• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal kedua, Imamah tidak mengenai orang-orang yang zalim.

Pasal ketiga, kedudukan Imamah menurut pemangku kedudukan Imamah.

Pasal Pertama

Kedudukan Tinggi Imamah

Dalam ayat Ibtila’, dapat kita melihat bagaimana Allah swt. menguji Nabi Ibrahim as. di masa tuanya dan di akhir masa hidupnya, dan setelah bertahun-tahun masa kenabian dan kerasulannya lewat. Ia telah berhasil dan sukses dalam me- nempuh ujian ini. Imamah ini adalah kenaikan derajat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim as. setelah ujian besar ini, dan berkat kesabaran serta keteguhannya.

Untuk lebih jelasnya, kita akan menjelaskan ayat ujian melalui beberapa poin di bawah ini:

o Hubungan apakah antara ujian Nabi Ibrahim as. dan penetapan Imamah bagi dirinya?

AYAT IBTILA’(PENGUJIAN) 27

o Apakah benar bahwa maksud dari Imamah yang ditetapkan untuk Nabi Ibrahim as. ialah kenabian dan kerasulannya itu sendiri?

o Imamah yang ditetapkan untuk Nabi Ibrahim as. itu menunjuk tentang apa?

1.Hubungan antara Ujian dengan Kedudukan Imamah

Kembali kita membaca ayat Ibtila’:

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunai-

kannya (dengan baik). Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam ...”

Dalam ayat ini, kata idz (ketika)adalahketerangan zaman, dan tentunya membutuhkan pelengkap. Lalu, apa pelengkap dari kata idz (ketika)?

Kemungkinan pertama, pelengkap idz adalah kata udzkur

(ingatlah) yang tersirat. Yakni demikian, “Wahai Muhammad!

Ingatlah ketika Ibrahim as. diuji oleh Tuhannya.

Terdapat beberapa keberatan atas kemungkinan ini: 1. Melazimkan pembuangan (makhdzuf) dan pengiraan

(muqoddar) kata. Padahal ini bertentangan dengan prin- sip (bahwa segala sesuatu itu harus dinyatakan, –pen.). 2. Menyebabkan terputusnya kalimat “Innî jâ‘iluka linnâsi

imâman” (Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam

bagi manusia) dari kalimat sebelumnya dengan tanpa penyebutan kata sambung.

Penjelasannya:

Kalimat “Qôla inni jâ‘iluka ...” (Dia berfirman: “Sesungguhnya

Aku menjadikanmu …) tidak terputus dari kalimat

sebelumnya, dan dari sisi makna, terikat utuh dengan kalimat sebelumnya. Lantaran kata sambung yang berkaitan dengan-

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

28

nya tidak ada, maka kalimat sebelumnya menjadi sempurna dengan datangnya kalimat ini, dan hubungan kedua kalimat ini terjadi dengan adanya kaitan idz kepada qôla. Maka makna ayat Ibtila’adalah demikian, “Ketika Tuhan menguji Ibrahim, Dia berfirman kepadanya, “Aku menetapkanmu sebagai imam untuk seluruh manusia.” Atas dasar ini, ujian-ujian tersebut merupakan sarana untuk menetapkan Imamah ke atas Nabi Ibrahim as.

Bukti lain atas poin ini adalah ayat yang menjelaskan hubungan antara kesabaran dan imamah sebagian nabi:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pe-

mimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”1

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kesabaran dan keyakinan merupakan sebab ditetapkannya Imamah untuk para nabi. Hubungan antara kesabaran dan keyakinan ini menjelaskan dengan gamblang antara hubungan ujian dan Imamah Nabi Ibrahim as. dalam ayat Ibtila’ di atas itu.

2. Ujian-ujian Nabi Ibrahim as.

Ujian-ujian Nabi Ibrahim as. berkaitan dengan masalah apa sehingga ganjarannya adalah kedudukan Imamah?

Ayat Ibtila’ menunjukkan bahwa ujian itu terjadi dengan perantara kalimat-kalimat. Dan Nabi Ibrahim as. betul-betul mampu menghadapinya dengan baik. Teks kalimat-kalimat itu adalah perintah-perintah khusus sebagai ujian bagi beliau.

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, yang tampak jelas sebagai ujian dalam kehidupan beliau adalah penyembelihan anak kandungnya sendiri; Nabi Ismail as.; “Sesungguhnya ini benar-

AYAT IBTILA’(PENGUJIAN) 29 benar suatu ujian yang nyata”.1 Ujian ini merupakan puncak

pengorbanan dan bukti kepasrahan penuh Nabi Ibrahim as. di hadapan Allah swt.

Perlu diingat bahwa cobaan Nabi Ibrahim as. ini terjadi ketika usia beliau sudah lanjut. Itu pun ketika putra beliau menginjak usia remaja. Pada dasarnya, ketika usia Nabi Ibrahim a.s. masih muda, beliau belum memiliki anak. Dan ketika usia beliau sudah lanjut dan tidak lagi berharap untuk memiliki anak, Allah swt. mengkaruniainya seorang anak laki- laki. Ini pun terjadi setelah bertahun-tahun masa kenabian dan kerasulannya.

3. Apakah Imamah dalam Ayat

Ibtila’

adalah Kenabian dan Kerasulan itu Sendiri?

Apakah Imamah yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as. adalah kenabian dan kerasulannya—sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian mufasir—ataukah ia sebuah kedu- dukan tersendiri?

Dari penjelasan sebelumnya jelas bahwa Imamah ini sesuatu yang lain dari kenabian dan kerasulan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim as. sebelumnya. Ini dikuatkan dengan dua argumen:

Pertama, ayat Ibtila’ menunjukkan bahwa Imamah ini diberikan setelah berbagai macam ujian yang dilalui Nabi Ibrahim as. Contoh nyatanya, ia diuji agar menyembelih putranya. Sementara sebelumnya, kenabian dan kerasulan sudah diberikan kepadanya.

Kedua, “Ja’iluka” dalam ayat Ibtila’ adalah isim fail (kata benda aktif), dan secara gramatikal, kata ini akan berlaku atas kata setelahnya dan menjadikan sebuah isim (kata benda)

TAFSIR IMAMAH DAN KEMAKSUMAN

30

sebagai maf‘ul-nya (obyek) bila ia bermakna masa sekarang atau masa yang akan datang; bukan masa lalu.1 Atas dasar ini,

maka kalimat “Inni jâ‘iluka linnâsi imâman” yang memiliki dua

maf‘ul (obyek; yaitu kata ganti ka dan imâman) tidak bisa

mengandung dan kembali ke masa lalu.

4.Imamah itu Menunjukkan Apa?

Dari ayat Ibtila’ dapat kita pelajari bahwa pengertian Imamah adalah kepemimpinan. Ia berbeda dengan kenabian dan kerasulan. Imam adalah pemimpin di atas orang lain, dan sebelumnya hidup bersama semua manusia. Imam adalah orang yang ditetapkan oleh Allah swt. sebagai pemimpin seluruh manusia secara mutlak. Ia adalah pemimpin dan teladan seluruh manusia dalam segala segi kemanusiaan. Semua manusia harus mengikuti dan meneladaninya dalam segala aspek.

Lantaran kedudukan Imamah ini diberikan kepada Nabi Ibrahim as. setelah bertahun-tahun masa kerasulannya sebagai anugerah ilahi dari keberhasilannya dalam menghadapi berbagai macam ujian, jelas menunjukkan bahwa kedudukan Imamah tidak setara dengan kenabian dan kerasulan, tetapi lebih tinggi dari keduanya.

Kesimpulannya, ketika sudah pasti bahwa kedudukan Imamah lebih tinggi dari kenabian, dan—berdasarkan dalil

qoth‘i—syarat kenabian adalah kemaksuman, maka syarat

Imamah juga kemaksuman.