – ملاسلا هيلع – لوق نع .نىع ناّياإ ،َيقِداهصلا َعَم اوُنوُك َو َهللَّا اوُقه تا :لج و زع الله 2

Diriwayatkan dari Ibnu Udzainah; dari Buraid bin Mua- wiyah Al-‘Ajali. Dia berkata, “Aku bertanya kepada Imam

Muhammad Baqir as. tentang firman Allah yang berbunyi,

“Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-

orang yang benar.” Beliau menjawab, ‘Yang dimaksudkan

oleh Allah adalah hanya kami (Ahlul Bait Nabi saw.).’”

1 . Dalam kitab Târîkh Al-Islâm tentang kejadian dari tahun 581 H sampai

tahun 590 H, hal. 309- 310, Dzahabi menukil kesaksian-kesaksian ulama

besar yang memujinya (Ibnu Abi Tha’i), bahwa pada masanya, ia adalah seorang imam, satu-satunya orang yang menguasai berbagai macam ilmu. Dalam ilmu Hadis, ia setingkat dengan Khatib Bagdadi. Dan dalam ilmu Rijal, ia setingkat dengan Yahya bin Muin. Ibnu Syahr Asyub terkenal sebagai orang yang aksen bahasanya sangat bagus, pengetahuannya luas, sangat khusyuk dan banyak beribadah dan tahajud. Al-Manâqib: Ibnu Syahr Asyub, jil. 3, hal. 111, cet. Dzawi Al-Qurba.

AYAT SHADIQIN 183

Begituy pula, Juwaini, ulama besar ahli hadis Ahli Sunnah meriwayatkan demikian, يلع لاق ث – ملاسلا هيلع – َهللَّا اوُقه تا اوُنَمآ َنيذهلا اَهُّ يَأ يا" لزنأ الله نأ نوملعتأ الله مكدشنأ نونمؤلما امأ :لاق ؟ةّصاخ مأ اذه ةّماع !الله لوسر يا :ناملس لاقف "َيقِداهصلا َعَم اوُنوُك َو يخلْ ةّصاخف نوقداصلا امأ و ،كلذب اورمأ ينمؤلما ةّماعف أ و ّيلع و ئايص ي موي لَإ هدعب نم .معن مهللا :اولاق ةمايقلا 1

Kemudian Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Demi Allah! Apakah kalian tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah

dan hendaknya kalian bersama orang-orang yang benar?” Salman

Farsi menjawab, “Ya Rasulullah! Apakah ayat ini memiliki

keumuman? Apakah semua Mukminin tercakup atau hanya

sebagian dari mereka?” Rasulullah saw. menjawab, “Orang- orang yang ditugaskan di sini adalah seluruh kaum Muk- minin. Akan tetapi shâdiqîn ‘orang-orang yang benar’ adalah khusus untuk saudaraku; Ali as. dan washi-washiku setelah-

nya sampai Hari Kiamat.” Mereka berkata, “Ya Allah! Iya.”

Tentunya, pada sebagian sumber-sumber hadis dan tafsir Ahli Sunnah, teradapat hadis lain yang di dalamnya shâdiqîn ditafsirkan dengan Abu Bakar dan Umar atau Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat beliau. Namun, dari sisi sanad, hadis semacam ini tidak dapat dipercaya. Berikut ini kami menukil- kan sebagian darinya:

1. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Dhohhak:

1 . Farâi’d Al-Simthain: jil. 1, hal. 317, cet. Yayasan Mahmudi untuk

percetakan dan cet.an. Kamâl Al-Dîn: hal. 264. Bihâr Al-Anwâr: jil. 33, hal. 149, Mishbâh Al-Hidâyah: hal. 91, cet. Salman Farsi. Perlu diketahui bahwa dalam referensi terakhir, yang seharusnya " مكدشنأ " disebutkan " مكلأسا".

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

184

و رمع و ركب بَا عم :لاق :"َيقِداهصلا َعَم اوُنوُك َو َهللَّا اوُقه تا اوُنَمآ َنيذهلا اَهُّ يَأ يا" .امبِاحصا

1

Shâdiqîn dalam ayat ditafsirkan dengan Abu Bakar dan Umar bin Khathab serta sahabat-sahabat mereka. 2. Thabari meriwayatkan hadis lain dari Said bin Jubair,

bahwa shâdiqîn” adalah Abu Bakar dan Umar bin Khathab. 2