• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI Kesimpulan dan Saran 119 6.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

2.3 Tingkat atau Jenjang Partisipasi Masyarakat

Jenjang partisipasi merupakan ruang atau jarak antara keadaan atau karakteristik partisipasi masyarakat yang dibedakan ke dalam kelompok tangga atau ruang tertentu. Menurut pendapat Tanita Sains (Young Citizen Perspektif:1998) menyatakan bahwa kegunaan dari jenjang partisipasi masyarakat sebagai berikut:

The Ladder use as a guide to determine where we were, how we felt and how much progress we had made toward active participate and... The Ladder served to measure our group and individual progress in the Young Citizens’ Program. We do think we have gotten since yhe beginning and have been getting a lot done.

Jenjang partisipasi digunakan sebagai alat bantu untuk memahami keberadaan kita, apa yang kita rasakan dan seberap jauh proses yang telah kita kerjakan sebagai tindak lanjut partisipasi yang aktif. Jenjang partisipasi digunakan untuk mengukur kelompok dan individu pada program “Young Citizens”. Kita selalu berpikir bahwa kita telah melakukan peningkatan hasil sejak awal dan merasa telah melakukan banyak hal.

Secara garis besar kegunaan dari pembagian jenjang partisipasi masyarakat adalah untuk membantu memahami praktek dari proses pelibatan masyarakat, untuk mengetahui sampai dimana keberadaan partisipasi masyarakat, untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya peningkatan partisipasi serta untuk menilai dan mengevaluasi keberhasilan kinerja organisasi pemberdayaan masyarakat.

2.3.1 Pembagian jenjang partisipasi menurut Sherry Arnstein

Referensi dari Arnstein (Forum Inovasi Vol. 4:6) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat harus masuk pada wilayah perumusan kebijakan pemerintah, tidak hanya sebatas pada tataran implementasi kebijakan. Pada jenjang ini partisipasi masyarakat memiliki kekuasaan yang nyata untuk ikut menentukan kebijakan pemerintah, yang oleh Arnstein disebut juga sebagai jenjang kontrol masyarakat yaitu kekuasaan untuk ikut mengarahkan (the power of directing). Oleh karena itu, jika pemerintah daerah bersungguh-sungguh dalam memberdayakan masyarakatnya maka pemerintah daerah harus membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan (get behind the scene).

8. Citizen Control

Degree Of Citizen Power

Degrees Of Tokenism Non Participation 7. Delegated control 6. Partnership 5. Placation 4. Consultation 3. Informing 2. Therapy 1. Manipulation

Gambar 2.1 A Ladder Of Citizen Participation Oleh Sherry Arnstein Sumber: www. Partnership.com, 2014

Dari Gambar 2.1. Arnstein membagi jenjang partisipasi masyarakat menjadi 8 (delapan) tangga yang dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok antara lain, tidak adanya partisipasi masyarakat, tokenisme dan kekuasaan warga, untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

1. Manipulation bisa diartikan (relative) tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tetapi untuk mendidik ataupun menyembuhkan partisipasi. (Masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tetapi hadir dalam forum).

2. Therapy, berarti telah ada komunikasi namun masih bersifat terbatas, inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.

Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai jenjang Tokenisme (pertanda), yaitu jenjang peran serta dimana masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.

3. Information menyiratkan bahwa komunikasi sudah mulai banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah; tidak ada sarana timbal balik (informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan feed back).

4. Consultation bermakna bahwa komunikasi telah bersifat dua arah; tetapi masih bersifat partisipasi yang ritual, sudah ada penjaringan aspirasi dan penyelidikan keberadaan masyrakat, telah ada aturan pengajuan proposal, telah ada harapan aspirasi mereka akan didengarkan tetapi belum ada

jaminan aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.

5. Placation (penentraman) berarti bahwa komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah; mempersilahkan masyarakat memberikan saran ataupun merencanakan usulan kegiatan tetapi tetap menahan kewenangan untuk menilai kalayakan dan keberadaan usulan tersebut.

Tiga tangga teratas dikategorikan dalam jenjang kekuasaan masyarakat dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan masyarakat.

Pada jenjang ketujuh dan kedelapan, masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh untuk mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.

1. Partnership (kemitraan) adalah kondisi dimana pemerintah dan

masyarakat merupakan mitra sejajar; kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik perencanaan dan pemegang kekuasaan dalam pengambilan keputusan telah berada di keduanya, adanya kesempatan untuk bernegosiasi dan bersepakatoleh masyarakat lemah.

2. Delegated Power (pendelegasian kekuasaan) berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri

beberapa keperluannya, masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas tanggungjawab keberhasilan program.

3. Citizen Control (pengawasan oleh warga) bermakna bahwa masyarakat menguasai kebijakan publik mulai dari perumusan, kurang menegaskan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat.

2.3.2 Pembagian jenjang partisipasi menurut Danny Burns

Berpendapat Burns apabila pemerintah ingin meningkatkan partisipasi masyarakat, terlebih dahulu harus diketahui sampai dimana keberadaan partisipasi masyarakat tersebut. Burns dkk (1994:161) berpendapat bahwa memodifikasi model Arnstein yang dirasakan lebih tepat terhadap kebutuhan publik (kewenangan masyarakat lokal) dalam rangka mengembangkan partisipasi masyarakat, pemberdayaan dan perubahan pemerintahan daerah, didasari oleh:

1. Introducing more rungs we run the risk of making model over-elaborate and we would encourage readers to delete rungs and/or add rungs to suit their own situation. (Memperkenalkan beberapa ruang dengan mengambil resiko model ini terkesan lebih rumit dan menganjurkan pembaca untuk menghapus atau menambahkan ruang sesuai dengan situasi).

2. As with models, the diagram simpifies a much more complex reality. Thus some public institutions will have their ‘feet’ on several rungs at once.

kompleks dimana beberapa institusi dapat berada pada beberapa ruang pada saat yang bersamaan).

3. There is danger that the model may take on persciptive tone, implying that all councils should climb to very top the ladder as quickly as possible.

(Kekhawatiran model ini dapat membuat persepsi yang berbeda dimana setiap dewan/instansi harus meraih jenjang partisipasi yang paling tinggi secepat mungkin).

Hasil kajian berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan adanya kemungkinan atau peluang untuk menambah jenjang antara tangga partisipasi yang satu dengan yang lainnya walaupun terkesan lebih rumit dan memberikan kebebasan untuk menghapus ataupun menambah jenjang menurut situasi yang ada, masih adanya permasalahan yang kompleks dalam penentuan jenjang partisipasi hal ini dikarenakan adanya karakteristik yang bisa diasumsikan lebih dari satu jenjang pada saat bersamaan dan upaya dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di setiap tangga dibutuhkan cara yang berbeda-beda. Burns juga menyatakan bahwa kualitas partisipasi masyarakat tidak harus menempati tangga tertinggi dalam waktu yang sangat cepat, semuanya harus didasarkan situasi dan kondisi masyarakat serta ditekankan pentingnya membedakan secara jelas antara partisipasi dengan kontrol masyarakat.

Hasil kajian berdasarkan delapan tangga partisipasi masyarakat yang dirumuskan oleh Arnstein serta pemetaannya terhadap ruang kekuasaan masyarakat, Burns melakukan modifikasi terhadap konsep Arnstein dalam rangka

mengembangkan partisipasi masyarakat dan perubahan pemerintahan daerah. Modifikasi terhadap “A Ladder of Citizen Participation” Arnstein tersebut yang disebut juga “A Ladder of Citizen Empowernment” yang menambahkan ruang pada jenjang partisipasi satu dengan yang lainnya serta menjabarkan kemungkinan adanya perbedaan pembagian ruang jenjang partisipasi pada penilaian oleh pemerintah daerah atau instansi lainnya.

Pembagian jenjang partisipasi oleh Burns, dkk yang terdiri dari 12 jenjang tersebut, dapat dilihat pada gambar 2.2.

1. Civic Hype

2. Cynical Consultation

3. Poor Information Citizen Non Participation 4. Costumer Care

--- 5. High Quality Information

6. Genuine Consultation

7. Effective Advisory Decision Making Citizen Participation 8. Partnership

9. Delegate Control

--- 10. Entrusted Contorl

11. Interdependent Control Citizen Control

Gambar 2.2. A Ladder of Citizen Empowerment oleh Burns, dkk Sumber: Danny Burns (1994:162-163)

Untuk lebih jelasnya setiap jenjang partisipasi masyarakat menurut Burns digambarkan sebagai berikut:

Keempat jenjang (Civic Hype, Cynical Counsultation, Porr Information Dan Costume Service) ini tidak boleh diabaikan, manipulasi informasi berkembang dari empat keadaan ini.

1. Civic Hype, peranan pemerintah terlalu besar, hampir menguasai seluruh segi kehidupan pemerintahan sehingga masyarakat sama sekali tidak mempunyai pernanan dan bersifat pasif. Pada jenjang ini pemerintah daerah melakukan sosialisasi informasi, baik kepada masyarakat setempat maupun kepada pihak luar mengenai daerahnya, namun informasi tersebut bersifat manipulatif dan berbentuk propaganada. Pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi obyektif daerahnya. Contoh, propaganda untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Cynical Consultation, partisipasi masyarakat masih cenderung rendah

tetapi pemerintah daerah telah membuka diri untuk menerima kritik dari masyarakat. Pada jenjang ini pemerintah daerah telah melakukan per- temuan konsultasi dengan masyarakat mengenai suatu masalah atau program tertentu, namun dalam pertemuan tersebut tidak menyentuh topik-topik yang substansif. Contohnya, pemerintah daerah melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat untuk memutuskan nama dari suatu jalan yang akan dibangun, bukannya membahas hal-hal yang bersifat strategis, seperti perencanaannya, tujuan maupun pembiayaan- nya.

3. Poor information, masyarakat tidak diberikan informasi kebijakan dan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, informasi tersebut lebih dikonsumsi oleh pemerintah dan legislatif. Pada jenjang ini masyarakat sulit atau tidak bisa mendapatkan informasi atau data- data yang akurat, valid dan obyektif mengenai daerahnya atau hal-hal apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena tidak dilakukannya penerbitan informasi atau data dan juga disebabkan oleh sulitnya masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut.

4. Costumer Area. Pada jenjang ini pemerintah daerah membentuk sejenis unit pelayanan pengaduan. Jika pengaduan-pengaduan masyarakat, misalnya mengenai buruknya pelayanan pemerintah, melalui unit pelayanan pengaduan tersebut diabaikan maka pada jenjang ini terjadi

“pseudo consultation” (konsultasi palsu). Namun sebaliknya, jika pengaduan masyarakat tersebut ditindaklanjuti dan membuahkan hasil, misalnya terjadi perbaikan dalam pelayanan pemerintah maka pada jenjang ini dapat digolongkan dalam partisipasi. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat memiliki informasi yang cukup mengenai berbagai kegiatan pemerintahan atau mulai dilakukannya transparansi. Walaupun pada dasarnya program costumer care ditujukan untuk meredam ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah.

b) Masyarakat yang partisipatif

Dalam jenjang masyarakat yang dikatakan telah berpartisipasi secara garis besar dibedakan dalam lima jenjang, yaitu informing dan consultating,

decentralised decision making serta partnership dan delegated control. 1. High Quality Information

Pada jenjang ini terjadi sosialisasi informasi yang berkualitas, baik dilihat dari proses maupun materi yang disampaikan pemerintah kepada masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah dokumen, standar pelayanan pemerintah, kontrak kerja antara masyarakat (pihak swasta atau semi swasta) dengan pemerintah daerah maupun prediksi-prediksi pencapaian di tahun mendatang atas pelaksanaan suatu bidang pemerintahan atau pelayanan pemerintah.

Sebagai dampak dari sosialisasi informasi-informasi tersebut maka akan mendorong terjadinya proses dialog atau konsultasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat setempat yang lebih menyentuh substansif permasalahan. Keterbukaan pemerintah daerah dalam hal ini telah memberikan peluang yang luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pemerintahan, baik dalam hal pemantauan, evaluasi ataupun mengajukan tuntutan-tuntutannya. Dengan demikian, dalam proses konsultasi tersebut masyarakat dapat memberikan input yang signifikan bagi pemerintahan daerah.

2. Genuine Consultation, diskusi antara pemerintah dengan masyarakat telah ada dan telah berjalan sebenarnya. Dimana masyarakat telah memberikan masukan kepada pemerintah sebelum suatu kebijakan diambil walaupun tidak ada kepastian pemerintah akan melaksanakan atau tidak melaksanakan masukan tersebut. Pada jenjang ini, dalam tahap (consultation) genuine dilakukan improvisasi untuk meningkatkan kualitas konsultasi, dilihat dari substansi pembahasan dan prosesnya antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Misalnya, konsultasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat dilakukan dalam merancang peraturan atau sebelum proses konsultasi dilakukan maupun sebelum suatu program diorancang pemerintah daerah terlebih dahulu melakukan jejak pendapat masyarakat.

Sedangkan peningkatan dari (consultation) genuine menghasilkan perubahan struktural yang melahirkan lembaga kemasyarakatan. Sebagai contoh dibentuk berbagai badan atau komite masyarakat yang berfungsi sebagai penasehat pemerintah daerah dalam rangka membuat kebijakan atau melaksanakan program-program pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat yang bersangkutan. Namun komite ini juga memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya hubungan (koordinasi) langsung antara komite tersebut dengan institusi pemerintah daerah yang menentukan suatu kebijakan.

3. Effective Advisory Bodies, Batasan signifikan antara jenjang 6 & 7 adalah kekuatan masyarakat, melibatkan group yang fokus, memilih topik permasalahan, memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di masa yang akan datang, pada jenjang ini, peningkatan dari keberadaan badan atau komite penasehat masyarakat yang dapat berfungsi secara efektif akan mendorong partisipasi badan atau komite tersebut dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut operasional, penggunaan sumber daya bahkan dapat menyentuh tataran strategis. Namun demikian, tidak ada satu ketentuanpun bagi pemerintah daerah untuk memasukkan pendapat komite masyarakat tersebut ke dalam kebijakan yang akan dibuat, artinya hasil dari dialog tersebut tidak mengikat pemerintah daerah.

4. Limited Decentralised Decision Making (Desentralisasi Pengambilan Keputusan)

Pada tahap ini masyarakat telah menunjukkan inisiatif mereka dan telah ada transfer atau setidaknya pemberian wewenang untuk mempengaruhi pemerintah. Telah ada organisasi/perkumpulan masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah dalam mengambil keputusan. Organisasi tersebut melaksanakan hal-hal seperti mengajak masyarakat untuk bersatu, mendiskusikan persamaan persepsi bagaimana pelayanan beroperasi, memberi pandangan apa yang terjadi saat ini, memberi masukan apa yang dapat dan harus dilakukan untuk memperbaiki

keadaan saat ini. Memutuskan dan mengambil keputusan untuk langkah aksi, melihat bagaimana perkembangan dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Pada jenjang ini, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan telah meningkat pada kontrol masyarakat terhadap operasional maupun sumber daya dengan kerangka yang spesifik dan terbatas. Pemerintah daerah mulai melakukan pengalihan manajerial pengelolaan program pemerintah kepada masyarakat di samping itu, setidak-tidaknya terjadi proses transfer kekuasaan (kewenangan), dimana masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan, terutama melalui mekanisme negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah daerahnya.

5. Partnership Limited, pada jenjang ini, pemerintah daerah dan masyarakat mitra yang sejajar, dan kemudian berkembang pada pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah atau unit-unit pemerintahan daerah dengan kelompok-kelompok masyarakat dengan kerangka yang spesifik. Selain itu, pemerintah daerah membangun strategi bottom up.

6. Delegated Control, pada jenjang ini operasional pengambilan keputusan telah dibedakan secara internal (pemerintah) dan eksternal (masyarakat) dimana pemerintah memisahkan kewenangan tertentu kepada masyarakat mana dapat diawasi atau tidak diawasi dan dimana pada

tahap ini kewenangan kontrol masih dimiliki oleh pemerintah. Pada jenjang ini, tahap (control) delegated masuk ke dalam partisipasi sedangkan tahap kontrol masuk ke dalam jenjang citizen control. Secara umum, dalam jenjang ini kontrol yang substansial didelegasikan kepada masyarakat daerah atas pembuatan kebijakan maupun pelaksanaannya, namun harus tetap mengacu kepada kebijakan strategis, seperti standarisasi yang ditetapkan pemerintah daerah serta kerangka pendelegasian kontrol yang ditentukan secara terpusat.

c). Masyarakat yang memiliki kontrol

Pada jenjang 11 & 12 masyarakat telah mempunyai kekuasaan untuk mengatur program, institusinya tidak tergantung oleh pemerintah daerah atau badan lainnya.

1. Entrust Control, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur sebuah program, area dan institusi. Pemerintah masih mempunyai kontrol masyarakat yang sesungguhnya telah ada pada jenjang 10 ke bawah, tetapi belum jelas. Pada jenjang ini, peningkatan dari kontrol masyarakat telah mewujudkan terbentuknya suatu institusi atau organisasi yang otonom secara legal untuk menguasai pembuatan maupun implementasi kebijakan terhadap suatu atau beberapa bidang tertentu, namun institusi ini masih tergantung pada alokasi dana dari pemerintah daerah yang hanya berperan pada tataran strategis.

2. Interdependent Control

Hubungan pemerintah dengan masyarakat meningkat berdasarkan kepercayaan dan saling ketergantungan dibandingkan dengan kontrol hierarki ataupun pasar. Dimana pada jenjang ini mempertimbangkan transformasi yang fundamental antara negara dan pasar ekonomi di satu sisi dan anggota masyarakat disisi lain. Pada jenjang ini, institusi yang diprakarsai masyarakat yang terlibat dalam menguasai (mengontrol) pembuatan kebijakan maupun implementasinya secara penuh mendapatkan otonomi, baik legal maupun finansial dari pemerintahan daerah, hubungan dengan pemerintah daerah dilakukan melalui koordinasi dengan jaringan kerja sama.

Partisipasi sehubungan dengan pemisahan jenjang partisipasi tersebut terdapat asumsi bahwa semakin tinggi jenjang partisipasi diartikan semakin baik dan efektifnya pelibatan masyarakat yang tinggal di wilayah atau penduduk yang mempunyai daerah, walaupun terkadang upaya pencapaian jenjang tertinggi bukan merupakan tujuan utama, hal ini seperti diungkapkan dalam Engaging The Community (1998) “Sometimes it is not appropriate to reach the top of the ladder, such as when advertising of a project is all that is required” . (Terkadang tidak tepat untuk meraih jenjang tertinggi dari jenjang partisipasi sebagaimana yang diharapkan dari keberadaan sebuah proyek).