DAFTAR PUSTAKA
2.4. Tata Niaga Satwaliar
Tata niaga satwa liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut. Peres (2010) menyatakan bahwa eksploitasi satwaliar yang berlebihan menjadi penyebab menurunnya populasi.
Tata niaga satwaliar internasional sudah diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Wasington DC dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975 (Dit. KKH 2010). Indonesia telah menjadi anggota CITES yang ke 48 pada tanggal 28 Desember 1978 (www.cites.org 2012) dan meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978 tentang
Pengesahan CITES. Indonesia telah pula menetapkan Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan sebagai Otoritas Pengelola dan LIPI sebagai Otoritas Keilmuan melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 (Dit. KKH 2010).
Tujuan dari CITES adalah menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui pengendalian tata niaga serta produk-produknya secara internasional (Dit. KKH 2010). Eksploitasi tumbuhan dan satwaliar untuk kepentingan komersial dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian sehingga tata niaganya perlu diatur agar membantu pelestariannya. Tanpa adanya mekanisme tata niaga internasional, dikhawatirkan akan terjadi ekploitasi yang lebih besar dan semakin mengancam kelestarian tumbuhan dan satwaliar. Adanya CITES sebagai mekanisme tata niaga yang legal, mengakibatkan adanya tata niaga yang ilegal. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit. KKH) Kementerian Kehutanan menduga bahwa tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari segi nilai tata niaga setelah narkotika (Dit. KKH 2010).
Tata niaga satwaliar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan satwaliar yang diperbolehkan sepanjang mengikuti aturan yang berlaku. Pemanfaatan satwaliar, sebagai salah satu aspek dari konservasi satwaliar, menjadi kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar (TSL) di Indonesia saat ini masih mengutamakan perhitungan ekonomis daripada perhitungan keamanan secara ekologi. Pemanfaatan yang tidak terkendali merupakan ancaman yang paling berbahaya untuk kelestarian TSL di alam. Pada sisi lain, seharusnya pemanfaatan jenis TSL didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non-detriment findings) sebagaimana tertuang dalam Artikel III, IV dan V dari
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Artikel III, IV dan V CITES mengatur tentang mekanisme tata niaga untuk TSL yang termasuk dalam Appendix I, II dan III CITES (Dit KKH 2010).
Tata niaga satwaliar yang tidak lestari di Asia Tenggara sudah diidentifikasi sebagai salah satu tantangan dalam pelestarian satwaliar (Nijman 2010). Mardiastuti dan Soehartono (2004) menyebutkan angka 300 juta kulit reptil sudah diekspor dari Indonesia pada periode tahun 1983-1999. Sedangkan Nijman (2010) menyatakan bahwa selama tahun 1998-2007, lebih dari 35 juta satwaliar diperdagangkan di Asia Tenggara dan 30 juta diantaranya merupakan hasil tangkapan dari alam.
Nijman (2010) menyatakan bahwa reptil mempunyai jumlah terbesar yang diperdagangkan, yaitu 17.4 juta ekor dan 13.79 juta diantaranya berasal dari alam. Negara yang menjadi pengekspor terbesar adalah Indonesia dan Malaysia, sedangkan negara pengimpor terbesar adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Indonesia menjadi penyuplai 62% reptil pada tata niaga satwaliar di Asia Tenggara yang berasal dari tangkapan alam selama tahun 1998-2007 (Nijman 2010).
Komponen utama dalam tata niaga reptil di Indonesia adalah tata niaga kulit dan pet (Yuwono 1998). Nijman (2010) juga menyatakan bahwa bentuk reptil yang diperdagangkan adalah kulit dan pet. Yuwono (1998) dan Nijman (2010) menyatakan bahwa kulit reptil diperdagangkan dalam jumlah yang lebih besar daripada pet. Dalam penetapan kuota tangkap di Indonesia, spesies yang ditangkap untuk tata niaga kulit lebih sedikit daripada untuk pet, namun jumlah kuota untuk tiap spesies jauh lebih banyak daripada untuk pet (Ditjen PHKA 2010a, 2010b, 2011). Mardiastuti dan Soehartono (2003) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun 1980-an, tujuh jenis reptil Indonesia mulai dimanfaatkan untuk skala besar tata niaga dunia. Salah satu diantaranya adalah Python reticulatus.
Python reticulatus merupakan salah satu spesies yang menjadi primadona (Mardiastuti & Soehartono 2003). Python reticulatus menjadi satu jenis ular yang banyak dieksploitasi (Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998b; Yuwono 1998; Auliya et al. 2002; Mardiastuti & Soehartono 2003). Antara tahun 1983 –
1999, rata-rata jumlah ekspor kulit Python reticulatus mencapai 230 957 lembar. Nijman (2010) menyebutkan bahwa Python merupakan ular dengan jumlah nomor
dua terbanyak untuk ekpor yaitu 1.2 juta antara tahun 1998-2007. Amerika Serikat dan Singapura menjadi negara pengimpor kulit Python reticulatus terbesar dari Indonesia. Amerika Serikat juga menjadi negara pengimpor Python reticulatus
untuk pet dari Indonesia. Tahun 2010-2012, jumlah kuota tangkap menurun menjadi 180 000 ekor dan kuota ekspor 162 000 ekor.
Rute normal untuk tata niaga kulit dan pet di Indonesia terdiri dari empat komponen yaitu pengumpul/penangkap, perantara, supplier (pedagang besar) dan eksportir (Yuwono 1998). Kadang-kadang, terdapat lebih dari satu orang perantara dan kadang-kadang penangkap langsung membawa tangkapannya ke eksportir atau pedagang besar tanpa melalui perantara (biasanya pada penangkap skala kecil atau tangkapan yang tidak disengaja). Sebelum akhir tahun 1980-an, tidak ada penangkap ular yang professonal. Namun sejak PT. Terraria Indonesia beroperasi pada tahun 1988, penangkap ular profesional mulai bermunculan.
Alur tata niaga ular bisa diketahui melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah dengan mengetahui siapa saja eksportir atau pedagang besar. Mulai dari eksportir atau pedagang besar tersebut, bisa dirunut kebawah untuk mengetahui siapa dan berapa jumlah perantara dan selanjutnya bisa dirunut sampai tingkat penangkap (snow ball). Pendekatan kedua bisa dilakukan dengan cara sebaliknya. Namun pada umumnya akan lebih mudah merunut dari tingkat eksportir atau pedagang besar.
Kesulitan yang mungkin dihadapi pada pengumpulan data tata niaga adalah tidak semua pengusaha/pelaku bersedia membuka informasi yang sebenar-benarnya mengenai rantai tata niaganya, jumlah produksi dan harga. Hal ini terjadi karena adanya persaingan antar pelaku tata niaga tersebut dan ingin melindungi informasi yang berharga untuk mereka sendiri.
Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Lokasi penangkapan Python reticulatus di Kalimantan Tengah berupa kebun kelapa sawit, kebun karet, rawa-rawa, ladang dan hutan sekunder. Pada penelitian ini, lokasi utama yang diteliti adalah kebun kelapa sawit yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, rawa-rawa di Kabupaten Katingan dan kebun karet di Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan lokasi pengambilan data tata niaga, selain di tiga kabupaten diatas juga dilakukan di kantor Balai KSDA Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kapuas.