URAIAN TEORITIS
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, paradigma membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma akan menentukan kualitas pertanyaan yang akan ditanyakan oleh peneliti dan jenis data yang bagaimana untuk menghasilkan jawaban (Bulaeng, 2004:
2). Paradigma menawarkan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia.
Perspektif atau paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Konsep paradigma pertama kali dipopulerkan oleh Thomas Kuhn, seorang ahli sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution (1970) (Suyanto & Sutinah, 2005 : 215).
Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu diantaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan
eksistensial dan epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9). Setiap manusia ataupun individu mempunyai pandangan masing-masing dalam suatu hal dan memungkinkan untuk melengkapi pandangan di antara individu-individu tersebut.
Kemudian sudut pandang atau perspektif akan menghasilkan suatu interpretasi terhadap suatu fenomena sosial. Menurut Thomas Kuhn, paradigma merupakan landasan berpikir atau konsep dasar yang dianut atau dijadikan model, baik berupa model atau pola yang dimaksud ilmuan dalam upayanya mengandalkan studi-studi keilmuan.
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001: 37). Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis.
Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto & Hermawan, 2011: 9).
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151). Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi
tingkah laku. Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia.
Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 153).
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemology merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme- subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151-153). Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 154).
Robyn Penmann (dalam Ardianto dan Q-Aness, 2007: 158) merangkum kaitan konstruktivis dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi:
1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikasi dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.
2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagai diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.
3. Pengetahuan bersifat konstektual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu.
4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut mempengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.
5. Pengetahuan bersifat sarat nilai. Pandangan ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.
Konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Pengetahuan dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya. Peneliti menggunakan paradigma ini sebagai pandangan dasar untuk melihat bagaimana peranan keluarga di Ssamundong dalam menyebarkan nilai-nilai sosial di dalam serial drama Reply 1988 yang diproduksi dan ditayangkan di Korea Selatan pada tahun 2015 dengan jumlah 20 episode. Peneliti akan mengambil beberapa adegan yang menampilkan suasana berkumpul keluarga, bersosialiasi antar bertetangga, bagaimana bersikap dengan orang yang lebih tua dan teman sebaya dan lain-lain.
2.2 Kajian Pustaka