• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter fisik dan kimia air laut di dalam palka (1) Konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka

Gambar 41 Profil permukaan air setelah 1 detik palka kembali tegak.

5.4 Uji Coba Mitigasi Risiko Terhadap Ketahanan Hidup Benih Ikan Kerapu Bebek

5.4.2 Parameter fisik dan kimia air laut di dalam palka (1) Konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka

Konsentrasi oksigen dalam air merupakan salah satu faktor lingkungan yang harus dipenuhi di lingkungan tempat ikan tersebut berada. Kandungan oksigen dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan. Schreck and Moyle (1990) mengemukakan bahwa respirasi pada ikan adalah proses mengambil oksigen dari lingkungan dan mengeluarkan gas buang ke lingkungan. Apabila dalam suatu volume air tertentu tidak terdapat suplai oksigen ke dalamnya, maka oksigen yang digunakan oleh makhluk hidup yang berada di dalam air tersebut makin lama akan semakin berkurang dan bahkan habis.

Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke dalam massa air. Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen, seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya. Organisme hidup

Simulasi transportasi

Setelah simulasi transportasi

191

tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Dalam pembahasan tentang konsentrasi oksigen terlarut pada sub bab 5.2 tentang sistem pemeliharaan kualitas air, diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/liter) pada air laut yang terdapat di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi berkisar antara 6,5 – 6,9 mg O2/liter dengan nilai rata-rata sebesar 6,66 mg O2/liter selama 48 jam pengamatan.

Pada Gambar 51 disajikan grafik hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut selama 48 jam pengamatan. Grafik tersebut adalah merupakan hasil pengukuran rata- rata dari empat palka dalam setiap ulangan uji coba. Pada grafik tersebut dalam ketiga pengamatan, terlihat bahwa setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka, konsentrasi oksigen terlarut yang terukur mengalami pengurangan bila dibandingkan dengan saat sebelum benih ikan dimasukkan ke dalam model palka tersebut. Pengurangan konsentrasi oksigen terlarut yang terjadi berkisar antara 0,3 – 1,2 mg O2/liter. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi konsumsi oksigen sebesar 0,3 – 1,2 mg O2/liter oleh 58 ekor benih ikan selama 10 menit setelah benih ikan dimasukkan ke dalam model palka. Secara sederhana dapat dihitung laju konsumsi oksigen tiap benih ikan kerapu bebek di dalam model palka pada 10 menit pertama setelah dimasukkan ke dalam model palka, yaitu berkisar antara 0,294 – 1,040 mg O2/ekor benih ikan/menit.

Pada ketiga grafik juga terlihat bahwa hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut mulai cenderung stabil setelah 8 – 16 jam benih ikan berada di dalam model palka. Rata-rata konsentrasi oksigen terlarut yang terukur saat kondisi stabil tersebut adalah berkisar antara 5,9 – 6,6 mg O2/liter. Jika dibandingkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebelum benih ikan dimasukkan, yaitu berkisar antara 6,5 – 7,2 mg O2/liter, terjadi konsumsi oksigen sebesar 0,5 – 1,3 mg O2/liter oleh 58 ekor benih ikan kerapu bebek di dalam model palka selama 40 jam. Secara sederhana dapat dihitung rata-rata nilai laju konsumsi oksigen per benih ikan, yaitu sebesar 0,068 –0,311 mg O2/jam/ikan. Jika nilai laju konsumsi oksigen tersebut bila dibandingkan dengan laju konsumsi oksigen benih ikan pada saat pengukuran konsumsi oksigen benih ikan di dalam tabung respirometer (0,816 – 1,734 mg O2/jam/ikan, sub bab 5.3), diketahui bahwa laju konsumsi benih ikan di dalam model palka jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat benih ikan berada di dalam tabung respirometer. Kondisi ini menunjukkan bahwa metabolisme benih ikan di dalam tabung respirometer jauh lebih tinggi bila

192

dibandingkan dengan saat benih ikan berada di dalam model palka. Hal ini diduga karena tingkat stres di dalam tabung respirometer lebih tinggi.

Gambar 51 Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut (hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan).

Pada Gambar 51 terlihat bahwa nilai kisaran konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia (setelah pemakaian) yaitu berkisar antara 5,4 – 6,8 mg O2/liter. Berdasarkan hasil penelitian Gray et.al (2002) dan Setyadi et.al (2008) menyebutkan bahwa semua ikan akan mati apabila konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia mencapai 2,0 mg O2/liter. Akan tetapi Brule et.al (1996) menyebutkan bahwa kematian benih ikan kerapu merah (Red grouper) dapat terjadi jika konsentrasi oksigen terlarutnya berkisar antara 3,9 – 4,7 mg O2/liter. Berdasarkan literatur yang ada, maka ketersediaan oksigen terlarut di dalam air laut setelah pemakaian oleh ikan, masih mencukupi untuk mendukung hidup benih ikan kerapu bebek di dalam model palka.

(2) Nilai pH air laut di dalam model palka

Kadar pH dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme dan fisiologi biota yang hidup di dalam air (Parra and Baldisserotto. 2007). Kadar pH yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Zweigh et.al. 1999), dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Hal ini disebabkan karena kadar pH yang ekstrim bagi suatu organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan

193

meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas (asphyxia ) (Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009). Penurunan pH di dalam air dapat disebabkan oleh banyaknya karbondioksida yang diproduksi selama ikan berespirasi. Tingginya kandungan karbondioksida dibarengi dengan turunnya pH akan lebih berbahaya terhadap kelangsungan hidup ikan (hobiikan.blogspot.com, 2008). Tingkat sensitivitas ikan terhadap kadar pH yang ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan (larva, juvenil atau dewasa) (Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009). Filho et.al (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kadar pH dalam air terhadap ketahanan hidup larva

Prochilodus lineatus, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran pH antara 4,8 – 9,2. Hasil pengukuran pH pada air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kualitas air kombinasi resirkulasi dan aerasi adalah berkisar antara 8,02 – 8,08.

Pada Gambar 52 disajikan grafik hasil pengukuran kadar pH air laut rata-rata dari keempat palka selama 48 jam simulasi transportasi. Pada grafik tersebut terlihat kecenderungan terjadinya penurunan nilai pH setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka. Penurunan pH yang terjadi berkisar antara 0,1 – 0,2, akan tetapi pada salah satu ulangan uji coba (ulangan 1), penurunan pH baru diketahui saat pengukuran dilakukan setelah 4 jam benih ikan di dalam model palka, dengan penurunan nilai pH sebesar 0,4. Untuk selanjutnya nilai pH pada ketiga pengamatan cenderung menunjukkan kestabilan setelah benih ikan berada di dalam model palka selama 4 jam, dengan nilai pH rata-rata berkisar antara 7,5 – 7,7. Jika dibandingkan hasil pengukuran pH pada sub bab 5.3, yaitu antara 8,02 – 8,08 pada kondisi tanpa benih ikan, terlihat bahwa keberadaan benih ikan di dalam model palka mengakibatkan kadar pH menurun dari basa menuju ke netral. Kondisi ini menunjukkan adanya sejumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh benih ikan di dalam palka tersebut. Akan tetapi menurut Swingle dan Pescod dalam Wardoyo (1981), kisaran pH air yang ideal bagi perikanan adalah antara 6,5 – 8,5. Dengan demikian, walaupun mengalami penurunan nilai pH, kadar pH di dalam model palka masih dalam rentang nilai ideal bagi hidup benih ikan.

194

Gambar 52 Fluktuasi pH (hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan).

(3) Suhu air di dalam model palka

Eksperimen terhadap ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi dan aerasi dilakukan pada suhu ruangan yang berkisar antara 25,5 – 27 ºC. Perbedaan suhu ruang yang terjadi adalah sebesar 1,5 ºC. Saat eksperimen yang bertujuan untuk mengukur parameter fisik air laut di dalam model palka dengan sistem pemeliharaan yang berbeda dilakukan (lihat sub bab 5.2), eksperimen dilakukan dalam kisaran suhu ruang antara 24 – 25 ºC, dengan perbedaan suhu ruang sebesar 1 ºC. Terlihat bahwa perbedaan suhu ruang antar kedua eksperimen tidak berbeda jauh.

Dari hasil pengukuran suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi dan aerasi diketahui bahwa suhu air laut yang terukur selama 48 jam adalah berkisar antara 25,5 – 25,9 ºC. Pengukuran suhu air laut tersebut adalah pada saat tidak terdapat benih ikan di dalamnya. Pada Gambar 53 disajikan hasil pengukuran suhu air laut secara rata-rata dari keempat model palka selama 48 jam eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek. Pada grafik tersebut terlihat bahwa rata-rata suhu air laut dalam tiga pengamatan berkisar antara 27,5 - 28,3 ºC.

195

Gambar 53 Fluktuasi suhu air laut (hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan).

Pada grafik di atas terlihat bahwa suhu air laut setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka cenderung meningkat. Hal ini diduga terjadi karena adanya aktivitas benih ikan di dalam model palka tersebut. Sebagaimana manusia, umumnya saat seseorang melakukan aktivitas yang lebih dibandingkan biasanya seperti misalnya melakukan aktivitas olah raga, biasanya suhu tubuh meningkat. Kondisi ini terjadi disebabkan karena adanya peningkatan metabolisme di dalam tubuh manusia tersebut. Demikian pula halnya dengan benih ikan yang dimasukkan ke dalam model palka. Pada saat benih-benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam model palka, maka untuk sesaat benih-benih ikan tersebut akan melakukan adaptasi dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan barunya. Proses adaptasi ini diduga mengakibatkan adanya peningkatan metabolisme di dalam tubuh benih ikan yang pada akhirnya akan meningkatkan suhu tubuh benih ikan. Peningkatan suhu tubuh benih ikan inilah yang diduga memberikan kontribusi kepada peningkatan suhu air laut setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka.

(4) Amoniak tak terionisasi (NH3 Un-ionized)di dalam model palka

NH3 un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH3 un-ionized tersebut akan lebih bersifat racun apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang relatif rendah (Boyd, 1982). Gowen and Bradbury (1987) dalam

196

Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan.

Pada eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek, dilakukan pengambilan contoh uji air untuk diukur konsentrasi NH3 un-ionized, yaitu di awal dan di akhir hari pengamatan. Pada Tabel 26 disajikan nilai konsentrasi NH3 un-ionized hasil pengukuran dari eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek.

Tabel 26 Konsentrasi NH3un-ionized saat eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek

Pada Tabel 26 terlihat bahwa nilai konsentrasi NH3 un-ionized di akhir eksperimen mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,087 mg/liter. Secara grafik, peningkatan nilai konsentrasi NH3 un-ionized disajikan pada Gambar 54. Timbulnya peningkatan nilai konsentrasi NH3 un-ionized sebesar 0,087 mg/liter, apabila diasumsikan bahwa di dalam air laut tersebut tidak terdapat biota air lainnya selain benih ikan kerapu bebek, adalah disebabkan oleh adanya aktivitas dari benih ikan kerapu bebek sebanyak 58 ekor. Secara sederhana dikatakan bahwa satu ekor benih ikan kerapu bebek selama dua jam mengeluarkan NH3 un-ionized sebesar 0,002 mg/liter/ekor.

Dari hasil eksperimen untuk mengestimasi konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (sub bab 5.3), diketahui bahwa benih ikan kerapu bebek yang berada sendiri di dalam tabung (kondisi Is) menghasilkan NH3 un-ionized sebesar 0,021 mg/liter/ekor. Adapun NH3 un-ionized untuk satu ekor benih ikan pada kondisi tidak sendiri (kondisi Ik) adalah sebesar 0,006 mg/liter/ekor. Jika kedua nilai NH3 un-ionized tersebut

Pengukuran ke-

NH3 (mg/liter)

Awal Akhir Selisih

1 0,025 0,167 0,142

2 0,037 0,144 0,107

3 0,048 0,061 0,013

197

dibandingkan dengan nilai NH3 un-ionized yang dihasilkan oleh satu ekor benih ikan kerapu bebek saat eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek yaitu sebesar 0,002 mg/liter/ekor, maka terlihat bahwa semakin banyak benih ikan dalam suatu volume air NH3 un-ionized yang dihasilkan satu ekor benih ikan akan semakin sedikit. Merujuk pada apa yang telah disebutkan sebelumnya oleh Inoue et.al (2008) dan Chandroo et.al (2004), bahwa stres ikan mengakibatkan peningkatan metabolisme atau aktivitas ikan yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya produksi amoniak, maka hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres benih ikan di dalam model palka jauh lebih rendah dibandingkan di dalam tabung respirometer.

Keterangan: P1-3 = ulangan ke 1 – 3

Gambar 54 Nilai konsentrasi NH3un-ionized selama 48 jam pengamatan