• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP SAKSI DAN KORBAN

B. PEMBAHASAN 1. Pemberitaan

Jurnalis berasal dari kata diurna (Romawi), yang diserap menjadi Jurnal (Inggris) dan du jour (Perancis) yang berarti laporan atau catatan.16 Sedangkan jurnalistik bermakna seni atau keteram-pilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah dalam rangka memenuhi kebutuhan hati nurani khalayak ramai.17 Romli mendefinisikan jurnalistik sebagai proses atau teknik mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya.18

Di Indonesia, kemerdekaan jurnalistik dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meski begitu, dalam melaksanakan kebebasannya, jurnalis wajib menghormati hak setiap orang. Karena itu jurnalis dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat.19 Untuk men jamin kebebasan pers dan terpenuhinya hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, maka disu sunlah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada tahun 1999.

B.2. Saksi, Korban, Saksi Pelaku dan Pelapor

Sesuai UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, subyek yang dilindungi LPSK adalah Saksi, Korban, Saksi Pelaku dan Pelapor. Ini merupakan kemajuan dalam upaya perlindungan saksi dan korban dimana sebelumnya pada UU Nomor 13 Tahun 2006, subyek terlindung LPSK hanya saksi dan korban.

Saksi secara yuridis adalah, “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri” (Pasal 1 ayat (1) UU 31 Tahun 2014).

Saksi Pelaku adalah, “tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan pene-gak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama” (Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 2014).

Korban adalah, “orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian eko-nomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana” (Pasal 1 ayat (3) UU No 31 Tahun 2014).

Pelapor adalah, “orang yang memberikan laporan, informasi, atau kete rangan kepada

pe-15 Pasal 1 ayat (3), Op.Cit.

16 Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Batic Press, Bandung (2005) 17 Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik, Nuansa, Bandung (2004) 18 Romli, Op.Cit.

negak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi” (Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 31 Tahun 2014).

Jika sudah menjadi terlindung LPSK, terdapat beberapa hak saksi dan korban. Kaitannya dengan pemberitaan, ada dua hak yang bersinggungan dengan kepentingan jurnalis, yaitu “bebas dari pertanyaan yang menjerat” (Pasal 5 ayat (1) huruf e UU Nomor 31 Tahun 2014), dan “dirahasiakan identitasnya” (Pasal 5 ayat (1) huruf i UU Nomor 31 Tahun 2014).

B.3. Pemberitaan dan Upaya Perlindungan terhadap Saksi dan Korban

Pemberitaan menjadi bermasalah ketika terjadi persinggungan dengan hak-hak saksi dan korban. Tuntutan penyajian dan penyebarluasan berita sering kali menyebabkan hak-hak korban terabaikan atau terlanggar. Pada kasus korban pelecehan seksual di JPO depan MPR/DPR dan kasus sodomi anak di Jaktim, penyebutan identitas, baik nama jelas (kasus JPO) maupun alamat dan ciri-ciri korban (kasus sodomi Jaktim) telah melanggar hak korban untuk dirahasiakan identitasnya.

Pemberitaan juga semakin memojokkan posisi korban ketika adanya pilihan berpakaian maupun kondisi fisik korban yang turut jadi obyek pemberitaan.

Pada kasus Yulianis, tuntutan mendapatkan berita ditambah kekurang pahaman akan per-ta nyaan yang menjerat di kalangan jurnalis, telah me nyebabkan Yulianis sebagai saksi pelaku men jawab pertanyaan yang kemudian menjadi dasar dari pihak lain untuk menuntut balik yang bersangkutan.

Pada kasus pelapor contek massal di Surabaya, adanya pemberitaan da ri media, yang awal-nya merupakan cara pelapor untuk meawal-nyampaikan kasus ter sebut setelah sebelumawal-nya tidak men-dapat respon yang baik dari sekolah, pada akhirnya justru menjadi pemicu diusirnya pelapor dan keluarganya dari desa tempat mereka tinggal.

Pada kasus JM, tidak adanya upaya perlindungan identitas, tentunya membahayakan posisi JM, baik secara fisik maupun hukum. Meski belum ada bukti yang menunjukkan secara langsung kematian JM terkait pemberitaan ini, kemungkinan yang bersangkutan tewas karena informasi yang dimilikinya, tetap terbuka. Mengingat, korupsi sebagai tindak pidana luar biasa dimana ter-duga pelaku memiliki kekuasaan baik secara politik maupun ekonomi, sehingga potensi ancaman bagi pihak yang mengetahui informasi tentang adanya korupsi pasti ada.

Sementara pada pemberitaan kasus dugaan pencabulan terhadap siswi TK Mexindo di bhara tanews.id, sudah ada upaya melindungi korban dan orang tuanya. Upaya ini dilakukan dengan penyembunyian identitas korban dan orang tua korban pada tulisan mereka, serta upaya blur pada foto di berita tersebut. Upaya ini tentunya membuat posisi korban dan orang tua korban tidak dengan mudah diketahui orang. Penyembunyian identitas, selain memberikan perlindungan secara fisik dan hukum kepada korban, juga turut melindungi korban dari pandangan buruk masyarakat.

Hal ini penting bagi korban tindak pidana kesusilaan.

B.4. Peran Jurnalis terhadap Upaya Perlindungan Saksi dan Korban

Menurut Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers memiliki peran sebagai berikut:20

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

20 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pemberitaan dan Upaya Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban

4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dari beberapa peranan jurnalis berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 itu, ada dua peran yang sangat terkait dengan upaya perlindungan terhadap sak si dan korban, yakni pada huruf b dan d. Pentingnya memerhatikan tetap ter lindungnya kepentingan saksi dan korban, seperti terlindunginya identitas saksi dan korban serta keterangan yang diberikannya, contohnya dengan melakukan bluring wajah atau menuliskan inisial saksi, korban dan keluarganya.

C. PENUTUP

Kemerdekaan pers merupakan salah satu kemerdekaan yang dijamin nor ma formal, yaitu aturan hukum berupa UU Pers. Kebebasan pers menjadi salah satu semangat reformasi setelah adanya kontrol ketat selama masa Orde Baru. Namun, kebebasan pers seringkali tidak memerhatikan hak-hak orang lain, termasuk hak-hak saksi, korban, saksi pelaku dan pelapor yang juga dilindungi UU. Pelanggaran terhadap hak-hak itu menjadikan posisi mereka semakin lemah, baik itu menjadi korban kedua kalinya, membahayakan posisi secara fisik maupun hukum, hingga berpotensi dituntut balik berdasarkan pemberitaan atas saksi, korban, saksi pelaku, maupun pelapor.

Pada beberapa kasus, seperti contoh pada tulisan ini, menjelaskan masih adanya ketidak-pahaman insan pers terkait pentingnya melindungi hak-hak saksi dan korban, termasuk soal mera-ha siakan identitas saksi dan korban. Meski begitu, sudah mulai tumbuh kesadaran dari beberapa media untuk melindungi hak-hak saksi dan korban melalui teknik bluring atau penyebutan inisial.

Adanya peran media dalam melindungi hak-hak saksi dan korban melalui teknik pemberitaaan, turut memberikan dukungan kepada saksi dan korban, yakni dukungan melalui pemberitaan, dimana adanya pemberitaan diharapkan per hatian masyarakat terhadap kasus ini tetap terjaga. Dengan demi-kian, upaya pengungkapan suatu kasus yang menyangkut saksi dan korban pun tetap berjalan.

Seperti pada kasus dugaan pencabulan di TK Mexindo Bogor. Adanya pemberitaan yang te pat. justru membuat aparat penegak hukum, pada kasus ini adalah Polresta Bogor, memproses kasus ini.

Selain itu, diperlukan juga adanya pemahaman dari jurnalis, pemimpin redaksi (media), hingga pemilik media terkait rentannya posisi saksi, korban, saksi pelaku, dan pelapor. Dengan de-mikian pemberitaan yang dibuat perlu memerhatikan hak-hak saksi dan korban yang tercantum dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Juga perlu dibuat sebuah aturan baku atau pedoman terkait pemberitaan terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan pelapor. Aturan itu perlu disusun ber sama-sama pihak terkait dengan ka-lang an pers maupun dari pihak yang ber kepentingan terhadap saksi dan korban.

Dengan adanya aturan atau pedoman, pemberitaan media terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan pelapor, selain tidak membahayakan dan melang gar hak-hak mereka, juga turut mem-berikan dukungan terhadap penanganan kasus mereka.

***

daFtar PuStaka

David T Hill. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Darmawan, M. Kemal. 2014. Teori Kriminologi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, Buku Materi Pokok.

Prasetya, Yosef Adi. 2014. Perspektif Korban dalam Pemberitaan Media. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Romli, Asep Syamsul M. 2005. Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan.

Bandung: Batic Press.

Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik, Bandung:

Nuansa.

---. 2013. Buku Saku Wartawan. Jakarta: Dewan Pers.

Sumber lain:

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

https://www.merdeka.com/peristiwa/3-media-dibredel-soeharto-karena-berita-korupsi-kapal-perang.html

http://wartakota.tribunnews.com/2014/03/02/karyawati-dirampok-dan-dilecehkan-di-jpo-gedung-dpr

https://nasional.tempo.co/read/892714/korupsi-e-ktp-johannes-marliem-mau-jerat-siapa-lagi

https://bharatanews.id/2017/08/24/lpsk-dan-kpai-temui-keluarga-korban-pencabulan-di-tk-negeri-mexindo/

Perbudakan Modern di Benjina

PERBUDAKAN MODERN