• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poin Ketiga: Tidak Diulan gnya “Athî‘û” pada Ulil Amr

Maksud dari poin ini—yang tentunya lebih penting dari poin- poin sebelumnya—adalah bahwa untuk setiap ketaatan kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. disebutkan kata athî‘û secara

terpisah. Dalam ayat itu, kita membaca, “Athî‘û Allâha wa

athî‘û al-rasûla”. Namun untuk ketaatan kepada Ulil Amr, kata

athî‘û tidak terulang lagi. Ulil Amr di situ dihubung-

kembalikan (‘athf) kepada al-rasûla (Rasulullah saw.). Dengan demikian, kata athî‘û yang disebutkan untuk al-rasûla juga terkait dengan Ulil Amr.

Kembalinya Ulil Amr kepada Rasulullah saw. (al-rasûla) tidak mengartikan adanya dua kewajiban ketaatan, akan tetapi kewajiban taat kepada Ulil Amr sama dengan kewajiban taat kepada Rasulullah saw. Ini merupakan dalil yang menunjuk- kan bahwa ketaatan kepada Ulil Amr sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw. dalam segala perintah dan larangan. Maka kesimpulannya, kemaksuman dan keterjagaan Ulil Amr

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

100

dari dosa dan kesalahan juga sama dengan Rasulullah saw., yakni dalam segala perintah dan larangan.

Mengenai dalil ini, untuk lebih jelasnya dapat diuraikan bahwa dalam ayat, untuk ketaatan kepada Rasulullah saw. dan Ulil Amr tidak disebutkan lebih dari satu athî‘û. Kata ini, di sini, tidak bisa mutlak sekaligus bersyarat. Tidak bisa juga dikatakan bahwa athî‘û mengenai Rasulullah bersifat mutlak, sedangkan mengenai Ulil Amr sifatnya bersyarat. Karena mutlak dan muqayad (bersyarat) tidak mungkin bersatu. Bila

athî‘û mengenai Rasulullah saw. mutlak dan tidak terbatas

(misalnya, tidak ada syarat dan batasan Rasulullah saw. bagi beliau agar perintah dan larangan beliau tidak dari maksiat dan kesalahan), maka ketaatan kepada Ulil Amr juga harus mutlak dan tidak terbatas. Kalau tidak demikian, konsekuensi logisnya adalah memilih pertemuan dua hal yang kontradiktif (ijtima naqidhain) yang absurd dan mustahil terjadi.

Atas pertimbangan poin-poin di atas ini, menjadi jelas bahwa ayat yang menjadi pembahasan menunjukkan bahwa Ulil Amr dalam ayat Umlil Amr sama-sama maksum dengan Rasulullah saw.

Yang perlu ditegaskan bahwa kesimpulan ini, yakni ketaatan kepada Ulil Amr dengan ciri-ciri tersebut menun- jukkan kemaksuman mereka, telah menjadi perhatian seba- gian mufasir Ahli Sunnah,1 di antaranya Fakhru Razi. Untuk

itu, di sini kami ketengahkan ringkasan penfsirannya beserta argumentasinya.

Tafsiran Fakhru Razi atas Ayat Ulil Amr

1 . Gharîb Al-Qur’an, Naisyaburi, jil. 2, hal. 434, cet. Dar Al-Kutub Al-

Ilmiyah, Beirut. Tafsir Al-Manâr, Syeikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, jil. 5, hal. 181, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut.

AYAT ULIL AMR 101

Singkatnya, Fakhru Razi juga menggunakan ayat ini untuk menetapkan kemaksuman Ulil Amr. Ringkasan penjelasan- nya adalah sebagai berikut:

Dalam ayat tersebut, Allah swt. mewajibkan ketaatan kepada Ulil Amr secara pasti dan tegas (qat’i). Orang yang wajib ditaati semacam ini harus maksum dari dosa dan kesalahan. Karena, jika ia tidak maksum dari dosa dan kesalahan, katakanlah ia berbuat salah, maka apakah berdasarkan ayat ini ia tetap harus ditaati! Jika demikian, ini berarti perintah untuk taat kepada perbuatan yang salah. Sementara perbua- tan yang salah adalah sesuatu yang dilarang, dan tentu saja seseorang tidak boleh mengikuti perintah untuk menaati- nya. Inilah konsekuensi logis dari pengandaian ini, yaitu berkumpulnya perintah dan larangan dalam satu perbua- tan!1

Fakhru Razi menggunakan ayat tersebut sebagai bukti atas kemaksuman Ulil Amr dengan memaparkan argumentasi di atas. Untuk menentukan personifikasi dan siapakah Ulil Amr yang senyatanya maksum, ia menuliskan,

Ulil Amr ini tidak mungkin para Imam Maksum seperti

yang diklaim oleh Syi‘ah Imamiyah. Akan tetapi, Ulil Amr

adalah Ahlul Hal wal Aqd; yaitu orang-orang yang tugas mereka adalah memutuskan masalah-masalah penting sosial. Dalam proses memutuskan masalah, mereka adalah maksum. Keputusan mereka sepenuhnya benar dan sesuai dengan kenyataan.

Kritik

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

102

Secara tegas Fakhru Razi menafsirkan bahwa maksud dari Ulil Amr adalah Ahlu Hal Wa Aqd; orang-orang yang ahli menyelesaikan masalah dan mereka maksum dalam memu- tuskan perkara-perkara. Tafsiran ini tidak benar karena argumentasi berikut ini:

Pertama, dalam ayat tersebut, kata Ulil Amr mengan-dung arti plural dan secara literal (zdahir) memberikan arti mencakup keseluruhan. Namun, jika yang dimaksud dari kata Ulil Amr adalah Ahlul Hal wal Aqd; orang-orang yang ahli menyelesaikan masalah, maka kata itu hanya memberikan arti sebuah himpunan dan ini bertentangan dengan teks literal ayat.

Penjelasannya, teks ayat Ulil Amr itu berbunyi, menaati para pemegang wewenang (shahib amr) adalah kewajiban; dimana setiap dari mereka memiliki hak perintah dan wajib ditaati. Mereka bukan sekelompok orang—yang atas dasar satu kesepakatan bersama—memiliki satu perintah yang harus ditaati.

Kedua, kemaksuman sebagai penjagaan ilahi merupakan sifat kejiwaan yang riil dan ini melazimkan adanya penyan- dang yang juga riil. Sifat ini adalah sebuah predikat riil yang melekat pada entitas yang juga riil. Sementara, Ahlul Hal wal Aqd adalah kelompok dan kumpulan dari sejumlah orang. Sebuah kelompok dan kumpulan merupakan entitas konven- sional, buatan dan hasil kesepakatan yang tidak sejatinya tidak riil. Dan tidak mungkin sesuatu yang riil (seperti realitas sifat kemaksuman) akan melekat dan bergantung pada sesuatu yang konvensional, tidak riil dan hanya sebuah produk dari pengandaian akal.

AYAT ULIL AMR 103 Ketiga, seluruh kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada orang yang dipercayai sebagai maksum selain para nabi dan

para Imam Syi‘ah.

Jawaban-jawaban Fakhru Razi atas Imamah Para Imam Maksum as.

Terdapat sejumlah jawaban yang diajukan Fakhru Razi atas

pendapat Syi‘ah Imamiyah yang mengatakan bahwa Ulil Amr

adalah dua belas Imam Maksum as.: