• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI

C. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Instrumenter dalam

Keberadaan saksi di Indonesia diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, yakni Pasal 164 sampai Pasal 172 Bab kesembilan HIR stb.1941 No.44, yang mengatur tentang saksi dalam suatu pemeriksaan perkara dalam proses persidangan untuk perkara perdata yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Serta terdapat pula dalam Rbg. Stb.1927 No.227 tentang saksi pada Bab keempat tentang tata cara mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama menjadi wewenang Pengadilan Negeri serta Bab kelima tentang bukti dalam perkara perdata.152

Selanjutnya tentang saksi juga diatur di dalam KUHPerdata pada Buku keempat Bab ketiga tentang pembuktian dan saksi dalam Pasal 1895 KUHPerdata, 1902 KUHPerdata, dan Pasal 1904 sampai 1912 KUHPerdata. Pengaturan tentang saksi juga terdapat di dalam KUHAP diantaranya Pasal 1 angka 26, Pasal 159 sampai dengan Pasal 158 KUHAP.153

152 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/57491/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada tanggal 19 Maret 2016.

153 Irenrera Putri, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/131194-T,pada tanggal 19 Maret 2015.

Saksi instrumenter dalam memberikan keterangan perihal akta yang disengketakan, mendapatkan perlindungan sebagaimana Notaris jika dijadikan saksi di depan persidangan. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan secara jelas bahwa seseorang mendapatkan perlindungan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sejak dimulainya penyelidikan hingga berakhirnya proses.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang terdapat dalam Pasal 3 menerangkan bahwa undang-undang ini berdasarkan atas:154

a. Asas Perlindungan.

Maksud dari asas ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik maupun mental.

b. Hak Atas Rasa Aman.

Dalam hak ini termasuk pula hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi

c. Hak Atas Keadilan.

Tersangka dan terdakwa telah diberikan seperangkat hak dalam KUHAP dan seyogyanya seorang saksi harus pula mendapat keadilan.

d. Penghormatan Atas Harkat dan Martabat Manusia.

154Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin,Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), hal. 174.

Peran seorang saksi selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai dari penegak hukum walaupun ia berperan besar dalam mengungkapkan suatu tindak pidana.

Pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa “Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”. Hal ini membuktikan bahwa Saksi dalam memberikan keterangan di persidangan, akan dijamin keselamatannya oleh undang-undang dan diberikan perlindungan bukan hanya dirinya pribadi saja, melainkan keluarga dan harta benda juga masuk ke dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

LPSK dalam menjalankan tugasnya, memiliki wewenang sebagai berikut:155 a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain

terkait dengan permohonan;

b. menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;

c. meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;

e. mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. mengelola rumah aman;

g. memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;

h. melakukan pengamanan dan pengawalan;

i. melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan;

j. melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.

155 Pasal 12A ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam hal seorang Notaris dijadikan sebagai saksi di depan persidangan, Penyidik yang memanggil Notaris untuk diperiksa, harus mengikuti proses yang dibuat pemerintah sebagai pengawasan Notaris. Pengawasan untuk Notaris dalam hal ini dilakukan oleh MPD. Dalam melakukan pemeriksaan Notaris atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, MPD akan bersidang dan menilai tindakan Notaris dalam akta Notaris yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Hukum Kenotariatan Indonesia.

Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, pengawasan terhadap Notaris mengenai tindakan Notaris dalam akta hingga dilakukannya pemeriksaan oleh tim penyidik, penuntut umum maupun Hakim, beralih kepada Majelis Kehormatan Notaris (atau yang selanjutnya disebut MKN).

Ketika MKN tidak mengizinkan seorang Notaris untuk memenuhi panggilan penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan alasan Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta telah sesuai dengan prosedur pembuatan akta yang benar bedasarkan UUJN, maka untuk Notaris yang bersangkutan telah selesai perbuatan hukumnya. Artinya, akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal, dan materil.

Dalam menjalankan tugasnya, Majelis Kehormatan Notaris Pusat memiliki kewenangan, yaitu melaksanakan pembinaan terhadap Majelis Kehormatan Wilayah

yang berkaitan dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Pusat mempunyai fungsi melakukan pengawasan terhadap Majelis Kehormatan Notaris Wilayah.

Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:

a. melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim; dan

b. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan pembinaan dalam rangka:

a. menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya; dan

b. memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta.

Tugas pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Kohormatan Notaris tidak lepas dari pada penegakan Etika Notaris, meliputi norma agama, norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.

Peran penting dari lembaga MKN ini adalah “menggantikan” peran MPD dalam menyetujui atau menolak pemanggilan Notaris dan pengambilan fotokopi protokol Notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. MKN ini merupakan

badan yang bersifat independen dalam mengambil keputusan yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan atau pembinaan dalam rangka memperkuat institusi Notaris dalam menegakkan Undang-Undang Jabatan Notaris bagi setiap orang yang menjalankan jabatan sebagai Notaris. Mengenai tugas dan kewenangan MKN ini sebenarnya belum diatur secara tegas di dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan. Namun kewenangan MKN telah diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris.

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN DALAM AKTA NOTARIS

A. Akibat Hukum Bagi Saksi dalam Hukum Pidana

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi pelakunya.156

Adapun unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut:157 a. Perbuatan (manusia)

Yaitu perbuatan yang terjadi karena kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh pelaku

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (Syarat formil)

Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana, suatu perbuatan harus memenuhi rumusan dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan ketentuan asas legalitas yaitu bahwa tidak ada perbuatan yang tidak dilarang dan diancam dengan pidana, apabila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perbuatan perundang-undangan.

c. Bersifat melawan hukum (syarat materil)

Disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, sebab bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan yakni masyarakat yang bahagia, adil dan sejahtera.

Secara umum tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif berupa:158 a. Kejahatan (Rechtdelicht);

156 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:

PT. Pradnya Paramita, 1995), hal. 15

157 Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center For Documentation and Studies of Business Law (CDBSL), 2003), hal. 143-147

158Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:

UMM Press, 2009), hal.117.

Kejahatan merupakan suatu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan tersebut diancam pidana dalam suatu undang ataupun tidak. Meskipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, namun perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.

b. Pelanggaran (wetsdelicht);

Pelanggaran merupakan suatu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, dikarenakan undang-undang merumuskannya sebagai suatu delik.

Munir Fuady mengemukakan :

“Perbuatan melawan hukum termasuk setiap berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan bertentangan dengan tata susila, dengan kepatutan, kebiasan dan undang-undang, maka orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti rugi.”159

Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa:

1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian.

159 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 4

2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan.

3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum.

b. Unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia, berupa:

1. Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid).

2. Kesalahan (schuld).160

Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa adanya pencabutan hak, dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang menyatakan mengenai adanya suatu pencabutan hak. Pada Pasal 38 KUHP lebih menekankan adanya sanksi tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena dalam prakteknya dan dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak ditemukan sanksi tambahan berupa

160 Liliana Tedjosapatro, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, (Semarang: CV Agung, 1991), hal. 51.

pencabutan hak seorang Notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik.

Perihal saksi dan kesaksian, dalam konteks kasus pidana telah diatur secara jelas dalam KUHP atau Wetboek van Strafrecht (Bahasa Belanda) dan dalam UU No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dikenal dengan nama KUHAP.

Ketentuan pidana ini (materi dan acara) merupakan hukum positif di Indonesia, atau hukum/ketentuan yang berlaku saat ini.

Dalam hukum kenotariatan, tidak jarang para pihak mencantumkan keterangan palsu baik dalam akta maupun di persidangan. Perbuatan hukum tersebut tidak jarang menarik Notaris turut menjadi saksi maupun korban dalam hukum pidana, yang kemudian dapat menimbulkan Notaris tersebut terkena hukuman pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Notaris tidak akan dapat dituntut jika nantinya akta yang ia buat itu mengalami masalah mengenai keterangan palsu yang diberikan oleh para pihak.

Notaris akan terlindung dari sengketa suatu akta jika ia tidak ikut turut serta memberikan keterangan palsu atau mencantumkan keterangan palsu dari para pihak ke dalam akta autentik tersebut. Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008 menerangkan kesalahan para pihak pembuat akta yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu perihal masih adanya hak dari Tuan Kosin Kunardi selaku mantan suami dari terdakwa Ny. Idahjaty Kusni atas Villa yang terletak di Desa Sindanglaya, Kabupaten

Cianjur. Tanpa sepengetahuan dari Tuan Kosin Kunardi, Ny. Idahjaty menjual Villa tersebut kepada Ny. Lina selaku pembeli dengan harga Rp. 375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah), dan membuatkan akta jual beli di hadapan Notaris Sri Madiathie dengan menyembunyikan perihal kesepakatan yang pernah dibuat saat keduanya masih dalam status pernikahan.

Kesepatakan itu menyatakan bahwa villa tersebut nantinya akan dijual dan dibagi rata. Sementara Ny. Idahjaty tanpa meminta persetujuan Tuan Kosin, langsung menjual villa tersebut dengan membawakan Surat Putusan Pengadilan yang berisikan bahwasanya Ny. Idahjaty telah mendapatkan persetujuan dari Tuan Kosin mengenai penjualan villa tersebut. Padahal kenyataannya Tuan Kosin sendiri tidak mengetahui perihal penjualan tersebut.

Merujuk dari contoh kasus di atas terlihat jelas bahwa Notaris dalam menjalankan tugasnya dapat terjerat kasus hukum yang diakibatkan kesalahan dari para pihak di dalam akta. Notaris dalam membuat akta autentik, hanya berdasarkan keterangan dari para pihak yang datang menghadap kepadanya.161 Notaris tidak mempunyai kewajiban untuk meneliti suatu objek yang menjadi dasar dalam pembuatan akta secara mendalam.162 Notaris hanya berdasarkan dari identitas para pihak, keterangan dan bukti surat-surat yang dimiliki oleh para pihak untuk nantinya dimasukkan ke dalam akta autentik.

161 Berdasarkan Wawancara dengan Notaris/PPAT Bapak Suprayitno, SH, MKn., pada tanggal 18 Agustus 2016

162Berdasarkan Wawancara dengan Notaris Ibu Mufida Noor, SH., pada tanggal 11 Agustus 2016

Menurut Habib Adjie, dalam perkara pidana seringkali Notaris dijerat dengan Pasal dalam KUHP sebagai berikut:

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP)

2. Melakukan pemalsuan terhadap akta autentik (Pasal 264 KUHP)

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta autentik (Pasal 266 KUHP)

4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayar (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP)

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP)

Dalam Ketentuan Pasal 266 KUHP, diatur mengenai keterangan palsu yang berbunyi:

1. Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun

2. Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya benar dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Sementara itu, di dalam Pasal 242 KUHP diatur mengenai hal yang sama, yang berbunyi:

1. Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, dengan lisan atau tulisan, secara pribadi atau melalui kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

2. Bila keterangan palsu di atas diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

Unsur-unsur dari tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana, yang diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, adalah sebagai berikut:

1. Dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas/di bawah sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian;

2. Dengan sengaja;

3. Memberi keterangan palsu di atas/di bawah sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, nantinya akan ada tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap saksi yang bersangkutan telah selesai. Selama saksi itu masih diperiksa, saksi tersebut masih dapat menarik kembali keterangannya.

Jika saksi menarik kembali keterangannya sebelum pemeriksaan terhadap dirinya sebagai saksi belum selesai, maka belum terjadi tindak pidana sumpah palsu yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP.

Pasal-pasal dalam KUHAP yang berkenaan dengan tindak pidana sumpah palsu adalah Pasal 163 dan 174. Dalam Pasal 163 KUHAP ditentukan bahwa, “Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, Hakim Ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang.”163

Demikian pula saksi yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan, sebagaimana menurut Pasal 174 KUHAP, yaitu:164

a. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.

b. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan palsu.

c. Dalam hal demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntu umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.

d. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

B. Akibat Hukum Bagi Saksi dalam Hukum Perdata

Dalam proses Hukum Acara Perdata, Hakim berperan menerapkan Hukum Pembuktian dalam 4 (empat) klasifikasi, yaitu:165

163 Abdul Hakim G. Nusantara, et al, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, (Djambatan: Jakarta, 1986), hal. 57.

164Ibid., hal. 59.

165 H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Terori Praktek dan Yurisprudensi Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2012), hal. 7

1. Menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya di antara kedua belah pihak yang disengketakan

2. Membebankan pembuktian kepada salah satu pihak atau kepada kedua belah pihak

3. Memberikan penilaian atas alat-alat bukti dengan/atas hubungan hukum di antara pihak-pihak

4. Menemukan hukum di antara persengketaan kedua belah pihak.

Dalam hukum pembuktian tercakup berbagai materi Hukum Pembuktian yang memerlukan landasan operasional, terutama terletak pada asas-asas. Pada hukum acara perdata, asas-asas pembuktian tersebut adalah:166

1. Hakim bersifat menunggu (Pasal 118 HIR)

Asas ini memuat ketentuan bahwa proses peradilan baru berjalan jika ada pencari keadilan yang menuntut haknya. Dalam proses peradilan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan bahwa Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili dengan dalil Hakim tidak atau kurang jelas karena ada anggapan bahwa Hakim belum tahu akan hukumnya (ius curia novit).

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa para Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hidup dalam masyarakat.

166H.P. Panggabean, Ibid., hal. 27-31

2. Hakim Pasif

Asas ini menentukan batasan terhadap Hakim sehingga ruang lingkup pemeriksaan dan pemutusan perkara terikat pada peristiwa dalam sengketa yang diajukan pencari keadilan (secundum allegata iudicare).

3. Sifat terbukanya persidangan

a) Pasal 179 ayat (1), yang menentukan asas terbukanya persidangan untuk umum dengan tujuan terjadinya objektifitas peradilan.

b) Persidangan juga dapat dilakukan tertutup jika ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila ada alasan-alasan yang penting menurut perintah Hakim.

4. Mendengar kedua belah pihak

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 memuat asas “Audi et alteram partem”, yaitu ketentuan bahwa kedua belah pihak harus diperlakukan sama sehingga pengakuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.

5. Putusan harus disertai alasan-alasan :

1. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan peraturan yang dijadikan dasar untuk mengadili, sehingga peraturan itu dapat dinilai memiliki nilai objektif

2. Dalam praktik peradilan, penilaian atas ada atau kurang adanya alasan-alasan peraturan yang menjadi dasar putusan sangat sering dijadikan

sebagai alasan pembatalan di tingkat kasasi sebagai alasan onvoldoende gemotiveerd, yaitu tidak cukup dipertimbangkan

3. Dalam sistem peradilan, putusan Hakim sering didasarkan pada dukungan Jurisprudensi. Dalam praktik sehari-hari Hakim mengikuti Jurisprudensi melalui pola pikir “the persuasive force of precedent” artinya pendirian atau keyakinan Hakim yang menerima putusan terdahulu sebagai pedoman untuk memutuskan perkara yang sejenis.

6. Beracara dikenakan biaya

Asas pembebanan biaya perkara yang dimaksud dalam hal ini dipelukan untuk:

a. Biaya kepaniteraan

b. Biaya pemanggilan pihak-pihak c. Biaya materai

d. Biaya jasa pengacara, mediator 7. Tidak ada keharusan mewakilkan

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUHPerdata yang berbunyi ”Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti

Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUHPerdata yang berbunyi ”Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti