• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH

Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang Email: dianwisika@yahoo.com

Abstrak

Kekurangan pangan dapat dilihat pada ketersediaan stok pangan dunia dalam dasawarsa terakhir. Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin menurun. Kekawatiran akan ketercukupan persediaan komoditas pangan di Jawa Tengah relatif meningkat: (1) sebagian hasil produksi komoditas pangan Jawa Tengah digunakan untuk memenuhi permintaan pangan di luar daerah Jawa Tengah; (2) ketidakmampuan sebagian warga masyarakat golongan bawah, termasuk petani, dalam menghadapi gejolak kenaikan harga komoditas pangan, (3) fluktuasi harga komoditas pangan yang diderita petani sebagai produsen, terutama penurunan harga pada saat panen raya, (4) lemahnya koordinasi antar stekeholders yang terkait dalam sistem pengadaan dan pemasaran pangan, maupun sub sistem agribisnis komoditas pangan lain, dan (5) terancam gagal panen karena beberapa lahan produktif untuk menanam padi dilanda banjir. Upaya pemantapan ketahanan pangan melalui program Prioritas Badan Ketahanan Pangan mencakup kegiatan, yaitu: (1) Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Kerawanan Pangan; (2) Pengembangan Distribusi dan Stabilisasi Harga Pangan; (3) Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Peningkatan Keamanan Pangan Segar.

Kata Kunci : Ketahanan pangan, kekurangan pangan, persediaan komoditas, prioritas badan ketahanan pangan

PENDAHULUAN

Penyediaan pangan dan gizi, menjadi perhatian bagi kelangsungan hidup sekitar 854 juta penduduk dunia yang tersebar di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) sebanyak 820 juta; di negara-negara maju 9 juta; dan di negara-negara transisi 25 juta (Laporan Food and Agriculture Organisation, 2007). Kekurangan pangan dapat dilihat pada ketersediaan stok pangan dunia dalam dasawarsa terakhir. Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui Gambar 1.

Sumber: United Nations World Food Programme,2008

Gambar 1.Stok Pangan Dunia

Gambar 1 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia mendekati 15% pada tahun 2008/2009 atau jauh mengalami penurunan dibandingkan tahun 1986/1987 yang lebih dari 35%. Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit. Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun.

PEMBAHASAN

a. Kondisi Pangan di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 mencapai 241 juta jiwa dengan tingkat konsumsi beras mencapai 139kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65kg - 70kg perkapita pertahun (jdih.bpk.go.id). Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat. Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan terlihat konsumsi beras nasional sebagai sumber karbohidrat baru sekitar 53% pada waktu itu, pada tahun 2011 telah mencapai sekitar 95%.

Ketahanan pangan nasional dilihat dari sejarah kebijakan pangan yang dimulai sejak tahun 1952 hingga tahun 2008 dapat diklasifikasikan dalam lima orde, yaitu orde lama pasca kemerdekaan, orde lama masa pemerintahan transisi 1965-1967, orde baru, transisi reformasi, dan reformasi setelah tahun 2000 (Mears and Moeljono, 1981; Dharmawan, 2008). Kebijakan pangan nasional dari awal kemerdekaan sampai dengan sekarang dapat dilihat pada Tabel 1.

Menurut Saifuddin (2006) kegagalan yang mencetak hitam putihnya ketahanan pangan nasional, berhubungan dengan kondisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Ragam kebijakan pangan nasional yang tidak dapat mengentaskan masalah gizi buruk dan kemiskinan bangsa ini dikarenakan kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) di antaranya; membawa produk pertanian ke pasar dunia dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi, garapan sektor domestik yang tidak pernah merambah skala global (pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil), dan meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri pemerintah melakukan impor komoditas pangan melalui Bulog. Kebijakan impor berbagai komoditi pangan dari tahun ke tahun cenderung naik dan kondisi struktur fungsional sering tidak memihak petani (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2008).

Tabel 1. Kebijakan Pangan Indonesia dari 1952-2009

Era Rezim pemerintahan Kebijakan pangan

Orde lama (pasca

Kemerdekaan)

Soekarno 1952-1956 Swasembada beras melalui program

kesejahteraan kasimo Soekarno 1956-1964 Swasembada beras

melalui program sentra padi

Pemerintahan transisi 1965-1967 Orde baru

(orde

pembangunan)

Soeharto ‘repelita 1 & 2 1969-1979’

Swasembada beras Soeharto ‘repelita 3 &

4 1979-1989

Swasembada pangan

Soeharto ‘repelita 5 & 6 1989-1998’

Swasembada beras Reformasi

: (transisi)

Habibie 1998/1999 Swasembada beras Gus dur 1999/2000 Swasembada beras Reformasi

(setelah 2000)

Megawati 2000/2004 Swasembada beras Pasca

Reformasi

SBY 2004-2009 Revitalisasi pertanian

Sumber: Mears (1984), Mears and Moeljono (1981), Dharmawan (2008).

Studi FAO (2000) menyatakan bahwa suatu bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, sulit untuk menjadi maju dan makmur, apabila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Namun pemerintah Indonesia tetap memprioritaskan impor dari aneka jenis pangan1. Kondisi tersebut dapat menyebabkan merapuhnya ketahanan bangsa, yaitu dengan terkonsentrasi pada produk pangan. Bangsa Indonesia sampai saat ini merupakan konsumen beras tertinggi di dunia2, serta belum dapat lepas dari ketergantungan impor aneka komoditas pangan. Pada awal tahun 2008, bangsa Indonesia diguncang bencana alam yang menurut catatan di lapangan cukup mengkhawatiran ketahanan pangan nasional. Dengan mengkaji kondisi dan kebutuhan pangan nasional maka yang dapat dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas hasil

1

Tercatat ragam impor bahan pangan dianranya sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2 juta ton gula/tahun (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton jagung/tahun; 5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.

2

Kebutuhan beras indonesia mencapai 139 kg/kapita/tahun; Jepang (60 kg), Malaysia (80 kg); Thailand (90 kg); dan rata- rata dunia (60 kg). Tingginya konsumsi beras mengakibatkan 31 juta ton beras yang kita hasilkan setiap tahun, tidak mencukupi kebutuhan nasional (Media Indonesia, 30 Oktober 2007)

pertanian dan meningkatkan pendapatan petani di tiap-tiap daerah dalam menopang ketahanan pangan nasional.

Menurut Syahyuti, et al. (2003) sektor pertanian sesungguhnya dapat menjadi salah satu strategi untuk recovery sekaligus memberikan landasan bagi perkembangan sektor riil dari krisis

ekonomi yang dialami Indonesia semenjak tahun 1997. Hal ini dapat dibuktikan dengan daya hidupnya yang tinggi, ketika sektor-sektor lain runtuh. Ciri khas usaha pada sektor pertanian adalah melibatkan banyak orang dengan kepemilikan sumber daya dan keterampilan yang rendah, serta

social networkyang kurang mendukung, khususnya untuk memasuki ekonomi modern saat ini. Salah

satu upaya untuk pengembangannetworktersebut adalah melalui strategi pendekatan kelembagaan,

yang selama ini tampaknya belum mendapat penanganan yang memadai. Dari paparan Syahyuti di atas, dapat ditegaskan bahwa salah satu hal yang menghambat rendahnya produktivitas hasil pertanian dan kendala rendahnya pendapatan petani adalah lemahnya kelembagaan pertanian.

b. Kondisi Pangan di Jawa Tengah

Pertanian merupakan sektor utama perekonomian Jawa Tengah, di mana mata pencaharian di bidang ini digeluti hampir separuh dari angkatan kerja terserap. Secara administrasi propinsi Jawa Tengah terbagi atas 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah Jawa Tengah pada tahun 2012 tercatat sebesar 3,25 juta ha atau sekitar 25,04% luas pulau Jawa (1,70% dari luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari dari 996 ribu ha (30,60%) lahan sawah dan 2,26 juta ha (69,40%) bukan lahan sawah (Bapeda jateng, 2012). Dibandingkan tahun sebelumnya luas lahan sawah menurun sebesar 0,02%, sebaliknya luas bukan lahan sawah meningkat sebesar 0,01%. Data BPS (2012) menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan sawah dan hasil produksi pangan dari jenis padi di Jawa Tengah relatif turun. Hal ini dapat dilihat sejak tahun 2000 Jawa Tengah memiliki luas lahan panen dari padi sawah dan ladang secara komulatif seluas 1.669.486 ha dengan hasil produksi sejumlah 8.475.412 ton, pada tahun 2005 luas lahan panen menjadi 1.611.107 ha dan hasil produksi menjadi 8.424.096 ton. Hal ini belum ditambahkan dengan kebutuhan akan pangan yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, dan datangnya bencana alam setiap waktu yang merusak lahan panen.

Gambar 2. Kondisi umum Jawa Tengah

(Sumber : Bappeda Provinsi Jateng 2013) •Luas wilayah : 3,25 Jt Ha

Jml.Penduduk : 32,38 Jt Jiwa (SP-2010); 38,979 Jt Jiwa (SIAK 2012) Laki-laki : 16.091.112 Jiwa (49,69%) 19.596.606 Jiwa (50,27%) Perempuan : 16.291.545 Jiwa (50,31%) 19.382.562 Jiwa (49,73%)

Pend. Usia Produktif (15 – 64 Th) : 21.577.870 (66,58%)

Pemerintahan : 29 Kab – 6 Kota, 573 Kec, 8.577 Desa/ Kel I. KONDISI UMUM JAWA TENGAH

c. PertumbuhanEkonomi Jawa Tengah

Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah relatif meningkat dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 (Gambar 3). Perekonomian Jawa tengah cukup stabil walaupun terlihat pada tahun 2012 pertumbuhan perekonomian nasional mengalami penurunan tetapi perekonomian Jjawa Tengah tetap tumbuh sebesar 6,5%. Hal ini menunjukkan aktitivas perekonomian di JawaTengah masih memilki prospek yang baik ke depan.

PERTUMBUHAN EKONOMI (%)

Garis besar

Dokumen terkait