BAB II KEDUDUKAN SAKSI INSTRUMENTER DALAM AKTA
C. Syarat-Syarat Menjadi Saksi Dalam Akta Notaris dan Saksi
Ketentuan bahwa dalam pembacaan akta Notaris harus dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, hal ini sejalan dengan Asas yang diatur dalam pasal 169 HIR/Pasal 306 RBg yang berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.” Namun Undang-Undang HIR yang kini telah dihapuskan dan diganti dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga telah menjelaskan mengenai keterangan saksi pada Pasal 185 ayat (2), yang berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa keterangan seorang saksi saja adalah tidak cukup untuk membuktikan bahwa dalil yang dikemukakan dalam
104Ibid.
gugatan terbukti. Hal ini sesuai dengan Asas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu Asas Unus Testis Nullus Testis.
Setiap orang pada asasnya wajib menjadi saksi, akan tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Adapun syarat untuk jadi saksi adalah sebagai berikut:105
1. Umur 15 tahun ke atas
2. Sehat akal jiwanya atau tidak ditaruh di bawah pengampuan
3. Bukan keluarga sedarah/semenda menurut garis lurus dengan salah satu pihak yang bersengketa
4. Bukan suami istri salah satu pihak, meskipun sudah cerai
5. Tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah
Syarat-syarat untuk menjadi saksi instrumenter diatur dalam suatu peraturan tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan Staatblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris tersebut telah jelas diatur mengenai saksi instrumenter.
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris di dalam Pasal 40 menetapkan syarat-syarat saksi, sebagai berikut :106
1) Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-perundangan menentukan lain.
2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
b. Cakap melakukan perbuatan hukum;
c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d. Dapat membubuhi tanda tangan dan paraf, dan
105Bambang sugeng A.S dan Sujayadi, Op.Cit., hal. 71
106Pasal 40 Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.
4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.
Dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan dewasa adalah telah berumur 18 tahun atau telah menikah. Seseorang yang akan menjadi saksi harus sudah dewasa. Dewasa dalam hal ini adalah sudah berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, ketentuan tentang usia dewasa ini diatur dalam Pasal 40 ayat (2) huruf (a) UUJN.
Usia dewasa yang ditentukan dalam UUJN tersebut selaras dengan ketentuan dalam KUHPerdata. Namun demikian, batas usia menurut KUHPerdata untuk menjadi saksi harus sudah dewasa dengan usia 15 tahun. Pada intinya kedua Undang-undang tersebut memiliki ketentuan yang sama untuk menjadi saksi, yakni sudah dewasa. Tetapi untuk menjadi saksi dalam peresmian akta, dewasa diartikan berumur 18 tahun atau lebih atau sudah menikah.
Pada dasarnya setiap orang cakap untuk menjadi saksi, kecuali undang-undang menyatakan orang tersebut tidak cakap untuk menjadi saksi. Dalam hal peresmian akta untuk menjadi saksi juga harus memiliki kecakapan. Menurut Pasal 40 ayat (2) huruf b UUJN, untuk menjadi saksi Notaris, seseorang harus memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dan menurut Pasal 1909 KUHPerdata, saksi tersebut wajib untuk memberi kesaksiannya. Namun demikian seseorang yang
memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut tidak dengan sendirinya cakap untuk menjadi saksi.
Dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN tidak disebutkan dengan tegas para saksi yang tidak cakap, namun tersirat ketidakcakapan orang menjadi saksi dari Pasal 40 ayat (2) huruf e UUJN tersebut.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak cakap menjadi saksi adalah orang yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garus lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
Pasal 1910 KUHPerdata dengan tegas mengatakan bahwa ada golongan atau orang-orang tertentu yang dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi dan tidak boleh didengar kesaksiannya ialah para anggota keluarga dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak, begitu pula suami atau istri, sekalipun setelahnya suatu perceraian.
Namun demikian KUHPerdata dalam Pasal 1910 juga memberikan pengecualian terhadap anggota keluarga sedarah dan semenda menjadi cakap untuk menjadi saksi dalam perkara-perkara tertentu, yaitu:
a. Dalam perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
b. Dalam perkara-perkara mengenai nafkah, yang harus dibayar menurut Buku Ke Satu, termasuk pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
c. Dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;
d. Dalam perkara-perkara mengenai suatu perjanjian perburuhan.
Dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud, maka mereka yang disebutkan dalam Pasal 1910 khususnya (a) dan (b), tidak berhak untuk minta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian.
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf c UUJN menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi saksi Notaris adalah harus mengerti bahasa yang digunakan dalam akta. Artinya saksi harus mengerti bahasa yang ada dalam akta agar dapat mengerti juga pembacaan akta yang akan dilakukan oleh Notaris yang berisi kehendak para pihak yang menghadap pada Notaris.
Bahasa dalam pembuatan akta Notaris menggunakan Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam akta adalah Bahasa Indonesia yang tunduk pada kaedah Bahasa Indonesia yang baku.107Apabila Notaris tidak bisa menjelaskan atau menerjemahkannya, akta itu diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang peterjemah resmi.
Peterjemah resmi yang dimaksud adalah peterjemah yang disumpah.
Kemudian jika pihak yang berkepentingan menghendaki bahasa lain dan dipahami oleh Notaris maka akta dapat dibuat dalam bahasa lain tersebut sepanjang saksi juga
107Penjelasan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
memahami bahasa tersebut. Sehingga sewaktu akta dibacakan, yang merupakan kewajiban Notaris, bisa dipahami oleh saksi.
Segera setelah selesai dibacakan oleh Notaris, semua akta Notaris harus dibubuhi tanda tangan oleh para penghadap. Selain itu juga ditandatangani oleh Notaris dan para saksi pada akhir akta tersebut. Dari kalimat tersebut dengan jelas dapat diketahui bahwa pembacaan dan penandatanganan akta merupakan suatu perbuatan yang tidak terbagi-bagi dengan suatu hubungan yang tidak terpisah.
Dengan demikian, tidak diperkenankan bahwa penghadap yang satu menandatangani akta itu pada hari ini dan penghadap lainnya pada esok harinya.
Apabila penandatanganan akta itu dilakukan pada hari-hari yang berlainan, maka tentunya pembacaan dan penandatanganannya itu dilakukan pada hari-hari yang berlainan pula dan dengan demikian akta itu harus pula mempunyai lebih dari satu tanggal, hal mana bertentangan dengan bunyi pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris yang mengatakan “segera setelah akta dibacakan”, persyaratan mana tidak memungkinkan adanya dua tanggal.108Akta itu juga harus ditandatangani oleh penterjemah apabila di dalam pembuatan akta tersebut harus ada penterjemah.109
Menurut Pasal 2 Staatblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, syarat-syarat menjadi saksi instrumenter adalah sebagai berikut :110
a. Para saksi harus dikenal oleh Notaris atau identitas dan wewenang mereka harus dinyatakan kepada Notaris oleh seorang atau lebih dari pada penghadap, dengan kewajiban bagi Notaris untuk memberitahukan hal itu dalam akta
108G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal.168.
109Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
110http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20316810-T31529-Perlindungan%20hukum.pdf
yang bersangkutan; Dikenal dalam arti tidak terbatas pada identitas para saksi tersebut, akan tetapi juga meliputi wewenangnya.
b. Para saksi harus cakap menurut ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah di muka pengadilan. Dalam hal ini yang dianggap cakap adalah berdasarkan pasal 1912 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu telah mencapai umur 15 tahun, tidak dibawah pengampuan juga tidak dalam tahanan.
c. Para saksi harus mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat;
Pasal 944 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa selain mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, saksi harus sudah dewasa dan Warga Negara Indonesia.
d. bahwa selain mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, saksi harus sudah dewasa dan Warga Negara Indonesia.
e. Para saksi harus dapat menulis tanda tangan mereka.