• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara Sebelum Pernikahan (Sebelum Pesta Unjuk)

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 45-56)

1) Mangain/ Adopsi

4.2.2.2.2 Upacara Sebelum Pernikahan (Sebelum Pesta Unjuk)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosesi sebelum pernikahan dengan adat Batak Toba lebih detail yang dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tinimbang dengan prosesi untuk adat yang sama di wilayah Sumatera.

Upacara sebelum pernikahan dengan adat Batak Toba yang umum dilaksanakan di wilayah Jakarta dan sekitarnya terdiri dari:

4.2.2.2.2.1 Mangarisik- risik/ Hori-hori ding-ding

Prosesi mangarisik- risik atau hori-hori ding-ding dilakukan oleh 1 s.d. 2 orang dari pihak keluarga laki-laki (biasanya adalah perwakilan yang terdiri dari ‘boru’ keluarga paranak) seperti penuturan pak M. Sirait berikut:

Pihak boru dari keluarga paranak pergi menemui keluarga perempuan untuk klarifikasi tentang ‘berita’ yang disampaikan oleh anak laki-lakinya (calon mempelai laki-laki) bahwa dia memiliki hubungan ‘istimewa’ dengan salah seorang anak perempuan dari keluarga di rumah tersebut. Atau verifikasi data, tentang adanya hubungan istimewa diantara anak-anak kedua belah pihak.

Selesai ‘mengecek’ kebenaran adanya hubungan istimewa tersebut maka ‘boru’ yang telah di utus keluarga laki-laki tadi melapor pada ‘hula-hulanya’ atau orang tua pihak laki-laki tentang hasil pertemuan dengan orangtua calon mempelai wanita. (M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Makna acara mangarisik-risik adalah perkenalan dan merupakan pertemuan awal keluarga calon mempelai laki-laki dengan perwakilan dari pihak boru. Pertemuan pertama dan sekaligus dimanfaatkan sebagai sarana untuk klarifikasi akan kebenaran ‘keseriusan’ pasangan muda-mudi dari keluarga kedua belah pihak.

Untuk wilayah Sumatera, acara ini umumnya sudah ditiadakan dan sebagian dari masyarakat kalangan Batak Toba yang berdomisili di wilayah Sumatera mengadakan klarifikasi akan ‘keseriusan’ hubungan pasangan muda-mudi itu dengan menggunakan tekhnologi/ alat komunikasi atau melalui telepon. Bahkan sebagian orang tua memilih langsung bertanya kepada anaknya masing-masing atau pasangan muda-mudi yang punya

hubungan khusus dan punya niat untuk melanjutkan hubungannya kejenjang pernikahan. Dengan variasi ditanyakan pada kunjungan pribadi atau kesempatan lain.

Acara mangarisik-risik pada prinsipnya belum termasuk pada prosesi adat dan lebih didasarkan pada prinsip dan interaksi serta cara berfikir kelompok atau kedua belah pihak yang akan melaksanakan acara adat nantinya dan lebih kepada kontribusi masing-masing dalam menyikapi tradisi sosiokutural dan penggunaanya. Acara mangarisik-risik, dilaksanakan atau tidak belum mengandung konsekwensi terhadap keberlangsungan adat selanjutnya. Hal ini juga dituturkan oleh bapak R. Simatupang pada petikan wawancara berikut:

Sebagian masyarakat Batak Toba di Jakarta menjadikan acara ‘mangarisik-risik/ hori-hori dingding’ sebagai rapat internal kedua keluarga yang masing-masing anaknya telah memiliki hubungan istimewa dan ingin meningkatkannya pada jenjang yang lebih serius.

Untuk acara mangarisik-risik paranak tidak mengutus pihak boru, namun langsung dilakukan oleh keluarga inti (orang tua) calon pengantin laki-laki dan perempuan. Dan langsung membicarakan hal-hal yang sifatnya prinsipil, yaitu; (i) Keseriusan hubungan anak -anak mereka dan tindak lanjutnya. Apakah

kedua belah pihak keluarga inti benar-benar sependapat untuk rencana pelaksanaan pesta pernikahan.

(ii) Kemungkinan jumlah tuhor atau mahar yang harus diberikan oleh keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga orang tua calon pengantin wanita. (iii) Rancangan waktu pelaksanaan. Hal itu tujuannya agar ketika acara

selanjutnya berlangsung yang sudah melibatkan unsur eksternal, tidak terlalu banyak perbedaan-perbedaan pendapat sehingga menimbulkan perselihan faham. (R. Simatupang, wawancara 15 September 2013).

Marhori-hori ding-ding atau mangarisik-risik juga memiliki makna sebagai symbol bahwa persiapan pernikahan secara adat Batak Toba siap dimulai. Juga menandakan bahwa keluarga pihak laki-laki menerima dengan tangan terbuka keinginan anak lelakinya untuk mempersunting anak perempuan dari keluarga dimaksud atau calon

besan. Dalam pertemuan mangarisik-risik kedua belah pihak ingin mencari persepakatan tentang bentuk pelaksanaan pesta adat yang akan dilakukan.

Ditinjau dari sudut komunikasi dan interaksi simbolik mangarisik-risik berfungsi sebagai penyamaan pemahaman dan persepsi akan identitas para pelaku dan hubungannya dengan kebudayaan di mana masing-masing calon pelaku budaya tersebut menjadi bagiannya.

4.2.2.2.2.2 Marhusip/ Patua hata

Marhusip atau patua hata merupakan suatu konsep yang dilaksanakan setelah selesai prosesi mangarisik-risik. Kegiatan ini sudah merupakan bagian dari prosesi adat secara keseluruhan. Marhusip/ patua hata dilaksanakan di kediaman orang tua calon pengantin wanita dengan aturan adat yang sudah jelas seperti petikan hasil wawancara dengan Bapak R. Simatupang berikut:

Paranak (orang tua) calon mempelai laki-laki; datang kekediaman keluarga calon pengantin wanita dengan membawa lauk pauk yang telah masak dan siap dihidangkan. Lengkap dengan namargoar berikut nasi dan beberapa hidangan pelengkap lainnya.

Parboru atau orang tua calon pengantin wanita menyiapkan ikan mas berikut nasi yang akan digunakan sebagai pelengkap hidangan yang dibawa oleh keluarga calon pengantin laki-laki untuk acara marhusip.

Hal-hal yang dibicarakan pada saat marhusip; a. Sinamot/ tuhor

Besarnya tuhor atau jumlah mahar sudah menjadi keputusan yang harus dilaksanakan apabila sudah disepakati dan diperdengarkan kepada hadirin ketika marhusip, karena sudah disaksikan oleh Raja-raja.

b. Ulaon unjuk

Mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu orang tua calon pengantin laki-laki, serta orang tua calon pengantin wanita pada acara yang akan dilaksanakan nantinya.

Hak Parboru (orang tua calon mempelai wanita); a) Sinamot/ Tuhor

Berapa jumlah Tuhor/ sinamot dari pihak paranak yang akan diberikan kepada pihak parboru. Pihak parboru harus berbagi dengan tulang/ paman kandung calon pengantin laki-laki, walaupun pada kegiatan sebelumnya parboru dengan tulang paranak tidak saling kenal, namun tentang tuhor atau mahar borunya harus berbagi dan dengan aturan yang sudah jelas.

b) Panandaion

Yaitu sejumlah uang yang harus diberikan oleh orang tua calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon pengantin wanita di luar ketentuan tuhor yang telah disepakati.

c) Pinggan panganan

Berarti piring yang terbuat dari tanah liat atau piring porcelen merupakan suatu peristilahan untuk piring makan. Umumnya diberikan hanya satu kepada raja parhata maroppu-oppu atau berdasarkan hitungan garis keturunan pada marga dimaksud.

d) Pinggan panukkunan

Merupakan satu piring yang berisi beras dan 4 (empat) lembar uang kertas. Biasanya yang digunakan adalah pecahan lembaran uang yang nominalnya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) atau Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) tergantung keadaan ekonomi pemilik pesta atau kerelaan paranak namun dengan nilai nominal yang sama ke-empat lembar uang dimaksud. Dari empat lembar uang kertas tersebut, maka 3 (tiga) lembar menjadi milik parsinabung atau protokol calon mempelai wanita. Didalam piring disisakan satu lembar serta diberikan kepada parsinabung calon mempelai laki-laki.

Hak Paranak (orang tua calon mempelai laki-laki); a) Ulos.

Jumlah ulos yang digunakan harus ganjil, hal ini diambil dari falsapah adat Batak toba ‘Dalihan na Tolu’. Ketentuan jumlah ulos yang biasa dipakai adalah 7 (tujuh), 11 (sebelas), 17 (tujuh belas). Tentang jumlah yang digunakan pada pesta pernikahan, marga-marga tertentu memiliki ketentuan yang bersifat menyeluruh.

b) Ulos tinonun sadari

Arti harfiahnya adalah ulos yang ditenun selama satu hari. Ini adalah suatu peristilahan untuk sebutan ulos yang diganti dengan uang. Hal ini dilakukan mengingat keluarga besar laki-laki atau paranak tidak semua mendapatkan ulos, jadi diberilah pengganti ulos dalam bentuk uang.

Ini merupakan kesinambungan dari pinggan panukkunan yang diberikan kepada keluarga parboru yang diwakili oleh parsinabung parboru kemudian piring yang berisi beras dan uang yang disisakan 1 (satu) lembar diteruskan kepada parsinabung paranak dan uang yang tinggal 1 (satu) lembar itu adalah hak parsinabung paranak.

d) Jumlah undangan

Untuk jumlah undangan biasanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Apakah skala 50:50 atau 60:40, dst. (tergantung kesepakatan), namun umumnya posisi pesta dimana (diparanak atau diparboru) turut menentukan jumlah skala dimaksud.

e) Membicarakan langkah selanjutnya, jangka panjang atau jangka pendek. Jangka pendek yang paling dekat adalah acara partuppolon.

f) Pembagian uang ingot-ingot

(R. Simatupang, wawancara 15 September 2013)

Dari pemaparan di atas ada terdapat beberapa penggunaan symbol-simbol yang digunakan pada prosesi sebelum pernikahan yang mewakili makna tertentu yaitu

:

1) Uang ingot-ingot

Symbol berupa uang maknanya sebagai alat pengingat bagi hadirin akan hasil kesepakatan rapat pada kegiatan marhusip. Juga merupakan suatu identitas bagi hadirin untuk dijadikan sebagai pengingat agar menghadiri dan mengikuti pelaksanaan pesta yang akan dilakukan di hari yang telah disepakati bersama pada kegiatan dimaksud.

2) Uang dibagikan kepada hadirin dari kedua belah pihak dan saling bertukar.

Maknanya uang ingot-ingot yang berasal dari paranak diberikan pada keluarga parboru dan sebaliknya, menandakan adanya pengakuan dari masing-masing pihak terhadap pihak yang lainnya. Dan sejak acara marhusip diadakan maka untuk acara

selanjutnya yang berhubungan dengan pelaksanaan adat dimaksud kedua belah pihak yaitu paranak dan parboru akan saling menopang dan saling mendukung.

Jarak waktu antara marhori-hori ding-ding dengan marhusip itu relative, (umumnya 2 (dua) minggu sampai 1 (satu) bulan. Serta sama-sama dilakukan di rumah calon pengantin wanita. Acara marhusip dalam rangkaian persiapan prosesi pernikahan juga dilaksanakan di daerah Sumatera tepatnya tanah Batak.

4.2.2.2.2.3. Martuppol/ Pra Nikah

Martuppol/ Pra nikah dilakukan di gereja dan hanya dilakukan oleh masyarakat Batak Toba yang beribadah di gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sedangkan yang beragama lain atau Kristen dengan tempat ibadah yang berbeda, misalnya Pantekosta, Katolik, dan demikian juga dengan agama Islam, Malim dan agama lain tidak mengadakan prosesi martuppol/ pra nikah. Dalam hal ini sebagian besar masyarakat Batak Toba menganut agama Kristen dengan spesifikasi HKBP.

Acara “martuppol/ pra nikah” pada suku Batak Toba secara komunikasi merupakan suatu bentuk simbolik yang mencerminkan identitas si calon pemilik pesta secara agama, karena identitas juga mengubah mekanisme, seperti yang dituturkan oleh bapak R. Simatupang pada hasil wawancara berikut:

Martuppol tujuannya adalah untuk mendaftarkan kedua calon mempelai kepada pihak gereja dan mencatatkan rencana pernikahan keduanya. Hasil dari acara martuppol dan rencana pernikahan akan diumumkan di gereja masing-masing calon mempelai dan keluarganya selama 2 (dua) minggu berturut-turut, yang bertujuan memberitahukan kepada hadirin dan khalayak ramai akan rencana pernikahan serta sekaligus mohon do’a restu dari hadirin.

Bila ada dari masyarakat yang merasa dirugikan akan rencana pernikahan yang akan digelar misalnya; masih punya hubungan “istimewa”/kekasih atau pacaran atau terikat janji dengan salah seorang calon mempelai, maka orang yang dirugikan dimaksud dipersilahkan memberitahukan keberatan atau tidak merestui rencana pernikahan dengan alasan yang tepat.

Dengan alasan yang tepat dan dapat dibuktikan, pihak gereja berhak menunda atau bahkan membatalkan rencana pernikahan yang akan digelar atau diadakan sampai pada akhirnya masalah dimaksud benar-benar tuntas dan layak untuk dinikahkan secara Kristiani atau gerejawi.

Selesai acara ibadah dan martuppol di gereja, maka masing-masing pihak (paranak dan parboru) mengadakan acara yang berhubungan dengan rencana pelaksanaan pernikahan namun dengan konteks yang berbeda dan juga berada pada tempat yang berbeda yaitu:

a) Paranak

Mengadakan acara ‘martonggo raja’ ini merupakan simbolisasi memberi makan para “Raja-raja”, yaitu suatu rapat yang membahas dan membicarakan rencana pernikahan atau mematangkan persiapan untuk pelaksanaan acara adat.

Acara ini juga dihadiri oleh dongan sahuta, namun untuk “tulang/ hula-hula orang tua” tidak diperkenankan hadir, karena pada acara ini mereka belum memiliki hak yang spesifik.

b) Parboru

Mengadakan acara ‘marria raja’, marria artinya; membuat kesepakatan, agar orang yang melaksanakan ‘marria’ seia, sekata; satu ucapan dan satu pelaksanaan.

Konteksnya sama dengan martonggo raja yaitu memberi makan juga para ‘Raja’ dari pihak parboru. Unsur-unsurnya tentu saja dengan posisi yang sama di pihak paranak . Pada waktu ‘Marria Raja’ juga dibicarakan pembagian tugas, misalnya saja siapa yang akan mengurusi makanan, marsibuha-buhai apa yang harus dipersiapkan dan siapa yang akan menyiapkannya dll.

Bagian-bagian ‘jambar’ juga sudah berlaku secara resmi, misalnya; bagian kepala, untuk ‘dongan sahuta’ yang mengandung makna; sebagai pelindung, ihur untuk boru yang mengandung makna bahwa ‘boru’ sebagai sumber keturunan. Dan jika di telaah lebih jauh memang segala sesuatu dalam pembagian jambar pada dasarnya sesuai dengan tugas dan fungsi sosial masing-masing.

(R. Simatupang, wawancara 15 September 2015)

Acara ini dilaksanakan secara terpisah antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Artinya calon pengantin laki-laki bersama keluarga dekatnya mengadakan acara martonggo Raja, demikian juga calon mempelai wanita melakukan

acara marria Raja di lingkungannya dengan keluarga “intinya” untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pesta adat pernikahan yang akan digelar.

Acara martuppol merupakan suatu bentuk komunikasi simbolik kepada khalayak (khususnya warga satu jemaat di tempat peribadatan) akan adanya suatu rencana pernikahan yang akan dilaksanakan yang juga menyangkut identitas sosial para pihak yang akan mengadakan acara pernikahan. Hakikatnya bagi masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dan beribadah di HKBP martuppol merupakan salah satu “tolak ukur” akan dapat tidaknya suatu rencana acara pernikahan dilanjutkan. Bila selesai prosesi martuppol, ternyata ada pihak-pihak yang masih punya keterhubungan secara “asmara” dengan para calon pengantin, maka rencana acara pernikahan bisa saja ditangguhkan atau malah dibatalkan atau bisa juga menjadi cikal bakal perubahan mekanisme selanjutnya, yang merupakan suatu respon atau reaksi terhadap pandangan orang lain dalam interaksi sosial calon pengantin dalam kehidupannya.

Prosesi martuppol yang umumnya digelar di Gereja dilanjutkan dengan prosesi adat yang disebut dengan “martonggo raja dan marria raja” yang digelar sekaligus oleh masing-masing pihak, namun ditempat yang terpisah walau dengan kepentingan yang sama yaitu persiapan pesta pernikahan yang akan diadakan. Yang juga dipertegas oleh hasil petikan wawancara dengan pak R.Simatupang berikut:

Pokok-pokok pembicaraan pada acara marria Raja:

Siapa yang akan menjadi ‘parsinabung’ pada acara adat yang akan diadakan. Tentang siapa yang akan jadi parsinabung pada adat Batak Toba punya aturan yang jelas seperti yang ditulis pada umpasa berikut;

‘Tinallik sibuk-sibuk, tarida ma holi-holi

Molo hahana parsinabung, angginama panghobasi (R.Simatupang, wawancara 15 September 2013)

Maknanya; kalau yang mengadakan pesta adalah adik, maka sang kakaklah yang jadi parsinabung, dalam hal ini yang dimaksud adik dan kakak bukanlah ‘seayah dan seibu’ tapi adik atau kakak ‘semarga’. Juga berlaku ketentuan yang sama untuk yang sifatnya timbal balik, artinya; seseorang yang mengadakan pesta berikut saudara kandungnya, tidak bisa menjadi ‘parsinabung’ dalam pestanya sendiri, demikian juga dengan saudaranya kandung, jadi harus haha angginya dst. Tetapi juga tidak bisa dari marga yang berlainan, kecuali marga yang masih ‘serumpun’.

Ketika prosesi “marria raja” dan “martonggo raja” berlangsung, terungkap pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan pesta pernikahan, juga akan membahas persiapan seputar proses-proses interaksi adat, susunan atau urutan prosesi yang akan dilaksanakan yang sampai pada prosesi marria raja dan martonggo raja masih bisa berubah. Marria raja dan martonggo raja umumnya dihadiri oleh kelompok-kelompok utama paranak atau parboru atau pihak yang merupakan bagian penting dalam perhelatan adat yang akan diadakan.

Untuk acara adat yang akan dilaksanakan di kota yang berbeda dengan tempat tinggal calon pengantin wanita, pada acara marria raja juga biasanya diundang handai taulan, kenalan atau teman-teman dari calon pengantin wanita atau keluarganya yang kemungkinan tidak bisa menghadiri acara pernikahan dikarenakan lokasi pesta pelaksanaan yang berjauhan. Marria raja juga dapat dijadikan sebagai ajang keluarga pihak wanita atau calon pengatin wanita untuk menerima sumbangan material atau

sumbangan lain dari hadirin yang berkenaan dengan rencana pelaksanaan pesta pernikahan yang akan diadakan.

Untuk daerah tanah Batak sendiri, acara marria raja dan martonggo raja umumnya tidak diadakan. Termasuk bagi mereka yang beragama Kristen dan beribadah di HKBP. Selesai acara martuppol di gereja, umumnya masing-masing pihak kembali ke kediaman masing-masing dengan aktivitas masing-masing juga, karena tidak ada lagi acara yang diadakan sehubungan dengan persiapan akan pelaksanaan pesta adat.

Berikut adalah tabel perbedaan persiapan prosesi pernikahan dengan pesta unjuk di wilayah Jakarta dan sekitarnya dibandingkan dengan persiapan pelaksanaan pesta serupa di tanah Batak Toba.

Tabel 4.2.2.2.2

No Acara Tempat Pelaksanaan adat

Jakarta Tanah Batak

1 Mangarisik- risik/ Hori-hori ding-ding

Belum merupakan prosesi adat.

Diadakan kediaman orang tua calon mempelai wanita, dengan tujuan perkenalan dan klarifikasi kebenaran ‘keseriusan’ 2 orang calon pengantin

Tidak diadakan.

2 Marhusip/ Patua hata

Dengan aturan adat yang sudah jelas. Dilaksanakan di kediaman orang tua calon pengantin wanita dengan aturan adat yang sudah jelas yaitu untuk membahas persiapan pelaksanaan pesta adat.

Diakhiri dengan pembagian uang ingot-ingot.

Aturan adat yang sudah jelas.

Digelar di kediaman orang tua calon pengantin wanita dengan aturan adat yang sudah jelas.

Diakhiri dengan ucapan olop-olop.

3 Martuppol Khusus untuk Batak Toba yang

beragama Kristen dan HKBP

Batak Toba yang beragama Kristen dan HKBP

4 Martonggo raja

Diadakan oleh keluarga calon mempelai laki-laki sebagai upaya untuk

‘mematangkan’ persiapan pelaksanaan pesta adat pernikahan.

5 Marria raja Oleh keluarga calon mempelai wanita sebagai upaya untuk ‘mematangkan’ persiapan pelaksanaan pesta adat pernikahan. Dan bila pesta pernikahan akan diadakan di kota yang berbeda, juga digunakan sebagai wahana untuk mengucapkan ‘selamat’ atas rencana pernikahan kepada calon mempelai wanita.

Tidak diadakan

Tabel Perbedaan Pelaksanaan Upacara Sebelum Pernikahan di Wilayah Jakarta dengan di tanah Batak

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 45-56)