• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEPSI TEORI KE ARAH PENDEKATAN MASALAH

2.1. Pasar Sebuah Tinjauan Konseptual

Pasar telah di deskripsikan dalam sejumlah fenomena yang berbeda dan memiliki perjalanan semantik yang panjang. Istilah pasar awalnya berasal dari bahasa latin “mercatus”, yang berarti berdagang atau tempat berdagang. Ada tiga makna yang berbeda di dalam pengertian tersebut: 1) pasar dalam artian secara

fisik; 2) dimaksudkan sebagai tempat mengumpulkan; 3) hak atau ketentuan yang legal tentang suatu pertemuan pada suatu marketplace. Dikatakan bahwa pasar pada abad ke-16 mulai digunakan di dalam pengertian “membeli dan menjual secara umum”, juga diartikan sebagai penjualan (interaksi pertukaran) yang dikontrol oleh

demand dan supply (Oxford English Dictionary, 1989; 385 dalam Swedberg, 1995; 255). Nampaknya definisi yang terakhir inilah yang kemudian digunakan ilmu ekonomi hingga sekarang ini.

Pada abad ke-17, istilah pasar telah mulai diperluas, meliputi area geografis yang di dalamnya ada suatu permintaan terhadap produk tertentu. Ahli ekonomi kemudian menambahkan arti pasar itu sendiri sebagai mekanisme pembentuk harga (price-making mechanism) yang abstrak, yang memusatkan perhatiannya pada alokasi sumberdaya dalam ekonomi. Istilah pasar juga dalam jangka panjang telah mempunyai suatu beban ideology, yang direfleksikan dalam suatu slogan politik “the magic of the market” (Swedberg, 1994). Berbeda dengan makna yang diberikan oleh ahli ekonomi, para sosiolog memberikan makna yang lain, yakni pasar tidak hanya sebagai price-making mechanism, tetapi juga sebagai sebuah marketplace

yang memiliki makna sosial-ekonomi, budaya dan politik yang membentuk sebuah relasi sosial (Swedberg, 1994, 2002).

Dalam perjalanan sejarahnya, tidak diketahui kapan pasar pertama kali muncul, walaupun sejumlah pendapat mengatakan bahwa pasar telah bersamaan dengan munculnya perdagangan antara suku bangsa yang berbeda. Bahkan dari sejumlah penemuan arkeologi menunjukkan bahwa paling tidak sekitar 5000 tahun sebelum masehi, perdagangan telah hadir dimuka bumi ini (pada bangsa Sumeria, Babylonia dan Mesopotamia). Penjualan, dengan alat tukar batu obsidian dalam lingkup yang terbatas sudah ada saat itu, dan terjadi di tepi pantai, pinggir-pinggir sungai, atau di daerah padang pasir, disini suku bangsa pengembara telah bertemu dan duduk-duduk dalam waktu yang lama (Braudel, 1979 dalam Swedberg, 1994).

Perdagangan telah mewakili salah satu bentuk minoritas interaksi antara masyarakat manusia yang pertama. Pasar kelihatannya telah dihormati sebagai wilayah netral dan secara khas diposisikan di daerah perbatasan kedua masyarakat. Di pasar, penawaran secara tajam telah diperbolehkan dengan orang asing, tetapi biasanya tidak diizinkan di dalam komunitas sendiri, yang mempertukarkan barang

dengan sifat yang berbeda (Braudel, 1979, 1985 seperti yang dikutip Swedberg, 1994).

Dalam sejarah ekonomi Barat, pasar secara langsung dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, bukan semata-mata sebagai tempat pertukaran, namun berkaitan dengan kemajuan tekhnologi dan dihubungkan dengan revolusi industri, perubahan maha besar telah terjadi pada pasar, sepanjang abad ke-17 dan abad ke-18. Sebagai contoh, pasar nasional pertama, telah diciptakan melalui revolusi politik di Inggris. Dengan mulainya orang bekerja di pabrik-pabrik dan pindah ke kota-kota besar, pasar semakin berubah dalam bentuk dan fungsinya. Dan kemudian sebagai masyarakat kapitalis moderen, pasar telah tampil ke dalam bentuk: pasar uang, pasar konsumen, pasar tenaga kerja, dan pasar industri. Kondisi ini, telah membawa dampak secara sosial, ekonomi, politik dan keamanan dalam masyarakat Barat di abad pertengahan ini, dan selanjutnya membawa dampak terhadap daerah-daerah yang didatanginya dalam berbagai aspek.

Dalam bentuk lain, dari sudut pandang antropologi, Geertz (1963), mendefinisikan pasar—dilihat dari asal katanya—berasal dari kata Parsi bazaar (lewat bahasa Arab) yaitu suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya hidup dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat dan suatu dunia sosial-budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya. Jadi pasar dilihat sebagai sebuah gejala alami dan gejala kebudayaan dan dimana secara keseluruhan kehidupan masyarakat pendukungnya dibentuk oleh pasar. Jadi bagi Geertz, pasar memiliki arti yang sangat luas. Sehingga untuk melihatnya harus dari tiga sudut pandang yaitu:

1. Pasar sebagai arus barang dan jasa menurut pola-pola tertentu;

2. Pasar sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa, dan;

3. Pasar sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu tertanam (Geertz, 1963; 30-31).

2. 2. Model Pasar yang Dikembangkan dalam Teori Ekonomi

Tulisan ini menjelaskan bagaimana model tentang pasar digunakan dan dikembangkan oleh ahli ekonomi guna menjelaskan harga dari barang dan jasa. Begitu kompleksnya ruang ekonomi, maka para ekonom memilih untuk

mengabtraksikan kompleksitas dunia riil dengan membangun model yang sederhana untuk menangkap essensinya.

Beberapa model ekonomi dimulai dari asumsi bahwa para aktor ekonomi (individu, perusahaan, dan rumah tangga) yang dipelajari adalah bersifat rasional dalam mencapai tujuannya yakni memaksimumkan keuntungan (profit). Model tentang pasar dalam teori ekonomi dimulai dari teori tentang nilai komoditi (theory of value). Karena secara umum cenderung antara “value” disinonimkan dengan “price”, maka para ekonom sejak awal telah membedakan antara market price dari komoditi dengan valuenya. Istilah value kemudian dipikirkan sebagai sesuatu yang sinonim dengan “importance”, “essentially” atau kadang-kadang “godliness”. Sejak “price” dan “value” merupakan konsep yang terpisah, berbeda, akibatnya pada diskusi awal tentang ekonomi terfokus kepada perbedaan ini, terutama sejak zaman physiocrat seperti St.Thomas Aquinas, sampai Adam Smith (Nicholson, 1998).

Selama akhir abad ke-18, para philosof ekonomi telah mulai melakukan pendekatan ”scientific” pada ilmu ekonomi. Publikasi “The Wealth of Nations” oleh Adam Smith (1723–1790) telah dijadikan tonggak sejarah dimulainya teori ekonomi moderen. Dalam karya besarnya ini, Smith telah meletakkan fondasi untuk pemikiran tentang ‘kekuatan pasar’ dalam suatu aturan dan cara yang sistematik. Adam Smith dan para pengikutnya kemudian seperti David Ricardo (1772–1823) terus membedakan antara “value” dan “price”. Bagi Smith, ‘nilai’ dari komoditi berarti nilai dalam penggunaannya (value in use) dimana harga (price) mewakili nilainya dalam pertukaran (value in exchange). Pembedaan kedua konsep ini telah diilustrasikan oleh para ekonom yang terkenal dengan “water diamond paradox”. Air yang memiliki nilai yang sangat besar dalam kegunaannya, memiliki sedikit nilai dalam pertukarannya (mempunyai harga yang rendah), tetapi “diamond” dalam prakteknya sedikit gunanya, tetapi memiliki nilai yang besar dalam pertukarannya.

Dalam perkembangan selanjutnya konsep tentang nilai dalam penggunaannya telah ditinggalkan oleh ahli ekonomi dalam perdebatannya, dan lebih memfokuskan perhatian untuk menjelaskan penentuan nilai dalam pertukarannya “value in exchange” (yakni penjelasan relative price). Salah satu penjelasan yang ada adalah berasal dari teori tenaga kerja tentang nilai pertukaran “labor theory of exchange” (David Ricardo) bahwa nilai pertukaran dari barang adalah ditentukan oleh berapa biaya untuk menghasilkanya (what it costs to produce

them). Biaya produksi terutama dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja (labor costs). Muncul teori tenaga kerja tentang nilai (labor theory of value), sehingga “diamond” relatif mahal karena dalam memproduksi mereka dibutuhkan input tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan input tenaga kerja untuk mendapatkan air.

Selanjutnya bagaimana penjelasan tentang nilai pertukaran diaplikasikan, dapat diterapkan pada sumberdaya produksi lainnya? Bagaimana pembayaran sewa (rent) dan peralatan kapital dimasukkan ke dalam penentuan harga? Ricardo menjawab persoalan ini dengan analisis yang masuk akal, bahwa biaya penggunaan kapital dapat juga diperhatikan sebagai “labor costs”. Ricardo kemudian menjelaskan tentang “rent” dengan menteorikan bahwa “rent” bukanlah faktor penentu harga. Ia percaya bahwa nilai pertukaran dalam jangka panjang semata-mata ditentukan oleh labor cost dari produksi.

Selama tahun 1870-an para ekonom telah mengusulkan bahwa bukanlah total penggunaan sepenuhnya komoditi yang membantu untuk menentukan nilai pertukarannya, tetapi lebih dari itu adalah penggunaan sepenuhnya dari unit terakhir yang dikonsumsi. Pemikiran ini dalam sejarah teori ekonomi dikenal dengan masa revolusi kaum marginalist “marginalist revolution” dalam usaha untuk menjelaskan “water diamond paradox” sebelumnya. Kaum marginalist (seperti Alfred Marshall 1842 –1924) mendefinisikan kembali konsep tentang nilai dalam penggunaan dengan menggunakan suatu ide penggunaan sepenuhnya secara keseluruhan kepada penggunaan marginal (unit terakhir yang dikonsumsi), atau peningkatan penggunaan sepenuhnya dari suatu tambahan unit dari komoditi. Tambahan penggunaan dari suatu unit komoditi yang dikonsumsi, akan memperlihatkan sifat kelangkaan (scarcity) dari sumberdaya (resource) yang digunakan.

Konsep tentang permintaan sebuah peningkatan unit dari output sekarang telah dipertentangkan dengan analisis Ricardo tentang biaya produksi (production costs) dalam rangka untuk menurunkan suatu gambaran yang komprehensif tentang penentuan harga. Ricardo pada awalnya telah menyediakan suatu langkah pertama yang penting dalam diskusinya tentang rent. Ricardo telah menteorikan bahwa sebagaimana produksi “jagung” (sebagai contoh) telah meningkat, lahan dengan kualitas inferior akan digunakan, dan ini akan menyebabkan harga “jagung “ akan meningkat. Di dalam argumen Ricardo ini, secara implisit telah mengingatkan bahwa itu adalah marginal cost- yakni biaya untuk menghasilkan unit tambahan –

yang relevan pada harga. Teori tentang nilai tenagakerja dari Ricardo ini merupakan penjelasan bagaimana harga (price) ditentukan dari sisi penawaran (supply). Sementara penjelasan kaum marginalis tentang penentuan harga, merupakan penjelasan penentuan harga dari sisi permintaan (demand).

Jadi, pernyataan yang lebih jelas dari prinsip marginalis telah dikemukakan oleh Alfred Marshall dalam publikasinya “Principles of Economics”, (1890). Marshall telah memperlihatkan bahwa permintaan dan penawaran secara simultan telah beroperasi untuk menentukan harga. Sebagaimana Marshall katakan bahwa “anda tidak dapat mengatakan sisi gunting yang mana yang telah memotong kertas” atau anda tidak dapat mengatakan masing-masing demand atau supply yang menentukan harga secara sendiri-sendiri” harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran, sehingga inilah yang melahirkan konsep tentang pasar dalam ilmu ekonomi. Marshall (kaum marginalis) kemudian yang dianggap telah membawa konsep moderen tentang pasar dalam pemikiran ekonomi.

Model supply dan demand dari Marshall telah menyelesaikan kembali “water–diamond paradox” harga mencerminkan evaluasi marginal para konsumen (demander) terhadap suatu barang pada suatu tempat dan waktu, dan marginal cost

mencerminkan produksi dari suatu barang pada suatu tempat dan waktu tertentu. Dipandang dengan cara ini, disini tidak ada paradox, bahwa air lebih rendah harganya karena air memiliki “marginal value” dan “marginal cost” yang lebih rendah. Sementara ”diamond” lebih tinggi harganya karena ia memiliki marginal value yang lebih tinggi (karena orang bersedia untuk membayar semakin banyak butirnya) dan

marginal cost produksi yang lebih tinggi.

Model dasar supply-demand inilah yang mendasari analisis ekonomi tentang pasar, dimana keseimbangan supply-demand yang menentukan harga, dan dalam analisis teori ekonomi ini adalah keseimbangan partial, (partial equilibrium) yang membentuk pasar. Artinya pasar dalam teori ekonomi dilihat sebagai partial equilibrium dalam sistem pertukaran barang dan jasa, dimana terdapat keseimbangan supply dan demand atas barang dan jasa. Keseimbangan ini ditandai oleh penentuan harga dan kuantitas komoditi yang sesuai dengan keinginan masing-masing demander dan supplier. Dimana terdapat keseimbangan antara harga yang ditetapkan produsen dengan jumlah komoditi yang diinginkan konsumen, maka terbentuk harga pasar (market clearing prices) (Nicholson, 1998;3-29).

Artinya, pasar di dalam teori ekonomi bukan hanya mengacu kepada suatu lokasi dan waktu dimana terdapat keseimbangan supply dan demand dari suatu komoditi, tetapi lebih dari itu, essensinya adalah terdapatnya keseimbangan permintaan barang dan jasa melalui mekanisme harga, sehingga pasar bisa ada dimana saja dan waktu kapan saja. Oleh karena itu, dalam ilmu ekonomi berbeda antara pengertian pasar sebagai “tempat transaksi” (market place) dengan pasar sebagai “market clearing price”, yang terakhir inilah yang lebih sering menjadi perbincangan dalam teori ekonomi (Nicholson, 1998; 3-20).

Walaupun model Marshall (partial equilibrium model) telah menjadi peralatan yang berguna sepenuhnya dalam menjelaskan tentang pasar dalam ilmu ekonomi, tetapi hanya mampu menjelaskan pasar dalam perspektif yang relatif sempit dan analisis yang sederhana, dimana hanya mampu menjelaskan gejala ekonomi dalam satu komoditi, kemudian bagaimana pengaruhnya terhadap aktifitas ekonomi lain, komoditi lain, dalam keseluruhan aktifitas dan agen ekonomi, model keseimbangan partial tidak mampu menjawabnya.

Karenanya, teori ekonomi kemudian mengembangkan model keseimbangan umum (general equilibrium) yang telah dikemukakan oleh ekonom Prancis Leon Walras (1831-1910). Walras telah menghasilkan dasar bagi penyelidikan moderen dalam ilmu ekonomi. Metodanya telah mewakili ekonomi dengan sejumlah besar bentuk persamaan simultan yang menjadi dasar untuk memahami saling hubungan secara implisit dalam analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis). Walras telah mengingatkan bahwa kita tidak dapat membicarakan tentang pasar tunggal (single market) dalam keadaan terisolasi, yang dibutuhkan adalah suatu model yang menjelaskan pengaruh perubahan suatu pasar yang diikuti oleh perubahan pada pasar lainnya. Sebagai contoh, jika harga kacang (peanuts) meningkat (dalam contoh Marshall), analisis Mashallian hanya akan melihat kondisi

supply demand dari kacang pada pasar kacang. Analisis keseimbangan umum bukan hanya akan melihat pada pasar kacang tersebut tetapi juga gaungnya pada pasar yang lainnya, seperti pasar mentega kacang, pasar lahan petani kacang, bahkan pasar mobil dan furniture akan berubah karena peningkatan harga kacang akan berpengaruh kepada pendapatan petani kacang, dan akan menyebabkan pendapatan mereka menjadi meningkat, sehingga kemampuannya untuk membeli

Jadi dalam teori ekonomi tentang pasar, telah mengacu kepada keseimbangan supply dan demand dalam satu komoditi dan keseimbangan umum antara permintaan dan penawaran dalam keseluruhan aktifitas ekonomi. Sehingga pasar dapat juga diartikan dalam keseimbangan parsial dan keseimbangan umum tentang permintaan dan penawaran barang dan jasa, dalam area yang lebih luas.

Perkembangan teori ekonomi tentang konsep pasar ini, telah banyak mendapat kritikan dari para ekonom sendiri maupun dari ilmuwan dari luar disiplin ekonomi yang melihat bahwa teori ekonomi dengan segala asumsinya memiliki banyak kelemahan, karena tidak mampu lagi menjelaskan fenomena riil di tengah kondisi ekonomi yang lebih luas. Sehingga di dalam teori ekonomi sendiri juga telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Para ekonom klassik yang telah berhasil meletakkan fondasi bagi analisis ekonomi yang mampu menyamai kemajuan ilmu-ilmu fisik pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dengan analisis tentang keseimbangan pasarnya bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar.

“Invisible hand’ dari Adam Smith telah menjadi postulat yang sulit untuk dibantah. Tetapi kemudian ketika terjadinya depressi ekonomi dunia sesudah Perang Dunia II, penjelasan gejala ekonomi yang didasarkan atas keseimbangan pasar, telah mendapat sorotan tajam terutama dari para ekonom misalnya, dengan mengatakan bahwa terjadi kegagalan pasar, (market failure) dalam pembangunan ekonomi di suatu negara atau suatu wilayah. Sehingga orang beranggapan teori ekonomi telah gagal di dalam menangkap realitas kehidupan ekonomi. Bahkan sesungguhnya, para ekonom melihat bahwa tidak tercapainya keseimbangan pasar atau terjadinya market failure disebabkan oleh adanya kerugian (eksternalitas) yang diderita oleh aktor ekonomi lain, sebagai akibat dari aktifitas yang ditimbulkan oleh aktor ekonomi di dalam memanfaatkan sumberdaya untuk mencapai maksimal

utilitynya. Dan juga disebabkan oleh adanya barang publik yang mengalami “open access” sebagaimana disinyalir oleh Garet Hardin (1968) dengan “Tragedy of the Common’nya. Kerugian yang diderita oleh aktor ekonomi lain ini tidak tercermin di dalam pasar. Seperti biaya kerusakan lingkungan, sebagai akibat aktor ekonomi tertentu yang mengekploitasi sumberdaya alam (resource) secara berlebihan. Oleh karena itu, pasar gagal di dalam mentransaksikan biaya-biaya yang ditimbulkan oleh

aktor ekonomi di dalam mengeksploitasi sumberdaya untuk memaksimumkan manfaatnya.

Itulah sebabnya pasar tidak boleh dibiarkan dalam keadaan persaingan sempurna, karena akan menimbulkan eksternalitas bagi masyarakat lain yang tidak melakukan transaksi. Untuk itu diperlukan campurtangan pemerintah di dalam menjaga agar pasar dapat mencapai persaingan sempurna (perfect competitive markets) melalui pengaturan, agar tidak terjadi eksternalitas negatif yang menimbulkan biaya bagi aktor ekonomi lainnya.

Dalam perspektif teori ekonomi, kegagalan pasar sebenarnya terjadi karena asumsi untuk terjadinya pasar persaingan sempurna, tidak dapat terpenuhi, yakni diantaranya masing-masing pihak (aktor) yang bertukar harus memiliki informasi yang sama (symmetric information) terhadap kualitas dan harga barang dan jasa yang akan ditransaksikan tersebut, sehingga di dalam pertukaran secara adil dapat dilakukan, artinya para aktor ekonomi akan menemukan harga yang wajar (just price); yakni1 harga pasar mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya yang dipertukarkan, semakin langka sumberdaya, dan semakin tinggi biaya untuk mengekstraksinya, semakin tinggi harganya dalam pertukaran, demikian sebaliknya.

Persyaratan lain, agar pasar berjalan dengan baik atau terjadi persaingan sempurna (free competition) adalah kejelasan hak–hak atas sumberdaya yang ditransaksikan (secure property rights). Penegasan hak akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty), karena ketidakpastian akan menimbulkan perilaku aktor yang opportunistik, sehingga melahirkan perilaku ekonomi yang tidak lagi rasional, menimbulkan biaya-biaya transaksi yang lebih tinggi, sehingga harga pasar menjadi terdistorsi, karena tidak mampu lagi mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya yang ada, pada gilirannya harga pasar tidak memberikan tanda (signal) yang benar bagi alokasi sumberdaya yang efisien.

Jadi, di dalam perspektif teori ekonomi mekanisme pasar akan tetap berjalan apabila persyaratan dan asumsinya dapat dipenuhi, bekerjanya mekanisme pasar akan menjamin sumberdaya teralokasi secara efisien tetap menjadi acuan di dalam

1

Penjelasan tentang assymmetric information dalam pasar, lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan, Akerlof “Market for Lemon” (1970).

tujuan pembangunan ekonomi, jika pemerintah akan ikut campur tangan di dalam perekonomian. Hal ini adalah dengan membantu mengatasi kelemahan asumsi yang diisyaratkan, misalnya adanya informasi harga yang dapat diterima oleh semua aktor ekonomi yang bertukar, penegasan property right yang jelas dan aman, sehingga sumberdaya tidak mengalami “open access” yang menjurus kepada pengurasan sumberdaya, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pemikiran bahwa diperlukan campur tangan pemerintah di dalam mengatasi kegagalan pasar, karena adanya biaya-biaya eksternalitas negatif yang harus ditanggung oleh aktor ekonomi lain yang menderita kerugian, sebagai akibat transaksi ekonomi di pasar, dan adanya barang publik yang mengalami “open access” sehingga menimbulkan kerusakan dan menipisnya sumberdaya (dissipation resources), telah muncul terutama sejak karya John Maynard Keynes (1883 – 1946) “A Treatise on Money (1971) dan the GeneralTheory and Employment, Interest and Money, (1936) (Pressman, 2000).

Pemikiran perlunya campur tangan pemerintah di dalam pengaturan keseimbangan agregate demand dan agregate supply ini telah menyebabkan pasar telah diatur oleh pemerintah--melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiscalnya. Namun kemudian, ketika hal ini telah menjadi populer karena berhasil membawa beberapa negara terutama di Eropa dan USA keluar dari krisis ekonominya, kemudian di dalam prakteknya juga mengalami beberapa kelemahan yakni: penguasaan dan pengaturan alokasi sumberdaya (resource) oleh pemerintah telah menyebabkan terjadinya aktifitas ekonomi yang disebut dengan rent seeking behaviour (North, 1990). Dalam aktifitas ekonomi di pasar dikenal dengan istilah kegiatan untuk mencari profit tanpa melalui transaksi di pasar (profit seeking), dan DUP (direct unproductivity). Artinya terjadi korupsi yang luas dikalangan pejabat pemerintah yang mengendalikan pasar melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiscal. Sehingga puncaknya akan terjadi government failure”, yaitu terjadinya krisis moneter dan dilanjutkan dengan krisis ekonomi yang melanda negara-negara berkembang di mulai dari negara Amerika Latin dengan Drama Argentina”, menyusul drama krisis di Asia, khususnya di Asia Tenggara di mulai di negara Thailand dan kemudian terus sampai ke Indonesia yang dikenal dengan “krismon” dan krisis ekonomi Indonesia, yang telah menyebabkan perekonomian Indonesia

ambruk ketitik yang paling rendah, sehingga kemajuan ekonomi yang diperoleh selama ini ternyata hanyalah semu (economic of bubble) (Chacholiades, 1978).

Pandangan tentang perlunya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan pemerataan ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya distorsi ekonomi pasar, dikenal dengan dalil fundamental ekonomi pertama (first fundamental economic) dalam teori ekonomi kesejahteraan (welfare economic), adalah konsep temuan Simon Kuznets (1966): kurva U-terbalik yang menyatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, untuk mengejar pertumbuhan perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off). Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. dimana di dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dikorbankan pemerataan (distribusi) keuntungan ekonomi pada wilayah yang kurang memiliki kelimpahan sumberdaya alam (resource endowment). Namun kemudian lahir pula dalil fundamental ekonomi kesejahteraan kedua (second fundamental economic theorem), bahwa pertumbuhan (efisiensi) dan pemerataan (equity) dapat dicapai secara bersamaan dengan adanya campurtangan pemerintah kepada pengalokasian barang dan jasa di pasar terutama pada barang milik publik (common resources) melalui mekanisme perpajakan, transfer, dan subsidi.

Artinya, mekanisme pasar tetap berjalan dan akan mencapai efisiensi di dalam pemanfaatan sumberdaya, terutama pada transaksi barang dan jasa milik individu (private property) yang telah jelas hak-hak kepemilikannya, tetapi untuk pentransaksian barang-barang dan jasa milik umum (common property); yang sesungguhnya bukan berarti tidak ada hak, seperti yang dinterpretasikan oleh Garret Hardin (1968), melainkan ada hak masyarakat komunal lokal di dalamnya tetapi sering tidak diakui oleh pemerintah, diperlukan campurtangan pemerintah untuk mengaturnya.

Berpijak kepada pemikiran Keyness bahwa pemerintah dapat mengendalikan kebijakan moneter dan kebijakan fiscal agar pasar berjalan dengan baik, dimana keputusan ekonomi agar alokasi sumberdaya menjadi efisien ditentukan oleh kebijakan moneter melalui instrumen suku bunga, dan tabungan (saving), dan kebijakan fiscal melalui instrumen perpajakan, subsidi dan quota. Kebijakan ini sangat berhasil di dalam mengatasi depressi ekonomi (1930) di negara Barat