• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernikahan Batak Toba Berdasarkan Asas Dalihan na Tolu

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 34-39)

4.2. Hasil Penelitian

4.2.2 Simbolisasi Ucapan Selamat dan Umpasa pada Upacara Pernikahan Batak Toba

4.2.2.1 Pernikahan Batak Toba Berdasarkan Asas Dalihan na Tolu

Pernikahan pada adat Batak Toba didasarkan asas Dalihan na Tolu yaitu suatu sistem kekeraban yang sudah baku pada tatanan adat masyarakat Batak Toba tanpa terkecuali yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Perkembangan peradaban dan akulturasi di wilayah Jakarta dan sekitarmya tidak mempengaruhi keberadaan asas Dalihan na Tolu yang wajib harus hadir pada waktu yang sama saat pelaksanaan pernikahan secara adat Batak Toba. Ketiga unsur ini harus lengkap dari kedua belah pihak pemilik pesta yaitu paranak dohot parboru, “pemilik anak gadis (calon pengantin perempuan) dan pemilik anak laki (calon pengantin laki-laki). Seperti yang dituturkan oleh bapak M. Sirait pada petikan wawancara berikut:

Adat pernikahan secara adat Batak Toba, sejatinya itu berada pada keputusan Raja-raja dengan asas Dalihan na Tolu. Pihak itu menjadi salah satu pengambil keputusan tentang terlaksana atau tidaknya suatu adat serta juga pola tatanan adat yang akan dilakukan. Misalnya bagi orang yang secara financial tidak mampu diperbolehkan untuk melaksanakan adat pernikahan dengan “napuran/ debban” (daun sirih) yang dilengkapi dengan “hapur” (kapur pelengkap makan sirih) beserta daun gambir. (M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Sedemikian kuatnya peranan Dalihan na Tolu pada adat Batak, sehingga tanpa keberadaan Dalihan na Tolu acara adat yang sederhana atau yang paling mewah sekalipun tidak akan bisa berlangsung. Secara garis besar pernikahan secara adat Batak ada 2 (dua) yaitu:

4.2.2.1.1. Mangalua

Mangalua adalah solusi pelaksanaan pernikahan yang dilakukan tanpa restu atau bagi pasangan yang belum memiliki modal yang cukup untuk pelaksanaan pesta unjuk.

Umumya dilakukan oleh muda-mudi yang tidak mendapat ‘restu’ dari orang tua atau disebut, ‘kawin lari’. Atau bagi calon pasangan yang belum memiliki biaya yang cukup untuk melaksanakan pesta unjuk. Untuk keadaan dimaksud hal-hal yang dilakukan secara umum adalah calon pengantin laki-laki membawa secara diam-diam calon pengantin wanita Seperti penuturan bapak M. Sirait berdasarkan pengalamannya berikut;

Kami menikah 30 September 2002 dengan cara ‘mangalua’. Tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga istri saya menuju rumah orang tua saya dan menyampaikan kebulatan tekat kami berdua untuk tetap menikah walau tanpa restu keluarga ‘calon’ istri. Dan prosesi yang kami lakukan adalah;

i. Sesampai di rumah yang dituju ‘boru na diluahon’ “anak gadis yang dibawa dengan diam-diam oleh calon mempelai laki-laki langsung ‘dijopput boras dipirni tondi’ ke atas kepala kedua calon pasangan.

ii. Tuan rumah sebagai pihak yang akan ikut bertanggungjawab segera mengundang ; dongan tubu, boru, bere, dongan sahuta, pariban dan juga diberitahuan pada pemuka agama untuk mensyahkan secara agama.

iii. Pensyahkan secara agama oleh pemuka agama (sesuai dengan agama calon mempelai).

v. Boru/bere’ (3 kepala keluarga) berangkat ke rumah keluarga mempelai wanita (orang tua, bapa uda, atau teman semarga orang tua) membawa ‘ihur-ihur ni pinahan’ sebagai bukti bahwa anak gadisnya telah dinikahkan secara agama, agar orang tua mempelai wanita mengerti keadaan anaknya.

Kami mengambil langkah itu adalah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Agama atau keyakinan kami yang berbeda. Istri saya dan orang tuanya

beragama Kristen dan saya beserta keluarga saya menganut agama Malim. Untuk saat itu dan bahkan mungkin sampai saat ini tidak semua orang Batak yang mengetahui kalau Malim itu agama, dan juga kalau agama Malim itu masih ada. Jadi ketika itu, keluarga istri saya sangat tidak memberi restu kalau harus mempunyai hubungan dengan Parmalim apalagi kalau harus menikahkan salah satu anak gadisnya dengan jemaat Malim.

2. Secara financial kami juga ketika itu sangat tidak mampu. Ibu saya adalah seorang janda dengan empat orang anak. Hidupnya pas-pasan, dan saya sendiri ketika itu kerja sebagai buruh lepas.

(M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Mengantarkan “ihur ni pinahan” biasanya dipilih sebelum makan malam pada hari pernikahan secara mangalua diadakan. Hal ini dilakukan agar orang yang ditemui langsung menerima, memakan tanpa banyak bertanya. Sebab jika keluarga yang ditemui “menolak” maka orang yang bertugas mengantarkan ‘ihur ni pinahan’ harus mencari lagi orang lain, sampai ada yang menerima. Keluarga yang telah menerima “ihur ni pinahan” itu juga harus mengundang beberapa keluarga yang juga serumpun dan berdekatan dengannya agar ada saksi pemberian ‘ihur ni pinahan’ tersebut dan secara adat diakui. Keluarga yang kepandanya diberi ‘ihur ni pinahan’ bertanggungjawab memberi tahukannya pada keluarga ‘inti’ (ayah dan ibunya) pengantin wanita.

4.2.2.1.2 Manuruk-nuruk Setelah Mangalua

Manuruk-nuruk merupakan prosesi adat yang wajib dilakukan oleh pasangan pengantin yang menikah dengan cara mangalua atau kawin lari.

Manuruk-nuruk yang memiliki makna berjalan merunduk untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat dengan penuh kesadaran. Dilakukan oleh pasangan pengantin dikediaman orang tua pengantin wanita, beberapa bulan setelah pasangan pengantin yang ‘belum mendapat restu’ mangalua dan akhirnya mengadakan acara pernikahan secara keagamaan di rumah kediaman mempelai laki-laki atau kerabat yang dilanjutkan dengan prosesi adat, mengantar ‘ihur ni pinahan’ seperti yang sudah disampaikan pada bagian terdahulu.

Prosesi pernikahan secara ‘mangalua’ lazimnya dilanjutkan dengan acara ‘manuruk-nuruk’. Dalam pelaksanaannya diutuslah beberapa orang ‘dongan tubu’ pasangan yang telah ‘mangalua’ menemui orang tua pengantin wanita untuk membicarakan niat akan mengadakan acara ‘manuruk-nuruk’ yang lazimnya diadakan di kampung orang tua pengantin wanita. Kalau memungkinkan para utusan sekaligus membicarakan tentang persiapan mengadakan acara mangadati bagi pasangan dimaksud, namun kalau keadaan pihak keluarga yang baru terbentuk atau keluarga besarnya belum memungkinkan untuk mengadakan rencana untuk mangadati juga masih bisa ditunda sampai keluarga yang baru terbentuk merasa ‘mapan’ dan sanggup untuk mengadakan acara mangadati dan hanya akan membahas rencana ‘manuruk-nuruk’ terlebih dahulu. Seperti hasil wawancara dengan pak M.Sirait berikut:

Ketika sudah tiba waktu yang ditentukan maka pihak keluarga pengantin laki-laki, dongan tubu, boru, bere, pariban, dongan sahuta berikut pasangan pengantin baru ke rumah orang tua pengantin wanita (terdiri dari 10 s.d. 15 KK). Tahap-tahapan yang dilaksakan pada acara ‘manuruk-nuruk’ adalah;

i.‘Paranak’ membawa ‘sipanganon pinahan lobu lengkap dengan namargoar’ minimal dengan berat 20 s.d. 30 kg, berikut nasi dan lauk pauk lainnya sebagai pelengkap.

ii.‘Parboru’ menyiapkan ikan mas sebanyak 3 ekor atau kurang lebih 5 kg, yang akan dijadikan ‘tudu-tudu nisipanganon dan 3 ekor yang lain dengan berat yang kurang lebih sama, untuk dibawa pulang dengan utuh ke rumah keluarga orang tua pengantin laki-laki.

iii.Setelah semua pihak yang disebut di atas duduk saling berhadapan maka ‘paranak’ menyampaikan ‘tudu-tudu ni sipanganon/ pinahan lobu’ kemudian parboru membalasnya dengan menggunakan ikan mas.

iv.Makan bersama dengan hadirin atau pihak-pihak yang diundang.

v.Setelah selesai makan maka paranak menyampaikan niat pengantin baru, agar mereka diperkenankan berkunjung ke rumah orang tua mempelai wanita.

vi. Secara simbolis, kemudian parboru berunding dengan ‘horongnya’/ pihaknya apakah akan menerima atau tidak permohonan ‘paranak’. Biasanya ‘parboru’ meminta syarat yaitu;

a) Adat huta/ adat kampung berikut buka gorbang warga sekampung dari paranak berupa uang di dalam ampolop Rp. 10.000’- s.d. Rp. 20.000,-

b) Upah ‘damai dan menahan amarah’ untuk dongan tubu, boru, bere, pariban masing-masing minimal Rp.10.000,-

c) Pengganti ‘cicilan tuhor’ untuk orang tua pengantin wanita,

d) Pengantin harus meminta maaf pada orang tua pengantin wanita karena tindakan ‘mangalua’ yang telah mereka laksanakan.

vii. Pencicilan tuhor ke tulang pengantin wanita uang di dalam amplop minimal Rp.100.000,-

viii. Paranak membayar semua syarat yang diminta oleh parboru kemudian acara ditutup dengan doa dari pihak parboru.

(M.Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Manuruk-nuruk memiliki makna sebagai perwujudan dan permintaan maaf secara resmi dari kedua mempelai kepada kedua orang tua pengantin wanita, karena telah melakukan kesalahan mangalua /manuttun lomo, “telah melaksanakan kawin lari dan mengikuti kehendak hatinya sendiri tanpa restu dari orang tua”. Hal ini dilakukan agar setelah manuruk-nuruk orang tua pengantin wanita bisa bertemu dengan anak perempuannya berikut menantunya, dan kalau ada pesta adat pada keluarga besar (keluarga orang tua) pengantin wanita yang telah melaksanakan acara manuruk-nuruk, maka pasangan yang telah melakukan pernikahan secara mangalua diperkenankan secara

adat untuk mengikuti, dan hanya sekedar ‘membantu’ pelaksanaan adat pada keluarga besar pihak parboru dihari-hari mengikut, namun untuk menerima adat pasangan itu belum diperbolehkan, misalnya untuk menerima ulos, jambar dll mereka belum diperkenankan secara adat. Karena secara adat keluarga dimaksud belum menyelesaikan kewajiban dan konsekuensi pernikahannya atau disebut “belum manggarar adat” atau belum melunasi hutang adatnya pada keluarga pihak istri atau hula-hula.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 34-39)