• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau: Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar dan Agam, Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau: Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar dan Agam, Sumatera Barat"

Copied!
612
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN (PERSISTENCE) PASAR NAGARI MINANGKABAU:

KASUS PASAR KAYU MANIS (CASSIAVERA)

DI KABUPATEN TANAH DATAR DAN AGAM

SUMATERA BARAT

ZUSMELIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan Disertasi Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau: Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten

Tanah Datar dan Agam Sumatera Barat adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2007

(3)

ABSTRACT

ZUSMELIA. The Persistence of Pasar Nagari in Minangkabau: A Case of Cinnamon (Cassiavera) Market in Tanah Datar and Agam District, West Sumatera Province. Under direction of M.T. FELIX SITORUS, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO and DAMSAR

This study focused on the existence of pasar nagari which acted as the backbone component in the economy of nagari community; and the influence the world’s economy brought to the change in pasar nagari itself in the aspects of involved actors, established regulations, and social network that strived and evolved within. How the pasar nagari—as a crucial part of the nagari community’s economic institution—could survive throughout the ongoing changes process, how exactly such a changing process happened, why it occurred, and the impact it brought about to pasar and the economic condition in Minangkabau. The inter correlation between the production of cassiavera with pasar nagari as one of the outlets or marketing channels of farmer’s cassiavera product. How the cassiavera market sustained all the surrounding changing, especially in term of the exchange in relations established by the economic actors within the pasar, the social network and the behavior pattern of such economic actors in performing economic activities; and the connection with the actors’ moral economy involved in the pasar. This study is a sociological research in the field of economic sociology; which is a qualitative exploration, i.e. was naturalistic or scientific in nature and done on a certain natural background with specific cases using multi-method approaches in order to explain the phenomena proposed. This study assumed itself into a non-positivistic paradigm capable of providing in-depth comprehension on the subject under research.

The result of the study showed that the actors involved in pasar nagari and local auction of the cassiavera trading system were: 1). Cinnamon farmers as suppliers. They were grouped by the activity intensity in pasar nagari, i.e. cinnamon farmers with weekly or irregular yield period, and cinnamon farmers with annual yield period who showed different economic behavior in their interaction within the pasar nagari.

2).

Collector traders of pasar nagari as buyers. They were grouped into traders without capital and traders with quite secured capital. In general, they came from within the ring of the nagari’s elite who possessed business network to supra nagari and became the clique members of certain network (clientage) and did structural and symbolic violence to farmers which was aiming to the establishment of a hidden cassiavera trading monopsony in order to maintain their morel economy. They also acted formally as cinnamon farmers on the trading in local auction market. 3). Large-scale traders at district level as wholesale players. They generally came from the area of supra nagari with business network to pasar nagari and became the principal clique members of a network. They did structural and symbolic violence to collector traders of pasar nagari and to cinnamon farmers which was aiming for the establishment of hidden cassiavera trading monopsony in order to maintain their rational economy.
(4)

specialization on each pasar nagari opening in order to create a hidden cassiavera buying monopsony.

The cassiavera trading in pasar nagari was embedded into the familial system within the nagari community because in general the cassiavera traders were the elite group of nagari. Cassiavera farmers were very much in loss, but still perform the farming business because for several reasons; one is that this was the form of their household livelihood survival strategy during difficult times as well as the form of the nagari community’s socio-culture structure, just like the folkloric

tambilang besi; two is that cassiavera was a prestigious commodity and was used as nagari community’s way in the interaction in pasar nagari especially in the social exchange; and three it was used as saving for paying important socio-culture events.

The transaction form in the cassiavera market revealed that the greater number of intermediate traders (actors/competitors) did not guarantee a more competitive price. The fact showed that the most determining factor for the price was the existence of networking, a certain “social network” among the actors involved. Such network could perform this transaction in the form of business network that took a very long time to be established (clientage). The stronger the relationship of the members (cassiavera traders) within a network, the easier the traders got in price determination and the vulnerable the farmers became in attaining better price for their best commodity. The existence of the clique members in the cassiavera market was reflected by the close social relation between the collector traders of pasar nagari with the large-scale traders at the district level. This was seen by the two approaches: first, through the source of capital possessed by the collector traders of

pasar nagari; second, through the source of price info for collector traders of pasar nagari. The first way was to determine the price between the pasar nagari collector traders and the large-scale traders from the district, and the second was more to set up the cassiavera price between the collector traders of pasar nagari and the farmers. To the two existing mainstreams; to the economic mainstream as well as to the new economic sociology mainstream; the existence of pasar nagari as the boundary line of moral economic action to rational economic action was very much needed in order to bring out profit to all parties exchanging in the market.

The persistence of pasar nagari was in fact laid in the chance to the development of moral economy behavior to face the rational economic action that was brought in and applied by large-scale traders at district level as outsiders meddling with the nagari community’s economic system.

(5)

RINGKASAN

ZUSMELIA. Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau: Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar dan Agam, Sumatera Barat. Dibimbing oleh M.T. FELIX SITORUS, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, dan DAMSAR.

Fokus studi ini adalah keberadaan pasar nagari sebagai urat nadi perekonomian masyarakat nagari, sedangkan bias dari kekuatan ekonomi dunia telah membawa perubahan dalam pasar nagari itu sendiri, baik dari segi aktor yang terlibat, regulasi yang tercipta ataupun jaringan kerja sosial yang hidup dan terbina di dalamnya. Bagaimana pasar nagari--sebagai bagian dari kelembagaan ekonomi masyarakat nagari--bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi, bagaimana proses perubahan itu terjadi, kenapa demikian, dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan pasar dan ekonomi masyarakat nagari di Minangkabau. Keterkaitan antara produksi kayu manis dengan pasar nagari sebagai salah satu

“outlet” bagi pemasaran produksi kayu manis petani. Bagaimana pasar kayu manis bertahan menghadapi semua perubahan yang tengah berlangsung, terutama dalam kaitannya dengan relasi-relasi pertukaran yang dibangun oleh aktor ekonomi di pasar, jaringan kerja sosial dan pola-pola perilaku aktor ekonomi dalam melakukan tindakan ekonomi. Bagaimana kaitannya dengan ekonomi moral aktor yang terlibat di pasar. Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi dengan bidang kajian sosiologi ekonomi, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang bersifat naturalistik atau alamiah, yang dilakukan pada suatu latar alamiah tertentu, dan memiliki kasus tertentu, menggunakan pendekatan multi metode guna mendekati persoalan yang diajukan. Penelitian ini memposisikan diri pada paradigma non-positivistik yang mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang subjek kajiannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor yang ikut bermain di pasar nagari khususnya pasar kayu manis adalah: 1). Petani kayu manis, yang dikelompokkan berdasarkan aktifitas panen mereka yakni dengan waktu panen tidak menentu, dan waktu panen tahunan yang memperlihatkan perilaku ekonomi yang berbeda dalam berinteraksi di pasar nagari. 2). Pedagang pengumpul pasar nagari, yang dikelompokkan kepada pedagang tanpa modal/pemberi isyarat dengan sumber modal pedagang besar kabupaten dan Inang-inang. Pedagang modal kuat, yang berasal dari kelompok elite nagari, memiliki jaringan bisnis ke supra nagari, dan menjadi anggota kelompok clique members dari satu jaringan kerja tertentu (klientisasi). 3). Pedagang Besar Kabupaten sebagai pembeli dalam jumlah besar (wholesale); mereka pada umumnya berasal dari wilayah supra nagari. Memiliki jaringan bisnis ke pasar nagari, menjadi Patron clique members dari satu jaringan klientisasi, mengarah kepada terbentuknya monopsoni tersembunyi perdagangan kayu manis, untuk mempertahankan ekonomi rasionalnya.

(6)

Perdagangan kayu manis di pasar nagari melekat (embedded) dalam sistem kekerabatan di tengah masyarakat nagari karena pada umumnya pedagang kayu manis adalah kelompok elite nagari. Petani kayu manis sangat dirugikan, tetapi tetap melakukan budidaya tanaman kayu manis karena terkait dengan strategi bertahan ekonomi rumahtangga pada saat sulit (livelihood strategies) dan konstruksi sosial atas tanaman kayu manis sebagai tanaman sosial budaya, seperti adat tambilang besi, tanaman prestise dan style masyarakat nagari dalam berinteraksi di pasar nagari terutama untuk pertukaran sosial, tanaman tabungan untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial budaya yang besar.

Jumlah pedagang perantara (aktor/kompetitor) yang semakin besar tidak menjamin harga dapat bersaing. Faktanya, yang paling menentukan harga adalah ada tidaknya jaringan kerja “jaringan sosial tertentu” diantara aktor yang terlibat. Jaringan kerja dalam melakukan transaksi ini dalam bentuk jaringan bisnis yang terbentuk dalam proses waktu yang sangat lama (klientisasi). Semakin kuat jalinan kerjasama atau jaringan sosial personal diantara pedagang kayu manis, semakin mudah pedagang menentukan harga yang diinginkan dan semakin membuat petani tidak berdaya dalam mendapatkan harga terbaik untuk komoditi terbaiknya. Adanya anggota kelompok perdagangan (clique members) dalam pasar kayu manis ditunjukkan oleh hubungan sosial personal yang intim antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan pedagang besar kabupaten. Hal ini dapat dilihat dari dua cara: pertama, melalui sumber modal yang dimiliki oleh pedagang pengumpul pasar nagari. Kedua, melalui sumber informasi harga bagi pedagang pengumpul pasar nagari. Cara yang pertama sangat menentukan penetapan harga antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan pedagang besar kabupaten, dan cara kedua lebih menentukan harga kayu manis antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan petani kayu manis. Pada kedua mainstream yang ada, baik mainstream ekonomi maupun mainstream sosiologi ekonomi baru, kehadiran pasar nagari sebagai batas antara tindakan ekonomi moral dengan tindakan ekonomi rasional sangat diperlukan, agar mendatangkan keuntungan bagi semua pihak yang melakukan pertukaran.

Ketahanan pasar nagari justru terletak pada kesempatan untuk mengembangkan terjadinya perilaku ekonomi moral dalam menghadapi perilaku ekonomi rasional yang dibawa dan diterapkan oleh pedagang besar kabupaten sebagai orang luar (outsider) yang melakukan intervensi terhadap sistem ekonomi masyarakat nagari.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KETAHANAN (PERSISTENCE) PASAR NAGARI MINANGKABAU:

KASUS PASAR KAYU MANIS (CASSIAVERA)

DI KABUPATEN TANAH DATAR DAN AGAM

SUMATERA BARAT

ZUSMELIA

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Disertasi : Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau : Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar dan Agam , Sumatera Barat

Nama : Zusmelia

NRP : A. 162024031

Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS Ketua

Prof. Dr. Sediono M.P Tjondronegoro Prof. Dr. Damsar, MA Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan (SPD)

Dr. Nurmala. K. Panjaitan, M.S, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat Kodrat dan IradatNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2005 adalah sosiologi ekonomi dengan judul: Ketahanan (persistence) Pasar Nagari Minangkabau: Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah

Datar dan Agam, Sumatera Barat.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan sebesar-besarnya pertama-tama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing penulis, Bapak Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS, Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro dan Prof. Dr. Damsar, MA atas bimbingannya kepada penulis selama proses pengerjaan disertasi ini. Lebih dari sekedar pembimbing, beliau adalah mahaguru sekaligus “keluarga” yang memberikan kehangatan suasana akademis bagi penulis, semoga amal kebaikan mereka diterima sebagai sedekah jari’ah dan pahala di sisi Allah SWT. Kepada Bapak Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr yang telah membaca dengan teliti, memberikan kritikan dan sarannya sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, terima kasih atas pengayaannya. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sjarifudin Baharsjah (Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dan Ketua Yayasan PADI Indonesia) dan Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS (Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, terima kasih atas saran dan masukannya serta pertanyaannya sehingga memberikan dimensi pemikiran baru bagi penulis demi lebih baiknya disertasi ini.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan pada Ibu Dr. Titik Sumarti, MS, Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS. DEA, dan Bapak Dr. Endriatmo Soetarto, MS, atas arahan dan dukungan morill yang tak henti-hentinya agar penulis tetap tegar, kuat, dan bersemangat dalam menyelesaikan studi ini.

(11)

Kemudian yang terpenting, dukungan moril dan bantuan materill yang tidak pernah hentinya penulis peroleh dari, Ayahanda Z. DT.Rangkayo Rajo Batuah (almarhum), A.H.Dt. Bagindo Basa (almarhum), Ibunda Suraiya Hatta (almarhumah), dan Hj. Yurnalis, kakanda Drs.Zusnedi, Zusmarwin, Drs.Iyakrus,M.Kes, Multi, AC, Eva Mairoza,SE,M.Kes serta adinda Zusmartini, Candra, Asniarny,S.Pd, Zusmarsuhatry dan Verina Hayati, A.Md dan Bripka.Yushar yang telah berjasa menghantarkan penulis ke jalur pendidikan terbaik, sehingga dapat mencapai dan menyelesaikan pendidikan akademik tertinggi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan (SPD) IPB, dan seluruh staff pengajar yang telah mendidik dan menempa penulis agar berkualifikasi Doktor, kepada Program Pascasarjana IPB yang telah memungkinkan penulis memperoleh dukungan dana dari Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) DIKTI- DIKNAS. Berikut, Kepada Bapak Bupati Kabupaten Tanah Datar dan jajaran Pemda Kabupaten Tanah Datar, terima kasih atas segala kesempatan dan dukungan dananya untuk penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan secara khusus disampaikan pula kepada pada responden (petani, pedagang kayu manis), terutama kepada Wali Nagari Salimpaung, Wali Nagari Tabek Patah, Wali Nagari Rao-Rao, dan Wali Nagari Sungai Tarab kabupaten Tanah Datar, dan Wali Nagari Baso, kabupaten Agam dan para penghulu pasar nagari beserta perangkatnya, Ketua dan anggota KAN, yang telah memberikan dan membantu dan memberikan data primer dan sekunder yang dibutuhkan. Kepada adinda Ir. Rohani, M. Si dan Drs. Febri Orza, yang ikut membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapang dalam rentang waktu yang cukup lama, tanpa penerimaan dan dukungan yang tanpa pamrih terhadap penulis, disertasi ini tidak akan pernah ada.

Teristimewa, ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Koordinator Kopertis wilayah X Padang, Bapak Ketua Yayasan dan Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat beserta jajarannya yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk meninggalkan tugas mengajar selama mengikuti program Doktor pada Program Pascasarjana IPB ini.

(12)

IPB; Ir. August Ernest Pattiselano, M. Si dan Drs. Abdul Basid, M. Si, Bapak Ir. Undang Fajar, M.Si, Ibu Yeti Rochwulandari, Bapak Hidayat, Bapak Malik, Bapak Hartoyo, Mbak Tyas dan Adinda Maihasni, dan yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Mereka telah banyak memberikan dukungan moril dan materill serta kesempatan diskusinya dan suasana akademis yang menyenangkan selama masa-masa penyelesaian studi S3 ini. Sungguh budi baik dan jasa mereka semua tidak akan pernah terlupakan, hanya Allah SWT yang akan membalasnya sebagai pahala dari amal kebaikan.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman yang dimiliki membuat disertasi ini jauh dari kesempurnaannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini sangat diharapkan. Atas perhatian semua pihak, penulis aturkan ribuan terimakasih.

Bogor, Desember 2007

Penulis,

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangpanjang, Sumatera Barat pada tanggal 10 April 1966, sebagai anak ketiga dari pasangan Z.DT. Rangkayo Rajo Batuah (almarhum) dengan Suraiyya Hatta (almarhumah). Pendidikan dasar diselesaikan di SD Muhammadiyah Komplek Kauman Padangpanjang tahun 1979, dan pendidikan menengah pertama dan atas berturut-turut diselesaikan di SMPN No: 2 Padangpanjang tahun 1982 dan SMA Negeri Padangpanjang tahun 1985. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Padang, lulus tahun 1990. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan studi S2 dan diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD), Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang (Unand), dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) di IPB Bogor diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai Dosen PNSD pada Kopertis Wilayah X Padang dpk pada STKIP PGRI Sumatera Barat. Mata kuliah yang menjadi mata ajar penulis adalah Teori Ilmu Sosial, Pengantar Ilmu Sosial, Metode Penelitian Sosial dan Islamologi.

Pada tahun 1992 penulis menikah dengan Dr. Ansofino, M.Si dan dikarunia dua orang putera yakni Ihsan Pratama (kini 15 tahun) dan Fachry Satra Pasca (kini 11 tahun).

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xvii

DAFTAR GAMBAR ………. xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II KONSEPSI TEORI KE ARAH PENDEKATAN MASALAH 2.1. Pasar Sebuah Tinjauan Konseptual ... 9

2.2. Model Pasar yang di Kembangkan dalam Teori Ekonomi ... 11

2.3. Pasar dalam Perspektif Sosiologi Ekonomi... 24

2.4. Perspektif Sosiologi Tentang Ekonomi ... 28

2.5. Tindakan Ekonomi dalam Sosiologi Ekonomi VS Teori Pertukaran 29 2.6. Tindakan Ekonomi, Pertukaran dan Sistem Nilai Budaya... 34

2.7. Ekonomi Moral dan Ekonomi Rasional ... 42

2.8. Pasar Nagari di Minangkabau: Nexus Lokal-Supra Lokal... 45

2.9. Beberapa Studi Tentang Pasar dan Posisi Penelitian Diantara Penelitian Terdahulu... 51

2.10. Kerangka Pemikiran ... 61

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Acuan Kerja Penelitian ... 62

3.2. Sejumlah Hipotesis Pengarah ... 62

3.3. Batasan Analisis ... 65

3.4. Pilihan Paradigma Penelitian ... 66

3.5. Metode Penelitian ... 69

3.6. Tekhnik Pengumpulan Data ... 72

3.7. Tekhnik Pengolahan dan Analisis Data ... 76

3.8. Pemilihan Daerah Penelitian ... 78

3.9. Unit Analisis ... 79

(15)

4.2. Struktur Sosial Masyarakat Pedalaman Minangkabau dan

Kaitannya dengan Sistem Mata Pencaharian Masyarakat ... 91

4.3. Nagari Sebagai Kesatuan Sosial Ekonomi dan Sosial-Budaya Masyarakat Minangkabau ……….. 98

4.4. Sistem dan Pola-pola Aktifitas Pertanian: Pertanian Padi Sawah dan Perkebunan Kulit Manis Saat Sekarang ... 107

4.5. Gambaran Umum Perekonomian Masyarakat Nagari di daerah Penelitian... ... 114

4.5.1. Nagari Tabek Panjang Baso ... 115

4.5.2. Nagari Tabek Patah ... 123

4.5.3. Nagari Salimpaung ... 126

4.5.4. Nagari Rao-Rao ... 128

4.5.5. Nagari Sungai Tarab ... 132

BAB V PASAR NAGARI SEBAGAI AJANG PERTUKARAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT MINANGKABAU 5.1. Kedudukan dan Fungsi Pasar Nagari Dalam Perekonomian Masyarakat Nagari: Sebuah Proses Perubahan ... 135

5.2. Struktur dan Model Pengelolaan Pasar Nagari Sebagai Pranata Ekonomi Nagari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Nagari ... 146

5.3. Pasar Nagari dan Keterlibatannya Dalam Jalur Perdagangan Internasional Sejak abad XIX ... 155

5.4. Simpulan Akhir Bab ... 164

BAB VI BASIS KETAHANAN PASAR NAGARI: KETERLEKATAN PASAR KAYU MANIS DENGAN PASAR SUPRA LOKAL DAN MASYARAKAT MINANGKABAU 6.1. Kayu manis sebagai Tanaman Sosial Budaya ... 166

6.2. Kayu manis sebagai Katup Pengaman Ekonomi Rumahtangga .. 177

6.3. Relasi Sosial dan Jaringan Kerja Antar Pedagang Lokal dan Supra Lokal serta Kemunculan Pedagang Kayu manis Sebagai Kelompok Elite Ekonomi ... 189

6.4. Perilaku Pertukaran dan Tindakan Ekonomi Petani dan Pedagang Dalam Proses Transaksi Kayu manis ... 199

6.5. Relasi Sosial Petani dan Pedagang Kayu manis di Pasar Nagari ... 207

6.6. Simpulan Akhir Bab ... 211

BAB VII KETAHANAN PASAR NAGARI DALAM PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NAGARI 7.1. Proses Pembentukan Harga, Kualitas dan Kuantitas ... 213

7.2. Peranan dan intervensi state dalam Perdagangan Kayu manis: TerbentuknyaKPRR dan Pasar Lelang Lokal (PLL) Kayu manis.. 222

(16)

7.4. Peminggiran Petani Kayu Manis dalam Sistem Perekonomian

Masyarakat Nagari ... 245

7.5 Terbentuknya Monopsoni Tersembunyi dalam Perdagangan Kayu manis ... 253

7.6. Regulasi Pasar: Saling Hubungan Negara, Masyarakat, dan Pasar Nagari ... 256

7.7. Sistem Pasar Nagari: Sebuah Idealisme dari Persepktif Sosiologi Ekonomi ... 259

7.8. Simpulan Akhir Bab ……… 265

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik... 267

8.2. Kesimpulan di Tataran Teoritik ... 269

8.3. Kesimpulan di Tataran Metodologis... 271

8.4. Saran dan Implikasi Kebijakan ... 272

8.5. Peluang untuk Penelitian Ke Depan ... 273

DAFTAR PUSTAKA 274

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas Lahan dan Produksi Kayu manis 3

2. Subject Areas dari Teori Ekonomi dan Sosiologi Ekonomi 37

3. Luas Lahan Sawah dan Kebun Sebagai Tanah Pusako di Setiap Nagari Pada Wilayah Penelitian 93

4. Pola Penggunaan Lahan di Nagari Tabek Panjang (Baso) 116

5. Jumlah Peduduk Nagari Tabek Panjang/Baso Menurut Umur dan Jenis Kelamin 117

6. Struktur Mata Pencaharian di sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan 118

7. Jumlah Penduduk yang Bekerja di Sub Sektor Jasa/Perdagangan 119

8. Struktur Kepemilikan Tanah di Nagari Baso 120

9. Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja di Nagari Baso 121

10. Kualitas Angkatan Kerja Dirinci Menurut Pendidikan yang Ditamatkan 121

11. Tingkat Pendidikan Penduduk Nagari Baso 122

12. Jenis Penggunaan Lahan di Nagari Salimpaung 127

13. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan di Nagari Rao-Rao 130

14. Perbandingan Kondisi Fisik Pasar Nagari Menurut Tingkatan Transaksinya 140

15. Fungsi Pasar Nagari Menurut Tingkatannya 143

16. Peraturan Perundang-undangan Tentang Pasar Nagari 146

17. Keanggotaan Komisi Pasar Baso 149

18. Dinamika Pengelolaan Pasar Nagari dari Waktu ke Waktu 153

19. Pedagang Kayu manis Berdasarkan Pasar yang Dikunjungi 160

20. Perbedaan Standar Kualitas yang Digunakan dalam Tataniaga Kayu manis pada saat penelitian 170

21. Harga dan Kualitas Kayu manis di Tingkat Petani di Pasar Nagari 171

(18)

23. Profil Luas Lahan, Frekwensi Waktu Panen, dan Volume Penjualan

Petani Kayu Manis di Daerah Penelitian 180

24. Karakteristik Pedagang Pengumpul di Wilayah Penelitian 185

25. Tipologi Pedagang Pengumpul Kayu manis di Pasar Nagari 187

26. Jaringan Patron-Klien Pedagang Kayu manis di Pasar Nagari 193

27. Kedudukan dan Posisi Sosial Pedagang Pengumpul Pasar Nagari di Tengah Masyarakat Nagari 195

28. Kaitan Jumlah Kadar Air dengan Harga per Kg Kayu manis di PLL 238

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.

Kerangka Pemikiran Tentang Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari

Dalam Ekonomi Dunia 61

2 Perkembangan Volume Ekspor Kayu manis Sejak Zaman Kolonial

Belanda dari Tahun 1860-1940 89

3. Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Sumatera Barat. 109

4. Perkembangan Volume Ekspor, Produksi dan Luas Panen Kayu manis

Provinsi Sumatera Barat Tahun 1970- 2004 110

5. Perkembangan Produksi dan Luas Panen Kulit Manis Provinsi

Sumatera Barat 1970- 2004 111

6. Sumbangan Ekspor Kayu manis Terhadap Volume Ekspor Sumatera Barat

Sejak tahun 1970-2004 112

7. Sumbangan Sektor Pertanian dan Perkebunan Terhadap PDRB Kabupaten

Tanah Datar 113

8. Struktur Organisasi Pengelola Pasar Nagari 147

9. Aliran Komoditi Perdagangan dari Pasar Nagari ke Pasar Dunia 159

10. Keterkaitan Pasar Nagari dengan Perdagangan Supra Nagari

dan Eksportir 163

11. Perbandingan Jumlah Pedagang Pengumpul di Pasar Nagari dan

Pedagang pengumpul di Tingkat Kabupaten dan Ekportir 191

12. Hirarki clique member Pedagang Kayu manis 220

13. Kelembagaan Perdagangan Kayu manis dari Pasar Nagari Sampai ke

Pasar Dunia 244

14. Garis Kontinum Perilaku Ekonomi Rasional - Ekonomi Moral Pedagang

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Kabupaten Tanah Datar 283

2. Peta Provinsi Sumatera Barat (Posisi Daerah Penelitian) 284

3. Peta Provinsi Sumatera Barat 285

4. Pedoman wawancara 286

5. Foto- Foto Penelitian 287

(21)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Hadi Dharmawan, MSc.Agr

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Sjarifudin Baharsjah

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan pertanian di Indonesia selama ini telah dititikberatkan pada peningkatan produksi pertanian. Namun dalam upaya peningkatan ini, terlihat tidak diiringi dengan pengembangan sektor yang essensial yang berkaitan dengan pertanian itu sendiri, seperti pengembangan infrastruktur pertanian; pengelolaan pasca panen, peningkatan sumberdaya petani--terutama dalam pengembangan land tenure system--dan pengembangan pasar bagi produk pertanian itu sendiri. Ini berimplikasi terhadap kesejahteraan petani yang masih tetap rendah, dan petani tetap miskin.

Bila dilihat, arah dan tujuan pembangunan pedesaan di Indonesia dari Pelita I sampai pada Pelita VI (PJP II) adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan melalui usaha-usaha yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya alam secara optimal di sekitar pertanian, agroindustri dan mengembangkan hubungan antara pedesaan dan perkotaan yang saling menunjang serta saling menguntungkan (Pemda Tk. I Sumbar, Repelita VI, Buku II, 1994/1995-1998/1999).

Terlihat bahwa kebijakan pembangunan pedesaan selama Pelita V, lebih banyak ditujukan kepada peningkatan pendapatan para petani dalam rangka memperbaiki kesejahteraan di pedesaan. Usaha ke arah itu dilakukan melalui peningkatan produktivitas pertanian. Perkebunan sebagai salah satu sub sektor pertanian, sejak Pelita I sampai Pelita V, ternyata telah mampu menunjukkan kemampuan dalam mendukung perekonomian. Hal ini terbukti mulai dari tahun 1969, produksi perkebunan secara keseluruhan adalah sebesar 69.894 ton, dan pada tahun 1993 meningkat menjadi 293.991 ton dengan pertumbuhan rata-rata 6,17 persen per tahun. Khusus pada Pelita V peningkatan rata-rata produksi perkebunan mencapai 9,47 persen per tahun.

(23)

peningkatan produksi di tingkat petani tidak dibarengi dengan peningkatan nilai jual produksi itu sendiri.

Secara teoritis, pembangunan pertanian yang mampu meningkatkan kesejahteraan di tingkat petani adalah di samping peningkatan produksi juga harus diiringi dengan peningkatan penerimaan di tingkat petani, sehingga surplus petani semakin meningkat. Faktanya selama ini, di saat produksi petani meningkat, harga cenderung menurun. Sementara permintaan tetap. Penurunan harga tersebut (disinyalir) disebabkan oleh terdistorsinya pasar (baik pasar lokal maupun nasional) sebagai outlet dari produk pertanian.

Persoalan yang sama juga terjadi di Sumatera Barat, salah satunya untuk hasil komoditi tanaman perkebunan. Di mana, untuk komoditi kayu manis yang merupakan komoditi andalan perkebunan rakyat di Sumatera Barat, khususnya di kabupaten Tanah Datar, di saat petani melakukan panen kayu manis, harga di tingkat petani jatuh. Pada hal kabupaten Tanah Datar telah sangat gencarnya mempromosikan pada petani untuk menjadikan kayu manis sebagai komoditi andalan kabupaten Tanah Datar. Tetapi dari waktu ke waktu (1980-an hingga sekarang), harga produk kayu manis semakin jatuh. Apa yang sesungguhnya terjadi inilah yang perlu ditelusuri.

Pemerintahan kabupaten Tanah Datar dengan giatnya telah melakukan kebijakan ekonomi dengan mendorong masyarakat pedesaan untuk meningkatkan produksi dari hasil usaha mereka. Khususnya di bidang pertanian rakyat, di pedesaan diberikan upaya peningkatan kualitas produksi, sehingga terjadi perubahan cara produksi dari cara tradisional ke cara moderen yang lebih komersial, sesuai dengan permintaan pasar. Kondisi ini juga diterapkan untuk sub sektor perkebunan rakyat, seperti perkebunan kayu manis, dengan dicanangkannya kabupaten Tanah Datar sebagai kabupaten kayu manis. Akibatnya hasil produksi kayu manis mengalami peningkatan yang terlihat dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 yang rata-rata mencapai 4.840, 25 ton per tahun, hasil dari luas lahan rata-rata 5.966, 25 ha (Dinas Perkebunan Sumatera Barat, 2002). Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 1.

(24)

produksi mereka. Di sisi lain, petani merasa dirugikan dengan semakin jatuhnya harga komoditi yang mereka hasilkan. Mengapa ini terjadi dan faktor-faktor apa saja yang bermain dalam pembentukan harga di tingkat petani, nampaknya inilah yang perlu ditelusuri lebih lanjut dalam penelitian ini.

Tabel 1 Luas Lahan dan Produksi Kayu manis

Sumatera Barat Tanah Datar Tahun Luas

(Ha)

Produksi (ton)

Kenaikan Produksi (persen)

Luas (Ha)

Produksi (ton)

Kenaikan Produksi (persen)

1998 39034 18317 na na na na

1999 42317 20499 8,50 5754 2678 na

2000 45539 25093 22,41 6668 4233 36, 73

2001 51216 36220 44, 34 5702 4493 5, 78

2002 52259 43398 19,81 5741 7957 43,53

2003 49220 48244 10,04 5255 14620 45,50

2004 57625 43389 -11,20 9251 6000 -58,96

Sumber: Dinas Perkebunan Sumatera Barat, 2002 dan BPS Sumbar, 2004 (data diolah).

Dalam pendekatan ekonomi neo-klasik (Swedberg, 1994, 256-282), diyakini, kalau mekanisme pasar berfungsi dengan baik, maka sumberdaya akan digunakan secara efisien, ekonomi akan tumbuh dan hasil pertumbuhan ekonomi akan terdistribusi secara adil. Kalau skenario yang demikian tidak menjadi kenyataan maka orang akan melihat ke pasar untuk menyelidiki permasalahannya. Karena dalam pandangan ekonomi, tindakan ekonomi hanya dipengaruhi oleh pertimbangan rasional. Faktor atau pertimbangan non-rasional seperti politik, sosial, budaya atau norma-norma yang ada dalam masyarakat diabaikan atau dianggap sebagai sesuatu yang irrasional.

(25)

Dalam mainstream Sosiologi Ekonomi Baru (New Economic Sociology),

yang dikembangkan Swedberg (1987, 1990, 1991), Granovetter (1985;1990), Granovetter dan Swedberg, (1992, 1985), Smelser dan Swedberg (1994), Evers (1994), Etzioni (1988), Nugroho (1993, 2001), dan Damsar (1998) --yang diilhami oleh pemikiran Weber--melihat bahwa pasar bagaimanapun berisi lebih dari tindakan pertukaran semata, sehingga adalah benar jika kita memasukkan faktor legal dan politis dalam menganalisis pasar. Jadi pasar tidaklah terdiri dari satu unsur, yakni ‘pertukaran’ tetapi terdiri dari dua unsur yaitu pertukaran yang berkombinasi dengan kompetisi/persaingan. Kompetisi sebagai suatu kesatuan yang integral dari struktur pasar. Bahkan pasar adalah juga sebagai suatu jaringan kerja (Baker, 1981). Bagaimana jaringan kerja di pasar bekerja, dan mempengaruhi pertukaran yang terjadi di pasar sesungguhnya juga dipengaruhi oleh tipe jaringan yang terbentuk dipasar; tipe jaringan kerja kecil, dan tipe jaringan kerja luas atau besar (Baker 1981, dalam Swedberg (1994).

Pemasaran juga salah satu bentuk jaringan kerja yang dapat ditemukan di pasar nagari. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aktor dalam melakukan pertukaran di pasar? Disinilah posisi penelitian ini dimaksudkan. Analisis juga difokuskan pada ‘tindakan’ (action) yang dicirikan oleh hasil aktivitas dan perhitungan aktor (ekonomi moral) atau tindakan yang mempengaruhinya (Swedberg, 1994, DiMaggio, 1990, dan Zelizer, 1988). Jadi pasar tidak hanya sebagai mekanisme penentu harga, tetapi sebagai suatu fenomena sosial, yang dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, politik yang ada di dalam masyarakat (Swedberg, 1994; Hodgson, 1998). Dengan demikian jelas perlu untuk melihat saling hubungan antara ekonomi dan masyarakat secara lebih luas, yakni meliputi interaksi saling hubungan antara ekonomi, sistem politik, dan budaya (nilai-nilai atau norma) yang lebih luas (Holton, 1992).

(26)

Pemasaran1 juga satu unsur yang ikut mempengaruhi pasar sebagai sebuah institusi ekonomi. Pemasaran merupakan salah satu penerapan bentuk jaringan kerja yang dilakukan aktor di pasar. Artinya, luas atau sangat bervariasinya jaringan kerja yang terbentuk akan semakin mempengaruhi atau memperumit pemasaran suatu produk. Bila itu terjadi jelas akan berdampak pada pembentukan harga yang sekaligus juga berpengaruh terhadap penerimaan di tingkat petani.

Menurut Zusmelia (2000), faktor yang sangat mempengaruhi petani dalam menghasilkan kualitas kayu manisnya adalah faktor harga. Maksudnya belum ada perbedaan harga yang objektif terhadap kualitas yang dihasilkan petani (masalah tingkah laku pedagang). Masalah pola dan saluran pemasaran yang ada, ternyata telah ikut mempengaruhi pendapatan petani. Bahkan kelembagaan lokal terutama pasar nagari dan Pasar Lelang Lokal (PLL) yang ada sekarang ini ternyata tidak efisien dan tidak mampu meningkatkan pendapatan di tingkat petani produsen. Faktanya petani kayu manis dalam posisi tawar-menawar tidak berdaya mempengaruhi pembentukan harga di pasar.

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Dilatarbelakangi oleh semakin kuatnya semangat menyambut gerakan otonomi daerah di Sumatera Barat ternyata telah membangkitkan ego kultural dengan gerakan “kembali ke pemerintahan nagari”. Artinya otonomi daerah dimaknai dengan keinginan untuk kembali dalam sistem pemerintahan nagari yang dianggap sebagai “republik-republik kecil”, sehingga euforia kebebasan, dari sistem sentralistik dan kebutuhan akan kedaulatan daerah terpenuhi seketika. Sejalan dengan kebutuhan tersebut, persoalan yang mendesak (urgent) untuk diselesaikan negara antara lain membangun kembali perekonomian daerah, melalui pemberdayaan perekonomian masyarakat nagari. Hal ini hanya bisa diwujudkan dengan menggali kembali potensi ekonomi nagari yang menjadi basis perekonomian masyarakat nagari. Potensi ekonomi yang menjadi pilar

1

(27)

untuk membangun kembali perekonomian nagari adalah pasar nagari yang merupakan sub bagian dari kelembagaan ekonomi masyarakat nagari.

Keberadaan pasar nagari sebagai urat nadi perekonomian masyarakat nagari saat ini masih sangat dibutuhkan, sekalipun pasar nagari sekarang ini tidak lagi sebagai satu-satunya “outlet” bagi pendistribusian produk pertanian masyarakat nagari. Faktanya, monetisasi yang telah sampai ke tingkat rumahtangga petani, sebagai salah satu bias dari kekuatan ekonomi global tidak bisa kita pungkiri tentu akan membawa perubahan dalam pasar nagari itu sendiri, baik dari segi aktor yang terlibat, regulasi yang tercipta ataupun jaringan kerja sosial yang hidup dan terbina di dalamnya. Bagaimana pasar nagari--sebagai sub bagian dari kelembagaan ekonomi masyarakat nagari--bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi, bagaimana proses perubahan itu terjadi, kenapa demikian, dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan pasar dan ekonomi masyarakat nagari di Minangkabau, disinilah kiranya posisi penelitian ini ditempatkan. Artinya fokus dari penelitian ini adalah untuk mengkaji “ketahanan” (persistence) pasar nagari di Minangkabau dalam ekonomi dunia.

Dalam kaitannya dengan produksi kayu manis dengan terjadinya berbagai perubahan di pasar, jelas akan membawa perubahan kepada pemasaran kayu manis di pasar nagari. Bagaimana pasar kayu manis bertahan menghadapi semua perubahan yang tengah berlansung, persoalan inipun perlu untuk ditelusuri. Terutama dalam kaitannya dengan relasi-relasi pertukaran yang dibangun oleh aktor ekonomi di pasar, jaringan kerja sosial dan pola-pola perilaku aktor ekonomi dalam melakukan tindakan ekonomi.

Dilatarbelakangi oleh persoalan di atas, sejumlah pertanyaan akan diajukan berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan yang di maksud dalam studi ini:

1. Siapa saja aktor yang ikut bermain di Pasar Nagari khususnya pasar kayu manis dan bagaimana regulasi pasar dibentuk dan dimiliki sebagai sebuah institusi ekonomi? Mengapa demikian?

(28)

3. Bagaimanakah pemasaran kayu manis dan Pasar Nagari melekat (embeddedness) di dalam masyarakat secara keseluruhan, dan bagaimana jaringan sosial personal terbentuk di dalamnya ?

4. Bagaimanakah proses pembentukan harga di pasar? Dan bagaimana kaitannya dengan bentuk perjuangan dan kompetisi yang terjadi di pasar diantara para aktor yang terlibat dan kenapa demikian ?

5. Bagaimana interrelasi antara pasar di tingkat lokal dengan pasar di tingkat supra lokal, dan kaitannya dengan pembentukan harga dan bagaimana kekuatan politik, kekuasaan bermain di dalamnya serta kenapa demikian?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk melihat bagaimana pasar nagari—sebagai sub bagian dari kelembagaan ekonomi masyarakat nagari—bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi? Bagaimana proses perubahan itu terjadi, dan kenapa demikian? Untuk lebih jelasnya tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui para aktor yang bermain di pasar dan bentuk regulasi yang tercipta dan dimiliki sebagai sebuah institusi ekonomi.

2. Mengkaji pola-pola perilaku aktor dalam melakukan tindakan ekonomi dan kaitannya dengan ekonomi moral dan rasional yang dianut dan proses adaptasi dengan lingkungan sosialnya.

3. Mengetahui bentuk pemasaran kayu manis dan pasar nagari dan keterlekatannya di dalam masyarakat secara keseluruhan, serta jaringan sosial personal yang terbentuk di dalamnya.

4. Mengkaji proses pembentukan harga di pasar, dan kaitannya dengan bentuk perjuangan dan kompetisi yang terjadi di pasar diantara para aktor ekonomi yang terlibat.

5. Menelusuri interrelasi antara pasar di tingkat lokal dengan pasar di tingkat supra lokal, terutama dalam kaitannya dengan proses pembentukan harga, kekuatan politik dan kekuasaan yang bermain di dalamnya.

(29)

1.4. Kegunaan Penelitian

(30)

BAB II

KONSEPSI TEORI KE ARAH PENDEKATAN MASALAH

Studi tentang pemasaran dan pasar nagari di Sumatera Barat ini akan dimulai dengan tinjauan kepustakaan mengenai teori-teori dan fakta empiris tentang proses pertukaran atau pemasaran dan pasar dalam lingkup makro. Tinjauan ini dimaksudkan sebagai landasan teoritis dan empiris dalam merumuskan “hipotesis pengarah” tentang aktivitas ekonomi dari individu di pasar, dalam pemasaran ataupun dalam pertukaran sebagai gejala sosial/tindakan sosial atau relasi sosial yang melekat di dalam masyarakat secara keseluruhan dan berkaitan dengan orang lain, kelompok, atau institusi.

Dalam perjalanan sejarahnya, kompleksitas, perwujudan dan analisis tentang pasar pertama kali dilihat dalam kajian ilmu ekonomi, yang diawali oleh pemikiran ekonomi Adam Smith hingga pemikiran ekonomi yang paling akhir yaitu aliran New Institutional Economy. Namun semua pemikiran ekonomi yang mendiskusikan tentang pasar dianggap masih sangat sedikit dan tidak memadai bahkan dapat dikatakan dalam literatur ekonomi sangat sedikit diskusi tentang institusi pasar dimunculkan, malahan dalam sejumlah literatur, institusi pasar dilihat hanya sebagai bagian dari diskusi tentang supply-demand dan nilai (Marshall, 1961 dalam Smelser dan Swedberg, 1994).

Sub bab berikut akan menjelaskan bagaimana pasar dalam perspektif sosiologi ekonomi. Tentunya dengan menelusuri pemikiran tentang pasar, akan semakin dipahami, bagaimana sosiologi ekonomi muncul membawa warna lain dalam menganalisis pasar sebagai sebuah institusi khusus yang memiliki hak-haknya sendiri dan tidak hanya sebagai mekanisme pembentuk harga (price-making mechanism)—sebagaimana pemikiran ekonomi melihat sebelumnya.

2.1. Pasar Sebuah Tinjauan Konseptual

(31)

fisik; 2) dimaksudkan sebagai tempat mengumpulkan; 3) hak atau ketentuan yang legal tentang suatu pertemuan pada suatu marketplace. Dikatakan bahwa pasar pada abad ke-16 mulai digunakan di dalam pengertian “membeli dan menjual secara umum”, juga diartikan sebagai penjualan (interaksi pertukaran) yang dikontrol oleh

demand dan supply (Oxford English Dictionary, 1989; 385 dalam Swedberg, 1995; 255). Nampaknya definisi yang terakhir inilah yang kemudian digunakan ilmu ekonomi hingga sekarang ini.

Pada abad ke-17, istilah pasar telah mulai diperluas, meliputi area geografis yang di dalamnya ada suatu permintaan terhadap produk tertentu. Ahli ekonomi kemudian menambahkan arti pasar itu sendiri sebagai mekanisme pembentuk harga (price-making mechanism) yang abstrak, yang memusatkan perhatiannya pada alokasi sumberdaya dalam ekonomi. Istilah pasar juga dalam jangka panjang telah mempunyai suatu beban ideology, yang direfleksikan dalam suatu slogan politik “the magic of the market” (Swedberg, 1994). Berbeda dengan makna yang diberikan oleh ahli ekonomi, para sosiolog memberikan makna yang lain, yakni pasar tidak hanya sebagai price-making mechanism, tetapi juga sebagai sebuah marketplace

yang memiliki makna sosial-ekonomi, budaya dan politik yang membentuk sebuah relasi sosial (Swedberg, 1994, 2002).

Dalam perjalanan sejarahnya, tidak diketahui kapan pasar pertama kali muncul, walaupun sejumlah pendapat mengatakan bahwa pasar telah bersamaan dengan munculnya perdagangan antara suku bangsa yang berbeda. Bahkan dari sejumlah penemuan arkeologi menunjukkan bahwa paling tidak sekitar 5000 tahun sebelum masehi, perdagangan telah hadir dimuka bumi ini (pada bangsa Sumeria, Babylonia dan Mesopotamia). Penjualan, dengan alat tukar batu obsidian dalam lingkup yang terbatas sudah ada saat itu, dan terjadi di tepi pantai, pinggir-pinggir sungai, atau di daerah padang pasir, disini suku bangsa pengembara telah bertemu dan duduk-duduk dalam waktu yang lama (Braudel, 1979 dalam Swedberg, 1994).

(32)

dengan sifat yang berbeda (Braudel, 1979, 1985 seperti yang dikutip Swedberg, 1994).

Dalam sejarah ekonomi Barat, pasar secara langsung dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, bukan semata-mata sebagai tempat pertukaran, namun berkaitan dengan kemajuan tekhnologi dan dihubungkan dengan revolusi industri, perubahan maha besar telah terjadi pada pasar, sepanjang abad ke-17 dan abad ke-18. Sebagai contoh, pasar nasional pertama, telah diciptakan melalui revolusi politik di Inggris. Dengan mulainya orang bekerja di pabrik-pabrik dan pindah ke kota-kota besar, pasar semakin berubah dalam bentuk dan fungsinya. Dan kemudian sebagai masyarakat kapitalis moderen, pasar telah tampil ke dalam bentuk: pasar uang, pasar konsumen, pasar tenaga kerja, dan pasar industri. Kondisi ini, telah membawa dampak secara sosial, ekonomi, politik dan keamanan dalam masyarakat Barat di abad pertengahan ini, dan selanjutnya membawa dampak terhadap daerah-daerah yang didatanginya dalam berbagai aspek.

Dalam bentuk lain, dari sudut pandang antropologi, Geertz (1963), mendefinisikan pasar—dilihat dari asal katanya—berasal dari kata Parsi bazaar (lewat bahasa Arab) yaitu suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya hidup dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat dan suatu dunia sosial-budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya. Jadi pasar dilihat sebagai sebuah gejala alami dan gejala kebudayaan dan dimana secara keseluruhan kehidupan masyarakat pendukungnya dibentuk oleh pasar. Jadi bagi Geertz, pasar memiliki arti yang sangat luas. Sehingga untuk melihatnya harus dari tiga sudut pandang yaitu:

1. Pasar sebagai arus barang dan jasa menurut pola-pola tertentu;

2. Pasar sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa, dan;

3. Pasar sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu tertanam (Geertz, 1963; 30-31).

2. 2. Model Pasar yang Dikembangkan dalam Teori Ekonomi

(33)

mengabtraksikan kompleksitas dunia riil dengan membangun model yang sederhana untuk menangkap essensinya.

Beberapa model ekonomi dimulai dari asumsi bahwa para aktor ekonomi (individu, perusahaan, dan rumah tangga) yang dipelajari adalah bersifat rasional dalam mencapai tujuannya yakni memaksimumkan keuntungan (profit). Model tentang pasar dalam teori ekonomi dimulai dari teori tentang nilai komoditi (theory of value). Karena secara umum cenderung antara “value” disinonimkan dengan “price”, maka para ekonom sejak awal telah membedakan antara market price dari komoditi dengan valuenya. Istilah value kemudian dipikirkan sebagai sesuatu yang sinonim dengan “importance”, “essentially” atau kadang-kadang “godliness”. Sejak “price” dan “value” merupakan konsep yang terpisah, berbeda, akibatnya pada diskusi awal tentang ekonomi terfokus kepada perbedaan ini, terutama sejak zaman physiocrat seperti St.Thomas Aquinas, sampai Adam Smith (Nicholson, 1998).

Selama akhir abad ke-18, para philosof ekonomi telah mulai melakukan pendekatan ”scientific” pada ilmu ekonomi. Publikasi “The Wealth of Nations” oleh Adam Smith (1723–1790) telah dijadikan tonggak sejarah dimulainya teori ekonomi moderen. Dalam karya besarnya ini, Smith telah meletakkan fondasi untuk pemikiran tentang ‘kekuatan pasar’ dalam suatu aturan dan cara yang sistematik. Adam Smith dan para pengikutnya kemudian seperti David Ricardo (1772–1823) terus membedakan antara “value” dan “price”. Bagi Smith, ‘nilai’ dari komoditi berarti nilai dalam penggunaannya (value in use) dimana harga (price) mewakili nilainya dalam pertukaran (value in exchange). Pembedaan kedua konsep ini telah diilustrasikan oleh para ekonom yang terkenal dengan “water diamond paradox”. Air yang memiliki nilai yang sangat besar dalam kegunaannya, memiliki sedikit nilai dalam pertukarannya (mempunyai harga yang rendah), tetapi “diamond” dalam prakteknya sedikit gunanya, tetapi memiliki nilai yang besar dalam pertukarannya.

(34)

them). Biaya produksi terutama dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja (labor costs). Muncul teori tenaga kerja tentang nilai (labor theory of value), sehingga “diamond” relatif mahal karena dalam memproduksi mereka dibutuhkan input tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan input tenaga kerja untuk mendapatkan air.

Selanjutnya bagaimana penjelasan tentang nilai pertukaran diaplikasikan, dapat diterapkan pada sumberdaya produksi lainnya? Bagaimana pembayaran sewa (rent) dan peralatan kapital dimasukkan ke dalam penentuan harga? Ricardo menjawab persoalan ini dengan analisis yang masuk akal, bahwa biaya penggunaan kapital dapat juga diperhatikan sebagai “labor costs”. Ricardo kemudian menjelaskan tentang “rent” dengan menteorikan bahwa “rent” bukanlah faktor penentu harga. Ia percaya bahwa nilai pertukaran dalam jangka panjang semata-mata ditentukan oleh labor cost dari produksi.

Selama tahun 1870-an para ekonom telah mengusulkan bahwa bukanlah total penggunaan sepenuhnya komoditi yang membantu untuk menentukan nilai pertukarannya, tetapi lebih dari itu adalah penggunaan sepenuhnya dari unit terakhir yang dikonsumsi. Pemikiran ini dalam sejarah teori ekonomi dikenal dengan masa revolusi kaum marginalist “marginalist revolution” dalam usaha untuk menjelaskan “water diamond paradox” sebelumnya. Kaum marginalist (seperti Alfred Marshall 1842 –1924) mendefinisikan kembali konsep tentang nilai dalam penggunaan dengan menggunakan suatu ide penggunaan sepenuhnya secara keseluruhan kepada penggunaan marginal (unit terakhir yang dikonsumsi), atau peningkatan penggunaan sepenuhnya dari suatu tambahan unit dari komoditi. Tambahan penggunaan dari suatu unit komoditi yang dikonsumsi, akan memperlihatkan sifat kelangkaan (scarcity) dari sumberdaya (resource) yang digunakan.

(35)

yang relevan pada harga. Teori tentang nilai tenagakerja dari Ricardo ini merupakan penjelasan bagaimana harga (price) ditentukan dari sisi penawaran (supply). Sementara penjelasan kaum marginalis tentang penentuan harga, merupakan penjelasan penentuan harga dari sisi permintaan (demand).

Jadi, pernyataan yang lebih jelas dari prinsip marginalis telah dikemukakan oleh Alfred Marshall dalam publikasinya “Principles of Economics”, (1890). Marshall telah memperlihatkan bahwa permintaan dan penawaran secara simultan telah beroperasi untuk menentukan harga. Sebagaimana Marshall katakan bahwa “anda tidak dapat mengatakan sisi gunting yang mana yang telah memotong kertas” atau anda tidak dapat mengatakan masing-masing demand atau supply yang menentukan harga secara sendiri-sendiri” harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran, sehingga inilah yang melahirkan konsep tentang pasar dalam ilmu ekonomi. Marshall (kaum marginalis) kemudian yang dianggap telah membawa konsep moderen tentang pasar dalam pemikiran ekonomi.

Model supply dan demand dari Marshall telah menyelesaikan kembali “water–diamond paradox” harga mencerminkan evaluasi marginal para konsumen (demander) terhadap suatu barang pada suatu tempat dan waktu, dan marginal cost

mencerminkan produksi dari suatu barang pada suatu tempat dan waktu tertentu. Dipandang dengan cara ini, disini tidak ada paradox, bahwa air lebih rendah harganya karena air memiliki “marginal value” dan “marginal cost” yang lebih rendah. Sementara ”diamond” lebih tinggi harganya karena ia memiliki marginal value yang lebih tinggi (karena orang bersedia untuk membayar semakin banyak butirnya) dan

marginal cost produksi yang lebih tinggi.

(36)

Artinya, pasar di dalam teori ekonomi bukan hanya mengacu kepada suatu lokasi dan waktu dimana terdapat keseimbangan supply dan demand dari suatu komoditi, tetapi lebih dari itu, essensinya adalah terdapatnya keseimbangan permintaan barang dan jasa melalui mekanisme harga, sehingga pasar bisa ada dimana saja dan waktu kapan saja. Oleh karena itu, dalam ilmu ekonomi berbeda antara pengertian pasar sebagai “tempat transaksi” (market place) dengan pasar sebagai “market clearing price”, yang terakhir inilah yang lebih sering menjadi perbincangan dalam teori ekonomi (Nicholson, 1998; 3-20).

Walaupun model Marshall (partial equilibrium model) telah menjadi peralatan yang berguna sepenuhnya dalam menjelaskan tentang pasar dalam ilmu ekonomi, tetapi hanya mampu menjelaskan pasar dalam perspektif yang relatif sempit dan analisis yang sederhana, dimana hanya mampu menjelaskan gejala ekonomi dalam satu komoditi, kemudian bagaimana pengaruhnya terhadap aktifitas ekonomi lain, komoditi lain, dalam keseluruhan aktifitas dan agen ekonomi, model keseimbangan partial tidak mampu menjawabnya.

Karenanya, teori ekonomi kemudian mengembangkan model keseimbangan umum (general equilibrium) yang telah dikemukakan oleh ekonom Prancis Leon Walras (1831-1910). Walras telah menghasilkan dasar bagi penyelidikan moderen dalam ilmu ekonomi. Metodanya telah mewakili ekonomi dengan sejumlah besar bentuk persamaan simultan yang menjadi dasar untuk memahami saling hubungan secara implisit dalam analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis). Walras telah mengingatkan bahwa kita tidak dapat membicarakan tentang pasar tunggal (single market) dalam keadaan terisolasi, yang dibutuhkan adalah suatu model yang menjelaskan pengaruh perubahan suatu pasar yang diikuti oleh perubahan pada pasar lainnya. Sebagai contoh, jika harga kacang (peanuts) meningkat (dalam contoh Marshall), analisis Mashallian hanya akan melihat kondisi

supply demand dari kacang pada pasar kacang. Analisis keseimbangan umum bukan hanya akan melihat pada pasar kacang tersebut tetapi juga gaungnya pada pasar yang lainnya, seperti pasar mentega kacang, pasar lahan petani kacang, bahkan pasar mobil dan furniture akan berubah karena peningkatan harga kacang akan berpengaruh kepada pendapatan petani kacang, dan akan menyebabkan pendapatan mereka menjadi meningkat, sehingga kemampuannya untuk membeli

(37)

Jadi dalam teori ekonomi tentang pasar, telah mengacu kepada keseimbangan supply dan demand dalam satu komoditi dan keseimbangan umum antara permintaan dan penawaran dalam keseluruhan aktifitas ekonomi. Sehingga pasar dapat juga diartikan dalam keseimbangan parsial dan keseimbangan umum tentang permintaan dan penawaran barang dan jasa, dalam area yang lebih luas.

Perkembangan teori ekonomi tentang konsep pasar ini, telah banyak mendapat kritikan dari para ekonom sendiri maupun dari ilmuwan dari luar disiplin ekonomi yang melihat bahwa teori ekonomi dengan segala asumsinya memiliki banyak kelemahan, karena tidak mampu lagi menjelaskan fenomena riil di tengah kondisi ekonomi yang lebih luas. Sehingga di dalam teori ekonomi sendiri juga telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Para ekonom klassik yang telah berhasil meletakkan fondasi bagi analisis ekonomi yang mampu menyamai kemajuan ilmu-ilmu fisik pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dengan analisis tentang keseimbangan pasarnya bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar.

“Invisible hand’ dari Adam Smith telah menjadi postulat yang sulit untuk dibantah. Tetapi kemudian ketika terjadinya depressi ekonomi dunia sesudah Perang Dunia II, penjelasan gejala ekonomi yang didasarkan atas keseimbangan pasar, telah mendapat sorotan tajam terutama dari para ekonom misalnya, dengan mengatakan bahwa terjadi kegagalan pasar, (market failure) dalam pembangunan ekonomi di suatu negara atau suatu wilayah. Sehingga orang beranggapan teori ekonomi telah gagal di dalam menangkap realitas kehidupan ekonomi. Bahkan sesungguhnya, para ekonom melihat bahwa tidak tercapainya keseimbangan pasar atau terjadinya market failure disebabkan oleh adanya kerugian (eksternalitas) yang diderita oleh aktor ekonomi lain, sebagai akibat dari aktifitas yang ditimbulkan oleh aktor ekonomi di dalam memanfaatkan sumberdaya untuk mencapai maksimal

(38)

aktor ekonomi di dalam mengeksploitasi sumberdaya untuk memaksimumkan manfaatnya.

Itulah sebabnya pasar tidak boleh dibiarkan dalam keadaan persaingan sempurna, karena akan menimbulkan eksternalitas bagi masyarakat lain yang tidak melakukan transaksi. Untuk itu diperlukan campurtangan pemerintah di dalam menjaga agar pasar dapat mencapai persaingan sempurna (perfect competitive markets) melalui pengaturan, agar tidak terjadi eksternalitas negatif yang menimbulkan biaya bagi aktor ekonomi lainnya.

Dalam perspektif teori ekonomi, kegagalan pasar sebenarnya terjadi karena asumsi untuk terjadinya pasar persaingan sempurna, tidak dapat terpenuhi, yakni diantaranya masing-masing pihak (aktor) yang bertukar harus memiliki informasi yang sama (symmetric information) terhadap kualitas dan harga barang dan jasa yang akan ditransaksikan tersebut, sehingga di dalam pertukaran secara adil dapat dilakukan, artinya para aktor ekonomi akan menemukan harga yang wajar (just price); yakni1 harga pasar mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya yang dipertukarkan, semakin langka sumberdaya, dan semakin tinggi biaya untuk mengekstraksinya, semakin tinggi harganya dalam pertukaran, demikian sebaliknya.

Persyaratan lain, agar pasar berjalan dengan baik atau terjadi persaingan sempurna (free competition) adalah kejelasan hak–hak atas sumberdaya yang ditransaksikan (secure property rights). Penegasan hak akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty), karena ketidakpastian akan menimbulkan perilaku aktor yang opportunistik, sehingga melahirkan perilaku ekonomi yang tidak lagi rasional, menimbulkan biaya-biaya transaksi yang lebih tinggi, sehingga harga pasar menjadi terdistorsi, karena tidak mampu lagi mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya yang ada, pada gilirannya harga pasar tidak memberikan tanda (signal) yang benar bagi alokasi sumberdaya yang efisien.

Jadi, di dalam perspektif teori ekonomi mekanisme pasar akan tetap berjalan apabila persyaratan dan asumsinya dapat dipenuhi, bekerjanya mekanisme pasar akan menjamin sumberdaya teralokasi secara efisien tetap menjadi acuan di dalam

1
(39)

tujuan pembangunan ekonomi, jika pemerintah akan ikut campur tangan di dalam perekonomian. Hal ini adalah dengan membantu mengatasi kelemahan asumsi yang diisyaratkan, misalnya adanya informasi harga yang dapat diterima oleh semua aktor ekonomi yang bertukar, penegasan property right yang jelas dan aman, sehingga sumberdaya tidak mengalami “open access” yang menjurus kepada pengurasan sumberdaya, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pemikiran bahwa diperlukan campur tangan pemerintah di dalam mengatasi kegagalan pasar, karena adanya biaya-biaya eksternalitas negatif yang harus ditanggung oleh aktor ekonomi lain yang menderita kerugian, sebagai akibat transaksi ekonomi di pasar, dan adanya barang publik yang mengalami “open access” sehingga menimbulkan kerusakan dan menipisnya sumberdaya (dissipation resources), telah muncul terutama sejak karya John Maynard Keynes (1883 – 1946) “A Treatise on Money (1971) dan the GeneralTheory and Employment, Interest and Money, (1936) (Pressman, 2000).

(40)

ambruk ketitik yang paling rendah, sehingga kemajuan ekonomi yang diperoleh selama ini ternyata hanyalah semu (economic of bubble) (Chacholiades, 1978).

Pandangan tentang perlunya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan pemerataan ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya distorsi ekonomi pasar, dikenal dengan dalil fundamental ekonomi pertama (first fundamental economic) dalam teori ekonomi kesejahteraan (welfare economic), adalah konsep temuan Simon Kuznets (1966): kurva U-terbalik yang menyatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, untuk mengejar pertumbuhan perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off). Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. dimana di dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dikorbankan pemerataan (distribusi) keuntungan ekonomi pada wilayah yang kurang memiliki kelimpahan sumberdaya alam (resource endowment). Namun kemudian lahir pula dalil fundamental ekonomi kesejahteraan kedua (second fundamental economic theorem), bahwa pertumbuhan (efisiensi) dan pemerataan (equity) dapat dicapai secara bersamaan dengan adanya campurtangan pemerintah kepada pengalokasian barang dan jasa di pasar terutama pada barang milik publik (common resources) melalui mekanisme perpajakan, transfer, dan subsidi.

Artinya, mekanisme pasar tetap berjalan dan akan mencapai efisiensi di dalam pemanfaatan sumberdaya, terutama pada transaksi barang dan jasa milik individu (private property) yang telah jelas hak-hak kepemilikannya, tetapi untuk pentransaksian barang-barang dan jasa milik umum (common property); yang sesungguhnya bukan berarti tidak ada hak, seperti yang dinterpretasikan oleh Garret Hardin (1968), melainkan ada hak masyarakat komunal lokal di dalamnya tetapi sering tidak diakui oleh pemerintah, diperlukan campurtangan pemerintah untuk mengaturnya.

(41)

umumnya, karena sistem pemerintahan yang diterapkan adalah “clean government”.

Pemerintah telah bertindak sebagai “benevolent institution” (institusi yang mengutamakan kepentingan bersama/rakyat).

Ternyata di dalam prakteknya, telah juga mengalami distorsi karena dengan kekuasaan yang besar pada pemerintah di dalam hal ini adalah pejabat pemerintah (birokrat) sebagai pengambil keputusan (decision makers), telah melahirkan aktifitas ekonomi yang disebut dengan perilaku mencari rente sumberdaya (rent seeking behaviour), DUP, profit seeking, free rider problems, main curang (cheating), melalaikan kewajiban (shirking), opportunism, yang terutama terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan ekonomi lebih ditentukan oleh keinginan untuk mencari rente dan komisi, dengan mengorbankan efisiensi ekonomi, izin-izin pemanfatan sumberdaya seperti lahan hutan diberikan tanpa memperhatikan kelangkaan dan kapasitas dari sumberdaya tersebut. Pejabat pemerintah hanya mengejar rente dari pungutan aktifitas ekstraksi sumberdaya yang dilakukan, tetapi apakah kegiatan ekstraksi itu menjamin kelestarian sumberdaya tidak lagi menjadi pertimbangan. Pada gilirannya terjadi korupsi yang luas, kebijakan yang salah arah (misleading policy). Timbul penyakit dan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipicu dengan salah satu komoditi andalan (outward looking strategies), sehingga semua aktifitas dikerahkan untuk menopang komoditi unggulan ini, pandangan ini di dalam ekonomi disebut dengan “Dutch Diseases”. Akibatnya terjadi degradasi sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.

Semua kebijakan yang salah arah ini, dan sifat rent seeking, Dutch disease,

(42)

(mismanagement). Sumberdaya menjadi terkuras sementara pertumbuhan ekonomi menjadi rendah, keuntungan dan manfaat yang diperoleh tidak dapat mengkonservasi kembali sumberdaya yang digunakan, pada gilirannya terjadi kerusakan-kerusakan dan degradasi sumberdaya dan lingkungan, yang kembali menimbulkan biaya-biaya ekonomi tinggi untuk memperbaikinya; terutama untuk sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources).

Terjadinya government failure di dalam mengatur perekonomian, kembali menyentakkan semua orang termasuk para ekonom pendukung kelompok moneteris dan menuduh bahwa teori ekonomi tidak mampu menangkap kenyataan (realitas) di tengah masyarakat. Campur tangan pemerintah hanya diperlukan terutama pada masalah-masalah yang menyangkut dengan kepentingan publik, dan pemerintah perlu campur tangan di dalam masalah common resources, tetapi pada sumberdaya yang dapat ditransaksikan di pasar, pemerintah tidak boleh campur tangan, karena akan menimbulkan biaya-biaya transaksi yang tinggi.

Analisis dari teori ekonomi terhadap kegagalan pemerintah ini telah dilakukan oleh para ekonom mutakhir pada awal abad ini. Salah satunya adalah Douglass C. North (1990), yang melihat adanya biaya transaksi (transaction cost) yang tinggi, sebagai akibat kelemahan kelembagaan pemerintah. Kegagalan pemerintah lebih disebabkan oleh kelemahan kelembagaan pemerintah dalam memaksakan aturan dan kesempatan yang telah dibuat untuk pengalokasian sumberdaya ekonomi. Menurut North (1990) biaya transaksi adalah kunci untuk memahami kinerja (performance) ekonomi di dalam suatu negara. Biaya transaksi diukur dalam suatu masyarakat dimana ada kepadatan jaringan sosial (social network of interaction) yang sangat rendah. Cheating, shirking, opportunism, semuanya telah mendasari teori organisasi ekonomi.

(43)

Menyangkut dengan masalah pertukaran antar individu, keperluan untuk sistem kelembagaan yang kuat dalam rangka agar mampu merealisasikan keuntungan produktifitas dalam hubungan pertukaran impersonal yang dikerangkai oleh keseluruhan perkembangan produk yang efisien dan pasar faktor dari pertukaran dengan gambaran yang jelas (reliable). Penetapan property right akan memberikan kesempatan kepada individu dalam suatu situasi saling hubungan yang sangat kompleks untuk mampu memiliki kepercayaan diri mereka dalam berhadapan dengan orang-orang yang tidak mereka ketahui dan dengan siapa mereka melakukan pertukaran (exchange), dan saling hubungan pertukaran yang tengah berjalan.

Jadi di dalam analisis ekonomi kelembagaan ada beberapa hasil yang diharapkan yakni: 1). Mengembangkan adanya kelompok ketiga di dalam pertukaran di pasar, dalam hal ini adalah pemerintah, yang menspesifikasi property rights dan memperkuat kontrak-kontrak yang telah dibuat (enforced contract) melalui aturan main yang jelas (rules of the games). 2). Penegasan norma tingkah laku yang mengendalai kelompok-kelompok yang berinteraksi di dalam transaksi pasar, yang telah menyebabkan tingginya biaya transaksi di dalam pertukaran--karena perilaku

cheating, dan shirking dalam melakukan transaksi pasar. Untuk mengatasi perilaku yang menyebabkan biaya transaksi menjadi tinggi adalah dengan mengembangkan informasi yang sama diantara pelaku pasar.

Oleh karena itu, kelembagaan menurut North (1990), diartikan sebagai aturan main (rule of the game), yang memperkuat karakteristik dari aturan, dan norma tingkah laku yang mengkerangkai perulangan interaksi diantara pelaku pasar agar tetap berperilaku sesuai dengan sifat aslinya yaitu rasional, dan ingin untuk memaksimumkan keuntungannya (profit motive), tanpa melakukan penipuan, melalaikan kewajibannya. Artinya seseorang yang mendapat keuntungan dan merasa lebih baik (well off) tanpa menyebabkan orang lain merasa dirugikan (worse off). Penegakan aturan dan memperkuat sistem kepemilikan (property right system) inilah yang menjadi tugas utama pemerintah di dalam sistem perekonomian.

Jadi, mekanisme pasar tetap harus berjalan sesuai dengan market clearing mechanism, tetapi pemerintah berkewajiban untuk tidak membiarkan pasar terdistorsi oleh tindakan-tindakan pelaku pasar yang melakukan shirking dan

(44)

dipasar. Oleh karena itu, sistem pertukaran ekonomi dapat dilakukan melalui dua cara yakni: 1) melalui mekanisme pasar sesuai dengan mainstream ekonomi klassik terutama pada sumberdaya yang telah tegas hak-haknya, dan; 2) melalui kelembagaan non pasar (non market institutions), terutama sumberdaya yang hak-hak kepemilkannya masih lemah dan tidak tegas (common property), transaksi dilakukan melalui penyusunan kontrak (contractual arrangement), sehingga pertukaran dapat dilakukan dengan prinsip sama-sama menguntungkan kedua belah pihak yang bertukar. Penyusunan kontrak dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang timbul. Dengan kata lain, untuk tercapainya kontrak diantara pelaku pasar (players) diperlukan interaksi terus menerus diantara agen ekonomi, sehingga perilaku shirking akan berkurang, keseimbangan Nash dapat dicapai (Nash Equilibrium); dimana perubahan strategi seorang agent tidak akan dapat merubah strategi aktor lainnya di dalam pertukaran (permainan), karena perubahan strategi apapun dari masing-masing kedua agent tersebut tidak akan mendatangkan keuntungan (pay off) yang tinggi. Sehingga tercapai kesepakatan dan permainan akan dimenangkan oleh kedua belah pihak yang melakukan pertukaran (permainan) inilah yang disebut dengan (cooperative games). Keadaan keseimbangan inilah yang disebut dengan keseimbangan Nash. Kemudian apabila keseimbangan Nash ini dapat terus dipertahankan, maka inilah yang membentuk aturan main (rule of the games) sebagai istilah lain dari kelembagaan di dalam ekonomi (North, 1990; Hudgson, 1996).

(45)

kelembagaan ekonomi negara berkembang tidak mampu membuat informasi menjadi symmetric; sebagai syarat terjadinya pasar yang efisien (Swedberg, 1994).

Jadi ekonomi kelembagaan baru (new instituional economic) yang diperkenalkan North (1990), telah menekankan bahwa kegagalan pasar itu lebih disebabkan oleh adanya biaya transaksi yang sangat tinggi (transaction cost theory), seperti biaya informasi, negosiasi, atau biaya pemaksaan, bahkan biaya-biaya ini pada kenyataannya tidak tercermin di dalam pembentukan harga atau dalam transaksi di pasar. Biaya-biaya inilah menurut North yang perlu dianalisis dalam kelembagaan (new institutional economic).

Perhatian terhadap kelembagaan ekonomi inilah yang telah menyebabkan sebagian ahli ekonomi melihat bahwa ilmu ekonomi telah kembali bersinggungan dengan ilmu sosial lainnya yang sama-sama fokus te

Gambar

Tabel 1 Luas Lahan dan Produksi Kayu manis
Gambar 1  Kerangka Pemikiran Tentang Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari
Gambar 2 Perkembangan Volume Ekspor Kayu manis Sejak
Tabel 3 Luas Lahan Sawah dan Kebun Sebagai Tanah Pusako di Setiap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 3.1, secara umum diperoleh bahwa berdasarkan indikator menunjukan kesukaan terhadap pembelajaran matematika dan menerapkan kegunaan mempelajari

Pola distribusi pada pengambilan sampel bulan Agustus dan September adalah pola distribusi yang mengelompok sedangkan pada bulan Juli 2009 pola distribusi Corbicula sp di sungai

Kegiatan yang dapat dilakukan oleh user yaitu melakukan scanning, masuk pada tampilan awal dari menu dcom, masuk ke menu utama, dan memilih beberapa pilihan

(3) langkah pelaksanaan, Pelaksanaan proses pembelajaran meliputi 3 tahapan : a) Tahap Pemberian Materi Dasar (Tahap I) Pada tahap pemberian materi dasar, materi yang

Tahapan pada penelitian ini meliputi preparasi bahan baku, ekstraksi natrium alginat dengan perlakuan konsentrasi kalium hidroksida yang berbeda sebesar 0,6%, 0,8%,

Hasil wawancara dengan guru PN dan SM mengungkapkan bahwa subjek KK yang memiliki kebiasaan mengimitasi permainan guru daripada membaca not balok akan menjadikan

Suasana dan karakter yang dihadirkan pada interior Organik Vegetarian Center ini adalah suasana modern retro yang berarti kembali ke masa lampau akan tetapi dikemas dengan

Untuk mencegah supaya masalah hospitalisasi teratasi maka peran perawat Untuk mencegah supaya masalah hospitalisasi teratasi maka peran perawat adalah tetap