• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya-upaya Penting dalam Perlindungan Hukum terhadap Pelapor

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

B.3. Upaya-upaya Penting dalam Perlindungan Hukum terhadap Pelapor

Berdasarkan praktik pengalaman penanganan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi, upaya perlindungan harus sudah dimulai sejak tahap awal. Artinya, sejak penyampaian in-for masi harus sudah dapat dipastikan pelaporan tersebut rahasia dan tidak teridentifikasi identi tas pelapornya. Dalam praktik, banyak aparat penegak hukum yang menggunakan metode pene ri ma an laporan yang semula merupakan sebuah pelaporan dari warga masyarakat, kemudian di ubah men-jadi laporan informasi yang dilakukan oleh penegak hukum sendiri untuk menghindari teriden ti fi-kasinya identitas pelapor, sehingga dapat meminimalisir potensi ancaman yang mungkin dihadapi.

Semangat menumbuhkan partisipasi masyarakat melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. pemerintah membuat program rencana aksi nasional yang melibatkan semua kementerian/

lembaga terkait untuk bekerja bersama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Presiden telah menge luar kan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 untuk Pemerintah Pusat Kementerian/Lem baga/Instan-si/Pemerintah Daerah, yang pada poin 12 lampiran inpres tersebut menyebutkan perlunya opti-malisasi whistleblowing system untuk pence gahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di ke-menterian/lemba ga dan swasta.

Hal yang mendasari program ini adalah pentingnya sebuah perlindungan terhadap seorang pelapor, sehingga mekanisme penyampaian informasi se dini mungkin diatur agar menghindai efek-efek negatif bagi pelapor pada saat dan setelah menyampaikan laporannya. Dengan adanya whistleblowing system, pelapor diharapkan dapat memberikan informasi tentang adanya pe nyim-pangan/korupsi di lingkungan sekitarnya dengan aman tanpa teridentifikasi iden titasnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sistem ini da pat berjalan baik. Perlu adanya pengawasan terhadap sistem ini sehingga betul-betul mengakomodir pelaporan dengan baik.

Salah satunya diperlukan mekanisme administrasi pengelolaan whiste blowing system yang

Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

akuntabel dan dikelola oleh orang-orang yang mempunyai integritas dalam menjaga keraha sia-an data. Whistleblowing system ini diharapksia-an dapat mendorong upaya pencegahsia-an, tidak hsia-anya penindakan tindak pidana korupsi. Karena jika sedini mungkin indikasi penyimpangan tersam-paikan, ko rupsi dapat terhindarkan.

Peran pelapor memberikan informasi menjadi kunci. Terlebih pe la por an yang didukung bukti pendukung yang memadai sehingga pihak pe ngelola whistleblowing system dapat segera me nin daklanjuti informasi yang ma suk. Selain itu, peran inspektorat jenderal atau pengawas in-ternal juga me nentukan whistleblowing system dapat berjalan baik, karena dengan demikian sis-tem perlindungan bagi pelapor dapat berjalan bersamaan. Kerja sama antar lembaga dalam menin-daklanjuti whisteblowing system sangat penting untuk mengakomodir informasi yang disampaikan pelapor untuk dapat ditindaklanjuti, sekaligus memberikan perlindungan maksimal terhadap pe-lapor sesuai kebu tuhan dan perkembangan eskalasi ancaman yang mungkin terjadi.

Di sisi lain, keberhasilan perlindungan hukum terhadap pelapor juga di ten tukan oleh niat baik dari pelapor itu sendiri. Dalam praktik penanganan perlindungan terkadang masih ditemukan adanya motif kepentingan lain selain penegakan hukum yang dilakukan pelapor dalam membuat pelaporan kepada aparat penegak hukum, mulai dari persaingan politik, jabatan sampai dengan motif lain yang terkadang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku (pemufakatan jahat).

Hal-hal seperti ini yang menjadikan pelapor sulit dilindungi karena karakteristik pelapor yang seperti ini pada umumnya mempunyai histori atau latar belakang personal yang kurang baik, sehingga seringkali menjadikan pelaporannya sebagai tameng untuk menutupi kejahatannya sendiri. Hal ini yang seringkali membuat aparat penegak hukum menjadi resisten menindaklanjuti pelaporannya.

Padahal, masih banyak pelapor-pelapor lain yang mempunyai itikad baik dalam menyampaikan informasi yang tidak mempunyai motif apapun selain ingin membuat adanya perubahan atau perbaikan di lingkungan sekitarnya.

Keberadaan pelapor yang seringkali menjadikan pelaporannya sebagai “panggung” sering-kali juga menyulitkan petugas pelindung untuk dapat be kerja optimal memberikan perlindungan.

Selain itu, tipikal pelapor seperti ini juga menyulitkan aparat penegak hukum untuk bekerja secara efek tif da lam tahap proses yang membutuhkan kerahasian sebagai bagian dari stra tegi pe nyeli-dikan/penyidikan, karena pelapor terlalu banyak mengumbar pela por annya kepada media atau publik sehingga memudahkan pelaku untuk mem baca arah penanganan perkara dan membuat strategi yang menyulitkan proses penyelidikan/penyidikan. Yang lebih berbahaya adalah membuka ruang bagi pelaku untuk mengetahui siapa pelapor dalam perkara ini sehingga dapat diran cang upaya-upaya yang dapat mengancam keselamatan pelapor termasuk upaya-upaya perlakuan dis-kriminatif yang sulit untuk diantisipasi apabila hal tersebut terjadi.

C. PENUTUP

Berdasarkan pengalaman dan praktik penanganan perlindungan ter ha dap pelapor, penulis menyimpulkan keberhasilan sebuah perlindungan, khu susnya terhadap pelapor ditentukan berba-gai faktor, yaitu:

1. Kemampuan/kapasitas pemberi perlindungan dalam memberikan per lindungan yang mak-simal sesuai kebutuhan, termasuk dalam meng advokasi dan bekerjasama dengan instansi terkait.

2. Itikad baik dan karakter dari pelapor itu sendiri yang harus betul-betul mem punyai se ma-ngat dan niat untuk memperbaiki atau melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, bu-kan karena didasari motif kepen tingan pribadi, atau bahbu-kan motif pemufakatan jahat.

3. Peran serta aparat penegak hukum yang responsif menindaklanjuti la poran yang di sam-paikan sehingga terhadap pelaku segera dilakukan tin dakan hukum dan mencegah pelaku melakukan hal-hal yang dapat mengurangi hak perlindungan pelapor/saksi.

4. Kerja sama dengan instansi terkait, khususnya tempat dimana pelapor bekerja, harus me-miliki pandangan yang sama tentang pentingnya per lin dungan pelapor sehingga tidak melakukan perlakuan-perlakuan yang bersifat intimidatif atau dikriminatif terhadap pelapor di lingkungan kerjanya.

5. Mengoptimalkan whisteblowing system sebagai sarana penyampaian in formasi yang ter-jamin rahasia datanya serta dikelola dengan penuh in te gritas serta terkoneksi dengan apa-rat penegak hukum yang dapat menin daklanjuti laporan yang disampaikan melalui whiste-blowing system dan terkoneksi dengan LPSK sehingga dapat diberikan perlindungan yang maksimal terhadap pelapor di setiap instansi sesuai kebutuhannya masing-masing.

***

Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

daFtar PuStaka

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Praktik Perlindungan Saksi Pelapor Pungutan Liar oleh LPSk

PRAKTIK PERLINDUNGAN