• Tidak ada hasil yang ditemukan

Support Vector Machine Modeling For Identification Of Ferns Plant Based On Spores Image In Eigen Space

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Support Vector Machine Modeling For Identification Of Ferns Plant Based On Spores Image In Eigen Space"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

CITRA SPORA DALAM RUANG EIGEN

SUFIATUL MARYANA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyetakan bahwa tesis Pemodelan Support Vector Machine untuk Identifikasi Jenis Tanaman Paku Berdasarkan Citra Spora Dalam Ruang Eigen adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

(3)

Of Ferns Plant Based On Spores Image In Eigen Space. Under direction of AGUS BUONO and MUSHTHOFA

Spores of is a breeding tool of ferns plant (Pteridophyta), which generally exist beneath the surface of each leaf. The research of Pteridophyta spores characteristic which commonly done is observing the size and shape to see what kind of spores. The method requires a lot of comprehension, experience, accuracy and time to achieve high accuracy in the determination of the type. Based on this reason, it is necessary to develop another technique by modeling to help identify the type Pteridophyta on the spore part. The purpose of this study is to make

Support Vector Machine (SVM) modeling to identify the types of ferns by spore image in the eigen space. The data used was the image of the spores with four classes, each has 24 data per class. The method used in this study was the 2D-PCA for feature extraction and SVM for classification of data by using RBF and polynomial kernel functions. The result of this study is the accuracy of any extraction that has been attempted. The best result lies in the RBF kernel function with feature extraction of 70% and parameter 10 with an accuracy of 98.96%.

(4)

SUFIATUL MARYANA, Pemodelan Support Vector Machhine Untuk Identifikasi Jenis Tanaman Paku Berdasarkan Citra Spora Dalam Ruang Eigen. Dibimbing oleh AGUS BUONO dan MUSHTHOFA.

Pemodelan Support Vector Machine pada spora dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman paku atau Pteridophyta guna mendukung taksonomi tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu model menggunakan

Support Vector Machhine untuk mengidentifikasi jenis tanaman paku berdasarkan citra spora dalam ruang eigen. Penelitian ciri spora pada Pteridophyta yang biasa dilakukan adalah melihat ukuran dan bentuk untuk melihat jenis spora. Cara tersebut memerlukan pemahaman, pengalaman, ketelitian dan waktu untuk mencapai keakurasian dalam penentuan jenis. Berdasarkan hal tersebut maka perlu sebuah teknik lain dengan cara pemodelan untuk membantu mengidentifikasi jenis Pteridophyta pada bagian spora. Identifikasi jenis spora

Pteridophyta dapat dilakukan menggunakan dua cara yaitu dapat dilihat berdasarkan bentuk dan ukuran dari spora.

Data spora didapat dari tumbuhan paku yang berada Kebun Raya Cibodas Bogor, yang terdiri atas empat famili yaitu Thelypteridaceae, Aspleniaceae, Polypodiaceae, Aspidiaceae, masing-masing famili mempunyai 24 citra. Total data pada penelitian ini berjumlah 96 citra dengan ukuran awal 960x1280 pixel

kemudian ukuran citra diubah menjadi 96x128 pixel.

Pengenalan citra pada penelitian ini menggunakan dua taknik dengan ekstaksi ciri menggunakan 2DPCA yang berfungsi untuk mereduksi dimensi pada citra spora tanpa menghilangkan informasi yang berarti kemudian untuk menidentifikasi jenis spora menggunakan teknik support vector machine dengan metode one against all serta fungsi yang digunakan dari support vector machine

pada penelitian ini menggunakan fungsi Kernel RBF dan Kernel Polynomial, dimana setiap data uji dilatih menggunakan keseluruhan data.

Data yang digunakan sebanyak 96 data, terdiri atas 4 kelas Pteridophyta

yaitu kelas 1 Pteridophyta Aspleniaceae, kelas 2 Pteridophyta Polypodiaceae,

(5)

identifikasi jenis di bidang taksonomi

(6)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa pencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

CITRA SPORA DALAM RUANG EIGEN

SUFIATUL MARYANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Komputer pada

Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama : Sufiatul Maryana

NIM : G651100081

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Mushthofa, S.Kom., M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Komputer

Dr. Yani Nurhadryani, S.Si.,M.T

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)
(10)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal penelitian yang berjudul Pemodelan Support Vector Machine untuk Identifikasi Jenis Tanaman Paku Berdasarkan Citra Spora Dalam Ruang Eigen sebagai syarat dalam menyelesaikan perkuliahan di Magister Sains, Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa di berikan kepada Nabi Muhammad, SAW, keluarganya, dan umatnya sampai akhir zaman.

(11)

penulis harapkan untuk kemajuan pengembangan penelitian.

Bogor, September 2012

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Ruang Lingkup Penelitian ... 2

1.4. Manfaat ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra RGB dan Skala Keabuan ... 5

2.2. Reduksi Dimensi Pada Ruang Eigen ... 6

2.3. Two Dimension Principal Component Analysis (2DPCA) ... 7

2.4. K-Fold Cross Validation ... 8

2.5. Spora ... 9

2.6. Support Vector Machine (SVM) ... 10

2.7. Multi Class Support Vector Machine (SVM) ... 11

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ... 13

3.2. Identifikasi Masalah ... 14

3.3. Pengambilan Citra Spora ... 14

3.4. Praproses ... 16

3.5. K-Fold Cross Validation ... 16

3.6. Tahapan Penelitian ... 16

3.7. Pemodelan dengan SVM ... 17

3.8. Tahapan Pengujian ... 17

3.9. Alat dan Bahan Penelitian ... 18

(14)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengumpulan Data ... 21

4.2. Ekstraksi Fitur Citra Spora Pteridophyta ... 21

4.3. Data Latih dan Data Uji ... 23

4.4. Identifikasi Spora Menggunakan SVM ... 23

4.4.1. Percobaan pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () = 1, 5 dan 10 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95%. ... 24

4.4.2. Percobaan pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () = 15, 20 dan 25 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95% ... 25

4.4.3. Percobaan pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () 30, 35 dan 40 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95% ... 27

4.4.4. Percobaan pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () 45 dan 50 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95% ... 29

4.4.5. Perbandingan Hasil Fungsi Kernel RBF ... 30

4.4.6. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 1 menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 95%. ... 31

4.4.7. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 2 menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 95% ... 32

4.4.8. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 3 menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 95% ... 33

4.4.9. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 4 menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 95% ... 33

4.4.10.Perbandingan Hasil Fungsi Kernel Polynomial... 34

4.5. Pembahasan ... 36

4.5.1. Percobaan Pada Fungsi Kernel RBF dengan  = 10 ... 36

4.5.2. Percbaan Pada Fungsi Kernel Polynomial dengan d =2 ... 36

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 41

5.2. Saran ... 41

(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Koordinat Citra Digital ... 5

2. Pembagian Data Menggunakan K-Fold ... 8

3. SVM berusaha menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan kedua class-1 dan +class-1 ... 10

4. Tahapan Proses Penelitian ... 14

5. Alat-alat pengambilan citra spora ... 16

6. Jenis Citra Spora Pteridhopyta ... 21

7. Ukuran Citra Awal Spora Pteridhopyta ... 22

8. Pengelompokan Data Spora ... 22

9. Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 1, b. = 5, c.  = 10 .... 25

10.Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 15, b = 20 dan c.  = 25 ... 27

11.Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 30, b = 35 dan c.  = 40 ... 28

12.Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 45, b.  = 50 ... 30

13.Perbandingan Akurasi ekstraksi 70% Menggunakan Kernel RBF ... 30

14.Perbandingan Akurasi ekstraksi 90% Menggunakan Kernel RBF ... 31

15.Hasil Akurasi Kernel Polynomial dengan Parameter Order = 1 ... 32

16.Hasil Akurasi Kernel Polynomial dengan Parameter Order = 2 ... 32

17.Hasil Akurasi Kernel Polynomial dengan Parameter Order = 3 ... 33

18.Hasil Akurasi Kernel Polynomial dengan Parameter Order = 4 ... 34

19.Perbandingan Akurasi Ekstraksi 50% menggunakan Kernel Polynomial ... 34

20.Perbandingan Akurasi Ekstraksi 80% menggunakan Kernel Polynomial ... 35

21.Perbandingan Akurasi Ekstraksi 95% menggunakan Kernel Polynomial ... 35

22.Hasil Akurasi Kernel RBF dengan Parameter Sigma = 10 ... 36

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1. Spora Pteridophyta ... 9

2. Contoh SVM Biner dengan Metode One – Against – All ... 12

3. Contoh hasil dimensi dari ekstraksi fitur menggunakan 2D-PCA ... 22

4. Susunan data latih dan data uji ... 23

5. Confusion matrix percobaan RBF dengan parameter = 10 ... 37

6. Data yang salah diklasifikasikan ... 37

7. Confusion matrix percobaan Polynomial dengan Parameter d = 2 ... 38

(18)
(19)

DAFTAR LAMPIRAN

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna, salah satu keanekaan hayati adalah tumbuhan paku atau Pteridophyta yang banyak tumbuh di daerah yang lembab (Suryana 2009), tanaman paku memiliki peran yang cukup besar baik secara ekologis maupun ekonomis, secara ekologis tanaman paku berperan dalan satu rantai makanan dan komponen yang berperan dalam siklus daun nitrogen. Secara ekonomis tumbuhan paku dapat berperan sebagai tanaman obat, tanaman hias, sayuran dan sebagai pelindung persemaian (Rismunandar 1999).

Tumbuhan paku adalah kelompok tumbuh-tumbuhan yang mempunyai jenis yang cukup banyak. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 1.300 jenis tumbuhan paku dari 12.000 jenis yang ada di seluruh dunia (Rugayah et al 2004). Pengamatan spora di laboratorium dilakukan dengan menggunakan jarum preparat, sori daun tumbuhan paku yang fertil diambil dan disimpan dalam larutan alkohol 70% di atas obyek gelas. Agar sori tersebut terpisah menjadi banyak spora maka perlu diketuk-ketuk dengan batang gelas. Pada obyek gelas yang lain yang telah diberi glyserin, dengan bantuan jarum ose untuk menaburkan spora-spora di atasnya. Agar preparat siap diamati di bawah mikroskop elektron maka obyek gelas perlu ditutup dengan cover glass dan pada bagian tepinya harus diolesi dengan cat kuku. Pengamatan di bawah mikroskop elektron dilakukan dengan perbesaran 100x meliputi pengukuran panjang spora.

Penelitian menggunakan ciri spora untuk mengidentifikasi jenis

Pteridophyta sudah dilakukan diantaranya mengidentifikasi bentuk spora dalam mendukung konsep takson (Prasetyo 1998), penelitian lain menggunakan variasi ukuran spora pada Asiantum raddianum untuk mengnalisis derajat ploidi dan pengaruhnya (Perwati 2009)

(21)

dalam penentuan jenis. Berdasarkan hal tersebut maka perlu sebuah teknik lain dengan cara pemodelan untuk membantu mengidentifikasi jenis Pteridhopyta

pada bagian spora.

Metode 2D-PCA banyak dikembangkan dalam penelitian diantaranya adalah 2D-PCA untuk pengenalan wajah dengan tingkat keakurasian 84% (Yang and Zhang 2004), Pengenalan kadar total padat terlarut pada buah belimbing menggunakan teknik 1D-PCA dan 2D-PCA dapat dipergunakan untuk reduksi dimensi, dan mampu menerangkan hingga sekitar 95% dari model yang diformulasikan pada ruang asal (Buono & Irwansyah 2009).

Penelitian pengenalan wajah menggunakan 2DPCA dan SVM mendapatkan hasil akurasi lebih tinggi yaitu 97,3% dibandingkan menggunakan 1DPCA dan SVM yang mendapatkan hasil akurasi 95,7%. (Le&Bui 2011)

Dalam penelitian ini, dilakukan pengenalan Pteridophyta dengan menggunakan spora sebagai pengenal cirinya. Penelitian ini mengekstraksi citra dengan menggunakan 2DPCA yang mereduksi citra asli tanpa kehilangan informasi penting dari citra itu sendiri, sehingga waktu komputasi menurun serta menggunakan Support Vector Machine (SVM) sebagai klasifkasi dari bentuk citra spora .

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat pemodelan Support Vector Machine (SVM) untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan paku berdasar citra spora dalam ruang eigen.

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah citra Pteridophyta yang terdiri atas empat jenis yaitu Thelypteridaceae, Aspleniaceae, Aspidiaceae dan Polypodiaceae. Teknik praproses menggunakan ekstraksi ciri 2D-PCA sedangkan Identifikasi spora menggunakan Support Vector Machine (SVM). Data pada penelitian ini diperoleh dari area Kebun Raya Cibodas Bogor.

(22)

1.4. Manfaat

(23)
(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Citra RGB dan Skala Keabuan

Secara umum, pengolahan citra digital menunjuk pada pemrosesan gambar 2 dimensi menggunakan komputer. Dalam konteks yang lebih luas, pengolahan citra digital mengacu pada pemrosesan setiap data 2 dimensi. Citra digital merupakan sebuah array yang berisi nilai-nilai real maupun komplek yang direpresentasikan dengan deretan bit tertentu.

Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran M baris dan N kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial dan amplitude f di titik koordinat (x,y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Citra digital dapat dilihat dalam koordinat citra digital dan ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut (Putra 2010):

Gambar 1 Koordinat Citra Digital

(25)

red=green=blue. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah warna hitam, keabuan dan putih. Tingkatan keabuan di sini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga putih. (Putra 2010)

Citra RGB dan derajat keabuan merupakan format warna pada citra digital. Citra warna RGB memiliki kombinasi warna Red(R), Blue(B), dan

Green(G) disetiap pikselnya. Setiap komponen RGB memiliki intensitas dengan nilai minimal 0 dan maksimal 255 (8 bit). Setiap piksel pada citra RGB membutuhkan 3 Byte untuk media penyimpanan, sehingga kemungkinan jumlah kombinasi citra RGB adalah lebih dari 16 juta warna.

Citra keabuan merupakan citra digital yang hanya memiliki sebuah kanal pada setiap pixel, dengan kata lain bagian warna Red(R) sama dengan bagian

Green(G) sama dengan bagian Blue(B) (Gonzales et al 2004).

2.2. Reduksi Dimensi Pada Ruang Eigen

Reduksi Dimensi dengan Ruang Eigen Prinsip dasar dari reduksi dimensi dengan ruang eigen adalah mentransformasi titik-titik pada ruang asal ke ruang baru yang dibentuk oleh sumbu-sumbu yang merupakan vektor eigen (ciri) dari matriks koragam sumbu-sumbu pembangkit ruang asal. Teknik ini dikenal dengan analisis komponen utama.

Analisis komponen utama merupakan salah satu analisis peubah ganda yang bertujuan untuk mereduksi dimensi data tanpa harus kehilangan informasi yang berarti. Peubah hasil transformasi ini merupakan kombinasi linear dari peubah asli, tidak berkorelasi antar sesama, serta tertata berdasar informasi yang dikandungnya.

(26)

berdimensi lebih rendah, namun informasi yang dikandung dari ruang baru masih menyimpan informasi dari ruang asli dengan baik.

2.3. Two Dimension Principal Component Analysis (2DPCA)

Principal Component Analysis (PCA) merupakan salah satu metode analisis peubah ganda yang mereduksi dimensi data tanpa harus kehilangan informasi yang berarti (Buono & Irmansyah 2009). Peubah hasil transformasi merupakan kombinasi linear dari peubah asli dan tidak terkorelasi antar sesamanya, serta tersusun berdasar informasi yang dimilikinya. PCA merupakan ekstrasi fitur yang digunakan secara luas dalam pengolahan sinyal dan pengenalan pola. Sirovich dan Kirby pertama kali menggunakan PCA dalam merepresentasikan citra wajah orang (Yang & Zhang 2004).

Teknik 2DPCA menurut Yang & Zhang (2004), memiliki kelebihan dibandingkan dengan teknik PCA (eigenfaces), diantaranya yaitu 2DPCA didasarkan pada matriks citra sehingga lebih sederhana dan straight forward untuk digunakan pada ekstrasi fitur citra. Selain itu, 2DPCA lebih baik dari PCA dalam hal keakuratan pengenalan pada semua eksperimen dan secara komputasional lebih efisien daripada PCA dan dapat meningkatkan kecepatan ekstrasi fitur citra secara signifikan.

Dalam teknik proyeksi citra dengan 2D-PCA menurut Buono dan Irmansyah (2009) , sebuah citra berdimensi akan dibaca sebagai matriks A berdimensi dan tidak diubah menjadi bentuk vektor. matriks A ini ditransformasi menggunakan matriks menjadi Y sebagai berikut :

dengan

Permasalahannya adalah bagaimana menemukan matriks transformasi Q yang memaksimalkan persebaran Y. Persebaran Y dapat dikarakterisasi oleh teras matriks koragam, S yang dirumuskan sebagai, (Yang & Zhang 2004) :

(27)

Dicari nilai:

G dihitung dari sampel citra pelatihan. Anggap terdapat M citra pelatihan,

Oleh karena itu matrik Q yang dipilih adalah :

dengan q1 merupakan vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar ke i dari matriks G.

2.4. K-Fold Cross Validation.

K-fold cross validation merupakan metode untuk membagi data latih dan data uji. K-fold cross validation mengulang k-kali untuk membagi sebuah himpunan contoh secara acak menjadi k subset yang saling bebas. Setiap ulangan disisakan satu subset untuk pengujian dan subset lainnya untuk pelatihan. (Fu 1994)

Dalam metode cross validation terdapat strategi leave-one out, yaitu strategi untuk mebagi data latih dan data uji dalam jumlah sample yang kecil.Dimana sebanyak k-1 buah subset digunakan sebagai data latih dan 1 buah set sebagai data uji. Sebagai ilustrasi dari cross validation dengan menggunakan strategi leave-one-out dengan 4 buah fold dapat dilihat pada Gambar 2.

(28)

2.5. Spora

Spora merupakan alat perkembangbiakan tumbuhan paku-pakuan, umumnya terdapat di bawah permukaan setiap daun. Beberapa hasil penelitian tentang spora paku-pakuan telah memberikan masukan yang cukup berarti terutama sebagai dasar dalam penentuan batasan takson. Beberapa karakter spora tumbuhan paku yang umum digunakan dalam deskripsi yaitu aggregation , simetri, apertures, ukuran, bentuk, dan karakter dinding. Contoh beberapa jenis

Pteridophyta baik dari bentuk pohon maupun bentuk spora diambil dari beberapa famili di antanya adalah Thelypteridaceae, Aspleniaceae, Aspidiaceae dan

Polypodiaceae (Prasetyo 1998).

Jenis Pteridophyta beserta spora Pteridophyta tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Spora Pteridophyta

Famili Spora

Aspleniaceae

Polypodiaceae

(29)

Aspidiaceae

2.6. Support Vector Machine (SVM)

Support Vector Machine (SVM) adalah sistem pembelajaran yang menggunakan ruang hipotesis berupa fungsi-fungsi linier dalam sebuah ruang fitur (feature space) berdimensi tinggi, dilatih dengan algoritma pembelajaran yang didasarkan pada teori optimasi dengan mengimplementasikan learning bisa yang berasal dari teori pembelajaran statistik (Christianini et al 2000).

Teori yang mendasari SVM sendiri sudah berkembang sejak 1960-an, tetapi baru diperkenalkan oleh Vapnik, Boser dan Guyon pada tahun 1992 dan sejak itu SVM berkembang dengan pesat. SVM adalah salah satu teknik yang relatif baru dibandingkan dengan teknik lain, tetapi memiliki performansi yang lebih baik di berbagai bidang aplikasi seperti bioinformatics, pengenalan tulisan tangan, klasifikasi teks dan lain sebagainya (Christianini et al 2001).

Konsep dasar SVM sebenarnya merupakan kombinasi harmonis dari teori-teori komputasi yang telah ada puluhan tahun sebelumnya, seperti margin

hyperplane, kernel diperkenalkan oleh Aronszajn tahun 1950, dan demikian juga dengan konsep-konsep pendukung yang lain.

(30)

Konsep SVM dapat dijelaskan secara sederhana sebagai usaha mencari hyperplane terbaik yang berfungsi sebagai pemisah dua buah class pada input space. Gambar 5 memperlihatkan beberapa pattern yang merupakan anggota dari dua buah class : +1 dan –1 . Pattern yang tergabung pada class –1 disimbolkan dengan warna merah (kotak), sedangkan pattern pada class +1, disimbolkan dengan warna kuning (lingkaran).

Problem klasifikasi dapat diterjemahkan dengan usaha menemukan garis (hyperplane) yang memisahkan antara kedua kelompok tersebut. Berbagai alternatif garis pemisah (discrimination boundaries) ditunjukkan pada Gambar 5.

Hyperplane pemisah terbaik antara kedua class dapat ditemukan dengan mengukur margin hyperplane tersebut. dan mencari titik maksimalnya. Margin adalah jarak antara hyperplane tersebut dengan pattern terdekat dari masing-masing class. Pattern yang paling dekat ini disebut sebagai support vector. Garis solid pada Gambar 5 sebelah kanan menunjukkan hyperplane yang terbaik, yaitu yang terletak tepat pada tengah-tengah kedua class, sedangkan titik merah dan kuning yang berada dalam lingkaran hitam adalah support vector. Usaha untuk mencari lokasi hyperplane ini merupakan inti dari proses pembelajaran pada SVM.

2.7. Multi Class Support Vector Machine (SVM).

SVM saat pertama kali diperkenalkan oleh Vapnik, hanya dapat mengklasifikasikan data ke dalam dua kelas (klasifikasi biner). Namun, penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan SVM sehingga bisa mengklasifikasi data yang memiliki lebih dari dua kelas, terus dilakukan. Ada dua pilihan untuk mengimplementasikan multi class SVM yaitu dengan menggabungkan beberapa SVM biner atau menggabungkan semua data yang terdiri dari beberapa kelas ke dalam sebuah bentuk permasalah optimasi. Namun, pada pendekatan yang kedua permasalahan optimasi yang harus diselesaikan jauh lebih rumit. Berikut ini adalah metode yang umum digunakan untuk mengimplementasikan multi class

(31)

2.7.1. Metode One-Against-All

Metode ini digunakan untuk membangun k buah model SVM biner (k adalah jumlah kelas). Setiap model klasifikasi ke-i dilatih dengan menggunakan keseluruhan data. Contohnya, terdapat permasalahan klasifikasi dengan 4 buah kelas. Untuk pelatihan digunakan 4 buah SVM biner seperti pada Tabel 2

Tabel 2 Contoh SVM biner dengan metode One-against-all

yi= 1 yi= −1 Hipotesis

Kelas 1 Bukan kelas 1 f1(x) = (w1)x+b1

Kelas 2 Bukan kelas 2 f2(x) = (w2)x+b2

Kelas 3 Bukan kelas 3 f3(x) = (w3)x+b3

Kelas 4 Bukan kelas 4 f4(x) = (w4)x+b4

2.7.2. Fungsi Kernel

SVM dirancang untuk dapat menyelesaikan tidak hanya permasalah linear, tetapi juga permasalhan non-pinear. Agar permasalahan non-linear dapat diselesaikan, permasalajan tersebut dapat dipetakan ke dalam ruang ciri berdiensi lebih tinggi, kemudian diterapkan klasifikasi linear dalam ruang tersebut. Tepatnya memetakan variable input x ke dalam vector variable ciri (x) dengan fungsi transforasi x →(x) (Osuna et al 1997).

Terdapat empat kernel yang biasa digunakan dalam SVM, yaitu sebagai berikut (Hsu and Lin 2010)

1. Linear : K(xi, xj) = xiTxj

2. Polinomial : K(xi, xj) = (xiTxj + r)d, 

3. Radial Basis Function (RBF) : K(xi, xj) = exp (-xi - xj||2), 

(32)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Identifikasi jenis Pteridophyta berdasarkan analisa citra spora. Salah satu indikator untuk mengetahui karakteristik pada jenis Pteridophyta adalah lebar dan bentuk spora dari masing-masing famili. Cara ini membutuhkan keahlian, pengalaman, ketelitian, dan waktu dalam proses pengklasifikasian spora.

Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data citra spora jenis

(33)

Mulai

Citra Spora

Pembagian Data (K-Fold cross validation)

Reduksi Dimensi Menggunakan

2D-PCA

Pemodelan dengan SVM

Selesai Praproses

Pengujian Pemodelan dengan SVM

Analisis Hasil Data Latih Tereduksi Data Uji Tereduksi

Matriks Transformasi

Data Latih Data Uji

Gambar 4 Tahapan Proses Penelitian 3.2. Identifikasi Masalah

Tahap awal penelitian adalah dengan memahami masalah. Identifikasi masalah bersumber dari salah satu teknik identifikasi pada jenis Pteridhopyta

berdasarkan ciri spora secara mikroskopis. Penelitian ini mencoba menggunakan teknik pengenalan citra spora untuk klasaifikasi jenis dengan menggunakan 2D-PCA dan SVM berdasarkan dari data masukan berupa matriks hasil praproses citra.

3.3. Pengambilan Citra Spora

(34)

Pengambilan citra spora yang digunakan sebagai basis data diperoleh dengan menggunakan alat-alat yang terdiri atas microscop, glass, cover glass, jarum preparat, alkohol dan label. Alat-alat tersebut digunakan untuk mengambil sori atau sorus pada daun tumbuhan paku dan disimpan dalam larutan alkohol 70% diatas obyek gelas, agar sorus atau sori dapat terpisah menjadi banyak spora maka perlu diketuk-ketuk dengan batang gelas. Pada obyek gelas yang lain yang telah diberi glyserin, dengan bantuan jarum ose untuk menaburkan spora-spora di atasnya. Agar preparat siap diamati di bawah mikroskop elektron maka obyek gelas perlu ditutup dengan cover glass dan pada bagian tepinya harus diolesi dengan cat kuku. Alat-alat pengambilan citra spora tersaji pada Gambar 5.

Microscop Jarum Preparat

(35)

Label Alkohol

Gambar 5. Alat-alat pengambilan citra spora

3.4. Praproses

Secara garis besar sistem terdiri atas dua bagian, yaitu proses pembelajaran citra dan proses pengujian citra. Pada proses pembelajaran dan pengujian citra spora masing-masing berukuran 96x128 pixel dari ukuran asal 960x1280 diperoleh dari hasil memodifikasi secara manual. Maksudnya adalah setelah file citra spora diperoleh, proses cropping, resize dan penyesuaian citra untuk menyamakan dimensi citra dilakukan secara manual.

3.5. K-Fold Cross Validation.

Pada tahapan ini citra dari masing-masing family akan dibagi atau diacak menjadi subkelompok, dari subkelompok k, diambil satu subkelompok untuk dijadikan validasi data uji, dan sisanya digunakan untuk data latih, proses tersebut dilakukan berulang sehingga semua subkelompok dapat dijadikan data uji. Fold

yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 4 subkelompok.

3.6. Tahapan Pelatihan 1. Data Latih.

(36)

2. Ekstraksi Ciri

Ekstraksi ciri dilakukan dengan menggunakan metoda 2DPCA. Bagian citra yang diekstrasi adalah citra spora yang telah disamakan ukurannya. Reduksi 2DPCA bertujuan mendapatkan set matriks ciri yang nantinya akan digunakan untuk tahap pemodelan. Input citra spora memiliki dimensi yang lebih kecil dibandingkan citra asli, sedangkan untuk keragaman informasi digunakan 50% hingga 95% kemiripan dari citra spora.

3. Data Latih Tereduksi

Data latih tereduksi merupakan citra spora hasil dari reduksi menggunakan 2DPCA dan memiliki dimensi yang lebih kecil dibandingkan citra spora sebelumnya. Citra spora tereduksi memiliki kemiripan dengan citra sebelum direduksi sebesar 50% hingga 95%. Data latih tereduksi digunakan sebagai input untuk pemodelan dengan Support Vector Machine.

3.7. Pemodelan dengan Support Vector Machine.

Pemodelan dengan menggunakan Support Vector Machine bersifat

multiclass, SVM memiliki beberapa metode dalam membandingkan objek, diantaranya one-against-one dan one-against-all. Pada penelitian ini akan digunakan one-against-all dengan fungsi kernel RBF dan Polynomial.

3.8. Tahapan Pengujian 1. Data Uji

Data uji yang digunakan pada penelitian memiliki 4 kelas, setiap kelompok berisi 24 citra, masing-masing kelompok ini akan dijadikan data uji secara bergantian, sehingga seluruh citra yang ada mengalami proses pengujian.

2. Matriks Transformasi

Matrik Transformasi didapat dari hasil reduksi dimensi 2D PCA pada data latih dan data uji, sehingga menghasilkan data latih dan data uji tereduksi

3. Data Uji Tereduksi

(37)

didapatkan tingkat kemiripan citra spora sebelum reduksi sebesar 50% hingga 95%.

4. Pengujian Model

Pada proses pengujian model pada penelitian ini adalah menggunakan pemodelan Support Vector Machine. Data yang akan diujikan adalah data latih tereduksi hasil pelatihan untuk menghasilkan klasifikasi yang benar dari citra uji tereduksi. Pada penelitian ini menggunakan metode “one –against – all” dimana kasifikasi salah satu kelas atau kelompok dilatih oleh keseluruhan data, serta menggunakan ekstraksi fitur sebesar 50% hingga 90%, sehingga dapat membandingkan akurasi klasifikasi dari masing-masing fungsi kernel dan ekstraksi fitur.

5. Analisis Hasil.

Proses pelatihan dan pengujian dengan menggunakan pemodelan SVM yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang meliputi tingkat akurasi atau keberhasilan pengenalan klasifikasi jenis Pteridhopyta dan tingkat kesalahan dalam pengenalan citra spora pada masing-masing kelas. Akurasi dihitung berdasarkan data uji pada proses 4 fold cross validation, sedangkan untuk mengetahui penyebaran kesalahan digunakan confusion matriks.

Akurasi = Jumlah klasifikasi yang benar x 100% Jumlah semua data uji

3.9. Alat dan Bahan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan alat dan bahan seperti software dan hardware yang mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

Software :

Sistem Operasi : MS Window XP Proffesional Version 2002 SP3 Pemrograman : Matlab 2008

Hardware :

(38)

3.10.Waktu dan Tempat Penelitian

(39)
(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengumpulan Data

Data spora pada jenis tumbuhan Pteridhopyta pada penelitian ini diambil sample sebanyak empat jenis yang dikelompokan menjadi empat kelas yang berbeda, masing-masing kelas mempunyai citra sebanyak 24 sehingga citra keseluruhan memiliki 96 citra.

Kelas 1

Aspleniaceae

Kelas 2

Polypodiaceae

Kelas 3

Thelypteridaceae

Kelas 4

Aspidiaceae

Gambar 6Jenis citra spora Pteridhopyta

4.2. Ekstraksi fitur citra spora Pteridhopyta.

Citra awal dari spora pada penelitian ini mempunyai dimensi 96 x 128 seperti terlihat pada Gambar 10, citra spora diubah dari RGB menjadi bentuk grayscale, kemudian dilakukan ekstraksi fitur citra spora Pteridhopyta

(41)

Gambar 7 Ukuran citra awal Spora Pteridhopyta

Tabel 3 Contoh hasil reduksi dimensi dari ekstrasi fitur menggunakan 2D-PCA

Ekstraksi Fitur Dimensi

50% 96x2

60% 96x3

70% 96x4

75% 96x5

80 % 96x6

85% 96x8

90% 96x11

95% 96x19

4.2.1. Pengelompokan data spora

Penelitian ini menggunakan data citra spora yang memiliki 4 kelas yaitu kelas 1 (Aspleniaceae), kelas 2 (Polypodiaceae), kelas 3 (Thelypteridaceae) dan kelas 4 (Aspidiaceae). Data keseluruhan dikelompokan berdasarkan kelas yang telah ditentukan menggunakan data yang telah ditransformasikan seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Pengelompokan data spora 128

(42)

Gambar 8 menunjukan bahwa setiap data mengumpul sesuai dengan kelasnya masing-masing, pada kelas 3 berkelompok di area kelas 1, sementara pada kelas 4 dan kelas 3 berkelompok pada masing-masing kelas. Hal ini menandakan bahwa kelas-kelas tersebut dapat di klasifikasikan.

4.3. Data Latih dan Data Uji

Data citra spora Pteridhopyta untuk 4 jenis mempunyai jumlah keseluruhan 96 data, dengan masing-masing jenis berjumlah 24 data. Data citra spora pada masing-masing jenis pada penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu data latih (18 data) dan data uji (4 data). Pengambilan data mengikuti pola 4 cross validation, dimana data diujikan kedalam 4 pola yang terdiri atas pola 1 hingga pola 4 dengan rincian seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Susunan data latih dan data uji

Pola Citra Data Latih Citra Data Uji

1 7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24 1,2,3,4,5,6 2 1,2,3,4,5,6,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24 7,8,9,10,11,12 3 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,19,20,21,22,23,24 13,14,15,16,17,18 4 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18 19,20,21,22,23,24

4.4. Identfikasi Spora Menggunakan SVM

Penelitian ini menggunakan menggunakan citra sspora untuk mengidentifikasi jenis Pteridhopyta kedalam 4 kelas. Penelitian ini melakukan beberapa macam percobaan dengan menggunakan SVM dengan metode One Againts All pada fungsi kernel dan ekstraksi ciri yang berbeda, diantaranya adalah:

1. Percobaan fungsi kernel RBF menggunakan parameter = 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30,35, 40, 45, 50 dengan ekstraksi ciri 50% - 90%. Jumlah parameter yang di ujicobakan mempunyai 11 parameter sigma, untuk itu penjabaran dikelmpokan menjadi beberapa bagian :

a. Percobaan pada fungsi kernel RBF dengan parameter sigma () = 1, 5 dan 10 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95%.

(43)

c. Percobaan pada fungsi kernel RBF dengan parameter sigma ( ) = 30, 35 dan 40 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95%

d. Percobaan pada fungsi kernel RBF dengan parameter sigma ( ) = 45 dan 50 menggunakan ekstraksi ciri 50% - 95%

2. Percobaan fungsi kernel Polynmial menggunakan parameter d = 1, 2, 3, 4 dengan ekstraksi ciri 50% - 90%.

4.4.1. Percobaan pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () 1, 5 dan 10 menggunakan extraksi ciri 50% - 95%.

Percobaan dengan fungsi kernel RBF pada parameter sigma 1, 5 dan 10 menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 95% menunjukan pola yang berbeda. Pada percobaan menggunakan sigma 1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan tingkat akurasi yang signifikan, berbeda halnya dengan parameter sigma 5 mendapatkan tingkat akurasi yang meningkat dibanding dengan parameter sigma 1, begitu pula dengan hasil percobaan pada parameter 10 menghasilkan pola yang meningkat. Hal ini di sebabkan ketika menggunakan parameter 1 hanya sedikit data yang teridentifikasi dan ketika parameter sigma ditambahkan maka dapat mengidentifikasi data yang menyebar. Percobaan menggunakan parameter 1, 5 dan 10 menghasilkan akurasi terendah pada parameter 1 dengan ciri 80% hingga 95% dengan akurasi 25% sedangkan akurasi tertinggi terdapat pada paremeter 10 dengan ciri 70%. Seperti terlihat pada Gambar 9.

(44)

(b)

(c)

Gambar 9 Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 1, b. = 5 dan c.  = 10

4.4.2. Percobaan pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () 15, 20 dan 25 menggunakan extraksi ciri 50% - 95%.

(45)

dengan parameter sigma 25 pola akurasi sudah mendekati normal, dengan kata lain semaikin tinggi ekstraksi ciri diikuti dengan akurasi yang bertambah. Akurasi yang tertinggi pada percobaan 15, 20 dan 25 adalah 97.9% yang terdapat pada ekstraksi ciri 70% dengan parameter sigma 15, sedangkan akurasi terendah terdapat pada percobaan menggunakan parameter 25 dengan ciri 50% yaitu sebesar 73%seperti terlihat pada Gambar 10.

(a)

(46)

(c)

Gambar 10 Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 15, b = 20 dan c.  = 25

Percobaan menggunakan kernel RBF parameter sigma 15, 20 dan 25 dengan ekstraksi ciri 50% hingga 95% memiliki akurasi tertinggi 97,9%. Jumlah data yang salah dilkasifikasikan sebanyak 2 data dari 96 data.

4.4.3. Percobaan kelima pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () 30, 35 dan 40 menggunakan extraksi ciri 50% - 95%.

(47)

(a)

(b)

(c)

(48)

Percobaan menggunakan kernel RBF parameter sigma 30, 35 dan 40 dengan ekstraksi ciri 50% hingga 95% memiliki akurasi tertinggi 85%. Jumlah data yang salah dilkasifikasikan sebanyak 6 data dari 96 data, yaitu dari data kelas satu teridentifikasi oleh kelas 2 sebanyak 2 data dan dari kelas 1 teridentifikasi oleh kelas 3 sebanyak 4 data.

4.4.4. Percobaan kelima pada fungsi Kernel RBF dengan parameter sigma () 45 dan 50 menggunakan extraksi ciri 50% - 95%.

Percobaan dengan fungsi kernel RBF pada parameter sigma 45 dan 50 menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 95% menunjukan pola yang hampir sama. Pada percobaan menggunakan sigma 40 dapat dilihat pada Gambar 13 bahwa terjadi penurunan tingkat akurasi pada ciri 50% hingga 95%, begitu pula dengan parameter sigma 50 terjadi penurunan akurasi pada ciri 50% hingga 95% dibandingkan dengan percobaan menggunakan parameter 40. Dengan demikian pada percobaan menggunakan kernel RBF dengan parameter sigma 40 dan 50 memiliki pola akurasi mendekati normal, dengan kata lain semaikin tinggi ekstraksi ciri diikuti dengan akurasi yang bertambah akan tetapi penambahan parameter sigma semakin menurunkan tingkat akurasi pada semua ciri. Akurasi yang tertinggi pada percobaan menggunakan parameter sigma 45 dan 50 adalah 81% yang terdapat pada ekstraksi ciri 80%, 90% dan 95% dengan parameter sigma 45 dan pada ekstraksi ciri 80, 85, 90 dengan parameter sigma 50, sedangkan akurasi terendah terdapat pada percobaan menggunakan parameter 50 dengan ciri 50% yaitu sebesar 63% seperti terlihat pada Gambar 12.

(49)

(b)

Gambar 12 Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 45, b.  = 50

4.4.5. Perbandingan Hasil Fungsi Kernel RBF

Percobaan yang telah dilakukan menggunakan fungsi kernel RBF dengan beberapa ekstraksi ciri mulai dari 50% hingga 90%. Perbandingan akurasi pada ekstraksi ciri 70% menghasilkan tingkat keakurasian tertinggi pada parameter 10 sebesar 99%. seperti terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Perbandingan akurasi ekstraksi 70% menggunakan kernel RBF

(50)

Gambar 14 Perbandingan akurasi ekstraksi 90% menggunakan kernel RBF

Tren atau pola yang disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14 cenderung sama, dimulai dari memasukan parameter 1 mandapat akurasi rendah, kemudian ditambahkan parameter 5 akurasi mulai meningkat menandakan semakin banyak data yang teridentifikasi secara tepat sampai dengan titik tertentu yaitu pada parameter 21 akurasi mulai menurun sampai dengan parameter terbesar yang di coba yaitu parameter 50. Hal ini menunjukan bahwa semakin banyaknya penambahan parameter maka semakin acak untuk mengidentifikasi data.

4.4.6. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 1 menggunakan extraksi ciri 50% hingga 95%.

(51)

Gambar 15. Hasil akurasi kernel polynomial dengan parameter order = 1

4.4.7. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 2 menggunakan extraksi ciri 50% hingga 95%.

Penelitian berikutnya melakukan percobaan dengan fungsi kernel Polynomial menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 90% pada parameter order 2 menunjukan hasil grafik yang menurun, akurasi tertinggi terdapat pada ekstraksi ciri 50% dan 60% sebesar 94,8% sedangkan tingkat akurasi yang terendah tardapat pada ekstraksi ciri 95% yaitu sebesar 75% seperti terlihat pada Gambar 16.

(52)

4.4.8. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 3 menggunakan extraksi ciri 50% hingga 95%.

Penelitian berikutnya melakukan percobaan dengan fungsi kernel

Polynomial menggunakan ekstraksi ciri 50% hingga 90% pada parameter order 3 menunjukan hasil grafik yang menurun, akurasi tertinggi terdapat pada ekstraksi ciri 50% sebesar 92,7% sedangkan tingkat akurasi yang terendah tardapat pada ekstraksi ciri 95% yaitu sebesar 25% seperti terlihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Hasil akurasi kernel polynomial dengan parameter order 3

4.4.9. Percobaan pada fungsi Kernel Polynomial dengan parameter order 4 menggunakan extraksi ciri 50% hingga 95%.

(53)

Gambar 18. Hasil akurasi kernel polynomial dengan parameter order 4

4.4.10. Perbandingan Hasil Fungsi Kernel Polynomial

Percobaan yang telah dilakukan menggunakan fungsi kernel Polynomial

dengan beberapa ekstraksi ciri mulai dari 50% hingga 90%. Perbandingan akurasi pada ekstraksi ciri 50% menghasilkan tingkat keakurasian tertinggi pada parameter 2 sebesar 94,8%. seperti terlihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Perbandingan akurasi ekstraksi 50% menggunakan kernel Polynomial

Percobaan yang telah dilakukan menggunakan fungsi kernel Polynomial

(54)

Gambar 20 Perbandingan akurasi ekstraksi 80% menggunakan kernel Polynomial

Percobaan yang telah dilakukan menggunakan fungsi kernel Polynomial

dengan beberapa ekstraksi ciri mulai dari 50% hingga 95%. Perbandingan akurasi pada ekstraksi ciri 95%% menghasilkan tingkat keakurasian tertinggi pada parameter 1 sebesar 75%. seperti terlihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Perbandingan akurasi ekstraksi 95% menggunakan kernel Polynomial

(55)

4.5. Pembahasan

4.5.1. Percobaan Pada Fungsi Kernel RBF dengan = 10

Percobaan menggunakan fungsi kernel RBF menggunakan parameter sigma = 10 menghasilkan tingkat kesalahan 1,04% pada ekstraksi fitur 70%. Jumlah data yang salah diklasifikasikan sebanyak 1 data dari 96 data. Hasil percobaan disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter sigma 1, 5 dan 10

Gambar 22 menunjukan pada ekstraksi fitur meningkat dari ekstraksi ciri 50% sampai dengan 70%, sedangkan hasil menurun mulai dari ekstraksi ciri 75% sampai dengan 95%. Hal ini menunjukan bahwa data teridentifikasi optimal menggunakan 2DPCA dan SVM ketika berada pada ekstraksi 70% dengan parameter  =10 menghasilkan akurasi 98,96%.

Hasil kesalahan pada percobaan menggunakan kernel RBF parameter sigma = 10 dengan ekstraksi 70% dijabarkan menggunakan confusion matrix

(56)

Tabel 5 Confusion matrix percobaan RBF dengan parameter = 10

AKTUAL

PREDIKSI

Kelas Kelas Kelas Kelas

1 2 3 4

Kelas 1 23 1 0 0

Kelas 2 0 24 0 0

Kelas 3 0 0 24 0

Kelas 4 0 0 0 24

Keterangan :

Kelas 1 = Aspleniaceae Kelas 2 = Polypodiaceae Kelas 3 = Thelypteridaceae Kelas 4 = Aspidiaceae

Tabel 5 menunjukan klasifikasi pada kelas 2 (Polypodiaceae), kelas 3(Thelypteridaceae) dan kelas 4 (Aspidiaceae) terklasifikasi 100% sedangkan pada kelas 1 (Aspleniaceae) ada satu data yang teridentifikasi oleh kelas prediksi yaitu kelas 2 (Polypodiaceae). Data yang salah diklasifikasikan ditunjukan pada Tabel 6

Tabel 6 Data yang salah diklasifikasikan

Aktual (Data Uji) Prediksi Kelas/Jenis Data Ke Kelas/Jenis

Aspleniaceae 77 Polypodiaceae

Table 6 menunjukan bahwa kesalahan klasifikasi antara kelas 1 (Aspleniceae) dan kelas 2 (Polypodiaceae) terletak pada urutan data ke-77, dengan demikian data yang terdapat pada percobaan menggunakan parameter sigma = 10 dengan ekstraksi ciri 70% hampir seluruhnya terbaca.

4.5.2. Percobaan Pada Fungsi Kernel Polynomial dengan d = 2

Penelitian melakukan percobaan dengan fungsi kernel Polynomial

(57)

sebanyak 5 data dari 96 data. Hasil percobaan menggunakan fungsi kernel Polynomial tersaji pada Gambar 23.

Gambar 23. Hasil akurasi kernel polynomial dengan parameter order 2

Gambar 23 menunjukan hasil akurasi tertinggi berada pada ekstraksi ciri 50% dan 60% sebesar 94,8% sedangkan percobaan pada parameter d=2 menunjukan ekstraksi ciri dari 50% sampai dengan 95% terjadi penurunan akurasi hingga 54% pada ekstraksi ciri 95%. Hal ini menunjukan bahwa data teridentifikasi optimal menggunakan 2DPCA dan SVM ketika berada pada ekstraksi 50% dan 60% dengan parameter d = 2 menghasilkan akurasi 94,8%.

Hasil kesalahan pada percobaan menggunakan kernel Polynomial parameter d = 2 dengan ekstraksi 60% dijabarkan menggunakan confusion matrix

ditunjukan pada Tabel 7

Tabel7 Confusion matrix percobaan Polynomial dengan parameter d = 2

AKTUAL

PREDIKSI

Kelas Kelas Kelas Kelas

1 2 3 4

Kelas 1 24 0 0 0

Kelas 2 0 24 0 0

Kelas 3 0 4 20 0

Kelas 4 1 0 0 23

(58)

ada empat data yang teridentifikasi oleh kelas prediksi yaitu kelas 2 (Polypodiaceae) dan pada kelas 4 (Aspidiaceae) ada satu data yang teridentifikasi oleh kelas prediksi yaitu kelas 1 (Aspleniaceae). Data yang salah diklasifikasikan ditunjukan pada Tabel 8.

Tabel 8 Data yang salah diklasifikasikan

Aktual (Data Uji) Prediksi

Kelas/Jenis Data Ke Kelas/Jenis

Thelypteridaceae 13,15, 38,39 (2)Polypodiaceae

(4) Aspidiaceae 69 Aspleniaceae

(59)
(60)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Identifikasi tumbuhan paku berbasis spora pada penelitian ini menggunakan ekstraksi ciri 2DPCA dan SVM sebagai pemodelannya. Ekstraksi yang digunakan pada percobaan penelitian ini adalah 50% hingga 95%, sedangkan pemodelan SVM menggunakan fungsi kernel RBF dan kernel Polynomial dengan metode one againt all.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil klasifikasi citra spora menggunakan fungsi kernel RBF memperoleh tingkat akurasi tertinggi sebesar 98,96 % pada ekstraksi ciri 70% dengan parameter sigma 10.

2. Hasil klasifikasi citra spora menggunakan fungsi Kernel Polynomial

memperoleh tingkat akurasi tertinggi sebesar 94,8%.

3. Hasil percobaan pada kernel RBF mempunyai hasil akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kernel Polynomial, hal ini menunjukan penggunaan kernel RBF lebih baik dari pada kernel Polynomial.

4. Data spora kelas 1 (Aspleniceae) memiliki kemiripan bentuk dengan kelas yang lain, karena kelas satu selalu dikenali oleh kelas 2, 3 dan 4.

5.2. Saran

(61)
(62)

DAFTAR PUSTAKA

Buono, Agus dan Irwansyah (2009). Pengenalan Kadar Total Padat Terlarut Pada Buah Belimbing Manis Berdasar Citra Red-Green-Blue dengan Analisis Komponen Utama Sebagai Ekstrasi Ciri dan Jarak Euclidean sebagaiPengenal Pola. Jurnal Ilmu Komputer dan Informasi, Vol.2, No.1.

Christianini, Nello dan John S. Taylor.(2000) An Introduction to Support Vector Machines and Other Kernel-based Learning Methods. Cambridge University Press, 2000

Christianini, Nello (2001). Support Vector and Kernel Machines. ICML tutorial, 2001.

Fu L. 1994. Neural Network in Computer Intelligence. Singapura: McGraw Hill.

Gonzales RC, Woods RE, Eddins SL., 2004. Digital Image Processing Using Matlab. Pearson Prentice Hall New Jersey.

Harris, W.F. (1955). A manual of the spores of New Zealand pteridophyta. New Zealand. Department of Scientific and Industrial Research.

Hsu, Chih-Wei dan Lin, Chih-Jen (2002). A Comparison of Methods For Multiclass Support Vector Machine. IEEE Transactions on Neural Networks, Vol. 13, No. 2, March 2002.

Osuna EE, Freund R, Girosi F, (1997). Support Vector Machine: Training dan Application. Massachusetts Institute Of Technology

Perwati, Lilih Khotim. (2009) Analisis Derajat Ploidi dan Pengaruhnya Terhadap Variasi Ukuran Stomata dan Spora pada Adiantum raddianum BIOMA, Vol. 11, No. 2, Hal. 39-44

Prasetyo, Budi (1998). Bentuk Spora Tumbuhan Paku Dalam Mendukung Konsep Takson

Putra, Darma (2010). Pengolahan Citra Digital, Yogyakarta. Andi 2010

Rugayah, Widjaja, E.A., Praptiwi (2004). Pedoman Pengumpulan data Keanekaragaman flora.Indonesia. Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Rismunandar (1990), Tanaman Hias Paku-Pakuan. Jakarta. Penebar Swadaya

(63)

Suryana (2009), Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku Terestrial dan Epifit di Kawasan PLTP Kamojang Kab. Garut Jawa Barat.Biotika Vol. 7. No 1

Le Thai Hoang, Bui Len (2011), Face Recognation Based on SVM and 2DPCA, International Journal of Signal Processing, Image Processing and Pattern Recognation, Vol.4. No.3. Page 85-93

(64)

Lampiran 1. Data jenis Pteridophyta (Contoh 9 data untuk masing-masing jenis)

Pteridophyta Aspleniaceae (Kelas 1)

3.jpg 4.jpg 5.jpg

27.jpg 28.jpg 29.jpg

52.jpg 53.jpg 54.jpg

Pteridophyta Polypodiaceae (Kelas 2)

7.jpg 8.jpg 9.jpg

(65)

Lampiran 1. Lanjutan

56.jpg 57.jpg 58.jpg

Pteridophyta Thelypteridaceae (Kelas 3)

13.jpg 14.jpg 15.jpg

37.jpg 38.jpg 39.jpg

(66)

Lampiran 1. Lanjutan

Pteridophyta Aspidiaceae (Kelas 4)

19.jpg 20.jpg 21.jpg

43.jpg 44.jpg 45.jpg

(67)
(68)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 60%

(69)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 70%

(70)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 75%

(71)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 80%

(72)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 85%

(73)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 90%

(74)

Lampiran 2 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel RBF Ekstraksi Ciri 95%

Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 95% Parameter 30

(75)
(76)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 60%

(77)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 70%

(78)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 75%

(79)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 80%

(80)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 85%

(81)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 90%

(82)

Lampiran 3 Lanjutan

Confusion Matrix Kernel Polynomial Ekstraksi Ciri 95%

(83)

ii

Demographyc Parameters of Harvested Reticulated Pythons (Python Reticulatus Scheider 1801) in Central Kalimantan Province. Under direction of Yanto Santosa and Nandang Prihadi.

Reticulated python (Python reticulatus) has 180.000 heads annual quota. Despite of the commercial use of this species, a good management of the habitat and population is needed for its sustainability. This research was aimed to identify trades, the habitat charactesictics, harvestings, demographyc parameters and morphometry of harvested reticulated python. The research area was within harvesting areas, management authority, snakes collectors and traders in six regency in Central Kalimantan Province. The research method for trades was done by interviewing several actors of management authority, snakes collectors and traders. The habitat was performed by measuring the environment variables at every plot of capturing and nesting habitat, neither the snakes were captured or not. Harvestings, demographyc parameters morphometry variables of harvested snakes at every plot of habitats, catchers and collector were calculated and measured. Descriptive statistical analyzes showed that traders structure were consisted of collectors, middle man and legal permit owner. Kruskal Wallis and Kolmogorov-Smirnov test showed that there was no habitat preference by the reticulated python. Harvesting estimation derived from location of survey was 26.73% at collector stage and about 31.95 % at middle man stage comparing to annual quota of Central Kalimantan Province. Capturing criteria was based on the size of body length, rather than the sex. The sex ratio of captured snakes in collectors was 1:0.72 and middle man was 1:1.07. The age class most captured both in collectors and middle men was the adult male (99% and 89% from all male). This trend occurred because the adult male has a similar size with the young female.

(84)

Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh Yanto Santosa dan Nandang Prihadi.

Sanca batik(Python reticulatus Scheider 1801) adalah salah satu jenis ular yang banyak dieksploitasi. Pemanenan dari alam diperbolehkan namun pemanenan tersebut harus menjamin adanya kelestarian. Populasi akan lestari bila jumlah kematian sama dengan jumlah kelahiran. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan. Otoritas Pengelola di Indonesia telah menerapkan sistem kuota untuk menjamin kelestarian populasi di alam. Namun selama ini, kuota tahunan hanya ditetapkan berdasarkan jumlah realisasi tahun sebelumnya tanpa memperhatikan data yang lain. Kelemahan dalam penetapan kuota tangkap tersebut menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan kuota tangkap. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai tata niaga, karakteristik habitat, panenan, parameter demografi dan morfometri Python reticulatus yang dipanen di Kalimantan Tengah agar bisa dijadikan sebagai salah satu informasi ilmiah untuk penentuan kuota panenan yang lestari.

Data tata niaga diambil dengan metode wawancara dengan narasumber dari Balai KSDA Kalimantan Tengah, pengumpul perantara, penangkap dan pemilik ijin. Jenis data yang dipergunakan untuk analisis tata niaga adalah pelaku, jalur, teknik penangkapan dan pengulitan, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Data karakteristik habitat diambil pada lokasi ular ditangkap. Data habitat tangkap adalah ada/tidak ular, ketinggian lokasi (m dpl), suhu air (0C), suhu udara (0C), kelembaban udara (%) dan ph air. Data habitat bersarang adalah ada/tidak ular pada suatu sarang, suhu udara (0C), kelembaban udara (%), pH tanah, kedalaman sarang (cm) dan lebar mulut sarang (cm). Analisis yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis, Kolmogorov-Smirnov, t-test dua sampel independen dan deskriptif. Data panenan, parameter demografi dan morfometri diambil di tingkat penangkap dan pengumpul perantara dengan jenis data berupa jumlah, jenis kelamin. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus

di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Harga kulit Python reticulatus ditentukan oleh ukuran, yaitu ukuran dengan harga paling tinggi adalah panjang ≥ 350 cm, lebar perut ≥ 32 cm dan lebar ekor ≥ 12 cm dengan harga Rp 80 000,00 pada tingkat pemilik ijin.

(85)

iv

Kelimpahan panenan pada penangkap pada saat penelitian adalah 117 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja penangkap pada akhir tahun 2012 adalah 2 940 ekor atau 26.73% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Kelimpahan panenan pada pengumpul perantara pada saat penelitian adalah 56 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja pengumpul perantara pada akhir tahun 2012 adalah 3 515 ekor atau 31.95 % dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012.

Sex rasio Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap adalah 1:0.72 dan pada tingkat pengumpul perantara adalah 1:1.07. Pada tingkat penangkap, Python reticulatus yang tertangkap 57.26% pada kelas umur jantan dewasa, 40.17% pada kelas umur betina dewasa, 1.71% betina muda dan 0.85% jantan muda dan tidak ada bayi yang tertangkap. Pada pengumpul perantara, prosentase Python reticulatus jantan dewasa dan betina dewasa yang dikumpulkan sama, yaitu masing-masing 42.86%, sedangkan betina muda yang dikumpulkan sebanyak 8.93% dan jantan muda 5.36%.

Berdasarkan hasil analisis, tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap, baik pada penangkap maupun pada pengumpul perantara. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan kriteria penangkapan. Penangkapan cenderung mengikuti permintaan pasar dengan ukuran tertentu.

(86)

1.1. Latar Belakang

Konservasi satwaliar meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan (Sekditjen PHKA 2007a). Pemanfaatan satwaliar menjadi kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Indrawan et al. 2007). Satwaliar merupakan salah satu produk yang mempunyai nilai kegunaan produktif. Salah satu bentuk pemanfaatan satwaliar di Indonesia adalah untuk perdagangan, baik perdagangan di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor).

Ekspor reptil Indonesia sebagian besar dilakukan dalam bentuk kulit dan sebagian kecil satwaliar hidup untuk peliharaan (Arifin 1998; Yuwono 1998; Mardiastuti & Soehartono 2003; Semiadi & Sidik 2011). Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Pada kurun waktu tahun 1983-1999, Indonesia telah mengekspor 30 juta lembar kulit dengan negara tujuan utama adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Mexico dan Italia (Mardiastuti & Soehartono 2003).

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu jenis ular yang banyak dipanen adalah Python reticulatus atau sanca batik (Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998a; Yuwono 1998; Auliya

et al. 2002; Mardiastuti & Soehartono 2003). Menurut Mardiastusti dan Soehartono (2003), pada tahun 1983-1999 Python reticulatus, diekpor dengan jumlah lebih dari 200 000 lembar/tahun. Kuota tangkap Python reticulatus pada tahun 2010, 2011 dan 2012 sebanyak 180 000 ekor, dari jumlah itu, 175 000 ekor untuk kulit dan 5 000 ekor dalam bentuk hidup untuk binatang peliharaan (pet) (PHKA 2010a, 2010b, 2011). Daerah pengambilan Python reticulatus tahun 2010, 2011 dan 2012 meliputi 16 propinsi untuk kulit dan 7 propinsi untuk pet.

(87)

memudahkan untuk dibentuk menjadi berbagai barang kerajinan seperti tas, dompet, ikat pinggang, gelang, sepatu bahkan baju dan jaket.

Kuota panenan (kuota tangkap) seharusnya ditetapkan berdasarkan jumlah panenan yang lestari. Masalahnya adalah otoritas pengelola seringkali tidak mempunyai data yang up to date mengenai populasi yang ada pada saat tersebut, padahal mereka harus menentukan kuota panenan justru sebelum jumlah panenan tahunan diketahui dengan pasti (Sinclair et al. 2006). Pada umumnya, pengelola hanya mengetahui sedikit mengenai populasi dari informasi yang diperoleh dari panenan yang berhasil pada tahun sebelumnya. Informasi tersebut akan menjadi dasar ijin jumlah perkiraan panenan yang diperbolehkan, berdasarkan kelimpahan populasi pada akhir pemanenan. Dengan kata lain, pengelola harus mengetahui kondisi populasi pada saat akhir panenan untuk menentukan kuota panen pada tahun berikutnya agar populasi tetap konstan. Ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan resiko panenan yang berlebih (overharvesting).

Menurut Sinclair et al. (2006), strategi pemanenan yang lestari sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan panenan pada populasi dengan jumlah yang sama dengan pertumbuhannya. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998). Keberlanjutan populasi yang dipanen tergantung pada strategi regulasi (batasan secara legal) yang digunakan untuk mengatur panenan tersebut dan strategi yang paling mudah adalah penerapan kuota panenan yang tetap dari tahun ke tahun (Sinclair et al. 2006).

(88)

kepunahan spesies yang dipanen tersebut. Populasi akan lestari bila jumlah kematian (pemanenan) sama dengan jumlah kelahiran (laju pertumbuhan). Untuk mengetahui laju pertumbuhan populasi, diperlukan data parameter demografi. Selain itu, faktor habitat juga sangat menentukan pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, penelitian mengenai parameter demografi dan kondisi habitat harus dilakukan.

Faktor lain yang juga perlu dikaji adalah tata niaga karena tata niaga berperan dalam tinggi rendahnya pemanenan. Gambaran tata niaga bisa menunjukkan nilai ekonomi satwaliar tersebut. Semakin tinggi nilai ekonominya maka akan semakin banyak pelaku tata niaga dan akan semakin besar pula panenan yang dilakukan. Mekanisme penangkapan dan peredaran satwaliar sudah diatur dalam SK Menteri Kehutanan No. 443/Kpts-II/2003, namun perlu dilihat apakah mekanisme penangkapan dan peredarannya sudah sesuai dengan aturan tersebut. Jumlah penangkapan sudah ditentukan dengan kuota, namun perlu diketahui pula benarkah jumlah yang ditangkap tersebut benar-benar sesuai kuota. Informasi mengenai tata niaga, habitat dan populasi akan memberikan gambaran kelestarian satwaliar tersebut di alam. Tata niaga yang menyimpang dari aturan bisa jadi menyebabkan terjadinya gangguan pada kelestarian. Data habitat bisa menggambarkan kondisi aktual lokasi panenan dilakukan. Data populasi yang meliputi parameter demografi, morfometri dan populasi panenan akan memberikan gambaran keadaan populasi satwa di alam, apakah jumlah panenan masih melimpah yang berarti keberadaannya di alam masih banyak dan mudah ditemukan, sex rasio masih seimbang, kelas umur yang dipanen dan ukuran yang dipanen.

Gambar

Gambar 4 Tahapan Proses Penelitian
Gambar 6 Jenis citra spora Pteridhopyta
Gambar 7 Ukuran citra awal Spora Pteridhopyta
Gambar 9 Hasil akurasi kernel RBF dengan parameter : a.  = 1, b. = 5 dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memudahkan perbandingan tanggapan peralihan berbagai macam sistem, hal yang biasa dilakukan adalah menggunakan syarat awal standard yaitu sistem mula-mula keadaan

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN

Berdasarkan hasil pengolahan analisis data dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan mengenai “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams

Periode Penyerahan Saham Hasil Pelaksanaan HMETD 13 – 19 Juli 2011 Tanggal Akhir Pembayaran Pemesanan Saham Tambahan 19 Juli 2011 Tanggal Penjatahan Pemesanan Saham Tambahan 20

Penekono unduwono, sun upai cengkir gading Tayongan lembeyan, kegal-kegol nong kadoan Kelopone podho kereng, direnggo janur kuning Membat manyun nong nduwuran, awe-awe koyo

Tingginya kadar karbohidrat dibandingkan hasil penelitian lainnya disebabkan kandungan lemak pada sampel yang rendah sehingga dengan perhitungan kandungan karbohidrat dengan metode

Filosofi membantu pendidik untuk melakukan refleksi pada masalah- masalah kunci dan konsep-konsep dalam pendidikan melalui pertanyaan- pertanyaan seperti Apa

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai untuk kemampuan bercerita sesudah pemberian perlakuan media buku cerita bergambar yang dikembangkan adalah tidak sama