• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI

A. Pembuktian Kesaksian Oleh Saksi Akta di Depan Persidangan 79

Keterangan saksi atau suatu kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.

Keterangan yang harus diberikan oleh saksi di depan persidangan adalah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian. Hal ini sesuai dalam ketentuan Pasal 1907 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.135Jadi dengan kesaksian yang diambil dari pendapat atau perkiraan yang diperoleh dengan jalan pikiran, bukanlah suatu kesaksian.

Hakim dalam melihat alat pembuktian saksi, berdasarkan Pasal 1908 KUHPerdata diharuskan memperhatikan kesamaan/penyesuaian antara keterangan para saksi, penyesuaian antara keterangan-keterangan dengan apa yang diketahui dari

135 Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan, alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat maupun perkiraan perkiraan khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran, bukanlah kesaksian, Lihat dalam R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Pada Pasal 1907 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal. 482.

segi lain tentang perkara, sebab-sebab yang mendorong para saksi mengemukakan keterangannya, pada cara hidupnya, kesusilaannya, kedudukan para saksi dan segala apa yang berhubungan dengan keterangan yang dikemukakan.

Keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu:136

1. Syarat Formil

Dalam syarat formil keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa akan memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Dalam hal mengucapkan sumpah atau janji menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3); “Sebelum saksi memberi keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau janji.

Adapun sumpah atau janji, yaitu :137

a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing.

b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberi keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.

Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak : “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan

136http://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%20II.pdf, diakses pada tanggal 19 Maret 2016.

137M.Yahya Harahap, Op. cit., hal. 286.

keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim”, Ini tidak berarti merupakan kesaksian menurut undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat keyakinan Hakim.

2. Syarat Materil

Pasal 1 angka 27 Jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP dimana ditentukan bahwa:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.”

Dalam hal ini haruslah diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan isi pasal yang dikemukakan diatas, yakni jika dijabarkan poin-poinnya adalah sebagai berikut :

1) Yang saksi liat sendiri;

2) Saksi dengar sendiri;

3) Saksi alami sendiri;

4) Serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.

Penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185 KUHAP, bahwa:138 1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan (testimony)

2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya

138Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Hakim harus mampu melihat apakah saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan itu memang sudah memberikan kesaksian yang sebenarnya atau terdapat kepalsuan di dalam kesaksiannya. Hakim juga harus melihat apa penyebab mengapa saksi tersebut memberikan kesaksian palsu. Apakah diancam dari pihak lain ataukah adanya sebab-sebab lain yang membuatnya harus memberikan keterangan palsu berkaitan dengan akta yang disengketakan.

Demikian pula saksi yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan, sebagaimana menurut Pasal 174 KUHAP, yaitu:

(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, Hakim Ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman

pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.

(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, Hakim Ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan palsu.

(3) Dalam hal demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh Hakim Ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.

(4) Jika perlu Hakim Ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Adapun yang dimaksud dengan keterangan palsu yang tercantum di dalam akta autentik adalah suatu keterangan-keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang bertentangan atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Keterangan palsu yang terdapat dalam suatu akta umumnya berasal dari para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya dan merugikan pihak lain. Perbuatan ini dilakukan oleh para pihak/penghadap dengan cara sengaja yakni pada saat para pihak/penghadap datang dan menghadap kepada Notaris untuk meminta dibuatkan akta, di mana para pihak/penghadap tersebut memberikan keterangan-keterangan dan identitas yang tidak benar serta surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar.

Adapun beberapa hal yang terkait dengan saksi ialah:139

1. Pembuktian dengan satu saksi, tanpa alat bukti lain tidak boleh diterima (Unus Testis Nullus Testis) Pasal 1905 KUHPerdata

139Bambang sugeng A.S dan Sujayadi., Op.Cit., hal. 72

2. Setiap saksi harus menerangkan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan dan dialami sendiri

3. Saksi tidak boleh menerangkan tentang pendapat, kesimpulan, dan dugaan saksi

Dalam menimbang keterangan saksi, Hakim harus menimbang dan memerhatikan dengan sungguh-sungguh segala hal, pekerjaan, kehidupan saksi, agar dapat memperoleh keterangan saksi yang benar. Beberapa ketentuan tentang cara memperoleh keterangan saksi yang benar, misalnya:140

1. Pasal 144 HIR

a. Saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang

b. Hakim menanyakan pada saksi tentang nama saksi, pekerjaannya, umurnya, alamatnya, apakah ada hubungan darah/semenda dengan kedua belah pihak atau salah satunya, apakah saksi ada hubungan kerja dengan menerima upah dengan salah satu pihak.

2. Pasal 172 HIR

Dalam hal menimbang nilai kesaksian, Hakim haruslah memerhatikan dengan sungguh-sungguh persesuaian keterangan saksi, segala hal yang mungkin dapat memengaruhi saksi memberikan keterangan, kehidupan saksi, kebiasaan

140Bambang sugeng A.S dan Sujayadi, Ibid., hal. 72-73

saksi dan segala hal yang dapat menyebabkan saksi dapat dipercaya atau tidak. .

3. Pasal 146 HIR

1) Orang yang boleh minta undur diri dari memberi penyaksian, yaitu : a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan

perempuan dari salah satu pihak

b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak

c. Sekalian orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang salah satu diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal, yang diberitahukan kepadanya karena martabat pekerjaan atau jabatan itu sendiri.

2) Pengadilan Negerilah yang akan menimbang benar atau tidaknya keterangan orang bahwa ia diwajibkan akan menyimpan rahasia itu.

Orang-orang yang memiliki hak undur diri itu boleh meminta dibebaskan dari memberikan kesaksian, namun apabila mereka bersedia memberikan kesaksian, mereka diperbolehkan memberikan kesaksian di muka pengadilan.

Sebagaimana diketahui bahwa kuantitas Notaris sangatlah tinggi, oleh karenanya pelanggaran-pelanggaran terhadap pembuatan akta cenderung sangat sering terjadi. Setiap perbuatan melanggar hukum tentunya harus mengalami proses

Penyilidikan141, Penyidikan142 dan Persidangan serta proses hukum lainnya, baik itu secara perdata maupun pidana. Terkait dengan hal-hal yang demikian, sering kali permasalahan tersebut masuk dalam ranah hukum pidana. Sengketa hukum ini tentunya tidak hanya berimplikasi pada Notaris yang membuat akta saja, tetapi juga berimplikasi pada akta itu sendiri.

Permasalahan hukum yang telah memasuki ranah hukum pidana tentunya menyebabkan Notaris pembuat akta yang bermasalah tersebut dapat menjadi tersangka maupun seorang saksi, yang selanjutnya menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan status akta Notaris itu sendiri.

Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana, maka Notaris harus mempertanggungjawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu.143

141 Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Lihat dalam Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 101.

142 Pada penyidikan titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Lihat dalam Yahya Harahap, Ibid., hal. 109.

143 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 30.

Notaris yang tidak jarang terjerat kasus hukum dalam menjalankan tugasnya, dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Aturan-aturan tersebut termuat di dalam UUJN yang secara jelas mengatur setiap tindakan seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya. Pemerintah juga mengadakan pengawasan pada Notaris agar seorang Notaris tidak bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.

Menurut Sujamto, pengawasan dalam arti sempit adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.

Sedangkan pengawasan dalam arti luas adalah sebagai pengendalian, pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya.144

Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia, pengawasan terhadap Notaris selalu dilakukan oleh lembaga peradilan dan pemerintah, bahwa tujuan dari pengawasan adalah agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.145

144Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), hal. 53.

145G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 301.

Tujuan lain dari pengawasan terhadap Notaris, bahwa Notaris dihadirkan untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta autentik, sehingga Notaris sendiri dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab dalam tugas jabatannya menjalankan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Hal ini tidak terlepas dari peranan masyarakat untuk mengawasi dan senantiasa melaporkan tindakan Notaris yang dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku kepada Majelis Pengawas Notaris setempat.

B. Perbedaan Saksi Instrumenter dalam Akta dan Saksi di Luar Instrumenter Peresmian akta Notaris mengharuskan adanya dua orang saksi untuk turut hadir dalam menyaksikan pembacaan akta serta membubuhkan tanda tangan agar akta tersebut dapat menjadi akta yang autentik. Pengertian saksi yang ada di dalam lembaga Notaris terdapat 2 (dua) jenis, yaitu saksi instrumenter dan saksi Attesterend.

Saksi instrumenter adalah saksi dalam akta Notaris yang merupakan para saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta.146 Para saksi ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrument) itu dan itulah sebabnya dinamakan saksi instrumenter (instrumentaire getuigen) dengan jalan membubuhkan tanda tangan, memberikan kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang diharuskan oleh undang-undang, yang disebutkan dalam akta itu dan yang disaksikan oleh para saksi.147

146G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal.168.

147G.H.S. Lumban Tobing, Ibid.

Saksi Attesterend/saksi pengenal, yakni saksi yang memperkenalkan penghadap kepada Notaris dikarenakan penghadap tersebut tidak bisa dikenal oleh Notaris atau dikarenakan tidak memiliki identitas atau Notaris meragukan identitasnya, maka Notaris minta diperkenalkan oleh saksi attesterend. Pengenalan penghadap tersebut harus dinyatakan dalam akta.

Untuk seorang penghadap yang tidak dikenal maka disyaratkan ada satu orang saksi attesterend, sedangkan bila terdapat lebih dari 2 (dua) orang penghadap, maka mereka dapat saling memperkenalkan kepada Notaris.

Dengan demikian, dalam salah satu atap verlidjen yaitu pada saat penandatanganan akta, seorang saksi attesterend tidak diharuskan menandatangani, namun apabila mereka tetap ingin membubuhkan tandatangannya tidak ada larangan untuk hal tersebut.148

Saksi Instrumenter yang tidak lain adalah Karyawan Notaris149 itu berperan sebagai saksi instrumenter dalam peresmian akta, sudah masuk dalam lalu lintas hukum yang memiliki akibat hukum, sehingga apabila suatu akta Notaris dikemudian hari terjadi masalah atau kasus maka karyawan Notaris dengan sendirinya ikut terlibat dalam masalah atau kasus tersebut.

Sebagaimana saksi dalam kasus lain, maka karyawan Notaris150sebagai saksi dalam kasus akta Notaris juga harus mendapat perlindungan hukum dan harus

148G.H.S. Lumban Tobing, Ibid., hal. 204

149R. Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit., hal. 139.

150http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20316810-T31529-Perlindungan%20hukum.pdf diakses pada tanggal 09 September 2016.

dijamin keselamatannya dalam hal terjadi kasus atau gugatan di Pengadilan, terhadap suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi. Walaupun tindakan karyawan Notaris sebagai saksi instrumenter dalam peresmian akta Notaris sudah termasuk dalam bidang kenotariatan, akan tetapi Undang-undang Jabatan Notaris tidak memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam peresmian akta, terutama terhadap karyawan Notaris.

Hal tersebut karena di dalam UUJN yang mendapat perlindungan hukum hanya Notaris, sehingga perlindungan hukum terhadap karyawan Notaris sebagai saksi instrumenter dalam peresmian akta Notaris tidak ditemukan dalam undang-undang tersebut. Dengan tidak adanya pengaturan dalam Undang-undang-undang Jabatan Notaris tentang perlindungan bagi karyawan Notaris yang menjadi saksi instrumenter dalam peresmian akta, maka perlindungan hukum terhadap karyawan Notaris yang berperan sebagai saksi tersebut baru dapat ditemui dalam ketentuan diluar peraturan jabatan Notaris, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Walaupun dalam undang-undang tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai saksi dalam peresmian akta Notaris, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat diaplikasikan terhadap kedudukan karyawan Notaris sebagai saksi instrumenter dalam peresmian akta. Undang-undang tersebut bersifat

menyeluruh untuk seluruh saksi yang dipanggil dalam suatu proses perkara di pengadilan.151

Dalam hal diperkenalkannya para saksi kepada Notaris tidak cukup hanya dengan menunjukan identitas saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah kecakapan untuk bertindak sebagai saksi dan memenuhi syarat-syarat sebagai saksi sesuai Pasal 40 UUJN. Apabila ada salah satu dari persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka Notaris berwenang untuk menolaknya demi untuk menjamin otensitas suatu akta yang akan dibuatnya. Untuk menjaga keautentikan dari akta Notaris, maka Notaris harus berhati-hati dalam hal menghadirkan dan mendudukkan orang sebagai saksi dalam hal memberikan kesaksian suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta Notaris. Sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (3), yaitu saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangan kepada Notaris oleh penghadap.

Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, misalnya sebagai teman atau sudah kenal lama, kalaupun para penghadap sudah dikenal sebelumnya oleh Notaris, hal ini merupakan nilai tambah untuk Notaris saja, tapi kenal yang dimaksud dalam arti yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan Notaris dan juga dengan bukti-bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada Notaris. Para pihak juga harus memiliki

151Berdasarkan Wawancara dengan Notaris/PPAT Bapak Suprayitno, SH, MKn., pada tanggal 15 Agustus 2016

kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum yang nantinya akan disebutkan di dalam akta. Sehingga diharapkan tidak akan terjadi sengketa di kemudian hari yang mengakibatkan para pihak atau Notarisnya sendiri terjerat kasus hukum, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

C. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Instrumenter dalam Memberikan