• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP KEPADATAN MASA TANAH DAN TUMBUHAN BAWAH

PEMBAHASAN Struktur Tumbuhan Bawah

Hasil pengumpulan data di lokasi sampling menunjukkan jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan sebanyak 50 jenis, dengan rincian seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Secara umum, tipe ekosistem pada kedua ekosistem tersebut berbeda, yang dibuktikan dengan indeks kesamaan antara hutan pinus dan hutan alam yang menunjukkan indeks di bawah 50%, yaitu sebesar 17,54%. Artinya, sangat sedikit jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di lokasi hutan pinus, ditemukan pula di lokasi hutan alam.

Hasil perhitungan nilai SDR diperoleh bahwa jenis tumbuhan bawah di lokasi hutan pinus yang dominan adalah Eupatorium riparium Regel., terutama pada area tepi jalur lintasan dan area yang tidak terganggu dengan nilai SDR pada masing-masing area, yaitu 21,31% dan 23,80%. Adapun jenis yang dominan ditemukan di area jalur lintasan hutan pinus termasuk dalam famili Poaceae atau rerumputan, yaitu Cynodon dactylon (L.) Pers. dengan nilai SDR 25,53%. Celah yang terbentuk akibat pembukaan jalur off-road telah menghilangkan tumbuhan penutupnya, sehingga akan terpapar sinar matahari lebih besar. Oleh karena itu, hanya jenis-jenis tumbuhan yang tahan terhadap injakan dan membutuhkan paparan sinar matahari lebih besar yang akan bertahan hidup di area jalur lintasan, seperti jenis rerumputan (Wimpey et al., 2007). Sementara itu, jenis tumbuhan bawah yang dominan di lokasi hutan pinus adalah Oplismenus undulatifolius (Ard.) Roem. & Schult. pada area tepi lintasan dengan SDR 13.70% dan Imperata javensis (BI.) Stend. dominan pada area kontrol. Sedangkan jenis yang dominan pada area jalur lintasan adalah Alternanthera sp. dan Echinochloa colonun (L.) Link. dengan SDR keduanya adalah 22,02%.

Indeks kesamaan antar lokasi hutan pinus dan hutan alam menunjukkan hasil yang berbeda. Di lokasi hutan pinus, indeks kesamaan antara area jalur lintasan, area tepi lintasan, dan area kontrol menujukkan indeks di atas 50%, namun sebaliknya di lokasi hutan alam menunjukkan indeks di bawah 50% (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran jenis tumbuhan bawah di lokasi hutan pinus lebih merata dibandingkan lokasi hutan alam. Penyebaran jenis tumbuhan bawah yang merata di lokasi hutan pinus juga menunjukkan bahwa berkurangnya jenis tumbuhan bawah yang merupakan dampak dari adanya injakan motor trail tidak dapat ditunjukkan melalui area dengan tingkat gangguan yang berbeda. Sebaliknya,di hutan alam yang memiliki penyebaran jenia tumbuhan tidak merata menujukkan bahwa gangguan berupa injakan motor trail di lokasi hutan alam dapat ditunjukkan melalui area dengan tingkat gangguan yang berbeda.

Keanekaan jenis akan lebih tinggi pada tingkat kerusakan rendah hingga sedang dan mengakibatkan perubahan pada komposisi jenis. Dalam penelitian ini adanya injakan motor trail menyebabkan penurunan indeks keanekaan yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya indeks keanekaan pada area jalur lintasan (Tabel 3). Dari keempat lokasi sampling terlihat adanya kesamaan pola, yaitu indeks keanekaan pada area jalur lintasan lebih rendah dibandingkan dengan indeks keanekaan pada area tepi jalur lintasan dan pada area kontrol. Seperti yang diungkapkan oleh Liddle dan Smith (1975 dalam Parikesit, 1994) bahwa jumlah dan keragaman jenis di daerah yang terkena injakan jauh lebih rendah dibandingkan di daerah yang tidak terkena injakan. Diantara ketiga area pada setiap lokasi sampling, area yang memiliki indeks keanekaan paling tinggi adalah area tepi jalur lintasan. Artinya, kestabilan paling tinggi adalah pada area tepi jalur lintasan. Hal ini dikarenakan adanya gap atau celah yang terbentuk mengakibatkan perubahan komposisi jenis karena munculnya jenis tumbuhan baru pada area tepi jalur lintasan yang sebelumnya tidak ditemukan. Seperti yang diungkapkan oleh Jacobs (1987), adanya gap yang terbentuk dapat memicu masuknya jenis baru dan mengisi daerah tersebut. Jenis-jenis yang diduga merupakan jenis

164

tumbuhan bawah baru yang muncul karena adanya gap tersebut, misalnya Musa acuminata di lokasi pinus I dan Arisaema filiforme (Bl.) Reinw. di lokasi alam I.

Indeks keanekaan pada area yang tidak terganggu di lokasi hutan alam lebih tinggi dibandingkan di lokasi hutan pinus. Artinya, tingkat kestabilan di lokasi hutan alam sebagai hutan alami lebih tinggi dibandingkan lokasi hutan pinus sebagai hutan hasil reboisasi yang umurnya jauh lebih muda dari hutan alam. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Odum (1998) bahwa keanekaan jenis cenderung lebih tinggi pada komunitas yang berumur lebih tua dan akan rendah pada komunitas yang baru terbentuk. Selain itu, tegakan pinus yang mendominasi juga menjadi alasan ketidakstabilan di lokasi hutan pinus.

Kepadatan Massa Tanah

Secara umum, terdapat kesamaan kepadatan massa tanah antara lokasi hutan pinus dengan hutan alam, yaitu pada kedua lokasi nilai kepadatan massa tanah paling tinggi terdapat pada area jalur lintasan. Hal ini menunjukkan bahwa di area jalur lintasan terjadi proses pemadatan tanah yang lebih besar dikarenakan adanya injakan motor trail (Tabel 4).

Proses pemadatan tanah semakin rendah pada area yang lebih jauh dari area yang terkena injakan, seperti yang terjadi di lokasi pinus II dan lokasi alam I. Sementara itu, yang terjadi di lokasi pinus I dan alam II adalah pemadatan tanah lebih besar terjadi pada area kontrol dibandingkan area tepi jalur lintasan. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang menyebabkan proses pemadatan tanah pada area yang tidak terganggu menjadi lebih tinggi. Hammit dan Cole (1987) mengungkapkan bahwa tingkat pemadatan tanah dipengaruhi oleh benyak faktor, meliputi bahan organik, kelembaban tanah, struktur serta tekstur.

Menurut Hardjowigeno (2007), makin padat suatu tanah, makin tinggi kepadatan massa tanahnya, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Sebaliknya, makin longgar suatu tanah, makin rendah kepadatan massa tanah, yang berarti makin mudah meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan massa tanah juga menentukan keberadaan tanaman yang tumbuh di atas tanah. Apabila tanah tersebut rusak karena terjadi pemadatan atau tanah menjadi kompak, maka akan menunjukkan kepadatan massa tanah yang tinggi, sehingga sulit bagi tumbuhan untuk tumbuh pada tanah tersebut.

Kepadatan massa tanah juga dipangaruhi oleh tipe tekstur tanah. Menurut Saifuddin (1988), tanah bertekstur halus mempunyai kepadatan massa tanah yang lebih rendah daripada tanah berpasir. Artinya, tanah yang memiliki tekstur liat mempunyai kepadatan massa tanah yang kecil dan tanah yang bertekstur pasir memiliki nilai kepadatan massa tanah yang besar. Hasil uji sampel tanah menunjukkan bahwa secara umum, tekstur tanah pada area yang terganggu injakan motor trail, baik di lokasi hutan pinus maupun hutan alam adalah tanah berliat. Hal ini dikarenakan tanah berlempung yang berada di atasnya hilang karena terkikis oleh gilasan roda motor trail. Tanah berliat memiliki kemampuan menyimpan air dan hara yang sangat tinggi, seperti yang diuraikan oleh Islami dan Utomo (1995). Akan tetapi, karakter dari tanah liat yang sangat melekat serta pori-pori tanah yang kecil, membuat tanah yang mengandung liat sulit untuk ditembus oleh akar tumbuhan, terutama tumbuhan bawah. Hal ini mengakibatkan proses pertumbuhan dari tumbuhan bawah akan terhambat. Dengan kata lain, adanya gangguan berupa injakan motor trail menyebabkan pertumbuhan dari tumbuhan bawah terhambat.

Perbedaan tingkat kemiringan lahan pun mempengaruhi perbedaan pemadatan tanah pada suatu area. Kemiringan lahan yang lebih tinggi menyebabkan pemadatan tanah terjadi lebih besar dibandingkan pada lahan datar atau lahan dengan tingkat kemiringan lahan lebih rendah. Besarnya nilai kepadatan massa tanah pada area terganggu terutama pada area dengan kemiringan yang lebih

165

tinggi diakibatkan laju kendaraan yang dipercepat atau pengereman yang dilakukan pengendara saat menanjak atau menurun. Menurut Cesford (1995), roda menerapkan daya geser ke tanah, baik selama percepatan maupun pengereman. Semakin tinggi nilai kepadatan massa tanah, semakin padat suatu tanah, maka semakin sulit bagi tanah untuk meneruskan air dan sulit bagi tumbuhan untuk tumbuh karena tanah sulit untuk ditembus oleh akar tumbuhan, terutama tumbuhan bawah. Seperti yang diungkapkan oleh Hardjowigeno (1993), pada tanah-tanah dengan kepadatan massa tanah tinggi akar tanaman tidak dapat menembus lapisan tanah tersebut.

Pemadatan tanah yang terjadi selanjutnya akan menimbulkan dampak yang lebih besar, yaitu terjadinya erosi. Menurut Cole (1986), pemadatan tanah dapat mengurangi tingkat infiltrasi air yang mengarah ke peningkatan air hujan dan erosi. Cole (1986) juga mengatakan bahwa erosi adalah dampak yang sangat serius akibat dari penggunaan kendaraan off-road. Hal ini dikarenakan erosi dapat mengangkut dan memindahkan bahan organik dari area yang terganggu ke area lain. Sehingga bahan organik sebagai pendukung pertumbuhan dari tumbuhan akan hilang dan mengakibatkan terganggu bahkan terhambatnya proses pertumbuhan dari berbagai jenis tumbuhan yang ada pada area yang terganggu.

Maning pada Water Resources Bulletin, 15(1):30-43 dalam Dhewantara (2005) menguraikan bahwa dampak injakan motor trail terhadap kondisi tanah diawali dengan hilangnya serasah dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya erosi, seperti yang ditampilkan dalam bagan pada Gambar 6.

Gambar 6. Siklus Dampak pada Tanah yang Dihasilkan oleh Injakan

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Perum Perhutani Jabar Banten yang telah memberikan izin lokasi penelitian, komunitas Trabas atas informasi mengenai kegiatan off-road motor trail, serta Tim Ekologi Tumbuhan Biologi Unpad yang telah membantu dalam pengumpulan data selama penelitian.

166

DAFTAR PUSTAKA

American Hiking Society. 2007. Motorized Recreation-Off-Road Vehicle Use on Public Lands Policy. American Hiking Society’s Board of Directors. US.

Cessford. 1995. Off-Road Impacts of Mountain Bikes. Department of Conservation. New Zealand. Cole. 1986. Resource Impacts Caused By Recreation. The President’s Commission on Americans

Outdoors. Montana.

Dhewantara. 2005. Dampak Injakan Manusia (Trampling) Terhadap Vegetasi Bawah.Skripsi. UNPAD. Jatinangor.

Growcock. 2005. Impacts of Camping and Trampling on Australian Alpine and Subalpine Vegetation and Soils. School of Environmental and Applied Sciences. Australia.

Hardjowigeno. 1993. Klasifiaksi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta.

Islami dan Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang. Kutiel, Eden dan Zhevelev. 2000. Effect of experimental trampling and off-road motorcycle traffic

on soil and vegetation of stabilized coastal dunes, Israel. Environmental Conservation (2000), 27:1:14-23 Cambridge University Press.

Lathrop. 2003. Ecological Impacts of Mountain Biking : A Critical Literature Review. Wildlands CPR. Missoula.

Odum. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pratt. 1997. The Effect Human Trampling on Three Vegetation Comminities in Mount Elgon National Park. http://www.see.leeds.ac.uk/misc/elgon/tramp ling.html.

Purwaningtias. 2006. Pengaruh Injakan Pengunjung Terhadap Tumbuhan Bawah dan Kondisi Tanah Di Jalan Setapak Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Skripsi. UNPAD. Jatinangor. Saifuddin. 1988. Kimia Fisika Pertanian. CV Buana. Bandung

Smith dan Dickson. 1990. Contributions of Vehicle Weight and Ground Pressure to Soil Compaction. Journal of agricultural engineering research, 46, 13-29

167 EK-16

PENILAIAN KUALITAS PERAIRAN SITU AGATHIS MENGGUNAKAN