• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PRODUK REKAYASA GENETIK DI DALAM PERTANIAN DAN TANTANGANNYA BAGI DUNIA PENDIDIKAN

Bambang R. Prawiradiputra

Koordinator Tim Teknis Keamanan Hayati Bidang Pakan PRG dan Peneliti Utama Sistem Usahatani Badan Litbang Pertanian

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran, Bogor 16151 Email: bambangrisdiono2@gmail.com

criansci@indo.net.id

Abstrak

Dalam waktu dekat tanaman produk rekayasa genetik (PRG) akan hadir di Indonesia. Tanda-tandanya sudah jelas terlihat, antara lain beberapa varietas jagung dan kedelai PRG sudah mendapat persetujuan aman pangan dan dua varietas jagung juga sudah dinyatakan aman pakan. Selain itu tebu toleran kekeringan yang dihasilkan PTP XI juga sudah dilepas Menteri Pertanian, namun belum bisa ditanam di lahan umum sebelum mendapat sertifikat keamanan pakan. Kontroversi atas kehadiran tanaman PRG tidak bisa dihindarkan. Pihak produsen PRG mengklaim adanya keuntungan dari tanaman PRG, antara lain mengurangi penggunaan pestisida, mengurangi biaya penyiangan, lebih tahan cekaman biotik dan abiotik dan meningkatkan produksi, yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Keuntungan lain adalah dalam pelestarian sumberdaya alam, khususnya lahan. Di lain pihak ada komponen masyarakat yang tidak/belum bisa menerima kehadiran tanaman PRG dengan berbagai alasan. Posisi Komisi Keamanan Hayati (melalui Tim Teknis Keamanan Hayati) yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah sebagai “wasit” yang tidak memihak, namun diberi kewenangan memberikan rekomendasi kepada Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan, bahwa pangan atau pakan (dan tanamannya) produk rekayasa genetik itu dinyatakan aman atau tidak aman untuk dikonsumsi dan ditanam di Indonesia. Keputusan aman atau tidak aman tersebut dinyatakan setelah melalui pengkajian oleh para pakar di bidangnya masing-masing. Adanya kontroversi dalam hal keamanan PRG merupakan tantangan tersendiri bagi para ilmuwan baik peneliti di lembaga riset maupun staf pengajar di perguruan tinggi untuk meneliti dan mengkaji teknologi yang bisa diterapkan dalam tanaman.

Kata kunci: tanaman PRG, keamanan pangan, keamanan pakan, keamanan lingkungan.

PENDAHULUAN

Tingginya populasi penduduk dunia merupakan pemicu lahirnya berbagai teknologi khususnya di sektor pertanian. Pada saat populasi penduduk dunia masih rendah, dengan teknologi berburu, menangkap ikan dan mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan sudah bisa memenuhi kebutuhan pangan harian. Ketika populasi semakin meningkat cara manusia memenuhi kebutuhan pangannya juga semakin berkembang.

Teknologi berburu dan mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan lambat laun berubah, hewan mulai diikat dan dikandangkan, ikan dipelihara, tumbuh-tumbuhan mulai ditanam bahkan benih-benih sudah mulai diseleksi, mana yang baik dan mana yang harus disingkirkan.

Pada abad ke 18 muncullah seorang ilmuwan yang bernama Thomas Robert Malthus (1766- 1834) yang mengatakan dalam Essay on Population tahun 1798 bahwa bahan makanan adalah

penting bagi manusia dan nafsu manusia tidak dapat ditahan. Malthus juga mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat (mengikuti deret ukur) dari pada bahan makanan yang mengikuti deret hitung. Akibatnya pada suatu saat akan terjadi kesenjangan yang besar antara penduduk dan kebutuhan hidup atau umat manusia akan kekurangan pangan. Namun Malthus lupa bahwa manusia adalah makhluk berakal. Pada awal abad 20 muncullah apa yang kita kenal dengan revolusi hijau.

Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini (James, 2014).

Pupuk, pestisida, traktor, benih berkualitas adalah komponen-komponen pertanian yang merupakan penunjang berhasilnya revolusi hijau. Akhirnya manusia menciptakan berbagai teknologi termasuk bioteknologi di sektor pertanian. Produk Rekayasa Genetik (PRG) adalah salah satu produk yang dihasilkan dari biteknologi.

Tanaman (atau hewan) PRG adalah tanaman (atau hewan) yang memiliki gen asing yang secara sengaja disisipkan kedalam DNA melalui teknik rekayasa genetik (Arujanan, 2014). Definisi lain mengatakan bahwa PRG atau organisme hasil rekayasa adalah organisme hidup, bagian-bagiannya dan/atau hasil olahannya yang mempunyai susunan genetik baru dari hasil penerapan bioteknologi moderen (Badan litbang Pertanian, 2013).

Berkaitan denga PRG, yang harus mendapat perhatian adalah keamanan bahan pangan dan pakan PRG, dimana yang dimaksud dengan keamanan pangan dan pakan adalah kondisi pangan dan pakan yang tidak menimbulkan dampak yang merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, hewan dan / atau ternak akibat proses produksi, penyiapan, penyimpanan, peredaran dan pemanfaatannya.

Tujuan transgenik pada tanaman selain untuk meningkatkan produksi juga untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian melalui peningkatan kandungan protein atau mengurangi kandungan antinutrisi dan racun. Selain itu juga untuk memperoleh tanaman yang tahan serangan hama, toleran kekeringan, toleran salinitas, dan toleran cekaman lainnya (Coateset al., 2005).

Mengapa Produk Rekayasa Genetik?

Dengan meningkatnya populasi penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat, dengan demikian maka produktivitas tanaman juga perlu ditingkatkan. Di sektor peternakan penyediaan pakan juga harus dilipatgandakan, termasuk pakan hijauan. Namun bukan hanya hijauan, kebutuhan pakan lainnya juga meningkat tajam. Diperkirakan kebutuhan sereal pakan (jagung, gandum, padi dsb, untuk konsentrat) di negara berkembang pada tahun 2020 menjadi 445 juta ton sedangkan di negara maju sekitar 430 juta ton (Pinstrup-Andersenet al. 1999).

Selanjutnya Pinstrup-Andersen et al. (1999), menyatakan bahwa apabila tidak ada aksi yang

sungguh-sungguh, tahun 2020 adalah awal terjadinya krisis pangan dunia, pada saat mana lebih dari 135 juta anak akan kekurangan pangan dan gizi, termasuk kekurangan protein asal hewan. Mengingat hal itu negara-negara maju sudah pasti akan meningkatkan produksi pertaniannya seperti sereal,

daging dan susu dengan berbagai cara. Dengan demikian diperlukan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas bahan pangan tersebut.

Sebagaimana telah diketahui bahwa beberapa komoditas seperti jagung dan kapas, telah mampu meningkatkan produktivitasnya melalui rekayasa genetik. Di Amerika bioteknologi ini bahkan telah lama diterapkan oleh petani, bukan hanya di kebun-kebun percobaan saja. Di Asia, India, Filipina dan beberapa negara lain adalah negara- negara yang telah mengadopsi teknologi ini.

STATUS TANAMAN REKAYASA GENETIK DI INDONESIA

Sampai sejauh ini belum ada laporan yang menyatakan bahwa Indonesia sudah menghasilkan tanaman PRG sendiri. Namun cepat atau lambat tidak tertutup kemungkinan peneliti-peneliti pertanian akan menghasilkan tanaman PRG yang berdaya hasil tinggi, toleran kekeringan atau tahan serangan hama. Bisa juga dihasilkan buah-buahan yang daya simpannya lebih lama.

Pada tahun 2012 PTP XI di Jawa Timur yang bekerjasama dengan Universitas Jember sudah mengajukan proposal untuk pengkajian keamanan pakan tebu PRG. Namun sampai 2013 baru dinyatakan aman pangan dan aman lingkungan, belum memperoleh status aman pakan. Masalahnya bukan pada produknya tetapi pada sistem birokrasi kelembagaan, karena pedoman untuk mengkaji keamanan pakan belum ada.

Di lain pihak penelitian tanaman pangan PRG sudah relatif cukup lama. Menurut Herman (1999) penelitian perakitan tanaman PRG di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1990-an. Penelitian tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi, badan usaha milik negara dan perusahaan swasta. Penelitian tanaman PRG di Indonesia sebagian besar ditujukan untuk memperoleh tanaman PRG yang tahan cekaman biotik dan toleran cekaman abiotik, khususnya kekeringan (Herman, 2008). Pada Tabel 1 ditunjukkan sebagian kegiatan penelitian tanaman PRG di berbagai lembaga penelitian, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia. Data pada Tabel 1 adalah data tahun 2008 sehingga besar kemungkinan sampai tahun 2013 ini sebagian besar komoditas tersebut statusnya sudah berubah menjadi “varietas yang sudah dilepas”.

Di Negara-negara maju sudah banyak dihasilkan tanaman pangan dan pakan yang hasilnya diekspor ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia. Produk-produk rekayasa genetik yang sudah masuk ke Indonesia terutama kedelai dan jagung. Kedua komoditas penting ini sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak baik untuk ruminansia maupun non ruminansia.

Walaupun belum menjadi penghasil teknologi PRG ternyata Indonesia telah sejak lama menjadi pengimpor produk rekayasa genetika seperti kedele, kapas, jagung, buah-buahan, tanaman hias, obat-obatan dan kosmetika (Wirawan, 2006) sehingga walaupun terdapat kontroversi dalam hal penelitian transgenik, pada kenyataannya produk-produk tersebut telah masuk ke Indonesia dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Indonesia sudah lama mengimpor jagung dan kedele dari Amerika Serikat. Sebelum tahun 1990 Indonesia mengimpor kedelai tidak lebih dari 500.000 ton. Pada tahun 2011 impor kedelai sudah sekitar 1,6 juta ton (Utoyo, 2013). Sebagian besar kedelai impor ini adalah dari Amerika Serikat yang merupakan produsen kedelai PRG. Demikian pula halnya dengan jagung, sebagian besar jagung pakan ternak yang masuk dari Amerika Serikat adalah jagung PRG. Dengan demikian sebenarnya penduduk dan ternak di Indonesia ini sudah lama mengkonsumsi pangan dan pakan PRG.

Jagung yang sudah masuk ke Indonesia dan cukup terkenal adalah jagung Bt yang merupakan jagung yang disisipi gen dari Bacillus thuringiensis. B. thuringiensis sendiri telah digunakan oleh

petani di negara maju sebagai pestisida hayati yang cukup aman sejak puluhan tahun yang lalu (Herman, 2008). Gen Bt sendiri terdiri dari beberapa generasi dan diperuntukkan bagi serangga- serangga tertentu. Secara umum cry (sebagai representasi gen dari strain Bt yang bekerja seperti

insektisida) dapat mematikan serangga dari keluarga Lepidoptrera dan Coleoptra. Ada juga keluarga Diptera yang menjadi sasaran.

Tabel 1.Penelitian perakitan tanaman PRG pada tahap rumah kaca, rumah kasa, FUT dan LUT di

berbagai lembaga penelitan di Indonesia. Komoditas Perbaikan karakter

tanaman

Tahap

kegiatan Lembaga penelitian Padi Tahan hama penggerek

batang kuning

R Kaca, FUT, LUT

BB Biogen, Kementan; Puslit Bioteknologi LIPI

Tahan penyakit HDB dan blas

R Kaca, FUT BB Biogen, Kementan Tahan penyakiy blas dan

Rhizoctonia solanii

R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi, LIPI Toleran kekeringan R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi, LIPI Kedelai Tahan hama penggerek

polong

R Kaca, FUT BB Biogen Produktivitas tinggi R Kaca Unud

Kacang tanah Tahan penyakit bilur R Kaca BB Biogen, IPB Ubi kayu Kandungan amilosa

rendah

LUT BB Biogen dengan Puslit Bioteknologi LIPI

Tebu Rendemen tinggi LUT PTPN XI dengan Univ. Jember Toleran kekeringan LUT PTPN XI

Sengon Percepatan pertumbuhan, kandungan selulosa tinggi

R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi LIPI

Akasia Percepatan pertumbuhan, kandungan selulosa tinggi

R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi LIPI

Sumber: Herman (2008)

Walaupun penelitian bioteknologi di Indonesia sudah berjalan lebih dari 25 tahun ternyata penelitian pakan ternak transgenik belum disentuh, baik oleh peneliti tanaman maupun oleh peneliti peternakan. Namun dengan perkembangan teknologi di negara-negara maju dan dengan adanya peningkatan konsumsi protein asal ternak yang sangat tinggi, serta semakin berkurangnya luas padang rumput, peluang untuk memproduksi tanaman pakan dengan rekayasa genetik akan semakin tinggi.

MANFAAT DAN MASALAH PRODUK REKAYASA GENETIK

Bisnis PRG adalah bisnis besar yang nilainya milyaran dollar. Dapat dipahami apabila lembaga- lembaga penelitian dan perusahaan-perusahaan penghasil PRG, sebagai proponen, lebih menonjolkan manfaat PRG daripada sisi negatifnya. Sebaliknya para ilmuwan oponen lebih memperhatikan sisi negatif atau mudarat dari tanaman PRG.

Teknologi yang sekarang sudah diterapkan seperti teknologi budidaya, pemuliaan tanaman dan konservasi pakan dalam waktu dekat sudah tidak akan memadai lagi. Tidak lama lagi diperkirakan teknologi transgenik sudah akan ’menular’ dari tanaman pangan dan perkebunan ke tanaman pakan ternak. Dengan demikian diperlukan suatu pengkajian yang objektif dan kehati-hatian agar aspek negatif dari teknologi transgenik yang mungkin terjadi tidak terjadi pada tanaman pakan ternak (Prawiradiputra, 2008).

Persoalan muncul apabila kita kurang hati-hati menyaring produk rekayasa genetik dari negara maju yang masuk ke Indonesia dan ternyata produk tersebut tidak aman bagi ternak dan manusia yang mengkonsumsi produk ternak.

Tanaman pangan (dan pakan) PRG diproduksi karena berbagai alasan, seperti tahan terhadap berbagai cekaman, baik cekaman biotik maupun cekaman abiotik. Selain itu juga diproduksi tanaman yang toleran terhadap herbisida dan lebih efisien dalam penggunaan air dan pupuk. Ada juga tanaman yang dimodifikasi kualitasnya seperti penundaan kematangan buah dan perubahan pigmen warna bunga, perubahan komposisi lemak, perubahan komposisi asam amino, perubahan kandungan vitamin, perubahan kandungan gula, tanaman tanpa biji dan sebagainya.

Yang termasuk dalam cekaman biotik adalah tahan serangga hama, tahan nematoda, tahan cendawan patogen tanaman, tahan bakteri patogen tanaman dan tahan virus patogen tanaman. Sedangkan yang tergolong cekaman abiotik antara lain toleran kekeringan, toleran salinitas, toleran oksidatif, toleran suhu rendah, toleran logam berat dan sebagainya.

Beberapa manfaat dari tanaman PRG yang disampaikan oleh proponen di antaranya (Prawiradiputra, 2013):

(1) Peningkatan kandungan nutrisi dan antioksidan.

Salah satu contoh yang sedang menjadi pembicaraan pada saat ini adalah “padi emas” yang awalnya dihasilkan oleh Institute for Plant Science di Swiss yang menghasilkan padi yang mengandung β-Carotene (Provitamin A) sebagaimana dilaporkan oleh Ye et al. (2000). Selain pada padi teknologi rekayasa genetik untuk peningkatan kandungan β-Carotenejuga di lakukan pada tanaman jagung (Herman, 2008). Teknologi peningkatan kandungan nutrisi seperti pada padi dan jagung ini tentu bisa juga dilakukan pada tanaman pakan, baik untuk meningkatkan kandungan protein maupun nutrisi yang diperlukan oleh ternak.

(2) Penambahan keanekaragaman hayati

Teknologi rekayasa genetik yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati biasanya dilakukan pada tanaman hias. Dalam hal ini mengubah warna bunga seperti mawar berwarna biru atau carnation berwarna ungu gelap. Untuk tanaman pakan teknologinya tentu bukan mengubah warna, melainkan mungkin mengubah tingkat kekerasan atau kekasaran daun rumput raja menjadi lebih lunak atau lebih palatable. Atau mungkin juga menghasilkan alang-alang yang lebih palatable dan lebih kaya nutrisi. Karena menurut Abdullah et al. (2005) saat ini sulit untuk memperoleh jenis dan benih/bibit tanaman pakan unggul yang daya adaptasinya terhadap lingkungan cukup baik.

(3) Pemanfaatan untuk industri

Pemanfaatan di bidang industri adalah mengaplikasikan teknologi rekayasa genetik untuk menghasilkan tanaman dengan kandungan amilosa rendah sehingga bermanfaat untuk industri tekstil. Herman (2008) mensitir beberapa laporan yang mengatakan bahwa plastik yang bisa terdegradasi (biodegradable poly-β-hydroxybutyrate) bisa dihasilkan dari tanaman Arabidopsis thaliana PRG dan dari biji kanola (Brassica napus) PRG, daun alfalfa PRG, tembakau PRG dan

(4) Pemanfaatan untuk farmasi

Menurut McGregor (Herman, 2008) Boyce Thompson Institute for Plant Research Inc. yang berafiliasi dengan Universitas Cornell telah berhasil mendapatkan kentang PRG yang mengandung vaksin untuk penyakit kolera. Selain itu juga telah dihasilkan pisang PRG yang mengandung vaksin hepatitis B. Dalam kaitannya dengan tanaman pakan ternak bukan tidak mungkin dihasilkan alfalfa PRG atau lamtoro PRG yang disisipi gen vaksin untuk penyakit ternak. (5) Pengurangan penggunaan insektisida

Dengan dihasilkannya tanaman-tanaman PRG yang tahan serangga hama, maka petani tidak perlu lagi menggunakan insektisida. Hal ini berarti penggunaan insektisida menurun signifikan. Keuntungan dari penurunan penggunaan insektisida bukan hanya dalam hal biaya produksi saja tetapi juga dalam hal lingkungan hidup dan kesehatan. Menurut James (2014) antara tahun 1996 sampai dengan 2012, dengan adanya tanaman yang tahan serangan hama telah dihemat 497 juta kg bahan aktif pestisida. Sebagaimana dilaporkan oleh beberapa peneliti banyak pestisida yang mencemari tanah dan perairan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Naik, 2001; Prayet al., 2001; Adiyoga, 2006).

(6) Peningkatan pendapatan petani

Menurut Herman (2008) keuntungan petani di berbagai Negara sebagai hasil menanam tanaman PRG sangat bervariasi, tergantung pada negara dan komoditas yang ditanam. Namun peningkatannya pada tahun 2011 secara global diperkirakan senilai 10.8 milyar dolar. Keuntungan ini sebagian besar diterima negara berkembang.

Dari sisi keuntungan petani, sejauh ini indikasinya tanaman PRG menguntungkan, karena luas tanamnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996 luas tanaman pangan PRG sekitar 1,7 juta hektar, dan pada tahun 2008 sudah mencapai 125 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa para petani yang pernah menanam menyukainya sehingga menanamnya kembali di musim tanam berikutnya.

Di Indonesia, hasil kajian yang dilakukan oleh Universitas Lampung atas PRG Jagung RR (toleran herbisida) ternyata bahwa jagung RR menunjukkan keuntungan ekonomis lebih besar daripada jagung biasa (C-7 dan Bisma) (Arifin, 2009).

MASALAH

Walaupun banyak keuntungan yang dapat dicapai, menurut Gilbert dan Villa-Komaroff (1980) dan Wright (1996) teknologi baru di sektor pertanian yang disebut-sebut sebagai revolusi hijauan jilid dua ini bukannya tidak mengandung masalah. Bagi pihak yang tidak setuju dengan teknologi transgenik, tanaman-tanaman transgenik yang dihasilkan dapat menyebabkan ancaman serius bagi kesehatan manusia dan juga bagi lingkungan (Pardee, 2005). Bukan hanya itu, bagi sebagian petani, konsumen, pencinta lingkungan dan pemerintah, tanaman transgenik juga berbahaya bagi kehidupan ekonomi perdesaan (Weiss, 2000).

Mereka yang tidak setuju dengan teknologi transgenik masih mempertanyakan ketidakjelasan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang karena tidak ada yang bisa menduganya.

Beberapa contoh aspek negatif dari tanaman PRG dikemukakan berikut ini:

Isu-isu yang sering dilontarkan mereka yang kontra antara lain mengganggu kesehatan manusia seperti toksik, alergi dan resistensi bakteri di dalam tubuh manusia (Pardee, 2005), menyebabkan ketergantungan petani dalam hal benih (Weiss, 2000), mengganggu lingkungan (termasuk resistensi gulma, perpindahan gen dari tanaman PRG ke tanaman non PRG atau erosi genetik, resistensi hama, berdampak negatif bagi organisme bukan sasaran seperti serangga bermanfaat dan ikan, dan sebagainya).

Selain itu dikhawatirkan pula terjadinya masalah produk pakan yang berasal dari tanaman transgenik dari negara maju yang masuk ke Indonesia tidak terkontrol sehingga dampak negatifnya juga tidak diketahui.

Flachowsky dan Wenk (2010) merangkum pandangan yang menganggap pakan PRG berdampak buruk terhadap ternak, seperti menyebabkan alergi, berpengaruh terhadap sistem pencernaan hewan, mengganggu sistem reproduksi dan fertilitas ternak, meningkatkan inti sel hati dan pancreas hewan dan sebagainya. Sisi negatif yang dirangkum oleh Flachowsky dan Wenk tersebut diperoleh dari penelitian di laboratorium yang menggunakan hewan pecobaan, bukan terhadap ternak di lapangan.

Di Negara-negara dimana tanaman PRG sudah berkembang sangat luas seperti di Amerika Serikat, pandangan-pandangan yang kontra terhadap tanaman PRG juga masih banyak. Pada dasarnya keberatan mereka yang oponen terhadap tanaman PRG lebih banyak karena meragukan terhadap keamanan produk tersebut termasuk terhadap lingkungan, walaupun tidak sedikit juga yang meragukan manfaatnya serta adanya isu-isu etika, agama dan perdagangan.

Dibandingkan dengan di Amerika Serikat, di Eropa lebih banyak yang berpandangan negatif, walaupun menurut Herman (2008) pandangannya sering berubah-ubah, dari negatif ke positif kemudian berubah lagi ke negatif dan seterusnya.

Mereka yang tidak setuju dengan teknologi transgenik masih mempertanyakan ketidakjelasan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang karena tidak ada yang bisa menduganya. Namun harus diakui bahwa penyebaran tanaman transgenik ternyata sangat cepat. Dimulai pada tahun 1980-an, dalam waktu kurang dari lima belas tahun produk pertama sudah dipasarkan, yaitu tomat yang tahan lama. Pada tahun 1996 kedele yang tahan herbisida sudah mulai masuk pasar dan pada tahun 2000 sudah 14 juta hektar sudah ditanam di Amerika. Demikian juga halnya pada jagung. Setelah diperkenalkan jagung transgenik (jagung Bt) pada tahun 1996, dalam waktu kurang dari tiga tahun, tanaman jagung transgenik sudah ditanam di Amerika seluas 11 juta hektar (Weiss, 2000).

1. Meningkatkan penggunaan herbisida

Salah satu produk tanaman PRG yang menjadi unggulan bagi perusahaan penghasil benih tanaman adalah kedelai dan jagung toleran herbisida. Penggunaan benih tanaman yang toleran herbisida menyebabkan gulma mati tetapi tanaman utamanya tetap sehat. Hal ini akan menyebabkan pengendalian gulma dilakukan dengan penggunaan herbisida sepenuhnya, tidak lagu menggunakan cara manual atau mekanis. Belum ada data yang dapat ditunjukkan berapa banyak herbisida yang akan digunakan pada tanaman PRG dibandingkan dengan penggunaannya pada tanaman non PRG.

2. Menyebabkan keseragaman hayati

Bagi pengusaha, keseragaman akan lebih memudahkan pengelolaan. Demikian juga halnya di sektor pertanian. Penggunaan benih tanaman yang sama pada areal pertanaman yang sangat luas akan menyebabkan terjadinya keseragaman dalam skala yang luas pula. Dari segi kerentanan tanaman keragaman (ketidak-seragaman) dipercaya akan lebih baik, sementara keseragaman akan melemahkan tanaman disamping tidak dianjurkan pula ditinjau dari sisi lingkungan hidup.

3. Ketergantungan petani terhadap teknologi

Benih-benih tanaman yang dihasilkan pengusaha, baik benih hibrida maupun benih PRG harganya lebih tinggi daripada benih konvensional. Bagi petani yang modalnya tidak besar, selisih harga walaupun tidak banyak akan berpengaruh pada saat mengambil keputusan. Selain itu petani juga tidak bisa menyimpan benih karena benih PRG sebagaimana benih hibrida tidak dapat ditanam untuk musim tanam berikutnya.

ASPEK ETIKA DAN AGAMA

Di luar manfaat dan kerugian yang perlu dicermati, aspek etika dipandang penting di dalam produk rekayasa genetik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip di dalam teori etika, yaitu kesejahteraan, otonomi dan adil. Ben Mepham menganalisis matriks etika tersebut yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang terlibat di dalam rekayasa genetik tersebut (Jenie,2012).

Menurut Ben Mepham ada empat objek yang harus diperhatikan di dalam produk rekayasa

Garis besar

Dokumen terkait