• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pernikahan Secara Adat dan Makna Simbolisasi Berdasarkan Agama

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 80-84)

B. Maningkir tangga

4.2.4 Pelaksanaan Pernikahan Secara Adat dan Makna Simbolisasi Berdasarkan Agama

Terdapat perbedaan penggunaan symbol dan pemaknaan terhadap pernikahan secara adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya berdasarkan keanekaragaman agama yang kini dianut oleh generasi muda keturunan Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Hal ini dikarenakan perbedaan aturan tentang jenis makanan yang dapat konsumsi berdasarkan faham dari masing-masing agama yang dianut oleh generasi muda suku Batak Toba saat ini. Sejak penyebaran berbagai agama merebak di tanah Batak, “pendahulu Batak” memberi batasan yang jelas pada masyarakat Batak tentang koridor adat dan agama. Bagi masyarakat Batak, hubungan secara langsung antara pernikahan secara agama dengan pernikahan secara adat, menyangkut tata aturan tentang pensyahan

sebuah pernikahan berdasarkan aturan agama dan kelaziman makanan yang dapat dikonsumsi oleh penganut agama, seperti hasil petikan wawancara dengan Bapak M. Sirait:

Adat Batak itu, boleh dikatakan merupakan suatu yang khas dan unik, dalam hal ini dia bisa dilaksanakan oleh agama apapun tanpa merusak tatanan adat dan tatanan agama sekaligus (M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Juga seperti yang terungkap dari wasil wawancara dengan bapak M. Lubis berikut:

Secara umum tidak terdapat perbedaan pelaksanaan adat Batak toba berdasarkan agama yang dianut oleh masing-masing penyelengara adat pernikahan. Misalnya untuk konsumsi pokok pada acara pesta hanya menggunakan 2 (dua) macam istilah yaitu; “namarmiak-miak” dan sigagat duhut” atau yang berarti; hewan berlemak dan hewan pemakan rumput. Hal itu dikarenakan bahwa adat Batak itu terlepas dari unsur religi atau segala hal yang bersifat keagamaan. Baik dari penamaan benda-benda yang digunakan maupun prosesi. (M. Lubis, wawancara 21 Juli 2013).

Dari penelitian yang dilakukan terhadap warga Batak Toba yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya ditemukan hanya 4 (empat) agama yang masih memiliki penganut dari warga Batak Toba yaitu: Kristen Protestan, Katolik, Islam dan Parmalim. Penganut Hindu, Budha, Parhudamdam dan Parbegu tidak ditemukan dari suku Batak Toba sampai penelitian ini diselesaikan. Hal tersebut dimungkinkan dikarenakan agama-agama atau keyakinan yang disebut terakhir adalah keyakinan-keyakinan masyarakat Batak Toba dimasa keagamaan itu sendiri masih sesuatu yang asing bagi masyarakat Batak Toba di Tapanuli Utara, jadi bisa saja penganutnya telah habis atau terjadi perpindahan keyakinan yang disebabkan oleh berbagai macam kemungkinan.

Kristen Protestan berdasarkan hasil penelitian pada suku Batak Toba dalam segi penyediaan lauk makan dibagi lagi lebih rinci yaitu (HKBP) dan Kristen Kharismatik. Kedua aliran tersebut memiliki perbedaan walau tidak terlalu nyata, oleh sebab itu untuk menghilangkan kerancuan pada hasil penelitian ini kedua aliran tersebut dipisahkan.

Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan yang timbul pada pelaksanaan pernikahan yang didasarkan pada keagamaan hanya masalah lauk pauk utama yang digunakan sebagai konsumsi yang oleh orang Batak Toba disebut “ikkau mangan” yang mengandung pemaknaan sebagai lauk pauk pada hidangan makan bersama. Sedangkan penamaannya dan penyibolannya juga sama. Misalnya istilah konsumsi namarmiak-miak yang mengandung pemaknaan hewan peliharaan kecil yang gemuk. Untuk yang beragama Kristen diterjemahkan sebagai “binatang babi” dan untuk Parmalim dan Islam diterjemahkan “daging yang dari hewan kambing”. Secara singkat kesamaan penamaan symbol dan konsumsi yang digunakan berdasarkan agama yang menimbulkan makna yang berbeda adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2.3 Makna symbol berdasarkan agama

No Agama Penamaan/ simbol Makna 1. Kristen (HKBP) dan Katolik

namarmiak-miak Makanan olahan dari daging babi yang diberi darah atau bumbu khusus sehingga berwarna kecoklat-coklatan dengan pemotongan-pemotongan yang khusus untuk bagian-bagian tertentu sesuai tatanan Dalihan na Tolu

2. Kristen Kharismatik

Makanan olahan dari daging babi tanpa diberi darah warnanya putih kekuning-kuningan serta pemotongan-pemotongan yang khusus juga sesuai tatanan Dalihan na Tolu

3. Islam Makanan olahan dari daging kambing dan pemotongan-pemotongan yang khusus untuk bagian-bagian tertentu sesuai tatanan Dalihan na Tolu

4. Parmalim Makanan olahan dari daging kambing atau domba dengan pemotongan-pemotongan yang khusus untuk bagian-bagian tertentu sesuai tatanan Dalihan na Tolu 5 Kristen (HKBP, Kharismatik), Katolik, Islam, Parmalim sigagat duhut (binatang pemakan rumput)

Sapi atau kerbau yang disediakan menjadi lauk pauk utama dengan pemotongan-pemotongan dengan pola khusus pada bagian-bagian tertentu, yang memiliki fungsi-fungsi dan makna tertentu sesuai tatanan Dalihan na Tolu

Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang sangat menghargai agama dan juga majemuk dalam hal keagamaan. Pernikahan secara agama wajib dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing sebelum dilanjutkan dengan pernikahan secara adat.

Disisi lain, pernikahan secara adat Batak Toba juga wajib dilaksanakan sebagai bagian dari masyarakat yang menghargai budaya. Bagi masyarakat Batak Toba hal itu merupakan suatu konsep diri yang jelas dan merupakan suatu hukum adat yang tidak tertulis yang merupakan bagian dari seperangkat hubungan sosial agar mendapat pengakuan secara adat pada komunitasnya. Seperti juga yang di ungkapkan oleh bapak M.Sirait:

Umumnya cepat atau lambat masyarakat yang mengakui dirinya sebagai bagian dari suku Batak Toba akan menggelar pernikahan secara adat Batak Toba walau mereka telah dikarunia keturunan yang disebut dengan “sulang-sulang pahoppu”. Karena bila para “tetua” adat melihat dan menganggap keluarga yang belum mengadati itu mampu, namun mereka belum mangadati maka itu akan

terus dipertanyakan. Dan bagi suku Batak Toba, prosesi pernikahan secara adat atau yang disebut dengan “manggarar adat” adalah merupakan suatu hutang yang harus dibayar. (M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Simmel dalam Basrowi Sudikin (2002:113) bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi yang terpola seperti halnya jaring laba-laba. Maka pada masyarakat Batak Toba umumnya sepasang keluarga yang belum mengadakan pesta pernikahan secara adat akan terus dipertanyakan oleh pihak keluarga dekat maupun jauh, karena adanya suatu pemikiran bahwa adat itu adalah “hutang” jadi cepat atau lambat sebagai manusia yang tinggal dalam seperangkat hubungan sosial atau suatu komunitas yang terorganisir bagi keturunan Batak Toba, jika belum melaksanakan pesta pernikahan secara adat/ mangadati merupakan suatu “beban” moral. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan suatu kesadaran individu mengenai konsekuensi dari suatu hubungan sosial pada komunitas Batak Toba.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 80-84)