• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

4.4. Analisis Data 1. Tata Niaga

5.1.1 Pelaku Tata Niaga

Pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Tidak ada perusahaan yang memiliki ijin sebagai pengedar luar negeri di Kalimantan Tengah. Penangkap diidentifikasi sebagai orang yang menangkap ular langsung dihabitatnya. Pengumpul perantara diidentifikasi sebagai orang yang mengumpulkan ular dari beberapa penangkap. Penangkap berijin adalah badan usaha yang memiliki ijin tangkap dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Pengedar dalam negeri adalah badan usaha yang mempunyai ijin sebagai pengedar kulit ular dalam negeri dari Balai KSDA Kalimantan Tengah.

(a) Penangkap.

Penangkap terdiri dari penangkap profesional dan penangkap bukan profesional. Penangkap profesional memiliki kemampuan untuk merakit jerat yang efektif dan menangkap ular tanpa melukai ular dan mereka sendiri. Bagi penangkap perorangan, penangkap ular adalah pekerjaan utama meskipun mereka mempunyai kebun dan sawah, kecuali satu kelompok. Pekerjaan penuh mereka adalah menangkap ular. Jenis ular yang ditangkap hanya Python reticulatus dan Python breitensteini (ular kendang). Ular kendang merupakan salah satu jenis sanca yag mempunyai ukuran panjang 180-200 cm, warna coklat atau merah di bagian atas dengan bintik-bintik bulat berwarna coklat, biasanya terdapat garis putih miring dari ujung mata sampai ujung mulut, bagian tubuh keputihan dan kadang berbintik coklat (BOSF 2008).

Selain penangkap profesional yang disebutkan diatas, menurut informasi penangkap, pengumpul perantara dan pengumpul yang menjadi narasumber, ada lebih dari 5 penangkap profesional dan 5 penangkap bukan profesional di Kotawaringin Barat, 5 penangkap bukan profesional di Pulang Pisau dan 1 penangkap bukan profesional di Katingan. Penangkap bukan profesional hanya menangkap ular ketika bertemu dengan ular tersebut dan bukan dengan sengaja

mencari ular. Umumnya penangkap sambilan adalah petani dan pekerja perkebunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengumpul perantara di Kabupaten Kuala Kapuas, Pulang Pisau, dan Kotawaringin Timur seluruh pemasok mereka adalah penangkap bukan profesional yang mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau pekerja di perkebunan. Penangkap tersebut hanya memasok ular atau kulit pada mereka secara tidak teratur.

Seluruh penangkap yang menjadi narasumber di Kotawaringin Barat, menangkap di kebun kelapa sawit. Mereka mempunyai wilayah teritori masing-masing dan tidak saling mengganggu, namun kadang hasil tangkapan mereka hilang dicuri orang. Penangkap lain juga sebagian besar menangkap di kebun kelapa sawit ketika mereka sedang bekerja. Umumnya mereka adalah pekerja di perkebunan kelapa sawit yang banyak terdapat di Kotawaringin Barat. Penangkap di Pulang Pisau menangkap di kebun karet, rawa, tanah tinggi dan sawah.

Penangkap profesional di Kotawaringin Barat menangkap ular sepanjang tahun. Pada bulan Oktober – Mei, mereka menangkap dengan menggunakan jerat. Pada bulan Juni-September, penangkap profesional di Kotawaringin Barat tidak menggunakan jerat untuk menangkap ular. Mereka menangkap langsung dari sarangnya. Pada musim ini, banyak penangkap sambilan yang ikut mencari ular dan jumlah ular yang ditangkap lebih banyak dari biasanya. Mereka menganggap musim ini sebagai musim panen ular.

Penangkap profesional di Pulang Pisau hanya menangkap ular pada bulan Januari-Mei setiap tahunnya. Musim kemarau mereka tidak menangkap ular karena parit tempat mereka memasang jerat umumnya mengering. Mereka tidak mengenal cara penangkapan ular di sarang karena mereka tidak mengetahui secara pasti dimana sarang ular. Mereka hanya menangkap ular yang mereka temui ketika sedang bekerja di kebun. Begitu pula dengan penangkap di Kabupaten Kuala Kapuas dan Kotawaringin Timur. Menurut informasi pengumpul perantara disana, pada bulan-bulan tersebut mereka hanya mendapatkan pasokan dalam jumlah yang sangat sedikit dan jauh berkurang dari ketika musim hujan.

Menurut Yuwono (1998), sebelum akhir tahun 1980-an, di Indonesia belum ada penangkap profesional untuk reptil. Pada saat itu, yang ada penangkap burung yang mencoba mengumpulkan lebih banyak uang dengan melakukan

pekerjaan sambilan menangkap reptil dan ampibi. Penangkap reptil profesional baru muncul pada awal tahun 1990-an dan semakin banyak lagi sampai sekarang. Pada tahun 1993 ketika terjadi larangan ekspor burung, sebagian besar pengumpul burung beralih profesi menjadi penangkap reptil. Penangkap reptil di Kabupaten Kotawaringin Barat mulai menjadi penangkap profesional pada tahun 2005 dan sebelumnya menjadi penangkap reptil di Sumatera selama beberapa tahun. Kepandaian memasang jerat dan menguliti diperoleh ketika mereka bekerja di Sumatera. Itulah sebabnya teknik penangkapan dan pengulitan tidak berbeda dengan yang dilakukan di Sumatera.

(b) Pengumpul Perantara

Pengumpul perantara di Pangkalan Banteng adalah yang terbesar dengan jumlah produksi paling besar. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini (pada saat musim hujan). Pengumpul perantara ini mendapatkan ular dari sekitar 20 penangkap profesional dan bukan profesional yang berada di Pangkalan Banteng. Pada saat musim “nyuluh”,

pengumpul perantara ini juga terjun langsung mencari ular sendiri dibantu istrinya selain membeli ular dari penangkap lain. Dia lebih memilih membeli ular hidup daripada dalam bentuk kulit karena ular hidup akan memberi lebih banyak keuntungan dan teknik pengulitannya menghasilkan kulit dengan kualitas lebih baik. Selain pengumpul perantara yang menjadi narasumber, di Kotawaringin Barat juga terdapat seorang pengumpul perantara yang menjadi saingan dari pengumpul perantara tersebut.

Pengumpul perantara di Sampit menjadikan ular hanya sebagian dari usahanya. Pekerjaan utamanya adalah pengumpul perantara berbagai jenis satwaliar yang diperdagangkan. Pengumpul perantara ini lebih banyak menerima kura-kura, labi-labi dan biawak. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini. Bentuk yang diterima bisa ular hidup ataupun kulit. Ular hidup akan memberi lebih banyak keuntungan namun kulit yang ukurannya kurang sesuai juga bisa diperbaikinya hingga ukurannya sesuai. Pemasoknya adalah penangkap bukan profesional disekitar Sampit dan tidak ada penangkap profesional yang memasok ular kepadanya.

Pengumpul perantara di Anjir Pulang Pisau mempunyai pekerjaan utama sebagai petani karet dan sawah. Pekerjaan sebagai pengumpul perantara merupakan pekerjaan sampingan. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini yang hanya bisa diperoleh pada bulan Januari-Juni. Satwaliar lain yang diterimanya adalah labi-labi dan biawak yang bisa diterimanya sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena pemasok ular hanya bisa menangkap ular pada musim hujan, sedangkan biawak dan labi-labi bisa ditangkap sepanjang tahun. Bentuk yang diterimanya bisa berupa ular hidup maupun kulit. Kadang memasok pula ular hidup dalam ukuran kecil untuk pet. Penangkap yang memasoknya adalah penangkap bukan profesional. Penangkap profesional yang berada didekat tempat tinggalnya langsung menjual pada pengumpul besar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Pengumpul perantara di Kapuas adalah pengusaha yang bergerak dalam berbagai jenis usaha tata niaga dan pekerjaan sebagai pengumpul perantara kulit ular hanya sebagian dari usahanya. Bentuk yang diterimanya hanya berupa kulit. Penangkap yang memasoknya adalah penangkap bukan profesional di Kuala Kapuas. Sebagian besar berasal petani atau pekerja kebun kelapa sawit.

(c) Pemilik Ijin Resmi

Ijin resmi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ijin tangkap dan ijin edar dalam negeri dari otoritas manajemen (Balai KSDA). Penangkap yang mempunyai ijin hanya dua perusahaan yaitu satu di Kabupaten Katingan dan satu di Kota Palangkaraya. Pemilik ijin di Kabupaten Katingan merupakan perusahaan yang membawahi penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Katingan, Kuala Kapuas dan Pulang Pisau. Para penangkap dan pengumpul perantara tidak memiliki ijin tangkap. Mereka seolah menginduk pada perusahaan yang mempunyai ijin tangkap tersebut dengan cara menjadi pemasok. Dari kedua perusahaan tersebut, hanya pemilik ijin di Kabupaten Katingan yang benar-benar melakukan penangkapan. Pemilik ijin di Kota Palangkaraya hanya menjual surat/administrasi saja.

Selain kedua pemilik ijin di atas, ada pula satu badan usaha yang mengaku memiliki ijin di Kotawaringin Barat, namun menurut data Balai KSDA Kalimantan Tengah, hanya dua badan usaha di atas yang memiliki ijin tangkap

dan ijin edar dalam negeri dengan kuota yang sudah terbagi habis untuk keduanya. Badan usaha tersebut pada tahun 2009-2010 tercatat melakukan kegiatan peredaran dalam negeri, namun pada tahun 2011 tidak tercatat adanya aktivitas resmi dari badan usaha tersebut. Tahun 2012 dimana kuota hanya untuk dua pemilik ijin, namun badan usaha tersebut terlihat melakukan aktifitas untuk membeli kulit dari penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat, baik yang menjadi narasumber maupun tidak dengan alasan masih memiliki ijin resmi, namun tidak bisa menunjukkan ijin yang dimaksud.

Yuwono (1998) menyatakan bahwa pelaku tata niaga reptil yaitu penangkap (colector), agen (middleman), supplier, dan eksportir (exporter).

Semiadi dan Sidik (2011) menyebutkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus di Sumatera Utara dan Nanggro Aceh Darussalam (NAD) adalah pengumpul daerah, agen, sub agen dan pengasong. Pengumpul daerah adalah orang yang membawahi beberapa agen pengumpul yang biasanya berdomisili di perkotaan sekitar kawasan penangkapan ular. Pengumpul daerah umumnya terdaftar di Balai KSDA dan mempunyai ijin tangkap. Agen adalah mereka yang berperan mengumpulkan hasil tangkapan dari pengasong dan dijual ke pengumpul daerah. Antara pengasong dengan agen terdapat sub agen. Pengasong adalah masyarakat penangkap. Pengasong dibagi menjadi pengasong sambilan dan pengasong insidentil. Pengasong sambilan adalah mereka yang mempunyai pekerjaan mapan yang melakukan kegiatan menangkap ular selepas jam kerja mereka. Pengasong insidentil adalah mereka yang melakukan penangkapan secara tidak teratur tergantung kebutuhan ekonomi atau yang menangkap ular secara tidak sengaja dan dijual ke sub agen atau langsung ke pengumpul daerah.

Siregar (2012) yang melakukan penelitian pada lokasi yang sama yaitu Sumatera Utara, menyebutkan bahwa pelaku tata niaga ular di Sumatera Utara terdiri dari penangkap ular, pengumpul kecil, pengumpul besar dan eksportir. Penangkap terdiri dari penangkap profesional penuh, penangkap profesional sambilan dan penangkap amatir. Penangkap profesional penuh yaitu orang yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan utama. Penangkap profesional sambilan adalah penangkap yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan. Sedangkan penangkap amatir adalah orang yang

mendapatkan ular secara kebetulan. Pengumpul kecil adalah yang mengumpulkan ular langsung dari penangkap. Pengumpul besar adalah pengumpul yang membawahi pengumpul kecil. Eksportir adalah yang mempunyai ijin ekspor.

Terdapat perbedaan pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah dan di Sumatera, baik menurut Yuwono (1998), Semiadi dan Sidik (2011) ataupun Siregar (2012). Pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah hanya sampai pada tingkat pengedar dalam negeri, sedangkan di Sumatera sampai pada tingkat eksportir. Namun secara umum, pelaku tata niaga terdiri dari level yang sama yaitu penangkap, pengumpul dan pemilik ijin edar. Semakin pendek rantai tata niaga, kemungkinan akan semakin besar nilai jual yang bisa diterima oleh pelaku tata niaga di level terbawah. Namun kadang tidak bisa dihindari adanya tambahan level, terutama bila lokasi penangkapan jauh dari level tertinggi.

Berdasarkan aturan perundang-undangan mengenai pemanenan dan tata niaga satwaliar dalam negeri, yaitu SK Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c), ada ketidaksesuaian antara penerapan di lapangan dengan aturan tersebut. Pasal 24 (3) menyebutkan bahwa pemanfaatan untuk tujuan komersial hanya diberikan kepada badan usaha resmi. Pasal 26 (1) menyatakan bahwa penangkapan hanya bisa dilakukan oleh pemilik ijin pengambilan dari alam. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah penangkap bukan pemilik ijin penangkapan. Pemilik ijin hanya membeli dari penangkap yang tidak memiliki ijin. Bahkan penangkap tersebut dengan bebas bisa menjual pada pemilik ijin atau dijual pada orang lain yang tidak memiliki ijin atau dijual melalui jalur yang tidak resmi.

Otoritas pengelola (BKSDA) seharusnya mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap penangkap, pengumpul dan pemegang ijin edar sebagaimana disebutkan pada pasal 107 (1) serta melakukan penegakan hukum. Langkah awal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendata penangkap dan lokasi tangkapnya, selanjutnya dilakukan pembinaan dan sosialisasi aturan dalam penangkapan satwaliar serta memfasilitasi penangkap agar bisa mendapatkan ijin secara resmi. Kegiatan ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan demikian maka akan terjadi keteraturan dan mempermudah dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan satwaliar di alam.