• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak

Suku Batak memiliki tiga (3) ciri-ciri: (1). Susunan genealogisnya dengan pembagiannya atas marga, yang patrilineal dan exogam (kawin di luar marga sendiri), (2). Agama suku asalnya terdiri dari pemujaan nenek moyang dan penyembahan roh-roh, (3). Persawahan, aksara (system tulis-menulis) dan banyak sifat agamanya berasal dari perjumpaan dengan kebudayaan India, O.P. Simorangkir (2007:4). Singkatnya masyarakat Batak merupakan kelompok masyarakat yang telah memiliki kebiasaan, kebudayaan sendiri baik seni, aksara dan tata kehidupan lainnya yang belum tentu semua kelompok masyarakat lain memilikinya.

Sebagaimana konsep umum yang menyatakan bahwa kelompok masyarakat merupakan kelompok kecil manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan persatuan yang sama meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil. Seperti halnya pengelompokan yang ada pada suku Batak yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa suku Batak terbagi dalam berbagai sub suku yang didasarkan atas pemakaian bahasa masing-masing, dan semua daerah asalnya adalah provinsi Sumatera Utara.

Saat ini masyarakat Batak tersebar di berbagai kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota pada sebagian besar provinsi-provinsi di Nusantara bahkan di manca negara, yang

(2)

dikenal dengan sebutan Batak rantau atau suku Batak perantau. Kegiatan merantau sudah dilakukan oleh suku Batak secara turun temurun sehingga banyak diantara mereka yang sudah tinggal di daerah rantau, bahkan hasil dari lembaga survey menunjukkan bahwa lebih dari dua atau bahkan tiga generasi suku Batak telah ada di daerah perantauan.

4.1.1 Masyarakat Batak Toba

Penelitian ini merupakan suatu studi tentang budaya masyarakat Batak toba khususnya tentang pelaksanaan pernikahan di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang dilakukan pada pertengahan tahun 2013, dengan melakukan observasi, mengamati dan sekaligus mewawancarai para pelaku adat Batak Toba. Dari pelaku adat yang masih muda usia pernikahannya sampai pada pelaku adat yang telah puluhan tahun usia pernikahannya baik pengamatan secara langsung maupun tidak langsung. Disisi lain, sebagai bagian dari komunitas suku Batak Toba yang berdomisili di Jakarta peneliti juga sekaligus sebagai pelaku adat dan berperan sebagai partisipan observatif.

Informan dipilih sebanyak 7 pasang keluarga. Yaitu pasangan masyarakat Batak Toba yang lahir dan besar di kampung halaman (Tapanuli Utara) dan kemudian melangsungkan pernikahan di kota Jakarta, pasangan pengantin Batak Toba dengan pernikahan campuran (akulturasi) dengan suku di luar Batak Toba dan pasangan keturunan Batak Toba yang lahir dan dibesarkan serta menikah di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Masyarakat Batak Toba yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya pada umumnya berasal dari wilayah pegunungan punggung Bukit Barisan di sekeliling Danau

(3)

Toba, yang diperkirakan sudah bermukim disana sejak kurang lebih 1000 (seribu) tahun yang lalu, Gens G Malau (1994:17), perhitungan itu didasarkan pada tingkat urutan keturunan marga-marga Batak yang ada di tanah Batak dan diperantauan hingga saat ini. Hal senada dipertegas oleh, N. Siahaan (1964:8) yang menyatakan bahwa, daerah asal suku Batak Toba meliputi wilayah yang cukup luas yakni; Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Silindung sampai ke Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran, yang luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas permukaan laut.

Umumnya warga Batak Toba memiliki kebiasaan untuk menghargai marganya, tarombo (silsilah), marga ibunya dan juga asal usul kampung nenek moyangnya (leluhur), yang dalam pergaulan sosial dan pergerakan sebagai bagian dari warga negara Indonesia telah menonjol sejak 1928 dengan sebutan “Jong Bataks” H.P. Panggabean (2007:110).

Hubungan sosial kemasyarakatan Batak Toba yang berjalan dengan marga dan Tarombo (silsilah) juga diungkapkan oleh, Sianipar (1991:12) bahwa, masyarakat Batak adalah masyarakat marga, alhasil dalam kegiatannya sebagai kelompok masyarakat, warga Batak tidak dapat meninggalkan keterlibatan marganya beserta pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Sedangkan penentuan sistem kemasyarakatan Batak Toba adalah patrilineal yaitu garis keturunan ditarik berdasarkan garis dari Ayah.

Marga dan tarombo (silsilah) dalam sistem kekerabatan suku Batak Toba memudahkan hubungan penemutunjukkan posisi sosial dan pranata antar orang Batak dalam hubungan kekerabatan dan penentuan posisi dalam kegiatan adat. Setiap individu

(4)

“diberi” kebebasan untuk menentukan posisi kedudukannya “parhundulan” terhadap orang lain pada suatu kegiatan adat sesuai dengan identitas marga yang melekat padanya.

Bersadarkan hal itu sangat dimungkinkan untuk mengetahui keberadaan masyarakat yang berasal dari suku Batak secara umum pada suatu wilayah tertentu dengan melihat kekhususan marga diakhir pencantuman nama pada suatu identitas, walau masih tetap dimungkinkan tidak dicantumkannya marga dibelakang nama seorang anak yang orangtuanya bersuku Batak, hal itu merupakan suatu kenisbian.

4.1.2 Masyarakat Batak Toba Diperantauan

Masyarakat Batak Toba memiliki kebiasaan untuk merantau (meninggalkan tanah asal). Ini bisa terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor ekonomi yaitu untuk mencari kehidupan yang lebih layak, meningkatkan taraf hidup keluarga, atau untuk meningkatkan taraf pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang terdapat pada falsafah dan senandung masyarakat Batak Toba yaitu: “Huta ni Damang hatubuan, oh inong, among eee, dang marimbar tano hamatean”, seorang anak memang lahir di kampung Ayah (kampung halaman nenek moyang), namun boleh bermukim/mencari nafkah bahkan meninggal dimana saja, termasuk di daerah perantauan”.

Kegiatan merantau yang telah berlangsung secara turun-temurun itu masih tetap berlangsung sampai sekarang dan bahkan boleh dikatakan mengalami peningkatan, namun secara umum domisili yang jauh dari tanah leluhur tidak mengurangi kecintaan masyarakat Batak Toba terhadap adat istiadat dan budaya leluhur, untuk pelestarian

(5)

budaya yang sudah dilaksanakan secara turun temurun itu maka diperantauan mereka membentuk komunitas.

Komunitas suku Batak secara umum yang telah ditemukan di wilayah perantauan, termasuk di wilayah Jakarta dan sekitarnya dapat dibagi dalam tiga (3) bagian: (1). Persekutuan karena ikatan pertalian darah (marga), (2). Karena ikatan kedaerahan (parsahutaon), (3). Karena ikatan kepentingan yang sama (parhundulan). Misalnya: pekerjaan yang sama, arisan, kelompok olah raga, pendidikan, koperasi dll, H.P. Panggabean (2007:8) dari semuanya itu yang paling umum dan mutlak diikuti adalah persekutuan karena ikatan pertalian darah (marga). Adapun tujuan dari perhimpunan marga umumnya adalah untuk memelihara nilai-nilai silaturahmi yang sangat berperan dalam pelaksanaan adat Habatahon.

4.1.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Posisi sistem kekerabatan Batak Toba secara pasti tentunya merupakan salah satu dari tiga posisi yang terdapat pada unsur Dalihan na Tolu (DNT). Dalihan artinya; tungku yang terbuat dari batu alam, na artinya ‘yang’ dan tolu artinya ‘tiga’. Jadi secara harfiah Dalihan na Tolu artinya “Tungku yang Tiga”, walau ada juga yang menyebutnya sebagai “tiga tiang tungku” yang merupakan satu kesatuan dan saling menopang. Kehadiran salah satu unsur sangat mempengaruhi unsur yang lain, bahkan tiap unsur tidak akan dapat berfungsi secara maksimal tanpa kehadiran unsur yang lain. Dalam hal ini, tidak ada yang perannya melebihi unsur yang lain dan sebaliknya.

(6)

Menurut sejarah Batak itu sendiri, Dalihan na Tolu merupakan bayangan (refleksi) dari Debata na Tolu di alam gaib/roh yaitu: Bataraguru, Balasori, Balabulan yang menurut mitologi juga, merupakan anak hasil perkawinan Debata Mula Jadi na Bolon dengan Manuk Hulambujati, mereka adalah penguasa dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah (Tiga dewa serangkai/ Trinitas), O.P. Simorangkir (2007:13). Mula Jadi na Bolon sebagai Ilah yang tidak bermula dan tidak berakhir, menyerahkan kekuasaan kepada 3 (tiga) anaknya tersebut. Hal itulah yang diyakini merupakan cikal bakal Dalihan na Tolu sampai saat ini.

Keterhubungan tiga unsur dalam Dalihan na Tolu pada kehidupan masyarakat Batak Toba dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 4.1.3: Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba (DNT)

Sumber: Berhala, Adat Istiadat & Agama (O.P. Simorangkir 2007;74) Keterangan gambar:

Sistem kekerabatan Batak Toba diibaratkan dengan tiga tungku yang terbuat dari batu. Ketiga batu tersebut berfungsi sebagai penyanggah pada perapian dan ketiga-tiganya mempunyai peranan masing-masing yang cukup jelas dan cukup seimbang.

Dongan sabutuha Hula - hula

(7)

Sebelum melaksanakan satu acara adat, lazimnya semua unsur dalam Dalihan na Tolu akan terlebih dahulu berkomunikasi dan berdiskusi untuk menyamakan persepsi tentang hak dan kewajiban masing-masing pada acara adat yang akan digelar sesuai hukum adat yang berlaku.

4.1.3.1 Dalihan na Tolu (DNT)

Saat ini, Dalihan na Tolu sebagai lembaga adat, secara hukum telah diatur dalam Perda No. 10 Tahun 1990 sebagai suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II di seluruh kecamatan dan Desa di daerah Tobasa (kabupaten Toba Samosir provinsi Sumatera Utara), dipertegas oleh Pasal 39 (2) dan Pasal 41, PP No.76 Tahun 2001 tentang pedoman Umum Pengaturan Desa, H.P. Panggabean (2007:98). Dalam Perda dan PP secara gamblang diterakan bahwa, Dalihan na Tolu melambangkan pengakuan atas adanya pembagian kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam tiga kelompok utama. Yang terdiri dari: (1) Dongan sabutuha/ Dongan tubu artinya; saudara kandung seayah dan seibu. Namun bagi masyarakat Batak Toba hal itu dimaknai secara menyeluruh yaitu, orang-orang yang berasal dari satu marga dengan suami atau saudara laki-laki suami. (2) Hulahula, yaitu marga asal istri atau keluarga Ayah atau saudara laki-laki dari keluarga istri, dan (3) Boru yaitu saudara perempuan dari pihak suami beserta keluarganya. Dengan timbulnya kelompok tersebut, terciptalah struktur sosial masyarakat yang baku, dimana ketiga kelompok tersebut bergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam suatu tatanan masyarakat. Setiap orang Batak khususnya yang mengerti adat dimanapun berada harus memahami filsafat Dalihan na Tolu, H.P. Panggabean

(8)

(2007:3). Ketiga fungsi sosial tersebut terus berinteraksi kedalam dan keluar kelompok sehingga Dalihan na Tolu dikategorikan sebagai sistem yang mendekati sempurna dalam pranata adat dan budaya Batak.

Tidak hanya sekedar menetapkan struktur sosial dan fungsi dalam tatanan adat, Dalihan na Tolu juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan setiap kelompok terhadap kelompok lain. Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap dongan sabutuha (teman satu marga). Bila ada tindakan yang akan dilakukan dan ada perkataan yang akan diucapkan kepada dongan tubu harusnya benar-benar difikirkan dengan bijaksana, sehingga tidak sampai menimbulkan kesalahfahaman. Somba atau sopan serta hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan oleh boru terhadap hulahula dan elek atau lemah lembut serta pandai membujuk/ mengayomi merupakan sikap yang harus ditampilkan oleh hulahula terhadap boru.

Dalam upacara perkawinan secara adat Batak Toba, ketiga unsur Dalihan na Tolu dari pihak calon pengantin laki-laki dan perempuan harus hadir. Sebab perkawinan pada Batak Toba menimbulkan adanya ikatan yang terpadu (terintegrasi) diantara Dalihan na Tolu, seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur dalam hidup sehari-hari, O.P. Simorangkir (2007:74). Dalihan na Tolu berembuk untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai adat yang berlaku yang dirangkum ke dalam beberapa kegiatan yang sarat dengan interaksi simbolik, tetapi pada kesempatan ini yang akan di bahas adalah makna simbol-simbol yang digunakan pada pernikahan secara adat Batak Toba saja.

(9)

4.1. 3.1.1 Hulahula

Kedudukan “hulahula” pada suku Batak Toba dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur berkat, karena itu harus dihormati, walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan kepangkatan di luar adat lebih tinggi, namun secara adat hulahula tetap harus dihormati.

Fungsi Hulahula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dapat dirinci dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Sebagai tempat meminta nasihat dan bantuan moral pada suatu musyawarah adat demi terlaksananya sebuah rencana upacara adat.

2. Memberkati dan berdoa ketika upacara adat berlangsung agar acara adat berlangsung tanpa hambatan dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun.

3. Sebagai penengah bila terjadi perselisihan, misalnya dalam hal pembagian harta warisan.

4.1.3.1.2 Dongan tubu

Dongan tubu/ dongan sabutuha yang dalam mitologi Batak merupakan penjelmaan dari Balasori yang memerintah dunia tengah, O.P. Simorangkir (2007:16); setiap marga yang sama dianggap satu nenek moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan sabutuha. Dengan dongan sabutuha haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, bagaikan keluarga kandung .

Fungsi dongan sabutuha di dalam pelaksanaan suatu upacara adat sama dengan orang yang sedang melaksanakan pesta adat “suhut”. Dalam merencanakan upacara

(10)

adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.

4.1.3.1.3 Boru

Boru atau yang dianggap merupakan transformasi dari anak ke-tiga Mula Jadi na Bolon yaitu Balabulan memerintah dunia bawah O.P. Simorangkir (2007:16) merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan formal dan non-formal. Boru bertindak sebagai parhobas atau pihak yang mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta.

Ketika diadakan musyawarah dengan dongan sabutuha, pendapat dan pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya rencana keputusan dilaksanakan. Selain itu, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan Hulahulanya apabila terjadi perselisihan.

4.1.3.2 Ale-ale

Ale-ale dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba memang bukan bagian dari Dalihan na Tolu. Ale-ale; teman karib, teman sejawat, sahabat, Richard Sinaga (2008: 24). Ale-ale, bisa juga berasal dari etnis dan agama yang berdeda dengan penyelenggara hajatan (pesta) dan sangat dimungkinkan untuk turut hadir dalam pernikahan secara adat Batak Toba.

(11)

4.1.3.3 Dongan Sahuta

Dongan sahuta atau yang pada pesta adat Batak Toba disebut raja ni gokkon setara artinya dengan teman ; tetangga. Dongan sahuta juga disebut sihal-sihal atau batu penyela diantara tiga tungku Dalihan Na Tolu yang berfungsi mempersempit lingkaran ketiga tungku tersebut agar alat pemasak di atasnya tidak kelonggaran, Richard Sinaga (2008 : 301). Sihal-sihal dipakai untuk sebutan pada pemeran penengah apabila terdapat masalah pada musyawarah Dalihan na Tolu, raja yang berfungsi sebagai penengah tersebut tidak menduduki salah satu jabatan pada Dalihan na Tolu. Sihal-sihal dianggap sebagai pelengkap Dalihan na Tolu, bahkan di daerah Medan kota provinsi Sumatera Utara, bisa tidaknya pesta dilakukan pada satu distrik (wilayah) pada satu waktu itu diputuskan oleh dongan sahuta.

4.1.4 Agama dan Kepercayaan Masyarakat Batak Toba

Membicarakan pernikahan pada masyarakat Batak Toba secara adat tentu tidak dapat dilepaskan dengan agama yang mereka anut. Karena agama, yang dianut akan menentukan jenis hidangan utama dan beberapa symbol yang menggunakan bagian (potongan-potongan khusus dari hewan tertentu) yang digunakan pada pesta adat. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba tradisional, tepatnya sebelum Kekristenan sampai di daerah Tapanuli Utara, adat Batak itu diturunkan oleh Debata Mulajadi na Bolon pertama di Dolok Pusuk Buhit. Untuk dapat berhubungan dengan-Nya, Debata Mulajadi na Bolon menciptakan dan memberikan adat untuk ditaati manusia, dengan demikian Dewata berkenan memberkati manusia, O.P Simorangkir (2007:15).

(12)

Ragam agama sangat mempengaruhi pola fikir masyarakat Batak Toba secara langsung maupun tidak. Seperti yang diungkapkan oleh Raja Patik Tampubolon, (2002:131); “Laos songon i do adat dohot agama, rap jadi hangoluan do. Hangoluan do agama dinamangulahon agama. Ia adat hangoluan natinanda do dohot natarida do i, alai anggo agama hangoluan di banua ginjang do i sisa leleng ni leleng na”. “Agama dan adat sama-sama kehidupan, yang menjadi pembeda adalah adat merupakan kehidupan di dunia dan agama merupakan kehidupan yang abadi di akhirat”.

Berikut ini adalah agama dan kepercayaan yang pernah dianut dan yang masih dianut suku Batak Toba, mulai dari zaman primitif sampai saat ini. Hal itu dipaparkan karena kepercayaan/ religi dapat dilihat secara kasat mata dan disisi lain juga dapat menampilkan makna simbolik yang berbeda.

4.1.4.1 Kepercayaan Primitif

Sebelum datangnya ajaran agama Hindu, Kristen dan Islam, masyarakat Batak Toba menganut berbagai macam kepercayaan secara bertahap dan berkelompok yang dikenal dengan sebutan Debata Mulajadi na bolon, dan sebagian orang menyebutnya sebagai kepercayaan primitive, Sipahutar (2008: 111).

Menurut Sipahutar, (2008:112) kepercayaan Bahari Primitif adalah suatu kepercayaan yang mencoba mendekatkan manusia dengan kekuatan di luar dirinya dengan cara-cara yang nyata melalui benda-benda, mantra-mantra maupun persembahan-persembahan (sajian). Sejumlah amalan-amalan yang bersifat keagamaan telah ada sebagai alat manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan segala wujud gaib-gaib yang

(13)

masuk dalam kelompok supernatural (adikodrati), Ibrahim Gultom (2010: 350). Jumlah pengikut ajaran ini tidak dapat dihitung secara pasti, karena tidak terorganisasi secara jelas seperti agama-agama lain, sehingga untuk saat ini sangat sulit memastikan apakah masih ada atau tidaknya pengikut ajaran ini di tanah Batak.

4.1.4.2 Kepercayaan Parbegu atau Animisme

Kepercayaan Animisme adalah: kepercayaan pada ruh-ruh yang mendiami benda-benda; pohon, batu dan sebagainya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010:53). Demikian halnya dengan kepercayaan Parbegu atau Animisme yang terdapat pada tanah Batak, meyakini kalau semua benda-benda mempunyai daya kekuatan karena itu harus ditutupi dengan rasa takut, hikmad dan rasa berterima kasih, Sipahutar (2008:113). Aliran ini berpendapat bahwa dunia ini penuh dengan kekuatan gaib. Kekuatan gaib itu dapat dipergunakan, dapat pula dikuasai dengan alat-alat irrasional. Sampai saat ini diyakini kalau di daerah Batak Toba masih ada sisa-sisa penganut kepercayaan Parbegu, yang tersebar di pelosok-pelosok tanah Batak namun dengan jumlah yang semakin kecil, tetapi juga sangat sulit untuk ditelusuri karena pengaruh zaman, umumnya mereka tidak mengakui secara terbuka tentang keyakinan mereka.

4.1.4.3 Agama Brahma/ Hindu

Tiga agama yang datang ke tanah Batak yang dianggap oleh masyarakat Batak zaman itu sebagai agama yang ingin menjajah tanah Batak salah satunya adalah agama Brahma/ Hindu. Seperti kutipan berikut: “Tolu ma Ugamo, jala tolu hali ro tu tano Batak

(14)

laho manjajah tu Adat Batak ima Ugamo Brahma/ Hindu sian India, Ugamo Islamiah sian tano Aceh, Ugamo Kristen sian tano Eropa, Raja Patik Tampubolon, (2002:365) “tiga agama itu adalah; Hindu yang datang dari India, Islam dari tanah Aceh, Kristen dari Eropa”.

Kehadiran tiga agama tersebut dianggap merusak dan merubah tatanan dan adat istiadat warga Batak yang sudah dianggap bagus ketika itu, “Alai ianggo Ugamo naro i, tung dijajah i do Adat Batak i, siumpat tukko do i, si sosa gadu, sipauba uhum nauli ni adat, jala siharihiri adat, Raja Patik Tampubolon (2002:365).

Agama Hindu adalah agama pertama yang masuk ke daerah Batak Toba dan cukup lama memengaruhi perkembangan budaya Batak, seperti yang diungkapkan oleh Peursen, C.A. (1988) bahwa, tahun 2000 dan 1500 sebelum Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir barat Sumatera Utara telah dikuasai oleh peradaban Hindu-Budha, juga dipertegas oleh Raja Patik Tampubolon (2002:366); “Sian Ugamo Hindu godang do masuk jadi adat Batak manang habatahon, songon mambuat ipon, ende-ende dohot andung-andung, marganjang obuk, marsabuk tu pudi dohot lam naasing”. “Dari agama Hindu banyak yang masuk jadi adat Batak, misalnya mencabut gigi, nyayian dan senandung, memanjangkan rambut, dll”. Hal ini juga dapat dibuktikan sampai saat ini pada kebiasaan yang berlaku dengan berbagai pola hidup orang Batak yang memiliki persamaan dengan orang India misalnya; membuat gigi, nyanyian dan senandung, memanjangkan rambut, cara menata rambut dan yang lainnya. Istilah yang terdapat pada bahasa Batakpun banyak yang disinyalir merupakan bahasa serapan dari ajaran Agama Hindu-Budha diantaranya yaitu: batara, guru, angkara, dll. Sampai saat ini, disinyalir

(15)

masih ada sebagian kecil di tanah Batak dari suku Batak Toba yang menganut agama Hindu-Budha, tapi khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya sampai tulisan ini diturunkan penulis belum menemukannya.

4.1.4.4 Parmalim

Agama ini pertama kali muncul di zaman Si Singamangaraja X, yang mengintegrasikan kehidupan beragama dengan pemerintahan, dan ketika itu dipegang oleh beberapa pimpinan. Yaitu; (1) Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, menguasai tujuh marga dari keturunan Si Raja Lottung. (2) Jonggi Ma Naor di lembah kaki gunung Pusuk Buhit, menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan. (3) Dan wilayah kekuasaan Si Singamangara X yang meliputi Toba Holbung, Samosir Utara, Humbang dan Silindung, juga menguasai belasan bius dari keturunan Sumba, Pasaribu (1996:32).

Organisasi agama Parmalim dibentuk antara tahun 1870 sampai tahun 1883. Merupakan suatu reaksi dari Raja Si Singamangaraja X untuk meneruskan sikap hamalimon yang berasal dari kata “alim”yang tujuannya untuk menjaga keutuhan kepercayaan asli Batak dari pengaruh agama Kristen dan perluasan administratif Belanda, Sipahutar (2008:113).

Malim adalah agama yang sebenarnya berdiri sendiri di luar dari agama lainnya yang telah terlebih dahulu diakui di Indonesia, dan penganutnya disebut Parmalim. Sejak tahun 1921 sudah memiliki tempat ibadah yang syah, direnovasi tahun 1939 yang diberi nama “Bagas Hasantian ni Raja Nasiakbagi”.

(16)

Menurut Raja Patik Tampubolon (2002:367) “Parmalim tubu sian Hamalimon ni Raja Sisingamangaraja XII” atau merupakan agama Raja Sisingamangaraja yang pada tahun 1907 diteruskan oleh pengikutnya “Raja Mulia Naipospos/ Induk Bolon Parmalim”, Raja Ungkap Malim Naipospos (2005:345). Parmalim memiliki organisasi yang jelas dan pemimpin agama ini biasanya dipilih dari orang Batak yang berfikiran maju dan modern, mereka taat pada peraturan pemerintahan beserta Undang-undang. Parmalim atau yang oleh penganutnya disebut “Ugamo Malim”.

Dilihat dari tata ibadahnya, Ugamo Malim masih dibawah pengaruh perilaku masyarakat suku Batak Purba pra-agama Kristen yang merupakan keterpaduan kepercayaan berhala dan adat/ budaya yang disebut Habatahon, O.P. Simorangkir (2007:14). Hal ini juga didukung oleh buku ibadah atau ‘kitab’ mereka yang ditulis dengan bahasa Batak versi Sisingamangaraja XII (bukan bahasa Batak sehari-hari yang umum kita dengar dan bukan bahasa Batak pasaran), bahkan sebagian kecil dengan aksara Batak.

Untuk saat ini di Jakarta dan sekitarnya penganut agama Malim kurang lebih 90 (sembilan puluh) kepala keluarga (KK) yang terdiri dari di Wilayah Jakarta 40 KK, daerah Tangerang dan Tiga Raksa 50 KK.

4.1.4.5 Parhudamdam

Agama Parhudamdam (1915) berasal dari pasukan Sisingamangaraja yang kucar-kacir setelah Sisingamangaraja meninggal. Pendirian Parhudamdam diilhami oleh kematian Si Singamangaraja XII yang dipadu dengan adanya pembebanan pajak yang

(17)

berat oleh Belanda. Tata cara ibadat Parhudamdam merupakan paduan antara ritual-ritual gaya Parmalim dengan Islam.

Agama Parhudamdam merupakan suatu gerakan keagamaan politis yang lebih ekstrim dan menjadi pemberontak terhadap pemerintahan Belanda, Raja Patik Tampubolon (2002:391). Agama ini secara tidak langsung merupakan bawahan dari Parmalim. Ajaran ini dianggap sebagai ancaman politik yang mengkawatirkan banyak pejabat Belanda. Oleh karena itu, “Ndang pola sadia leleng tarida Parsidamdam i, alana mansai hatop do ditangkupi pemimpin dohot anggotana”, Raja Patik Tampubolon (2002:392) “agama Parhudamdam tidak terlalu lama bertahan di tanah Batak, sebab penganut agama tersebut (pemimpin dan anggotanya) langsung di tangkapi oleh pemerintahan pada saat itu.

4.1.4.6 Kristen

Daerah Batak pertama kali dimasuki oleh pekabar Injil Kristen pada tahun 1820 di Sibolga kemudian ke Silindung, dan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) untuk yang pertama didirikan pada tanggal 1 Oktober 1861 di Sipirok Tapanuli Selatan, Sipahutar (2008:113). Penyebaran agama Kristen berkembang dengan pesat di daerah Batak sejak tahun 1863 saat misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen menetap di Silindung, dan mengukir sejarah baru perkembangan masyarakat Batak Toba. Sebelum kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar Injil berkebangsaan Inggris, memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru beberapa hari sampai di tanah Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga melarikan diri meminta perlindungan kepada pihak Belanda. Tahun 1834

(18)

dua orang penginjil Amerika harus menebus kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh, Schreiner (2002:56). Menurut Geertz (1986) Setelah Tahun 1883 Agama Kristen telah dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak ; ada juga sedikit menjadi Islam. Sedangkan yang lainnya tetap memeluk agama parbegu.

Missionaris Nommensen pun sebenarnya mengalami banyak kesulitan di tahun-tahun pertama misinya di tanah Batak. Dari berbagai pihak ia mengalami bermacam hambatan dan gangguan, berkali-kali nyawanya terancam. Karena wibawa pribadinya yang besar dan kesabarannya yang hampir melebihi kesabaran manusia ia dapat bertahan, dan bukan itu saja ia berhasil pula membuat bertobat beberapa orang raja-raja Batak, walaupun pada permulaannya agak perlahan-lahan, sesudah itu gerakannya bertambah cepat, yang pada akhirnya membuat perkembangan agama Kristen di daerah Batak Toba mencapai perkembangan pesat. Tahun 1883 I.L. Nomensen dengan pengajaran Zending benar-benar berhasil dengan misinya, agama Kristen pada tulisan ini juga mencakup Kristen Katolik. Dari pengamatan di lapangan lebih dari 75 % warga Batak yang bermukim di wilayah Jakarta dan sekitarnya memeluk agama Kristen dan Katolik.

4.1.4.7 Islam

Abad XIX terjadi pergolakan besar di Minangkabau, saat itu sebuah mazhab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam. Pengaruh ini sampai ke Batak Mandailing yang wilayahnya bersebelahan dengan Minangkabau Sumatera Barat. Di wilayah Batak Mandailing beberapa sekolah didirikan untuk mendidik putra kepala-kepala adat Batak mandailing agar memenuhi syarat jadi bagian dari aparatur

(19)

pemerintahan, guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau yang sudah lebih dahulu mendapat pengaruh dari agama Islam.

Dari wilayah Mandailing yang juga disisi lain berdampingan dengan wilayah Batak Toba, (bahkan nyaris tanpa batas yang jelas) masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Jadi hampir dapat dipastikan, bahwa masyarakat Batak Toba yang memeluk agama Islam sebagian karena mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul, sehingga daerah Batak Toba yang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam, dan sebagian lagi memeluk agama Kristen contohnya Pahae Jahe dan Pahae Julu. Walau sebagian lagi mengatakan bahwa, agama Islam yang datang ke Batak Toba berasal dari tanah Aceh, Raja Patik Tampubolon (2002:365). Kedua sumber ini dimungkinkan untuk benar adanya, melihat fakta yang ada saat ini bahwa, sub-suku Batak Toba yang menganut agama Islam adalah suku Batak yang berasal dari daerah berbatasan dengan Minangkabau dengan Aceh. Dan sebagian suku Batak Toba yang beragama Islam merantau dan bermukim di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

4.1.5. Seni pada Masyarakat Batak Toba

Seni selalu melekat pada kehidupan masyarakat Batak umumnya, dan masyarakat Batak Toba khususnya, baik itu seni musik, suara dan tari. Kegiatan seni juga tidak dapat dilepaskan dalam pelaksanaan adat walau tidak semua seni itu dilaksanakan pada semua prosesi adat yang sedang berlangsung yang mencakup:

(20)

4.1.5.1.Seni Tari

Masyarakat Batak Toba memilah istilah tari menjadi dua, yaitu tumba dan tor-tor.

a. Tumba

Tumba merupakan suatu tarian yang umumnya digunakan oleh anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di halaman desa pada saat munculnya bulan purnama penuh atau sehabis panen, juga pada pesta rakyat lainnya. Tarian tumba digunakan pada peristiwa-peristiwa umum dan terlepas dari konteks upacara yang bersifat adat.

Gerakan pada tarian tumba didominasi gerakan tortor, tetapi ada kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan.

b. Tortor

Bagi masyarakat Batak Toba secara umum, tortor merupakan suatu hal yang individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali mereka mengabaikan hal itu sepanjang gerakan yang digunakan masih mengikuti ritme atau atau alunan musik pengiring. Kedudukan tor-tor tidaklah semata merupakan seni hiburan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh, Pastor A.B. Sinaga (Sinaga, 1977:16-19): bahwa “Pada mulanya tortor bukanlah peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada Pengada Adikodrat. Lebih lanjut Sinaga mengatakan bahwa, Tortor asli Batak bersifat sakral dan merupakan pujaan kepada Sang Maha Tinggi. Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian:

(21)

(a) Tortor hatopan.

Tor-tor hatopan merupakan suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara. Pada tor-tor ini, gerakan yang digunakan oleh pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya dilakukan pada setiap awal penyajian gondang, setiap penari melakukan gerakan yang sama, menurut pola-pola yang telah baku.

(b) Tortor hapunjungan.

Tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks upacaranya. Dengan kata lain, fungsi tortor ini berhubungan dengan upacara yang sedang berlangsung. Tortor ini dilakukan oleh perseorangan atau sekelompok orang yang memiliki motivasi tertentu. Misalnya; tortor untuk kaum muda, atau tortor dalam acara sukacita. Tor-tor hapunjungan memiliki gerakan yang relatif bebas, setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan ekspresinya namun tetap mengikuti ritme dari alunan musik gondang yang digunakan sebagai pengiring tor-tor.

(c) Tor-tor Naposo

Yaitu Tortor yang dilakukan oleh muda-mudi. Sedangkan gondang pengiringnya disebut dengan gondang naposo. Tor-tor ini dilakukan hanya untuk muda-mudi tanpa melibatkan unsur Dalihan na Tolu. Tortor muda-mudi ini dilakukan dalam ajang cari pasangan hidup atau mencari jodoh.

(22)

Dalam upacara religi penganut aliran kepercayaan Parmalim, tortor sangat benar-benar dilakukan karena tortor salah satu media penyampaian keinginan kepada “sang pencipta” seperti kemakmuran dan kesejahteraan.

Setelah era ke-Kristenan bagi yang beragama Kristen, tortor dipergunakan dalam acara kebaktian gereja (memuji Tuhan) dan biasanya diiringi teks lagu-lagu rohani. Tortor juga digunakan untuk kepentingan hiburan yang bersifat pariwisata/ komersial yang pada kenyataannya sudah banyak digabung dengan tarian etnis sehingga disebut tari tortor kreasi . Dan seni tari yang digunakan pada pernikahan adat Batak Toba adalah tor-tor.

4.1.5.2. Seni Sastra

Bentuk bahasa dalam seni sastra Batak Toba yang pokok ada tiga macam, yaitu: 1. Umpama

Umpama merupakan suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat, Pasaribu (1986:41).

2. Umpasa

Umpasa dari segi bentuknya sulit dibedakan dari umpama. Umpama dan umpasa secara harfiah dapat disamakan dengan perumpamaan dan pantun di dalam kesusastraan Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh A.N. Sibarani (1976) dalam buku yang berjudul: Umpama Batak Dohot Lapatanna, menyatakan istilah umpama dan Umpasa yang disejajarkan dengan perumpamaan dan pantun pada kesusastraan Indonesia. Dari

(23)

segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan berkat, contohnya” - Sahat-sahatni solu, sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat tu pangabean. (Terjemahannya: Berlayarlah perahu, sampai ke tepian, semoga kita mempunyai umur yang panjang dan mencapai kesuksesan).

Hakikatnya umpama dan umpasa menekankan makna bernilai budaya dengan membandingkan sifat-sifat, kebiasaan, karakteristik, perilaku suatu binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang terdapat disekililing masyarakat. Perumpamaan, masih melekat pada masyarakat Batak Toba hingga saat ini. Setiap pelaksanaan upacara adat mengaplikasikannya dalam bentuk pembicaraan, dimana akan terjadi sapaan dan jawaban yang berkenaan dengan konteks adat yang berlangsung.

Umpasa sifatnya tidak hanya horizontal, namun juga bisa dipakai untuk hubungan ‘vertikal’. Hal ini menandakan bahwa selain sebagai bahasa komunikasi diantara pembicara dari setiap utusan, umpasa dapat juga berperan sebagai sarana bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Permohonan-permohonan tersebut selalu dikaitkan dengan keinginan dan kepentingan serta harapan-harapan yang diinginkan atau dicita-citakan oleh setiap orang/keluarga.

3. Tudosan

Tudosan suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan sesuatu, misalnya:

(24)

-Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani uhum, toguan hatani padan. (Terjemahannya: Kuat/teguh pun akar bambo, lebih kuat/teguh akar rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, namun lebih kuat/teguh aturan janji).

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1 Profil Informan Penelitian

Pra penelitian sudah dilakukan oleh peneliti sejak bulan Januari 2013, dan penelitian yang benar-benar fokus dilakukan sejak bulan Juni 2013 sampai dengan bulan November 2013. Selama penelitian berlangsung peneliti melakukan berbagai observasi, mulai dari observasi partisipan, pengamatan, wawancara secara langsung maupun tidak langsung dengan jumlah pasangan yang dijadikan sebagai informan sebanyak 7 pasang. Semua informan adalah pasangan keluarga yang telah menikah secara adat Batak Toba dan yang aktif mengikuti pelaksanaan pernikahan secara adat Batak Toba sampai penelitian ini diadakan.

Informan dalam penelitian ditentukan secara purposive (sesuai dengan tujuan penelitian) yaitu untuk mengetahui pemaknaan terhadap penggunaan symbol dan umpasa yang digunakan sebagai ucapan selamat dalam pernikahan secara adat Batak Toba bagi berbagai pasangan yang telah melaksanakan pesta pernikahan secara adat Batak Toba dengan latar belakang agama, usia pernikahan, dan variasi lokasi domisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Wawancara terhadap informan dilakukan diberbagai lokasi; di tempat pelaksanaan pesta, di tempat ibadah, kediaman informan atau tempat lain, hal itu

(25)

didasarkan dengan kesepakatan dan frekuensi kesibukan informan. Berikut adalah nama beberapa informan, yang secara umum lebih suka menggunakan nama yang disingkat dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan marga informan yang bersangkutan. Hal ini merupakan suatu kelaziman pada pranata dan system kekerabatan masyarakat Batak Toba, yang setelah menikah lebih menonjolkan marga tinimbang nama ‘kecil’. Maka untuk menjaga ‘rasa’ nyaman bagi informan, peneliti menuliskan identitas informan menurut keinginan informan yang bersangkutan. Sedangkan kesamaan marga atau rumpun marga dari para informan pada penelitian ini hanya merupakan suatu kebetulan semata, yang mengandung pemaknaan bahwa tidak terdapat hubungan kekerabatan secara langsung diantara sesama informan.

Berikut disajikan identitas dalam bentuk tabel mengenai informasi umum para informan.

Tabel. 4.2.1. Karakteristik informan berdasarkan agama & tahun pernikahan

No Nama Informan

Tahun Pernikahan

Agama Adat Batak Toba 1 Agustinus ‘Siagian’ & D. br.

Sipahutar

Kristen (GBI), 6 Okt’ 2002 23 Des 2009 2 R. P. Siboro dengan istri V. T

br. Sembiring

Katolik 28 Juli 1975 5 Juli 1991

3 M. Lubis & Tri Mujiantini

‘Sianipar’ Islam, 9 Sept’ 1990 24 Sept’ 1998 4 M.Sirait & D. br.Tampubolon Parmalim, 30 Sept’ 2002 30 Okt’ 2008 5 Marchi Gulo & I.S br Siburian Kristen (Tiberias), 9 April

2013 9 April 2013 6 R. Simatupang & K. br. Pakpahan Kristen (HKBP), 6 Sept’ 2002 6 Sept’ 2002 7 P. Sibarani & M.br.Pulungan Islam, 31 Des’ 1992 31 Des’ 1992

(26)

Tabel 4.2.1 di atas menunjukkan bahwa usia pernikahan para informan cukup bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai dengan 39 tahun, hal ini bertujuan untuk menemukan pemaknaan dan penggunaan symbol pada pernikahan Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Tujuh pasang informan yang berhasil diwawancarai oleh peneliti semuanya telah melakukan pernikahan secara agama yang dianut dan secara adat Batak Toba, dan untuk mengetahui benar tidaknya bahwa informan telah melakukan pernikahan secara adat adalah melalui pengakuan pasangan informan, pengamatan peneliti dan sebagian lagi melalui dokumentasi (foto) yang diperlihatkan ketika melaksanakan pernikahan secara adat Batak Toba pada peneliti.

Hal itu sejalan dengan pandangan interaksi simbolik, bahwa manusia dipandang sebagai sosok pelaku, pencipta, pelaksana, dan pengarah bagi dirinya. Pemaknaan terhadap diri seorang manusia timbul dari interaksi dengan manusia yang bersangkutan, bukan sebaliknya. Daouglas (1970:259) juga menegaskan bahwa, pada saat yang sama pada diri pribadi seorang manusia akan muncul mind dan self yang timbul dalam konteks lingkungan, hal ini karena manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan semangat bebas.

Data yang diperoleh secara umum menunjukkan bahwa informan menyampaikan pada peneliti kalau daerah perantauan tidak menghilangkan pola fikir akan “pentingnya melaksanakan dan mengikuti pesta pernikahan secara adat Batak Toba”. Bahkan umumnya walaupun bukan merupakan hukum yang tidak tertulis bagi pasangan keluarga Batak Toba dimanapun berada, jenis-jenis benda yang digunakan sebagai symbol pada

(27)

upacara pernikahan secara adat Batak Tobapun pada umumnya sama dengan yang digunakan pada acara serupa di kampung halaman (tanah Batak) dari tahun ke tahun.

Hasil wawancara dengan seluruh informan diperkuat dengan bukti fisik, berupa rekaman atau foto-foto yang dianggap relevan dengan topik yang diteliti dan observasi secara langsung. Juga melalui telaah pustaka dan konfirmasi intersubjektif, walau pada hakikatnya analisis telah dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa penamaan dan jenis benda-benda yang digunakan sebagai symbol dalam pelaksanaan pernikahan secara adat Batak Toba serta umpasa yang lazim digunakan dalam pelaksanaan pernikahan secara adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya sama dengan hal senada di daerah asalnya “Tanah Batak”. Selain penyimbolan juga dilengkapi dengan pemaknaan terhadap benda-benda yang digunakan sebagai symbol dalam acara dimaksud. Sebelum sampai pada hasil penelitian dimaksud, berikut adalah identitas singkat dari keluarga informan:

1) Bapak Agustinus ‘Siagian’ dan istri D br. Sipahutar. Informan ini berdomisili di Kebun Jeruk Jakarta Barat. Pak Agustinus yang lahir di Jakarta, 5 Mei 1974 dengan pendidikan terakhir adalah SLTA, pada dasarnya bukanlah pria keturunan Batak asli, namun berasal dari Jawa Timur, dan menjadi marga Siagian setelah ‘diain' oleh amangboru dari pihak istri sebelum sampai pada prosesi melaksanakan pernikahan secara adat Batak Toba (sulang-sulang pahoppu). Kalau pada akhirnya dibelakang nama Pak Agustinus ada penambahan “marga Siagian”, Pak Agustinus mengakui bahwa dialah yang memiliki keinginan paling kuat untuk memiliki marga. Pak

(28)

Agustinus begitu ‘antusias’ untuk diain dan dibuat marga setelah melihat dari dekat begitu indahnya kekerabatan dalam adat Batak itu. Pak Agustinus mengikuti prosesi pengangkatan anak/ mangain setelah tujuh (7) tahun usia pernikahan mereka.

2) Informan selanjutnya adalah R. P. Siboro dengan istri V. T br. Sembiring. Beralamat di Tanah Baru Beiji Jl. Kecapi No. 15 Depok. Pak R.P. Siboro lahir di Jakarta, 13 Agustus 1948, dan Istri Kuta Gerat, 17 Mei 1952. Melangsungkan pernikahan secara Agama Katolik 28 Juli 1975, dan secara Adat Batak: pada tanggal 5 Juli 1991.

3) Keluarga M. Lubis dengan istri Tri Mujiantini ‘Sianipar’. Berdomisili di Pondok Ungu Permai Blok C. 21 No. 4 Bekasi Utara. Menikah secara Agama Islam: 9 September 1990 dan secara Adat Batak : 24 September 1998. Sebelum mengadakan “sulang-sulang pahoppu” atau mangadati, ibu Tri Mujiantini yang berasal dari keluarga suku Jawa Tengah dan beragama Islam lebih dahulu di “parboruhon” oleh marga Sianipar atau keluarga oppung perempuan dari Bapak M. Lubis.

4) Informan selanjutnya adalah keluarga M. Sirait dengan istri D. M Tampubolon. Berdomisili di Jln.KH Muchtar Tabrani Gg. Perwira Mandiri RT.01 RW. 06 No.26 Kel.Perwira Kaliabang Nangka Kec.Bekasi Utara. Pasangan ini menikah secara agama Parmalim pada 30 September 2002 dan secara adat Batak Toba pada 30 Oktober 2008.

5) Selanjutnya keluarga pak Marchi dengan Ibu I.S br. Siburian yang beralamat di Pulo Gadung. Pak Marchi yang adalah putra kelahiran Jakarta keturunan Nias dan lahir pada 18 Desember 1981di Jakarta, menikah dengan ibu I. S br. Siburian yaitu putri keturunan Batak yang lahir dan besar di Jakarta. Menikah secara agama yang

(29)

dilanjutkan dengan secara adat Batak Toba pada tanggal 9 April 2013 di Jakarta dengan tempat pelaksanaan pesta pernikahan secara adat Batak di Gedung Mayora II Pulo Gadung.

6) Pak R. Simatupang dengan istri K. br Pakpahan. Beralamat di Jln. Blok Duku No.35 RT.04. RW.10 Cibubur Jakarta Timur. Menikah Secara agama Kristen dan adat Batak Toba, 6 September 2002 bertempat di balai Restu I Jln. Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Lahir dan dibesarkan diperantauan tidak menjadikan pemahaman dan kecintaan pasangan ini terhadap adat Batak Toba luntur. Bahkan sudah teruji dan tidak diragukan lagi. Sebab beberapa tahun terakhir keluarga ini sudah menjadi tokoh adat Batak Toba yang kemampuannya tentang pelaksanaan adat Batak terutama untuk pernikahan sudah mumpuni dan dapat diandalkan.

7) P. Sibarani dengan istri M.br. Pulungan. Berdomisili di Ciledug Tangerang Selatan, menikah secara agama dan adat pada tanggal 31 Desember 1992. Dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pelaksanaan pernikahan secara adat Toba kalau dilihat dari segi agama, kecuali dari segi lauk pauk yang digunakan.

4.2.2 Simbolisasi Ucapan Selamat dan Umpasa pada Upacara Pernikahan Batak Toba

Penelitian ini bersumber dari keingintahuan peneliti terhadap pelaksanaan pernikahan dengan tradisi Batak Toba di daerah perantauan. Dan bagaimana keturunan Batak Toba yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya memaknai dan memandang penggunaan symbol-simbol yang digunakan pada pelaksanaan pernikahan

(30)

secara adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya dari yang usia pernikahannya masih tergolong muda sampai yang sudah punya cucu. Penelitian ini juga ingin mengungkap logika “okasional” dari tindakan pelaku adat Batak di wilayah Jakarta dan sekitarnya, apakah ada perubahan yang terjadi terhadap pemaknaan simbol-simbol yang digunakan sebagai ucapan selamat pada pasangan pengantin di antara beranekanya agama yang kini dianut oleh keturunan masyarakat Batak Toba dan di tengah peradaban yang semakin maju? Penelitian diawali dari proses pra-pernikahan, pelaksanaan pernikahan sampai pada prosesi pasca pernikahan itu selesai dilaksanakan. Disorot oleh peneliti dari dekat dan bahkan tentang penggunaan symbol dan maknanya.

Penelitian ini telah berhasil menemukan beberapa hal sehubungan dengan telah dilakukannya wawancara mendalam, proses pengamatan yang sertai dengan partisipasi langsung dalam prosesi pernikahan secara adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya, yang dilihat sebagai konsekuensi dari proses akulturasi dari berbagai macam daerah asal keturunan suku Batak Toba yang menyatu dan berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya serta kemajuan peradaban diluar budaya Batak Toba itu sendiri, yang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Pernikahan pada adat Batak Toba didasarkan asas Dalihan na Tolu yaitu suatu sistem kekeraban yang sudah baku pada tatanan adat masyarakat Batak Toba tanpa terkecuali yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

2. Mangalua adalah solusi pelaksanaan pernikahan yang dilakukan tanpa restu atau bagi pasangan yang belum memiliki modal yang cukup untuk pelaksanaan pesta unjuk.

(31)

3. Manuruk-nuruk merupakan prosesi adat yang wajib dilakukan oleh pasangan pengantin yang menikah dengan cara mangalua atau kawin lari.

4. Pesta unjuk merupakan sebutan untuk pernikahan yang sejatinya dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba.

5. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya muncul ada 2 (dua) fenomena yang dijadikan sebagai pilihan yang dapat dilakukan muda-mudi Batak Toba yang akan melangsungkan pernikahan secara adat Batak Toba dengan calon pasangan di luar suku Batak Toba.

6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosesi sebelum pernikahan dengan adat Batak Toba lebih detail di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tinimbang dengan prosesi untuk adat yang sama di wilayah Sumatera.

7. Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ( Undang- Undang Perkawinan), maka sejatinya, pernikahan warga Batak dilakukan dalam 3 (tiga) prosesi.

8. Prosesi pernikahan Batak Toba sangat banyak menghadirkan symbol dan tiap symbol memiliki makna tertentu.

9. Tidak terdapat perbedaan simbol-simbol dan benda yang digunakan oleh orang tua pengantin wanita sebagai ucapan selamat kepada pasangan pengantin di wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan di wilayah Tanah Batak.

10. Terdapat perbedaan pada pelaksanaan pernikahan dengan adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya dibadingkan dengan di wilayah Sumatera ataupun tanah Batak Toba.

(32)

11. Terdapat perbedaan penggunaan symbol dan pemaknaan terhadap pernikahan secara adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya berdasarkan keanekaragaman agama yang kini dianut oleh generasi muda keturunan Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

12. Terjadi pergeseran penggunaan kata pada umpasa berikut pergeseran makna umpasa yang digunakan untuk pasangan pengantin sebelum munculnya agama dan setelah munculnya agama secara menyeluruh baik di tanah Batak maupun di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

13. Seni tari yang dimunculkan secara langsung pada pesta adat pernikahan secara adat Batak Toba adalah tor-tor

Memahami pelaksanaan pesta pernikahan adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya, paling tidak dapat dilihat bahwa lahir dan besar di daerah tanah Batak bukanlah suatu jaminan akan tingkat keperdulian dan kepemahaman seorang putra/putri keturunan Batak Toba terhadap adat Batak Toba.

Hasil penelitian menemukan bahwa bagi informan, melaksanakan pernikahan secara adat Batak Toba serta menghadiri acara serupa merupakan salah satu hal yang penting, meskipun untuk kegiatan itu mereka harus meluangkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, apalagi mengingat lokasi dan jarak tempuh di wilayah Jakarta dan sekitarnya umumnya berjauhan. Juga ditemukan kenyataan bahwa jumlah undangan dan lokasi pelaksanaan adat Batak Toba itu flexible. Seperti yang tersirat pada hasil wawancara dengan bapak R.Simatupang berikut ini:

(33)

Adat Batak Toba itu sesuatu yang bagus. Juga sifatnya flexible, bahkan ada ungkapan orang Batak yang mengatakan kalau “adat do na gelleng jala adat do nabalga” yang kira-kira artinya, adat itu tidak mengharuskan dan tidak memaksa harus besar-besaran dan dengan biaya yang besar. Pelaksanaan adat tergantung kemampuan dan kemauan orang yang akan melaksanakan pesta adat. Seperti umpasa yang mengatakan;

Marsiamin-aminan, Songon suhat di robean

Saling topang menopang,

Seperti tumbuhan ubi talas yang tumbuh di tebing (R. Simatupang, wawancara 15 September 2013)

Kehidupan dalam adat itu disimbolkan dengan tumbuhan ubi talas yang tumbuhnya di tebing yang curam, namun tumbuhan tersebut tetap dapat berkembang dan bahkan menghasilkan makanan (berkat). Demikiam juga dengan kehidupan manusia yang akan bisa bertahan dan memberikan hasil apabila saling menopang satu sama lain. Kenyataan itu juga dipertegas oleh bapak M.Sirait seperti yang terdapat pada kutipan berikut:

Adat Batak merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan namun tidak harus dipaksakan. Dan sebenarnya adat Batak itu relative. Itu tergantung pada kemampuan dan keikhlasan orang yang akan melaksanakan acara adat dimaksud. Disamping itu juga layak tidaknya seseorang melaksanakan adat dan jenis adat seperti apa yang pantas diadakan oleh seseorang/ suatu keluarga, itu bukan sepenuhnya di tangan orang yang akan melaksanakan acara adat. Namun perencana pelaksana adat harus lebih dahulu mengumpulkan raja-raja. Selanjutnya, Raja-raja akan melihat kesanggupan perencana pelaksana adat secara finansial dan kemudian ditelaah kemampuan mereka secara adat, apakah pihak yang akan melaksanakan adat sudah layak melaksanakan adat atau tidak menurut aturan adat Batak Toba. (Kel M.Sirait dengan ibu D br Baringbing, wawancara 28 Juli 2013).

Untuk orang Batak, semua orang/ marga adalah Raja. Oleh karena itu sebutan raja itu bervariasi, ada yang disebut dengan raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu, raja ni boru, dll. Penyebutan-penyebutan itu tergantung posisi atau yang oleh orang Batak disebut“parhundulan” atau kedudukan seseorang terhadap orang lain dalam suatu acara adat yang

(34)

sedang diikuti/ diadakan. Walau muncul fenomena pelaksanaan adat Batak Toba di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang sebagian besar dilaksanakan di gedung pertemuan khusus dengan biaya yang cukup besar dan menguras isi dompet para pelakunya sehingga hal itu seolah-olah menjadi momok bagi calon pelaku adat yang berasal dari golongan menengah ke bawah.

4.2.2.1 Pernikahan Batak Toba Berdasarkan Asas Dalihan na Tolu

Pernikahan pada adat Batak Toba didasarkan asas Dalihan na Tolu yaitu suatu sistem kekeraban yang sudah baku pada tatanan adat masyarakat Batak Toba tanpa terkecuali yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Perkembangan peradaban dan akulturasi di wilayah Jakarta dan sekitarmya tidak mempengaruhi keberadaan asas Dalihan na Tolu yang wajib harus hadir pada waktu yang sama saat pelaksanaan pernikahan secara adat Batak Toba. Ketiga unsur ini harus lengkap dari kedua belah pihak pemilik pesta yaitu paranak dohot parboru, “pemilik anak gadis (calon pengantin perempuan) dan pemilik anak laki (calon pengantin laki-laki). Seperti yang dituturkan oleh bapak M. Sirait pada petikan wawancara berikut:

Adat pernikahan secara adat Batak Toba, sejatinya itu berada pada keputusan Raja-raja dengan asas Dalihan na Tolu. Pihak itu menjadi salah satu pengambil keputusan tentang terlaksana atau tidaknya suatu adat serta juga pola tatanan adat yang akan dilakukan. Misalnya bagi orang yang secara financial tidak mampu diperbolehkan untuk melaksanakan adat pernikahan dengan “napuran/ debban” (daun sirih) yang dilengkapi dengan “hapur” (kapur pelengkap makan sirih) beserta daun gambir. (M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

(35)

Sedemikian kuatnya peranan Dalihan na Tolu pada adat Batak, sehingga tanpa keberadaan Dalihan na Tolu acara adat yang sederhana atau yang paling mewah sekalipun tidak akan bisa berlangsung. Secara garis besar pernikahan secara adat Batak ada 2 (dua) yaitu:

4.2.2.1.1. Mangalua

Mangalua adalah solusi pelaksanaan pernikahan yang dilakukan tanpa restu atau bagi pasangan yang belum memiliki modal yang cukup untuk pelaksanaan pesta unjuk.

Umumya dilakukan oleh muda-mudi yang tidak mendapat ‘restu’ dari orang tua atau disebut, ‘kawin lari’. Atau bagi calon pasangan yang belum memiliki biaya yang cukup untuk melaksanakan pesta unjuk. Untuk keadaan dimaksud hal-hal yang dilakukan secara umum adalah calon pengantin laki-laki membawa secara diam-diam calon pengantin wanita Seperti penuturan bapak M. Sirait berdasarkan pengalamannya berikut;

Kami menikah 30 September 2002 dengan cara ‘mangalua’. Tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga istri saya menuju rumah orang tua saya dan menyampaikan kebulatan tekat kami berdua untuk tetap menikah walau tanpa restu keluarga ‘calon’ istri. Dan prosesi yang kami lakukan adalah;

i. Sesampai di rumah yang dituju ‘boru na diluahon’ “anak gadis yang dibawa dengan diam-diam oleh calon mempelai laki-laki langsung ‘dijopput boras dipirni tondi’ ke atas kepala kedua calon pasangan.

ii. Tuan rumah sebagai pihak yang akan ikut bertanggungjawab segera mengundang ; dongan tubu, boru, bere, dongan sahuta, pariban dan juga diberitahuan pada pemuka agama untuk mensyahkan secara agama.

iii. Pensyahkan secara agama oleh pemuka agama (sesuai dengan agama calon mempelai).

(36)

v. Boru/bere’ (3 kepala keluarga) berangkat ke rumah keluarga mempelai wanita (orang tua, bapa uda, atau teman semarga orang tua) membawa ‘ihur-ihur ni pinahan’ sebagai bukti bahwa anak gadisnya telah dinikahkan secara agama, agar orang tua mempelai wanita mengerti keadaan anaknya.

Kami mengambil langkah itu adalah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Agama atau keyakinan kami yang berbeda. Istri saya dan orang tuanya

beragama Kristen dan saya beserta keluarga saya menganut agama Malim. Untuk saat itu dan bahkan mungkin sampai saat ini tidak semua orang Batak yang mengetahui kalau Malim itu agama, dan juga kalau agama Malim itu masih ada. Jadi ketika itu, keluarga istri saya sangat tidak memberi restu kalau harus mempunyai hubungan dengan Parmalim apalagi kalau harus menikahkan salah satu anak gadisnya dengan jemaat Malim.

2. Secara financial kami juga ketika itu sangat tidak mampu. Ibu saya adalah seorang janda dengan empat orang anak. Hidupnya pas-pasan, dan saya sendiri ketika itu kerja sebagai buruh lepas.

(M. Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Mengantarkan “ihur ni pinahan” biasanya dipilih sebelum makan malam pada hari pernikahan secara mangalua diadakan. Hal ini dilakukan agar orang yang ditemui langsung menerima, memakan tanpa banyak bertanya. Sebab jika keluarga yang ditemui “menolak” maka orang yang bertugas mengantarkan ‘ihur ni pinahan’ harus mencari lagi orang lain, sampai ada yang menerima. Keluarga yang telah menerima “ihur ni pinahan” itu juga harus mengundang beberapa keluarga yang juga serumpun dan berdekatan dengannya agar ada saksi pemberian ‘ihur ni pinahan’ tersebut dan secara adat diakui. Keluarga yang kepandanya diberi ‘ihur ni pinahan’ bertanggungjawab memberi tahukannya pada keluarga ‘inti’ (ayah dan ibunya) pengantin wanita.

4.2.2.1.2 Manuruk-nuruk Setelah Mangalua

Manuruk-nuruk merupakan prosesi adat yang wajib dilakukan oleh pasangan pengantin yang menikah dengan cara mangalua atau kawin lari.

(37)

Manuruk-nuruk yang memiliki makna berjalan merunduk untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat dengan penuh kesadaran. Dilakukan oleh pasangan pengantin dikediaman orang tua pengantin wanita, beberapa bulan setelah pasangan pengantin yang ‘belum mendapat restu’ mangalua dan akhirnya mengadakan acara pernikahan secara keagamaan di rumah kediaman mempelai laki-laki atau kerabat yang dilanjutkan dengan prosesi adat, mengantar ‘ihur ni pinahan’ seperti yang sudah disampaikan pada bagian terdahulu.

Prosesi pernikahan secara ‘mangalua’ lazimnya dilanjutkan dengan acara ‘manuruk-nuruk’. Dalam pelaksanaannya diutuslah beberapa orang ‘dongan tubu’ pasangan yang telah ‘mangalua’ menemui orang tua pengantin wanita untuk membicarakan niat akan mengadakan acara ‘manuruk-nuruk’ yang lazimnya diadakan di kampung orang tua pengantin wanita. Kalau memungkinkan para utusan sekaligus membicarakan tentang persiapan mengadakan acara mangadati bagi pasangan dimaksud, namun kalau keadaan pihak keluarga yang baru terbentuk atau keluarga besarnya belum memungkinkan untuk mengadakan rencana untuk mangadati juga masih bisa ditunda sampai keluarga yang baru terbentuk merasa ‘mapan’ dan sanggup untuk mengadakan acara mangadati dan hanya akan membahas rencana ‘manuruk-nuruk’ terlebih dahulu. Seperti hasil wawancara dengan pak M.Sirait berikut:

Ketika sudah tiba waktu yang ditentukan maka pihak keluarga pengantin laki-laki, dongan tubu, boru, bere, pariban, dongan sahuta berikut pasangan pengantin baru ke rumah orang tua pengantin wanita (terdiri dari 10 s.d. 15 KK). Tahap-tahapan yang dilaksakan pada acara ‘manuruk-nuruk’ adalah;

i.‘Paranak’ membawa ‘sipanganon pinahan lobu lengkap dengan namargoar’ minimal dengan berat 20 s.d. 30 kg, berikut nasi dan lauk pauk lainnya sebagai pelengkap.

(38)

ii.‘Parboru’ menyiapkan ikan mas sebanyak 3 ekor atau kurang lebih 5 kg, yang akan dijadikan ‘tudu-tudu nisipanganon dan 3 ekor yang lain dengan berat yang kurang lebih sama, untuk dibawa pulang dengan utuh ke rumah keluarga orang tua pengantin laki-laki.

iii.Setelah semua pihak yang disebut di atas duduk saling berhadapan maka ‘paranak’ menyampaikan ‘tudu-tudu ni sipanganon/ pinahan lobu’ kemudian parboru membalasnya dengan menggunakan ikan mas.

iv.Makan bersama dengan hadirin atau pihak-pihak yang diundang.

v.Setelah selesai makan maka paranak menyampaikan niat pengantin baru, agar mereka diperkenankan berkunjung ke rumah orang tua mempelai wanita.

vi. Secara simbolis, kemudian parboru berunding dengan ‘horongnya’/ pihaknya apakah akan menerima atau tidak permohonan ‘paranak’. Biasanya ‘parboru’ meminta syarat yaitu;

a) Adat huta/ adat kampung berikut buka gorbang warga sekampung dari paranak berupa uang di dalam ampolop Rp. 10.000’- s.d. Rp. 20.000,-

b) Upah ‘damai dan menahan amarah’ untuk dongan tubu, boru, bere, pariban masing-masing minimal Rp.10.000,-

c) Pengganti ‘cicilan tuhor’ untuk orang tua pengantin wanita,

d) Pengantin harus meminta maaf pada orang tua pengantin wanita karena tindakan ‘mangalua’ yang telah mereka laksanakan.

vii. Pencicilan tuhor ke tulang pengantin wanita uang di dalam amplop minimal Rp.100.000,-

viii. Paranak membayar semua syarat yang diminta oleh parboru kemudian acara ditutup dengan doa dari pihak parboru.

(M.Sirait, wawancara 28 Juli 2013)

Manuruk-nuruk memiliki makna sebagai perwujudan dan permintaan maaf secara resmi dari kedua mempelai kepada kedua orang tua pengantin wanita, karena telah melakukan kesalahan mangalua /manuttun lomo, “telah melaksanakan kawin lari dan mengikuti kehendak hatinya sendiri tanpa restu dari orang tua”. Hal ini dilakukan agar setelah manuruk-nuruk orang tua pengantin wanita bisa bertemu dengan anak perempuannya berikut menantunya, dan kalau ada pesta adat pada keluarga besar (keluarga orang tua) pengantin wanita yang telah melaksanakan acara manuruk-nuruk, maka pasangan yang telah melakukan pernikahan secara mangalua diperkenankan secara

(39)

adat untuk mengikuti, dan hanya sekedar ‘membantu’ pelaksanaan adat pada keluarga besar pihak parboru dihari-hari mengikut, namun untuk menerima adat pasangan itu belum diperbolehkan, misalnya untuk menerima ulos, jambar dll mereka belum diperkenankan secara adat. Karena secara adat keluarga dimaksud belum menyelesaikan kewajiban dan konsekuensi pernikahannya atau disebut “belum manggarar adat” atau belum melunasi hutang adatnya pada keluarga pihak istri atau hula-hula.

4.2.2.2. Pesta Unjuk

Pesta unjuk merupakan sebutan untuk pernikahan yang sejatinya

dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba.

Pernikahan dengan prosesi adat yang lengkap sesuai dengan tatanan Dalihan na Tolu disebut pesta unjuk.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pernikahan dengan prosesi pesta unjuk yang dilaksanakan di wilayah Jakarta dan sekitarnya muncul beberapa hal-hal baru yang kemungkinan di tanah Batak belum dimunculkan dikarenakan adanya anak muda/ mudi suku Batak Toba yang akan menikah dengan suku di luar Batak Toba maka sebelum sampai pada prosesi pesta unjuk lebih dahulu dilakukan prosesi/ tahapan sebagai berikut:

4.2.2.2.1. Persiapan Pranikah Campuran dalam Adat Batak Toba

Di wilayah Jakarta dan sekitarnya muncul 2 (dua) fenomena yang dijadikan sebagai pilihan yang dapat dilakukan muda-mudi Batak Toba yang akan

(40)

melangsungkan pernikahan secara adat Batak Toba dengan calon pasangan di luar suku Batak Toba yaitu mangain atau mangulahon.

Sejatinya pernikahan yang dianjurkan dalam adat Batak Toba hakekatnya seperti yang sudah dituturkan pada bagian terdahulu adalah pernikahan dengan ‘pariban’ atau setidaknya sesama Batak Toba dengan marga yang berbeda (di luar rumpun marganya). Namun karena perkembangan zaman dan perbauran, tidak sedikit muda-mudi dari Batak Toba (apalagi diperantauan) yang memilih ‘calon’ pasangan hidup dari luar suku Batak Toba dengan budaya yang tentunya berbeda. Untuk ‘menyeragamkan’ agar pesta bisa berjalan berdasarkan asas DNT, maka diadakanlah acara ‘mangain’ anak yang sudah dewasa.

Seperti yang dituturkan oleh Bapak Agustinus beserta istri, D br Sipahutar yang didasarkan pada pengalaman yang mereka laksanakan :

Suami saya berasal dari suku di luar Batak Toba oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan pesta pernikahan secara adat Batak Toba terlebih dahulu dilaksanakan acara “mangain”. Marga diambil dari marga amang boru yang kedua. Sebenarnya tadinya saya lebih suka mengambil marga amang boru yang pertama (yang paling tua). Hanya saja keluarga amang boru yang pertama kelihatannya kurang begitu respek maka akhirnya kami ke keluarga amang boru yang kedua dan menerima dengan tangan terbuka. Maka secara hukum adat Batak Toba, suami saya resmi menjadi Agustinus Siagian. (Kel. Agustinus Siagian dengan ibu D br. Sipahutar, wawancara 15 Juni 2013)

Berdasarkan hasil penelitian dan melihat fenomena yang berlaku hal itu dilakukan demi “penyeragaman” suku dan adat istiadat, sehingga symbol dan interaksi lebih mudah dan menyatu. Dengan demikian pasangan yang akan melaksanakan acara pernikahan secara adat Batak Toba lebih mudah diterima dan memiliki struktur yang jelas dalam

(41)

prosesi pengadaan pesta pernikahan secara adat Batak Toba dengan segala interaksi yang melekat didalamnya.

1) Mangain/ Adopsi

Mangain dilaksanakan sebelum mengadakan acara pesta pernikahan secara adat Batak Toba. Berikut adalah tata cara untuk manampe marga (sebutan untuk mangain anak laki-laki), marboruhon (sebutan untuk mangain anak perempuan) yang disarikan dari hasil wawancara dengan bapak M. Lubis:

1) Yang berkepentingan secara resmi meminta untuk diain kepada keluarga yang terdekat dengan ‘calon mempelainya’ dengan ketentuan bila akan manampe marga maka yang akan dijadikan orang tua ‘angkat’ adalah salah satu keluarga Amang boru dari calon mempelai wanita. Dan bila akan marboruhon maka yang akan dijadikan orang tua ‘angkat’ adalah keluarga Tulang dari calon mempelai laki-laki.

2) Ketika keluarga yang akan mangain telah setuju, maka keluarga yang akan mangain tersebut akan mengundang Dalihan na Tolunya beserta dongan sahuta, bere, pariban dengan jumlah kurang lebih 10 s.d. 15 kepala keluarga.

3) Yang dipersiapkan adalah pinahan lengkap dengan namargoar kurang lebih 15 kg dan makanan secukupnya, kemudian mangupa dan memberi ulos parompa pada anak / boru yang diain.

4) Hula-hula orang yang akan mangain anak akan membawa dekke tudu-tudu 3 (tiga) ekor, ulos parompa, boras di tandok. Kemudian melaksanakan acara mangain setelah parsinabung menjelaskan tujuan acara yang akan dilaksanakan. (M. Lubis, wawancara 21 Juli 2013)

Bila semua acara sudah dilaksanakan maka mulai saat itu anak / boru yang diain sudah resmi memiliki marga dari keluarga yang mangainnya berikut segala hak dan kewajiban yang melekat didalamnya. Seperti hasil petikan wawancara dengan pak M. Lubis dengan ibu Tri Mujiantini yang melakukan prosesi “marboruhon 1 (satu) minggu sebelum mereka mengadakan upacara peresmian pernikahan dengan adat Batak Toba adat atau sulang-sulang pahoppu berikut ini:

(42)

Prosesi ‘marboruhon, yang dilaksanakan untuk ibu Tri Mujiantini, istri dari pak Murdin Lubis, ketika itu pasangan ini sudah memiliki 2 (dua) putra .Hal ini dilakukan agar mereka bisa melakukan pesta adat pernikahan secara Batak Toba pada tanggal 24 September 1998.

Ibu Tri Mujiati ‘diparboruhon’ oleh keluarga Oppung boru (ibu kandung) ayah dari Pak Murdin Lubis marga Sianipar atau yang oleh orang Batak dikenal dengan istilah ‘tulang mangulahi/ paman pada lapisan kedua’. Pemilihan ‘tulang mangulahi’ didasarkan pada kenyataan bahwa hubungan keluarga kami memang dekat dengan keluarga Sianipar. Jadi sekarang nama lengkap saya adalah Tri Mujiati boru Sianipar. (M. Lubis dan ibu Tri Mujiantini br. Sianipar, wawancara 21 Juli 2013)

Setelah selesai acara “marboruhon” barulah persiapan prosesi adat dilaksanakan untuk acara “sulang-sulang pahoppu” dilaksanakan yang keseluruhannya tanggungjawab keluarga wanita sebagai pelaksana adat berada ditangan marga Sianipar yang telah marboruhon ibu Tri Mujiantini br. Sianipar. Hal ini sejalan dengan teori George Hebert Meat dalam Basrowi Sudikin (2002: 112) sebagai suatu perspektif adaptasi individu terhadap dunia luar dihubungkan melalui proses komunikasi. Seperti juga yang dilakukan oleh Pak Agustinus yang telah melaksanakan prosesi manampe marga:

Saya (Pak Agustinus) berasal dari suku di luar Batak Toba tepatnya Jawa timur dan berdomisili di Jakarta Barat. Setelah prosesi mangain maka secara resmi nama saya adalah, Agustinus Siagian. (Agustinus Siagian, wawancara 15 Juni 2013)

Penggunaan boru Sianipar bagi ibu Tri Mujiantini dibelakang namanya, dan marga Siagian dibelakang nama Pak Agustinus membawa konsekuensi makna bahwa secara hukum adat mereka sudah tidak bisa terpisahkan dari keluarga suku Batak Toba yang telah marboruhon dan manampe marga pada mereka, dan dalam hal ini juga mereka dengan secara sadar harus mengakui bahwa mereka memiliki kesatuan adat dengan

(43)

keluarga yang telah mangain mereka dalam proses perjalanan adat Batak Toba yang kelak akan mereka adakan (semisal menikahkan anak, meninggal dll)

1.1) Makna Simbol ‘mangain’ pada adat Batak Toba

Mangain merupakan prosesi ‘adopsi’ yang dilakukan karena pernikahan secara adat Batak Toba baru bisa dilakukan kalau kedua belah pihak (orang tua calon pasangan) memiliki dan menghadirkan Dalihan na Tolu masing-masing. Hal ini bisa terjadi tentunya kalau pasangan itu sama-sama berasal dari suku Batak Toba atau setelah “suku” calon pelaksana adat di “seragamkan”. Untuk itulah yang bersangkutan harus mengikuti prosesi ‘mangain’ atau secara simbolis ‘diangkat’ jadi anak oleh keluarga Batak Toba dengan secara langsung segala ketentuan adat dan kekeluargaan pada pihak yang ‘mangain’ berlaku atasnya dan tanpa memandang usia anak yang ‘diain’ dijadikan anak yang paling bungsu/ yang terakhir lahir pada keluarga yang mangain.

2) Mangulahon

Biasanya hal ini dilakukan apabila calon mempelai yang tidak berasal dari Batak Toba ‘berkeberatan’ diangkat marga, karena pada suku asalnya sudah memiliki marga (fam), atau dikarenakan hal lain yang dianggap sangat prinsipil, karena calon pasangan yang tidak berasal dari suku Batak Toba tidak menginginkan penggantian marga dari suku asalnya dan juga “keberatan” dengan konsekuensi psikologis jangka panjang yang nantinya akan timbul sebagai konsekuensi dari penggunaan marga secara simbolik maka belakangan ini ada suatu fenomena baru yang terjadi dalam adat Batak khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dan prosesi yang dilakukan adalah seperti hasil petikan wawancara dengan Pak M. Gulo dengan ibu I. S br Siburian:

Gambar

Gambar 4.1.3: Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak  Toba (DNT)
Tabel pengelompokkan informan
Tabel Perbedaan Pelaksanaan Upacara Sebelum Pernikahan  di Wilayah Jakarta dengan di tanah Batak
Tabel 4.2.3 Makna symbol berdasarkan agama  No  Agama  Penamaan/  simbol  Makna  1.  Kristen  (HKBP)  dan  Katolik
+3

Referensi

Dokumen terkait

adanya paksaan dan tidak bertentangan dengan Pasal 1321 KUHPer sehingga kesepakatan ini tidak menimbulkan cacat kehendak. Kata sepakat ini juga mengandung unsur

Kota Samarinda merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan kementerian ESDM masuk dalam wilayah usaha pertambangan, dengan itu Pemkot Samarinda mengeluarkan

dari wilayah Kotamadya Madiun ke Wilayah Mejayan akan tetapi, dalam Peraturan Pemerintah tersebut memerlukan beberapa penjelasan dan peraturan daerah yang lebih

Perencanaan alokasi penempatan infrastruktur jaringan untuk wilayah DKI Jakarta pada Tugas Akhir ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai bagaimana perencanaan jumlah

Positioning dari produk Axis itu sendiri dapat memberi arti dan arti tersebut adalah arti penting sehingga konsumen akan selalu mengingat atas makna dari produk tersebut

Untuk itu, peneliti mengandalkan analisis semiotika dengan menggunakan penganalisisan makna denotasi, konotasi dan mitos yang terkandung dalam foto Awan Berbentuk

Sedangkan makna Konotasi yang terkandung dalam adegan tersebut adalah sikap seorang KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pimpinan pesantren tebu ireng bersedia ditangkap

Terkemuka memiliki makna sebagai cita-cita mulia yang terencana dan terarah untuk 1 memelihara kepercayaan civitas akademika Universitas Muhammadiyah Makassar, alumni, dan masyarakat