• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI Kesimpulan dan Saran 119 6.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

2.1 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dalam beberapa hal tidak dapat timbul begitu saja dalam diri masyarakat. Partisipasi malah sering diartikan sebagai bentuk mobilisasi dengan pendekatan pembangunan yang dirancang dari atas. Dalam kondisi ini, maka makna partisipasi menjadi pasif atau tidak berasal dari dalam diri masyarakat, tapi berasal dari luar dirinya.

Uphoff (1986) dalam Cohen (1988:500) bahwa paradoks sering mendorong salah satu partisipasi adalah bahwa dalam mempromosikan pembangunan dari bawah

(bottom-up planning) justru sering pula membutuhkan upaya dari atas, hal ini terlihat dalam wacana yang menggunakan pendukung atau promoter yang direkrut, dilatih dan ditempatkan di lapangan dari pusat untuk bekerja dengan penduduk pedesaan dan mengembangkan kapasitas organisasi di antara mereka.

Partisipasi tidak menjadi tidak penting, namun justru adalah unsur yang sangat signifikan, baik sebagai tujuan ataupun alat (means). Pusic dalam Adi (2001:206-208) menyatakan bahwa perencanaan di desa tanpa memperhitungkan partisipasi masyarakat hanya akan menjadi perencanaan di atas kertas. Lebih lanjut diungkapkan Mendoza (1981) dalam Korten dan Alfonso (1981:vii), “The need to participate, to participate fully, is a very basic and fundamental need” (Kebutuhan untuk berpartisipasi secara penuh adalah kebutuhan yang paling mendasar dan utama). Dalam konteks ini perlu pemenuhan kebutuhan untuk berpartisipasi.

Defenisi partisipasi belakangan ini, dalam pembangunan sering ditemukan dalam proyek dan program pembangunan, sebagai sarana penguatan relevansi, kualitas serta kesinambungannya. Dalam sebuah pernyataan yang berpengaruh, Kelompok Kajian Bank Dunia (1995) mengenai partisipasi (Gaventa, 2001:5) mendefenisikan “partisipasi sebagai proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumber daya yang berdampak pada mereka.

Terkait dengan pemahaman bahwa partisipasi memiliki makna yang berbeda sesuai situasi atau konteksnya, maka Schneider (1995:11) berpendapat bahwa:

Although the need for more popular participation inthe development process generally acknowledged, the concept of participation has been given different meanings in different situations. Increasingly, however, it is accepted that genuine participation should embody some form of empowerment of the population especially participation in decision making. Genuine participation means that people should be

involved throughout project or programme cycle, from the design stage through monitoring evaluation.

Kebutuhan untuk lebih memperkenalkan partisipasi walaupun dalam proses pembangunan sudah diketahui secara umum, konsep partisipasi memiliki arti yang berbeda dalam situasi yang berbeda, namun demikian hal yang diterima sebagai partisipasi asli adalah merupakan perwujudan dari pemberdayaan masyarakat terutama partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi yang asli berarti bahwa semua orang harus dilibatkan dalam proyek atau program, dari mulai perencanaan, pelaksanaan sampai kepada monitoring dan evaluasi.

Defenisi partisipasi asli menurut Schneider tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep partisipasi tidak dapat diartikan secara baku, makna partisipasi itu seringkali kabur. Namun akhirnya yang diterima sebagai partisipasi yang “genuine” atau asli adalah partisipasi yang merupakan perwujudan dari “empowerment of population”

atau pemberdayaan masyarakat, terutama partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut tentu saja mengandung konotasi politik, karena jelas bahwa partisipasi memiliki hubungan atau terkait dengan demokrasi.

Hal tersebut diatas sejalan dengan pandangan Adi (2002:84) bahwa Partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar dari demokrasi dan value based social development merupakan hal yang penting dalam diskursus komunitas. Karena melalui partisipasi masyarakat ini diharapkan akan tercapai pengambilan keputusan yang demokratis. Proses pengambilan keputusan secara demokratis itu sendiri pada

dasarnya dilakukan berdasarkan sistem egaliter, dimana masing-masing pihak berusaha saling melengkapi tanpa merasa menjadi yang super power.

Defenisi menurut Mubyarto (1988:35) bahwa partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri. Pendapat ini menyatakan bahwa partisipasi yang dilakukan masyrakat tidak harus dilakukan pada tingkat (level) yang sama oleh para anggotanya dan merupakan suatu hal yang tidak dipaksakan atau bersifat sukarela. Partisipasi yang baik hanya akan timbul apabila pada awalnya muncul kesadaran pada diri individu-individu masyarakat untuk ikut mengembangkan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. Defenisi partisipasi dari sekian banyak pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan mungkin persamaan dalam pandangan yang dikemukakan mengenai partisipasi. Pada Tabel 2.1 sebagai berikut akan diuraikan lebih lanjut defenisi para ahli mengenai konsep partisipasi sebagai upaya untuk mengkaji lebih dalam defenisi dan makna partisipasi masyarakat.

Tabel 2. 1 Definisi Partisipasi Dari Bebarapa Ahli

No. Ahli Defenisi

1. Arnstein (1969, Jurnal of The American Institute Of Planners. 35 (4):216-224).

1. The redistribution of power that enables “have- nots” excluded in the political and economic processes to deliberately be included in the future.

2. The conception of empowerment:the ability to make decisions that control your own future.

(pembagian kekuasaan yang memungkinkan

masyarakat untuk ikut serta dalam proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam penentuan masa depan dan konsep pemberdayaan sebagai upaya

peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan mengkontrol masa depan masyarakat sendiri).

Tabel 2. 1 (lanjutan) 2. Cohen & Uphoff

(1997)

Partisipasi dapat dilihat dari berbagai pandangan

(perspective). Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan dalam mengimplementasi kan program, serta menikmati keuntungan dari program tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam mengevaluasi program, suatu proses aktif, dimana rakyat dari suatu komuniti mengambil inisiatif dan menyatakan dengan tegas otonomi mereka.

3. Santoso S.

Hamidjoyo dalam Sastropoetro (1988:51),

Partisipasi berarti turut memikul beban pembangunan, menerima kembali hasil pembangunan dan

bertanggungjawab terhadapnya, dan terwujudnya kreativitas dan oto-aktivitas.

4. Keith Davis (1962) dalam Sastropoetro (1988:13)

“ as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goal and share responsibility in them ”

(sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang di dalam sebuah situasi kelompok yang mana

mendorong untuk berkontribusi pada tujuan kelompok dan merasa bertanggungjawab di dalamnya).

5. Paul (dalam Priyono 1996:133)

“….. partisipasi menjadi sebuah proses yang aktif dimana penerima mamfaat mempengaruhi arah dan menentukan proyek-proyek pembangunan

dibandingkan dengan hanya menerima manfaat dari proyek.”

6. Ida (2002:23) Kontribusi masyarakat dalam mewujudkan partisipasi memiliki 4 unsur utama yaitu:

1. ada inisiatif dari masyarakat 2. usaha-usaha yang terorganisir

3. adanya sumber daya yang luas yang harus dipertahankan

4. adanya upaya untuk mengontrol kebijakan 7. In Young Wang

(Makmur, 2003:57)

“ an action process undertaken by individuals and groups to reflect their own interest on to contribute their energies and resources to the institution (and system) which govern their lives.”

Partisipasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh sese-orang/individu atau kelompok orang dalam merumuskan/menyatakan kepentingan mereka dalam memberikan/menyumbangkan tenaga dan sumberdaya lainnya kepada suatu lembaga/ institusi kepada sistem mengatur kehidupan mereka.

Tabel 2. 1 (lanjutan)

No. Ahli Defenisi

8. Tim Peneliti FIKB (2002:6)

“secara umum partisipasi dapat dipahami serang- kaian kegiatan yang dilakukan oleh warga negara dalam rangka mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah”. Perwujudan partisipasi dapat dilakukan baik secara individu atau berkelompok, bersifat spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat serta dengan cara damai atau kekerasan.

9. Thoha dikutip oleh Tim FIKB (2002:6)

Bahwa dilihat dari sifatnya, partisipasi dibedakan dalam dua jenis yaitu:

1. Partisipasi otonom /mandiri yaitu suatu bentuk partisipasi yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik.

2. Partisipasi mobilisasi, termasuk di dalamnya partisipasi seremonial yaitu bentuk partisipasi yang yang digerakkan oleh orang atau kelompok tertentu, umumnya negara berkembang dilakukan oleh kelompok elit, bukannya berangkat dari kesadaran masyarakat.Sedangkan partisipasi seremonial adalah bentuk seperti partisipasi dalam pemilihan umum.

10. James Midgley (1986:8)

Participation …… strengthens the capacities of individual and communities to mobilize and help themselves.

Partisipasi merupakan upaya memperkuat kapasitas individu & masyarakat untuk mendorong mereka menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. 11. Makmur (2003:48) Partisipasi adalah keikutsertaan atau keterlibatan

secara sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.

12. Supriyadi dalam Makmur (2003:58)

Bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dibedakan ke dalam 4 (empat) cara meliputi:

1. Partisipasi yang timbul akibat pengerahan pemerintah secara dominan,

2. Partisipasi yang timbul akibat pengerahan pemerintah dan masyarakat,

3. Partisipasi yang timbul akibat pengerahan pemerintah dan organisasi kemasyarakatan, 4. Partisipasi yang timbul secara sendirinya yang

Tabel 2. 1 (lanjutan)

No. Ahli Defenisi

13. FAO dalam Mikkelsen (2001:64)

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari

masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan meng- gunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. 4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara

masyarakat setempat degan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks local dan dampak-dampak sosial.

5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela masyarakat dalam perubahan ditentukan sendiri.

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan 14. Gordon Allport

dalam Sastropoetro (1988:510

Partisipasi adalah keterlibatan ego atau diri

sendiri/pribadi/personalitas (kejiwaan) lebih daripada hanya jasmaniah/fisik saja.

15. Achmadi dalam Sastrosapoetro (1988:51)

Partisipasi dalam bentuk swadaya gotongroyong merupakan modal utama. “Swadaya adalah

kemampuan dari suatu kelompok masyarakat yang dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar pemenuhan kebutuhan”.

16. Alastraire White dalam

Sastropoetro (1988:51)

Partisipasi berarti turut memikul beban

pembangunan, menerima kembali hasil pembangunan dan bertanggungjawab terhadapnya dan terwujudnya kreativitas dan otoaktivitas.

17. Daryono, SH dalam Sastropoetro

(1988:51)

Partisipasi berarti keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan, menentukan kebutuhan, menentukan tujuan, dalam rangka

mengeksploitasikan sumber-sumber potensial dalam pembangunan.

Tabel 2. 1 (lanjutan)

No. Ahli Defenisi

18. Bank Dunia dalam John Gaventa dan Camillo Valderrama, 2001: 4-5

Partisipasi sebagai proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagai pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumber daya yang berdampak pada mereka.

Dari sudut pandang ini, partisipasi terlihat pada tataran konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek, dari evaluasi kebutuhan, sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. 19. Okley (1991:1-10) 1. Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu

intepretasi dominan dari partisipasi dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan secara sukarela /bentuk kontribusi lain dari masyarakat desa menetapkan sebelumnya program dan proyek pembangunan. 2. Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai

dengan perdebatan yang panjang di antara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrumen yang fundamental bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa perbedaan organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat bentuk organisasional sebagai sarana bagi

partisipasi, seperti organisasi yang biasa dibentuk atau organisasi yang muncul dan dibentuk

sebagai hasil dari adanya proses partisipasi. Selanjutnya dalam melaksanakan partisipasi masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa dimensi yaitu:

a. Sumbangan pikiran (ide atau gagasan), b. Sumbangan materi (dana, barang, alat), c. Sumbangan tenaga (bekerja /memberi kerja), d. Memanfaatkan/melaksanakan pembangunan. 3. Partisipasi sebagai pemberdayaan, merupakan

latihan pemberdayaan masyarakat desa, meskipun sulit untuk didefenisikan, tetapi pemberdayaan merupakan upaya untuk mengembangkan ketrampilan dan kemampuan masyarakat desa untuk memutuskan dan ikut terlibat dalam pembangunan.

Partisipasi menurut uraian tabel 2.1 dapat disimpulkan bahwa, pertama,

partisipasi memang merupakan sebuah konsep yang problematis dan memiliki banyak makna dan dimensi, tergantung kepada situasinya, atau dari sudut mana memandangnya, namun partisipasi yang asli adalah merupakan perwujudan dari pemberdayaan masyarakat terutama partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi yang asli berarti bahwa semua orang harus terlibat dalam proyek atau program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai evaluasi.

Kedua, dilihat dari perkembangannya partisipasi tidak lagi diasumsikan sebagai pemberian kontribusi berupa uang atau sarana masyarakat secaraa sukarela, tetapi lebih ditekankan pada pengembangan kapasitas masyarakat yang didalamnya terdapat unsur pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang mempengaruhi masa depan masyarakat itu sendiri.

Ketiga, partisipasi masyarakat adalah:keikutsertaan atau keterlibatan secara sukarela oleh masyarakat dalam suatu kegiatan untuk menyatakan kepentingan mereka atau untuk menyumbangkan tenaga serta sumber daya lainnya yang menjadikan masyarakat tersebut dapat berperan baik secara aktif maupun pasif. Masyarakat berpartisipasi bukan didasarkan atas paksaan atau tekanan dari pihak lain, namun atas kesadaran sendiri sehingga apa yang dilakukan didasarkan kesukarelaan, hubungan dengan beberapa pendapat ahli berkaitan dengan makna dari partisipasi, dibawah ini terdapat beberapa pandangan lain yang mendukung makna dari atau tidak adanya partisipasi masyarakat tersebut, diantaranya dalam artikel Framework of

Participation (2002) yang menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dilihat melalui ada atau tidak adanya:

a. Information: The least you can do is tell people what is planned.

(Pemberian Informasi: paling tidak adanya pemberitahuan kepada masyarakat tentang hal yang direncanakan).

b. Consultation: You offer a number of options and listen to the feedback you get.

(Konsultasi: Penawaran beberapa pilihan dan mendengarkan jawaban/respon dari masyarakat).

c. Deciding together: You encourage others to provide some additional ideas and options, and join in deciding the best way fordward.

(Pengambilan keputusan:mendorong masyarakat terhadap ide baru dan pilihan setelah itu memutuskan langkah selanjutnya yang terbaik).

d. Acting together:they form a partnership to carry it out.

(Bertindak bersama secara bekerja sama melaksanakan keputusan tersebut).

e. Supporting independent community initiatives: You help others do what they want perhaps within a framework or grants, advice and support provided by the resource holder.

(Mendukung kemandirian inisiatif masyarakat: membantu mewujudkan keinginan masyarakat, baik dengan bantuan dana, saran dan dukungan peralatan).

keterlibatan masyarakat dapat dilakukan melalui “konsultasi, kehadiran dan keterwakilan masyarakat dan pengaruh dari masyarakat”. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Consultation

It involves getting the state to listen directly to citizens needs and demands. The state may provide mechanisms for these consultation or in cases where the state is not pre-disposed to participatory measures, citizens may assert their right to be heard and claim or create space for participation, for example, through protest to mass mobilization. For consultation to be effective, though, its outputs need to be taken up and listened to by those with the power to act on them. It is, therefore, most effective when done in an interactive manner and in an environment of genuine dialogue and information sharing.

Konsultasi, dimulai dari negara mendengarkan keinginan dan kebutuhan warga negara. Negara seharusnya meningkatkan mekanisme konsultasi dan apabila negara kurang menekankan hal tersebut, sesungguhnya warga negara berhak untuk didengarkan dan memprotes ataupun membentuk ruang partisipasi seperti demonstrasi. Konsultasi yang efektif apabila hasil konsultasi diterima dan didengarkan serta dilaksanakan oleh mereka. Oleh karena itu konsultasi yang efektif biasanya dilakukaan secara interaktif dalam suasana dialog murni dan pembagian informasi).

2. Presence and Representation

Citizens have on going to decision making processes and are able to engage beyond a mere presentation og needs and concerns. At this point, citizens are able to negotiate with government for better plans, solution and proceedures. With presence and representation, government not only listen but starts to actually work with citizens.

Kehadiran dan Keterwakilan, masyarakat seharusnya mempunyai akses terhadap pengambilan keputusaan dalam menentukan kebutuhan masyarakat, disini warga masyarakat dapat bernegosiasi dengan pemerintah dalam perencanaan yang lebih baik, pemecahan masalah dan pelaksanaan. Dengan kehadiran dan keterwakilan, pemerintah tidak hanya mendengarkan tetapi juga awal kerjasama dengan masyarakat).

3. Infuence

Influence occurs when citizens demands actually find their way into policies, programs and service delivery. Influence is visible when government begins to act on such demands and begins producing actual outputs. The challenge for citizens, then, to remain vigilant so that commitments undertaken by governments are fulfilled and carried out in a transparant manner.

Pengaruh, dapat dilihat ketika keinginan masyarakat dapat terwujud dalam kebjakan, program dan pelayanan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan ketika pemerintah mulai menghasilkan keluaran yang nyata. Tantangan

Pengaruh; dapat dilihat ketika keinginan masyarakat dapat terwujud dalam kebijakan, program dan pelayanan masyarakat, hal ini dapat dilakukan ketika pemerintah mulai menghasilkan keluaran yang nyata. Tantangan untuk masyarakat untuk tetap waspada bahwa komitmen tersebut di bawah kekuasaan pemerintah dan tidak dipublikasikaan.)

Partisipasi masyarakat dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa partisipasi masyarakat merupakan hak warga negara untuk dapat menerima informasi, dalam melakukan konsultasi dan untuk berperan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan serta kewenangan kontrol terhadap kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya.

Ada banyak alasan mengapa partisipasi menjadi penting dalam pembangunan, baik itu kita berbicara mengenai pembangunan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya dalam kerangka organisasi ataupun masyarakat di tingkat manapun. Partisipasi menjadi sangat penting dalam menjamin keberhasilan dan keberlanjutan suatu program pembangunan, jika saja partisipasi masyarakat benar ada dalam proses itu secara menyeluruh.

Conyers (1991:154-155) menyatakan ada 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting yaitu:

1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya, program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.

2. Bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. 3. Timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat

dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat dirasakan bahwa merekapun mempunyaihak untuk turut memberikan saran (urun rembug) dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka, hal ini selaras dengan konsep man centered development (suatu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia) yaitu jenis pembangunan yang lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri”. Partisipasi masyarakat berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya dilakukan melalui keterlibatan dalam program/proyek pembangunan, tetapi lebih merupakaan hak dari setiap warga negara, hal ini didukung oleh pandangan yang ada dalam Citizen Participation in Governance (IDS, 2002) bahwa:

Participation is a right, the right to participate in governance is seen as a premise rather than a favor bestowed by government. Direct citizen participation in governance promotes a healthy democracy because it enhances active citizenship and government responsiveness in way far more effective than traditional forms of representative democracy”.

Partisipasi hendaknya diletakkan pada posisi yang proporsional dan sesuai dengan hakikatnya pada masyarakat dalam suasana keberdayaan yang aktif, bukan secara pasif, apalagi sampai dimobilisasi oleh outsider stakeholders. Lebih jelasnya dapat disimak dari pernyataan Uphoff dalam Carnea (1988:500) yang menyatakan salah satu paradoks dalam mendorong partisipasi adalah bahwa dalam mempromosikan pembangunan dari bawah (bottom up planning), justru sering pula membutuhkan upaya dari atas. Hal ini terlihat dalam wacana yang menggunakan pendukung atau promotor yang direkrut, dilatih dan ditempatkan di lapangan dari pusat untuk bekerja dengan penduduk pedesaan dan mengembangkan kapasitas organisasi di antara mereka.

Menciptakan partisipasi sebagaimana yang diharapkan, juga memerlukan adanya hubungan timbal balik yang koperatif antara masyarakat dengan outsider stakeholder (dalam hal ini tentunya pemerintah). Uphoff dalam Cernea (1988:498) menekankan keharusan pemerintah untuk menghilangkan sikap paternalistik atau ketergantungan masyarakat dan memberikan kesempataan kepada masyarakat untuk mengambil alih tanggung jawab pembangunan, sehingga penduduk memperoleh kemampuan tawar menawar. Disisi lain masyarakat juga harus bersifat terbuka dan bersedia menerima perubahan sebagai hasil dari proses pembangunan.

Sejalan dengan pentingnya peranan partisipasi dalam pembangunan, Soetrisno (1955:221-222) mengemukakan bahwa Peranan partisipasi masyarakat dalam pembangunan:

1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan dutentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam defenisi ini diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan. 2. Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama erat antara

perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dapat digunakan adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu.

Pentingnya partisipasi masyarakat menurut Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002:101) adalah:

1. Masyarakat, bukan pemerintah yang paling mengerti tentang apa yang terbaik buat mereka.

2. Masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Sedangkan White dalam Sastropoetro (1998:32) menyatakan, ada 10 (sepuluh) alasan tentang pentingnya partisipasi sebagai berikut:

1. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dapat dicapai.

2. Dengan partisipasi pelayanan atau services dapat diberikan degan biaya