• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasar Nagari dan Keterlibatannya dalam Jalur Perdagangan Internasional Sejak Abad XVIII hingga Sekarang Ini

PASAR NAGARI SEBAGAI AJANG PERTUKARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MINANGKABAU

5.3. Pasar Nagari dan Keterlibatannya dalam Jalur Perdagangan Internasional Sejak Abad XVIII hingga Sekarang Ini

Keterlibatan pasar nagari di wilayah pedalaman Minangkabau dengan kegiatan perdagangan Internasional di wilayah pesisir2 dapat dilihat dari jenis

2

Keterlibatan pasar nagari, atau wilayah pedalaman Minangkabau dalam jaringan perdagangan luar (dunia) menurut Dobbin (1992) sudah dimulai sejak abad ke-14, dimana emas menjadi komoditi

komoditi ekspor tanaman perkebunan yang dibawa ke pelabuhan Teluk Bayur Padang (Emmahaven) untuk dikirimkan ke beberapa negara Eropah oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Komoditi ekspor utama Sumatera Barat sejak tahun 1860 tercatat adalah kopi, kayu manis, gambir, tembakau dan kopra. Semua komoditi itu juga telah menjadi komoditi utama yang diperdagangkan di pasar nagari, yang kemudian diangkut ke Padang melalui angkutan kereta api (Abrar, 2001:40-76). Bukti-bukti keterkaitan aktifitas perdagangan di pasar nagari dengan kegiatan ekspor di pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) adalah sampai saat ini masih banyak ditemui bekas-bekas gudang pemerintahan kolonial Belanda di pasar nagari Rao-Rao, Sungai Tarab dan Baso, untuk mengumpulkan dan menyimpan sementara komoditi ekspor yang di beli dari pedagang dan petani di pasar-pasar nagari. Pada umumnya lokasi pasar nagari saat ini, dahulu merupakan lokasi gudang pemerintah kolonial Belanda untuk pengumpulan komoditi kopi, gambir, dan kayu manis pada masa Sistem Tanam Paksa Kopi (1847) di Minangkabau diterapkan. Artinya, pasar nagari telah menjadi wilayah sentra aliran komoditi eksport sampai ke pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) Padang, seperti kopi, kayu manis, gambir dan kopra yang sangat dibutuhkan oleh perdagangan dunia.

Ada beberapa hal yang membuat aktifitas ekonomi di pasar nagari terkait dengan aktifitas ekonomi supra nagari dan bahkan aktifitas ekonomi dunia. Pertama adalah pola merantau yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Kedua adanya jenis komoditi yang laku di pasar dunia, Keduanya ternyata telah memberikan dampak ikutan (contagion effect) bagi berkembangnya sistem

perdagangan yang sangat penting (1347-1795), bahkan dikatakan perdagangan emas saat itu di dukung oleh kerajaan Pagarruyung dengan melibatkan para pengawal bersenjata istana untuk melindungi kafilah dagang dari para perampok dan pemeras, menuju tempat-tempat dagang di sungai-sungai besar sebelah Timur atau ke daerah pantai Barat. Disini terjadi pertukaran emas dengan besi—yang banyak dipakai untuk pembuatan alat-alat untuk mengerjakan penambangan dan pertanian. Dijelaskan bahwa secara umum pada saat itu perdagangan emas di Minangkabau sangat tidak terpusat dan berada dalam tangan pedagang yang lebih banyak jumlahnya di bandingkan dengan barang yang di perdagangkan. Pedagang ini oleh Belanda di bedakan atas dua kelompok yakni pelaksana kaya (pedagang kaya) dan pelaksana miskin (pedagang miskin), dimana klasifikasi ini diberikan berdasarkan strategi membeli yang dipakai mereka setelah sampai di pantai. Dengan sistem perdagangan beranting inilah muncul pemain baru yang dianggap sebagai kunci hubungan antara penjual pedalaman dengan pedagang asing-- yang dikenal dengan pialang pantai-- yang biasanya adalah orang kaya mapan atau penghulu kaum. Pada Abad ke 17 terjadi perobahan dengan dimulainya pembudidayaan suatu tanaman dagang yang bernilai tinggi dalam perdagangan internasional di sepanjang pantai Barat Sumatera, untuk pertama kali sebagian dari wilayah Minangkabau menjalankan peran baru, dan mulai sebagai penghasil utama lada dan tanaman perkebunan lainnya (untuk lebih jelasnya baca Dobbin, 1992, hal 69-118).

perekonomian kapitalis di tengah masyarakat Minangkabau. Banyak ditemui pelaku ekonomi (aktor) utama di pasar nagari adalah mereka yang telah melakukan perantauan ke supra nagari dan telah terlibat dengan aktifitas perdagangan dalam perekonomian inter-regional.

Selama menjalani perantauan, orang Minangkabau berusaha menyerap segala pengetahuan dan keterampilan yang dianggap baik untuk dikembangkan di nagari kelak apabila mereka telah berhasil dalam artian memiliki modal untuk kembali ke nagari, merebut kedudukan sebagai orang terhormat dengan menjadi penghulu dan anggota KAN, atau jabatan lainnya di pemerintahan nagari. Di samping itu, pekerjaan utamanya adalah menjadi pedagang atau membuka kios di pasar nagari. Dengan pengalaman selama di perantauan telah menjadi modal yang kuat untuk mengembangkan usaha dagangnya membangun relasi sosial dan ekonomi dengan aktor-aktor lain baik dilingkup nagari maupun dilingkup supra nagari.

Kemampuan membaca permintaan pasar supra-nagari dan pasar Internasional inilah yang membuat mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Sehingga dengan cepat terjadi akumulasi modal karena orang-orang yang sudah pulang dari rantau inilah yang mampu membuat terobosan-terobosan ekonomi untuk pengembangan ekonomi rumahtangganya dengan sistem monopoli alamiah. Sehingga dengan meminjam istilah Geertz (1963), merekalah penny capitalism (kapitalisme kecil) di wilayah nagari.

Secara historis, munculnya perdagangan dari pasar nagari ke jalur perdagangan global telah dihubungkan oleh adanya pedagang keliling (peddler)

yang membawa barang dangangan dari suatu pasar nagari ke pasar nagari lainnya, sehingga sampai ke wilayah pelabuhan. Perjalanan para pedagang keliling ini dahulu dilakukan dalam bentuk rombongan dengan menggunakan alat transportasi darat yang sederhana dalam bentuk pedati3. Para pedagang keliling ini, disamping menjual barang dagangannya seperti alat-alat rumahtangga, peralatan pertanian,

3

Pedati adalah sejenis alat transportasi yang ditarik oleh seekor kerbau atau sapi yang digunakan untuk membawa barang dagangan dari suatu kota ke kota lain. Begitu jauhnya jarak tempuh, sehingga se empunyanya pedati harus menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke tujuan. Alat transportasi ini digunakan sebelum kendaraan mobil antar kota ramai digunakan.

dan lain sebagainya, mereka juga membeli komoditi khas sebuah pasar nagari untuk dijual lagi ke pasar nagari berikutnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, karena kemudahan aksessibilitas dan infrastruktur transportasi, maka perdagangan keliling sudah tidak ada, tetapi pedagang yang datang ke setiap pasar nagari untuk mengelar barang dagangannya, kemudian kembali ke nagarinya, hal itu masih berlanjut sampai saat ini. Bahkan, para pedagang pasar nagari ini bertindak sebagai supplier untuk barang-barang kebutuhan penduduk yang bersumber dari wilayah supra nagari seperti kebutuhan garam, ikan kering, dan hasil laut lainnya

Pada saat sekarang pedagang keliling (antar pasar nagari) masih ditemui terutama pada komoditi cassivera, barang-barang kelontong, pedagang kain, dan pedagang emas, tetapi sudah menggunakan kendaraan sendiri untuk berjualan dari satu pasar nagari ke pasar nagari berikutnya, sesuai dengan hari di bukanya pasar nagari.

Kemudian bila dilihat dari sisi masyarakat nagari sendiri, pada umumnya masyarakat nagari menjadikan mata pencaharian berdagang sebagai pekerjaan tambahan di luar usaha tani, bahkan tidak sedikit penduduk nagari yang mengkhususkan diri memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang ke wilayah supra nagari. Hal ini dapat ditemui pada jenis komoditi tomat, cabe, pisang, dan lobak. Kebanyakan responden penelitian ini merupakan pedagang yang membeli hasil pertanian penduduk (galeh mudo) kemudian dijual ke wilayah lain seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Pakan Baru, Kerinci, dan Jambi.

Tingginya arus mobilitas penjualan komoditi hasil pertanian penduduk nagari untuk jenis tanaman mudo ini, mengikuti pola mobilitas dan alur perdagangan komoditi tanaman tua yang menjadi andalan utama masyarakat nagari untuk mendapatkan uang dengan jumlah yang lebih besar. Nagari-nagari yang memiliki dua pola pertanian padi sawah dan pertanian lahan kering ini memberikan dua hasil pertanian yang sama-sama dipasarkan ke luar wilayah nagari. Sejak semakin baiknya infrastruktur pertanian di wilayah pedesaan di setiap nagari di Sumatera Barat, maka akses menuju sentra-sentra produksi untuk komoditi tanaman muda dan tanaman tua semakin mudah. Sehingga sistem pemasaran bagi sistem pertanian penduduk ini semakin terbuka dan bersentuhan dan berintegrasi langsung dengan jaringan perdagangan supra lokal, yang dapat dilihat pada gambar 8.

Berdasarkan gambar 9 di bawah, terlihat bahwa untuk komoditi tanaman mudo, setiap pasar nagari saling berinteraksi satu sama lain dan berakhir pada kota-kota propinsi seperti Medan, Padang, Kerinci, Jambi dan Pakan baru. Sedangkan untuk tanaman tua terutama kayu manis, nagari Salimpaung merupakan sentra jaringan perdagangan kayu manis yang bermuara pada tiga kota propinsi sebagai pelabuhan ekspor yakni Padang, Pakanbaru dan Medan. Nagari Salimpaung sebagai sentra perdagangan lebih disebabkan oleh sebagian besar (28,6 persen) pedagang kayu manis berasal dari nagari Salimpaung, kecuali untuk pasar Baso.

Gambar: 9 Aliran Komoditi Perdagangan dari Pasar Nagari ke Pasar Dunia

Alasan lain adalah bahwa memang secara historis pasar nagari Salimpaung dahulu merupakan lokasi gudang-gudang perdagangan kayu manis pada masa kolonial Belanda, dan dilanjutkan setelah kemerdekaan, adanya kerjasama dengan pemerintah Jerman melalui Agriculture Development Project (ADP) tahun 1974-1983 dengan mendirikan gudang pembelian kayu manis di pasar nagari Salimpaung.

Sehingga, jalur perdagangan kayu manis ini secara historis berpusat di wilayah sentra produksi nagari Salimpaung dan sekitarnya. Proyek ADP kemudian dilanjutkan dalam bentuk Koperasi rempah rempah (KPRR) di Salimpaung yang berhasil memiliki lisensi ekspor (1983). KPRRlah yang kemudian membeli kayu manis rakyat untuk langsung dikirim ke Padang untuk di ekspor.

Jadi secara historis, pasar nagari Salimpaung telah menjadi penyupply

terbesar kayu manis untuk kepentingan eksport kayu manis Sumatera Barat melalui proyek ADP dan KPRR. Bahkan sejak tahun 2003 sampai saat ini lisensi ekspor ini diteruskan oleh perusahaan Sentosa Alam Sejahtera (CV. SAS) yang merupakan bentuk usaha kerjasama (joint venture) antara Dinas Koperindagtam Kabupaten Tanah Datar dengan salah seorang pedagang kayu manis di nagari Salimpaung dengan menempati lokasi lahan bekas ADP/KPRR dahulu.

Tabel 19 Pedagang Kayu manis Berdasarkan Pasar yang Dikunjungi

Pasar Nagari yang Dikunjungi

No Asal Nagari Jumlah

Pedagang Tabek Patah Salimpaung Rao-Rao Sungai Tarab Baso 1. Salimpaung 14 8 6 10 2 6 2. Tabek Patah 4 4 - 3 - -3. Rao-Rao 4 - - 4 - -4. Sungai Tarab 4 1 2 2 4 -5. Baso 23 - - - - 23 6. Lainnya 6 3 2 4 2 6 Jumlah 55 16 10 23 8 35

Sumber Hasil Penelitian, 2006 (data diolah)

Berdasarkan tabel 19 di atas memperlihatkan bahwa dari kategori asal pedagang, jumlah pedagang Salimpaung lebih dominan di kabupaten Tanah Datar, yakni sebanyak 14 orang (25 persen) atau 43,8 persen dari pedagang kayu manis yang ada di Kabupaten Tanah Datar.

Kemudian para pedagang yang berasal dari nagari Salimpaung ini juga terlihat lebih aktif sebagai pedagang antar pasar nagari. Mereka selalu atau dapat dijumpai pada semua pasar nagari yang memperdagangkan kayu manis. Pada pasar-pasar nagari yang berada di kabupaten Tanah Datar, maka perdagangan kayu manis di dominasi oleh para pedagang yang berasal dari nagari Salimpaung. Pasar nagari yang paling banyak dikunjungi oleh pedagang kayu manis Salimpaung

adalah pasar nagari Rao-Rao (43,5 persen), pasar nagari Tabek Patah (50 persen), dan pasar nagari Baso (17,1 persen).

Dalam pada itu, yang lebih menarik adalah pedagang yang berasal dari nagari Baso yang berjumlah 23 orang dan di dominasi oleh ibu-ibu (86,9 persen). Mereka hanya berdagang di Pasar Baso saja. Dari 35 orang pedagang yang terlibat dalam perdagangan kayu manis di pasar nagari Baso, sebanyak 65,7 persen adalah pedagang Baso itu sendiri dan 17,1 persen berasal dari Salimpaung dan sebanyak 17,1 persen adalah pedagang besar yang datang ke Pasar Baso.

Dominannya kaum ibu-ibu sebagai pedagang kayu manis di nagari Baso dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut: Pertama; dari keterkaitan struktur mata pencaharian penduduk dengan jumlah kepemilikan lahan, ternyata hanya 23 persen penduduk yang memiliki lahan sawah dan 13,4 persen yang memiliki ladang, berarti hanya 36,6 persen penduduk nagari Baso menguasai lahan pertanian, dan sebanyak 7,3 persen penduduk bergerak di sektor pertanian tetapi tidak memiliki lahan, mereka adalah petani penyewa/penyakap. Sebagian dari mereka inilah yang menjadi pedagang di pasar Baso. Hal ini sejalan dengan rata-rata luas lahan sawah dan ladang yang dimiliki oleh ibu-ibu pedagang Baso yang hanya 0,25 ha/kk. Kemudian dari hasil wawancara dikatakan kenapa ibu-ibu ini turun langsung berjualan kayu manis di pasar nagari Baso, dikatakan adalah untuk membantu suami atau untuk meneruskan usaha suami yang skala usahanya semakin besar. Artinya, terjunnya ibu-ibu ke sektor komersial ini—dari perannya sebelumnya lebih pada sektor domestik—lebih didasarkan atas dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin tinggi dan beragam.

Kedua; petani yang datang membawa kayu manis pada umumnya adalah perempuan dengan waktu panen tidak menentu, volume penjualan yang relatif kecil, sehingga kayu manis dijual hanya untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Volume penjualan yang kecil/sedikit dapat dibawa oleh ibu-ibu ke pasar untuk kemudian langsung digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Tipe penjual dari kaum ibu-ibu ini lebih cocok dihadapi oleh tipe pembeli ibu-ibu pula, karena keduanya lebih betah menghadapi alotnya transaksi jual beli. Biasanya pedagang laki-laki cepat jenuh menghadapi penjual kaum ibu-ibu yang sangat alot yang menghabiskan waktu lebih kurang 30-60 menit dalam bertransaksi. Itulah

sebabnya lebih memberikan kesempatan pada istrinya untuk membantu melakukan transaksi dengan kaum ibu-ibu lain.

Ketiga; nagari Baso dan kabupaten Agam umumnya adalah nagari yang didominasi oleh tradisi/budaya politik Bodi-Caniago yang lebih demokratis dan egaliter, baik secara internal masyarakat maupun secara eksternal. Dalam pembagian kerja rumahtangga, nagari di bawah tradisi Bodi-Caniago memegang prinsip bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan tugas yang sama dalam mencari nafkah rumahtangga, istri tidak selalu menjadi tanggungjawab sepenuhnya suami, melainkan juga saudara laki-lakinya (mamak). Sementara, pergeseran peran mamak kepala rumah dan kaum yang mulai berkurang, telah mendorong istri (perempuan) menjadi lebih proaktif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Istri (perempuan) terkadang telah muncul sebagai pribadi tangguh, yang merasa bertanggung jawab menyelamatkan ekonomi rumah tangga, apalagi jika telah ditinggal suami, baik ditinggal hidup atau mati.

Peneliti melihat dari sudut pandang sosiologi keluarga, dapat dijelaskan bahwa fenomena lebih dominannya perempuan Minangkabau terjun ke sektor publik sejak dulu, seperti amai-amai pedagang beras, kain, kayu manis, dan lain-lain adalah dikarenakan bahwa untuk kehidupan idealnya, dalam masyarakat Minangkabau, seorang perempuan Minang dan anak-anaknya harus dilindungi dan di urus oleh mamaknya (saudara laki-laki ibu). Tetapi faktanya sekarang, mereka tidak lagi diurus dan dilindungi sebagaimana mestinya, terutama dari segi sosial-ekonomi. Ini disebabkan si mamak secara sosial-ekonomi juga harus mengurus kebutuhan istri dan anak-anaknya yang (kadang kala) tidak memiliki harta pusaka yang memadai untuk diolah.

Dalam kondisi tersebut, cenderung perempuan Minang terpaksa atau berusaha menanggung beban untuk mencukupi dan melindungi anak-anaknya secara sosial-ekonomi dalam keseharian. Memang dalam budaya Minangkabau, yang garis keturunan ditarik dari garis ibu (sistem matrilinial), menjadikan perempuan memiliki posisi yang khas dalam tatanan adat, seperti, sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan, rumah tempat kediaman diutamakan untuk perempuan, perempuan sebagai tempat penyimpan hasil ekonomi atau sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan harta kekayaan. Akan tetapi dalam kondisi masyarakat yang sedang mengalami perobahan, dan semangkin terintegrasinya

masyarakat Minangkabau ke dalam perekonomian dunia (ekonomi kapitalis) yang berorientasi pasar, telah membawa pergeseran dalam sendi-sendi utama kehidupan masyarakatnya. Pergeseran dan desakan kebutuhan inilah yang menjadikan ibu-ibu (untuk kasus pedagang kayu manis) di pasar Baso berusaha terjun kesektor publik yang selama ini didominasi kaum laki-laki. Mereka harus tampil sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga, sekalipun pada sektor yang jarang di geluti atau asing untuk kaum perempuan. Dalam perjalanan waktu mereka tampil sebagai kelompok pedagang yang dominan dan mengalahkan dominasi laki-laki atas komoditi ini sebelumnya. Memang dalam tradisi/kelarasan Bodi-Caniago, yang menganut paham demokratis dan egaliter, telah memungkinkan perempuan memiliki ruang atau kesempatan untuk tampil ke sektor publik, mendobrak dominasi laki-laki. Sejarah telah membuktikan dari daerah ini bahkan kaum perempuan telah terjun di medan pertempuran sebagai pemimpin perang di era kolonial sebut seperti: Siti Mangopoh dan Rohana Kudus dari Agam.

Gambar 10 Keterkaitan Pasar Nagari dengan Perdagangan Supra Nagari dan Eksportir

Gambar 10 di atas memperlihatkan bagaimana keterkaitan pasar nagari dengan aliran komoditi perdagangan kayu manis di daerah penelitian. Pasar nagari terutama pasar nagari Salimpaung, Rao-Rao, Tabek Patah, Sungai Tarab, dan Baso

merupakan pasar nagari yang menjadi mata rantai jalur perdagangan kayu manis Sumatera Barat. Pada saat penelitian ini dilakukan, ada tiga kelompok yang berbeda yang bermain dan menghubungkan pasar nagari dengan kegiatan eksportir kayu manis, yaitu: Pertama; pedagang pengumpul tingkat nagari dan kecamatan melakukan pembelian di rumah dan di pasar nagari, dan kemudian dijual ke pedagang besar tingkat kabupaten (pedagang supra lokal). Kedua, Pedagang pengumpul tingkat kabupaten, disamping melakukan pembelian kayu manis pada petani dan pedagang pengumpul di pasar nagari, mereka juga memiliki gudang-gudang penyimpanan kayu manis, dan melakukan prosesing sesuai dengan kualitas yang diminta oleh pihak eksportir di ibu kota Provinsi. Artinya mereka adalah mata rantai kedua setelah pasar nagari untuk sampai ke pihak eksportir. Ketiga adalah ADP (1974-1983), KPRR (1983-1993), dan sekarang “bermetamerfosis” menjadi “perusahaan joint venture” pedagang kayu manis dengan Dinas Koperindagtam dalam bentuk CV. SAS (2003-sekarang).

Keterkaitan pasar nagari ini dengan jaringan perdagangan dunia telah lama berlangsung. Dimulai sejak emas dan biji besi sebagai komoditi utama sampai kepada komoditi perkebunan kayu manis sebagai komoditi andalan untuk komoditi ekspor non migas. Keberlanjutan pasar nagari ini akan tetap terus bertahan karena pada saat sekarang, disamping komoditi kayu manis sebagai komoditi perdagangan yang berorientasi ekspor, komoditi tanaman mudo ((palawija) juga mulai memasuki babak baru dalam perdagangan pasar nagari dengan pasar supra lokal. Dimana sayur-sayuran dan buah-buahan yang dihasilkan dan dijual di pasar nagari, saat ini telah memasuki pasar supra lokal dalam bentuk antar kota dan antar provinsi seperti meningkatnya permintaan dari wilayah Pakan Baru, Jambi, Medan dan Dumai, setiap minggunya (Wawancara dengan pedagang, Maret 2006).