• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI PERMAINAN PAPAN “KUBACI”,

A. Permainan Papan “KuBaCi”

1. Pemahaman tentang Permainan

Bermain dan permainan mempunyai asal kata yang sama yakni main. Tidak berhenti di situ, bermain dan permainan juga saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut terlihat dalam pengertian bermain dan permainan. Hurlock merumuskan bermain sebagai segala kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan tanpa memperhitungkan hasil akhir (Hurlock, 1978: 320). Sementara itu permainan dapat diartikan sebagai alat atau sarana untuk mendukung dan mempermudah dalam bermain.

Dalam bermain anak bisa saja bermain aktif maupun pasif (Hurlock, 1978: 321). Anak dikatakan bermain aktif apabila ia ikut dan terlibat dalam suatu permainan, baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga ia memperoleh kesenangan dan kepuasan psikologis. Sedangkan anak yang dikatakan bermain pasif apabila ia tidak ikut dalam permainan dan berperan sebagai penonton untuk memperoleh kesenangan dan hiburan.

b. Manfaat Bermain

Bermain merupakan bagian yang penting dalam kehidupan anak pada usia 5 – 13 tahun. Anak mendapatkan banyak manfaat melalui bermain yang berguna untuk perkembangan dirinya. Manfaat tersebut antara lain:

1) Memperkembangkan fisik

Bagi anak yang memiliki kesehatan fisik yang kuat bermain aktif sangat menarik dan menempa fisiknya, sehingga membuat anak menjadi semakin

kuat. Sedangkan anak yang kesehatan fisiknya lemah atau sedang sakit sebaiknya diarahkan untuk bermain aktif yang tidak terlalu menuntut kerja fisik yang berat (Hurlock, 1978: 323, 327–328).

2) Memberi dorongan untuk berkomunikasi

Anak usia ini sudah mulai tertarik dengan kehidupan sosial yang lebih luas. Anak menjadi bisa berbaur dengan teman bermainnya berkat adanya komunikasi. Dengan komunikasi ia bisa mengemukakan ide atau pun menyampaikan apa yang dirasakan oleh dirinya (Hurlock, 1978: 323). Oleh karenanya teman-temannya dapat memahami apa yang sedang dirasakan oleh dirinya, dan sebaliknya ia juga dapat memahami apa yang sedang dirasakan oleh temannya.

3) Penyaluran emosi yang terpendam

Dalam proses sosialisasi terkadang memperoleh hambatan yang berupa pelanggaran dari pihaknya sendiri terhadap aturan sosial yang ada, ataupun karena adanya pembatasan dari lingkungan. Hambatan ini menimbulkan ketegangan pada diri anak yang apabila tidak disalurkan akan menjadi kemarahan yang terpendam (Hurlock, 1978: 323). Kemarahan yang terpendam tersebut akhirnya dapat disalurkan lewat bermain, sehingga anak merasa puas.

4) Menyalurkan kebutuhan dan keinginan anak

Permainan menjadi salah satu sarana yang baik bagi anak untuk menyalurkan kebutuhan dan keinginan yang belum ia dapatkan dalam hidup sosialnya. Misalnya: dalam permainan ia dapat memperoleh jabatan

sebagai pemimpin, ia dapat memperoleh kemenangan, ia menjadi bintang, dan sebagainya. Peran yang diperoleh dalam permainan membuat anak merasa puas, karena kebutuhan dan keinginannya atas status sosial yang selama ini belum diperoleh telah terpenuhi (Hurlock, 1978: 323–326). 5) Menjadi sumber belajar

Keluarga menjadi lingkungan sosial yang pertama bagi anak dalam mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan juga pengetahuan-pengetahuan yang mengembangkan kepribadian anak. Tugas orangtua tersebut dibantu oleh sekolah, terutama dalam mengembangkan keterampilan kognitif anak. Meskipun telah dua pihak yang melaksanakan pendidikan pada anak, ternyata masih ada nilai-nilai yang belum dipelajari anak. Nilai-nilai tersebut mereka pelajari di dalam kelompok teman sebaya atau teman bermain (Hurlock, 1978: 320–351), dan juga melalui permainan-permainan yang ada.

6) Merangsang aktivitas anak

Anak usia ini memiliki rasa ingin tahu yang besar. Keingintahuan tersebut mereka wujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan percobaan-percobaan. Percobaan-percobaan tersebut menimbulkan rasa puas, terlebih bila percobaan-percobaan tersebut mendapat persetujuan secara sosial atau diterima oleh kelompok. Persetujuan sosial ini juga memacu anak untuk terus berkreasi dalam setiap aktivitasnya. Keberhasilan anak tersebut memacu anak untuk mengalihkan kreativitasnya terhadap situasi di luar permainan (Hurlock, 1978: 320–326).

7) Mengembangkan wawasan diri

Anak dalam bermain dituntut untuk mempunyai keterampilan dan kemampuan tertentu, sehingga ia dapat diterima dalam kelompok bermain teman sebayanya. Dalam permainan bersama ini anak dapat mengetahui tingkat kemampuan yang ia miliki, yang kemudian ia bandingkan dengan teman yang lain (Hurlock, 1978: 320–351). Pemahaman dan penemuan diri memungkinkan mereka mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata. Selain itu dengan adanya teman pembanding anak termotivasi untuk terus menambah dan mengembangkan kemampuannya. 8) Membantu anak untuk belajar bermasyarakat

Anak pada usia ini mempunyai minat yang besar pada permainan tim atau permainan yang melibatkan banyak orang. Permainan tim yang memotivasi anak mengadakan hubungan sosial secara lebih dekat dengan kelompoknya merupakan tempat dan saat yang tepat bagi anak untuk belajar bermasyarakat (Hurlock, 1978: 320–334). Dalam kelompok bermain ini anak mempelajari cara-cara membentuk kelompok sosial dan cara-cara mengatasi masalah-masalah yang timbul karena hubungan sosial itu sendiri, serta masalah-masalah yang menjadi keprihatinan bersama. 9) Menanamkan standar moral

Standar moral umum di masyarakat harus dimiliki anak karena ia menjadi bagian dari masyarakat, namun keluarga maupun sekolah belum secara sempurna menanamkan standar moral tersebut kepada anak. Anak semakin paham akan apa yang dianggap baik dan buruk setelah ia masuk

dalam kelompok bermain (Hurlock, 1978: 322–324), karena dalam kelompok ini anak dipaksa untuk mengakui dan mengusahakan tingkah laku sesuai standar moral yang diakui kelompok. Standar moral dalam kelompok tidak secara eksplisit memaksa anak, tetapi secara implisit tersirat dalam peraturan-peraturan dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ada.

10) Belajar bemain sesuai dengan peran jenis kelamin

Pada tahap usia ini anak cenderung membentuk kelompok teman sejenis. Kelompok anak perempuan lebih menyukai permainan yang bernuansa dapur dan pengelolaan rumah tangga, seperti: memasak, belanja, mengasuh anak, dan sebagainya. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki menyukai permainan yang maskulin, di mana mereka lebih menekankan kekuatan fisik dan bernuansa kepahlawanan, seperti: perang-perangan, kejar-kejaran, kuda-kudaan, dan sebagainya. Perbedaan sifat dan jenis permainan terpengaruh oleh tekanan sosial untuk memahami kodratnya. Hal ini sangat baik bagi anak karena akan membuat anak menyadari kodratnya (Hurlock, 1978: 323–325) dan dapat menemukan dirinya dalam konteks hubungan sosial.

11) Perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan

Kelompok bermain berperan penting dalam pengembangan diri dan kepribadian anak. Dari hubungan dengan anggota kelompok bermain anak belajar bekerja sama, murah hati, jujur, sportif, kesatria, toleransi, loyal, solider, dan disukai orang lain (Hurlock, 1978: 320–351). Nilai-nilai

tersebut sedikit demi sedikit melekat dalam diri anak, sehingga membentuk ciri kepribadian yang baik dan sesuai yang diinginkan, yaitu manusia dewasa yang seimbang.

c. Jenis Permainan

Permainan dalam hidup anak menjadi sesuatu yang sangat penting dan bernilai mendidik, secara nyata berkembang dan berubah sesuai taraf perkembangan usia anak. Jenis permainan yang ada dapat digolongkan menjadi dua bagian (Hurlock, 1978: 322–323), yaitu permainan yang dipengaruhi tradisi dan permainan yang mengikuti pola perkembangan yang dapat diramalkan.

Permainan yang dipengaruhi tradisi secara turun temurun diwarisi dari generasi ke generasi (Hurlock, 1978: 322). Permainan ini dipakai oleh orangtua sebagai sarana penanaman nilai pada anak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat setempat, yang secara implisit terkait dalam kebudayaan yang ada.

Permainan yang mengikuti pola perkembangan dapat diramalkan karena berkaitan dan sesuai dengan perkembangan psikologis anak (Hurlock, 1978: 334), mulai dari permainan masa bayi, permainan individu atau perorangan, permainan tetangga, permainan tim, dan permainan dalam ruang.

1) Permainan masa bayi lebih berhubungan dengan orang lain di sekitar si bayi, karena permainan masa bayi dilakukan oleh orang lain, sedang bayi memberi respon emosi sebagai ungkapan kegembiraan dan kepuasan. Alat-alat permainan masa bayi lebih dititik-beratkan pasa pengembangan insting dan pengenalan bayi, sehingga alat permainan tersebut

menampilkan bunyi-bunyi khas dan warna-warna mencolok guna memancing perhatian bayi.

2) Anak pada usia 4 – 5 tahun dalam bermain sudah memiliki kemandirian, sehingga mereka lebih menguasai permainan individu atau perorangan. Anak bermain selain untuk kesenangan juga menguji kecakapan yang dia peroleh di masa sebelumnya. Pengujian kecakapan dilakukan anak dengan cara sedikit mengubah peraturan atau bahkan dilanggar sama sekali, sehingga anak selalu melakukan hal-hal di luar kewajaran, misalnya: berjalan di sisi got, berjalan dengan satu kaki, turun tangga mundur, atau meloncat, dan sebagainya.

3) Anak usia 5 – 8 tahun selain tertarik dengan permainan individu atau perorangan, ia juga berminat dalam permainan tetangga atau permainan kelompok. Dalam permainan tetangga ini anak mulai mengenal peraturan, kepemimpinan, sportivitas, kejujuran, dan lain sebagainya. Permainan tetangga menjadi awal dari hidup sosial anak di luar keluarganya, karena dalam permainan tetangga ini anak mulai menyadari perlunya mempunyai teman sebaya.

4) Permainan tetangga tersebut berkembang menjadi permainan tim pada saat anak berusia 8 – 10 tahun. Permainan ini sangat terorganisir dan mempunyai peraturan, serta bernuansa persaingan yang kuat. Melalui permainan tim ini anak memperoleh kepuasan psikologis dengan adanya “kalah-menang” dalam persaingan.

5) Anak pada usia 10 – 13 tahun selain menyukai permainan tim, mulai berminat dengan permainan dalam ruang. Secara fisik permainan dalam ruang ini tidak begitu melelahkan, namun banyak menuntut kerja otak dan lebih menekankan perkembangan kognitif anak. Permainan dalam ruangan ini misalnya main kartu, permainan papan, dan lain sebagainya. Permainan dalam ruang tetap bernuansa persaingan, sehingga memotivasi anak untuk sungguh terlibat dalam permainan tersebut.

d. Ciri Permainan Anak

Permainan anak-anak yang secara dasariah bertujuan untuk menjawab kebutuhan anak akan kegembiraan, menjadi sarana dalam mendidik dan mengembangkan anak. Bertitik tolak dari hal tersebut, permainan anak-anak dituntut memiliki ciri khusus (Hurlock, 1978: 320–331) yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak. Ciri-ciri tersebut adalah:

1) Bebas

Permainan anak-anak memiliki ciri bebas, yang artinya tanpa paksaan dan tanpa mempedulikan hasil akhir (Hurlock, 1978: 320, 328), karena yang terpenting memperoleh kesenangan. Sesuai kodrat manusia yang bebas dan merdeka, maka permainan anak-anak bersifat membantu anak untuk menyalurkan keinginannya serta menunjang perkembangan pribadi anak. Anak secara bebas memilih permainan yang akan dimainkannya. Dengan demikian permainan anak-anak lebih bersifat mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan anak.

2) Menggembirakan

Permainan hendaklah memiliki ciri “kegembiraan”, karena dengan adanya unsur kegembiraan tersebut anak tertarik dan dengan suka rela melaksanakannya (Hurlock, 1978: 320–321, 328). Unsur kegembiraan yang terkandung dalam permainan menjawab kebutuhan anak akan kegembiraan, dan menjadi ajang memupuk sikap positif akan kehidupan, sehingga anak yang mengalami masa kanak-kanak penuh kegembiraan diharapkan optimis dalam menempuh hidupnya.

3) Menarik anak untuk aktif

Permainan anak sebagai sarana belajar bagi anak, hendaklah bersifat menarik minat anak (Hurlock, 1978: 321–322, 328), karena hal tersebut memungkinkan anak untuk bermain secara aktif dan gembira. Kemenarikan suatu permainan dapat diupayakan melalui sarana ataupun peraturan-peraturan dalam permainan. Adanya sarana dan aturan permainan tersebut membuat anak aktif terlibat dalam bermain.

4) Berorientasi sosial

Permainan secara nyata berdampak ganda dalam hidup anak. Di satu sisi anak terpuaskan secara psikologis, dan di sisi lain mereka belajar hidup bermasyarakat (Hurlock, 1978: 320, 328–329). Anak belajar hidup bermasyarakat berkat adanya peraturan permainan. Peraturan permainan menjadi sarana anak untuk membangun sikap jujur, punya rasa setia kawan, taat, toleran, dan mau menghargai orang lain. Dengan demikian hidup sosial anak pun dapat dikembangkan lewat permainan.

5) Sesuai lingkungan

Permainan anak tidak dapat lepas dari lingkungan di mana anak tinggal, karena permainan anak menjadi bagian dari penanaman nilai-nilai pada anak (Hurlock, 1978: 322–323, 328). Permainan anak yang sesuai dengan lingkungan dapat mempermudah anak untuk bermain dan mencari sarana-sarana perlengkapan bermain. Kemudahan tersebut menjadikan anak tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang serius, sehingga tidak menghambat perkembangan psikologis anak.

6) Memacu kreativitas anak

Kreativitas anak terpacu dengan adanya sifat terbuka dari permainan yang ada, yang memungkinkan anak mengadakan perubahan baik dari cara bermain, alat, sarana, maupun peraturan-peraturan permainan. Perubahan yang dilakukan anak tersebut akan menghasilkan bentuk baru dari permainan yang telah ada (konstruktif), sehingga anak tidak pernah menemukan kejenuhan dalam bermain. Hal tersebut berpengaruh bagi perkembangan anak, karena anak terpuaskan keinginannya untuk mengadakan percobaan (Hurlock, 1978: 329), sehingga anak semakin kreatif, produktif, dan berjiwa sosial.

7) Mengembangkan fantasi anak

Permainan yang mengembangkan daya fantasi anak terkadang bukan berupa permainan fisik, tetapi lebih berupa permainan imajiner, seperti melamun, berkhayal, dan sebagainya. Melamun dalam hidup anak-anak bernilai positif dan produktif (Hurlock, 1978: 330), karena anak melamun

mengkhayalkan dirinya menjadi seseorang yang hebat, Hal ini mendorong anak untuk memiliki cita-cita bagi hidupnya.

8) Mengembangkan rasa seni

Seperti halnya bermain konstruktif, nyanyian dan tarian dapat menjadi sarana penyesuaian sosial anak, karena nyanyian, gerakan, ataupun tarian tersebut sering mereka gunakan sebagai alat komunikasi dan membentuk kelompok (Hurlock, 1978: 331). Di samping itu, permainan yang mengandung unsur seni berperan pula dalam membentuk kehalusan rasa pada diri anak, karena melalui bermain anak menghayati nyanyian, gerakan, ataupun tarian yang ada, dan hal tersebut membawa anak untuk menghayati lingkungan, alam, dan dirinya sendiri dengan rasa seni.

9) Memancing anak untuk mengadakan penelitian dan percobaan

Anak mengadakan permainan selain sebagai pelepas kejenuhan dan memperoleh kegembiraan, juga mengadakan percobaan-percobaan (Hurlock, 1978: 332–333). Bertitik tolak dari hal tersebut, banyak ahli dan juga orangtua menyadari akan pentingnya bermain bagi anak untuk mengadakan percobaan-percobaan, walaupun terkadang menimbulkan kerugian materi, seperti: mainan cepat rusak, kaca jendela pecah, taman menjadi rusak, dan sebagainya.

10) Mengandung nilai-nilai positif

Permainan pada kenyataannya menjadi sarana untuk mendidik dan mengembangkan anak (Hurlock, 1978: 320–351). Dalam permainan terkandung nilai-nilai positif yang membantu mengembangkan anak,

antara lain nilai moral, nilai sosial, dan rasa kemanusiaan. Nilai moral tampak dari adanya peraturan-peraturan, yang menuntut anak untuk mengadakan penyesuaian diri. Nilai sosial tampak dalam permainan tim yang lebih berpola pada suatu tatanan masyarakat (miniatur) yang di dalamnya ada pemimpin, anak buah, peraturan-peraturan, penghargaan, dan bahkan sanksi. Rasa kemanusiaan dalam diri anak muncul karena dengan berkembangnya rasa moral dan rasa sosial tersebut anak terbuka untuk menghargai dan menerima orang lain.

2. Pemahaman tentang Permainan Papan