BAB IV : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
4.1.2. Pemerintahan Daerah dan Pengaturan Keuangan Daerah Dalam
Penyelenggaraan otonomi daerah yang dewasa ini diterapkan tidak terjadi begitu saja dan tetap bertumpu pada pengaturan hukum mengenai otonomi daerah yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Otonomi daerah dalam konteks UUD 1945 mengalami pasang surut pengaturan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terus mengalami perkembangan.
Untuk memahami pengaturan otonomi daerah yang diatur dalam UUD 1945 dapat dilihat Penjelasan Umum UUD 1945 sebelum amandemen yang mengungkapan bahwa:
Undang-undang Dasar Negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu negara kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Sebagaimana terungkap bahwa pada tanggal 11 Juli 1945 berlangsung sidang kedua BPUPKI, Muhammad Yamin mengungkapkan konsepsi Pemerintahan Daerah
21
“...Pemerintahan dalam Republik pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu susunan Pemerintah yang paling bawah. Pemerintah ini saya namai pemerintah bawahan.
Dan Pemerintah Pusat akan terbentuk di kota negara, ibu kota Negara Republik Indonesia. Itu saya namai pemerintah atasan. Antara pemerintah atasan dan pemerintah bawahan itu adalah pemerintah daerah yang boleh saya sebut pemerintah tengahan ... desa, negeri-negeri, marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintah Republik Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintah atasan dan pemerintah bawahan, kita pusatkan pemerintah daerah…”98
Secara filosofis dibentuknya pemerintahan daerah (pemerintahan desentralisasi) menurut pandangan Diocletianus, seorang raja yang pernah memerintah di Romawi, adalah untuk mengurangi beban pemerintah pusat, dan menurut Cicero, seorang pemikir Romawi yang ahli bidang politik dan hukum dalam bukunya yang terkenal De res-publica (tentang politik) mengatakan bahwa suatu negara tidak dapat diperintah tanpa adanya keadilan.99
Pada waktu UUD 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945 telah ada pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah, yang diatur dalam Bab VI Pasal 18, dengan ketentuan:
Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Diuraikan dalam penjelasan Pasal 18 yaitu:
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga.
98 I Gede Astawa, op.cit., h. 82-83.
99 Dominikus Rato, 2011, Filsafat Hukum, Mencari, Menenukan, dan Memahami
22
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Daerah-daerah itu bersifat autonom (streek- dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang .
Di daerah-daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat + 250 “zelfsbesturende
landschappen” dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan
Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak dan asal-usul daerah-daerah tersebut. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pembentuk UUD 1945 menghendaki tatanan Pemerintahan Daerah berupa daerah otonom dan demokratis. Lebih jelasnya bahwa pada awalnya yang namanya bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah menurut konsep UUD 1945 dapat dipilah dalam skala, status, dan sifat, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 10:
Skala, Status dan Sifat Pemerintahan Daerah
SKALA STATUS SIFAT
a. daerah besar a. daerah otonom a. daerah biasa b. daerah kecil b. daerah administrasi b. daerah istimewa
Sumber : Ateng Syafrudin, Sekali Lagi Titik Berat Otonomi Akan Diletakkan Pada Daerah Tingkat II.100
100Ateng Syafrudin, 1990, Sekali Lagi Titik Berat Otonomi Akan Diletakkan
23
Bertumpu pada Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 dapat diketahui bahwa yang dimaksud daerah besar adalah propinsi, daerah kecil adalah bagian (daerah) propinsi. Propinsi merupakan daerah besar dari pembagian Daerah Indonesia. Daerah kecil sebagai daerah yang lebih kecil dari provinsi adalah Karesidenan yang zaman Hindia-Belanda (HB) disebut Residentie, zaman pendudukan Jepang disebut
Syu dan yang lebih kecil dari Karesidenan adalah Kabupaten yang zaman Hindia
Belanda dinamakan Regenschap dan zaman Jepang disebut Ken yang disejajarkan dengan Kotapraja yang zaman HB dinamakan District, dan zaman pendudukan Jepang disebut Gun. Dalam Kewedanan ada Kecamatan yang zaman Hindia Belanda disebut Onderdistrict, dan zaman Jepang disebut Son. Ini merupakan bentuk pembagian pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diatur secara hukum.101
Daerah administrasi tidak dimaksudkan untuk mendominasi Pemerintahan Daerah walaupun menjadi materi Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Dalam sudut pandang ilmu hukum, penjelasan suatu pasal, seperti Penjelasan Pasal 18 UUD 1945, tidak boleh membentuk norma baru, tetapi hanya menjelaskan norma yang dijelaskan.102 Pandangan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa dalam hubungan dengan sifat mengikat pasal-pasal dalam batang tubuh undang-undang mengikat dikarenakan sifat normatifnya, sedangkan penjelasan itu mengikat karena sifatnya interpretasi otentik. Untuk itulah merupakan sesuatu yang kontekstual apabila pada Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan tanggal 10 Agustus
101 Ibid.
102 Koesnadi Hardjasoemantri, 1993, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gadjah Mada university Perss, Yogyakarta, h. 13.
24
2002, “Penjelasan UUD 1945” tidak lagi menjadi bagian integral UUD 1945 sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945.
Setelah amandeman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan Pasal 18 menentukan:
Pasal 18:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang .
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kebupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kacuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-undang .
Pasal 18A:
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-undang .
Pasal 18B:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang .
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
25
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang .
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai organ Pemerintahan Daerah harus diatur dalam Undang-undang . Penjabaran ketentuan Pemerintahan Daerah yang diakomodasi oleh perangkat hukum Undang-undang Pemerintahan Daerah mestinya sevisi dengan Pasal 18 UUD 1945.
Bila ditelusuri, dari awal UUD 1945 mempergunakan istilah Pemerintahan Daerah. Berbeda halnya dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menggunakan istilah Pemerintahan di Daerah yang mengesankan adanya motivasi untuk menyeragamkan struktur Pemerintahan Daerah di NKRI. Apabila ditelaah, sebagian besar materi muatan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah mengatur masalah daerah otonom dan wilayah administrasi. Materi muatan demikian memang saat itu sesuai dengan kehendak politik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Maka terhadap hal ini selengkapnya mengenai substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dapat dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 11:
Materi Muatan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
I URAIAN PASAL JUMLAH
1 BAB I PENGERTIAN-PENGERTIAN 1 1 PS. 2 BAB II PEMBAGIAN WILAYAH 2 1 Ps. 3 BAB III DAERAH OTONOM 3-71 69 Ps. 4 BAB IV WILAYAH ADMINISTRATIF 72-87 16 Ps. 5 BABV PEMERINTAHAN DESA 88 1 Ps.
26 6 BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN 89-90 2 Ps. 7 BAB VII ATURAN PERALIHAN - 91-92 2 Ps. 8 BAB VIII PENUTUP 93-94 2 Ps. J u m l a h 94 Pasal
Sumber: diolah dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Konsistensi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 patut dipertanyakan. Dari segi namanya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah Undang-undang Pemerintahan di Daerah, bukan Undang-undang Pemerintahan Daerah. Kata “di” sudah mendapat reaksi dari keras Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI) dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sewaktu membahas Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Namun, Pemerintah tetap saja berpendirian serupa dengan apa yang tercantum pada Penjelasan Umum huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 meski dipersepsi tidak senama dengan Bab VI Pasal 18 UUD 1945: Pemerintahan Daerah.103
Penamaan Bab II Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang berbunyi Pembagian Wilayah jelas telah mengesampingkan namanya sendiri dan mengabaikan UUD 1945:104 Anehnya pemerintah dalam memberikan jawaban atas tanggapan FPP sewaktu membahas RUU Pemerintahan di daerah pada tanggal 17 Juni 1974 tetap saja berpendirian bahwa penggunaan judul Pembagian Wilayah justru dikatakan sepenunya adalah sesuai dan merupakan penjabaran dari Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintahan di Daerah, tidak Pemerintahan di Wilayah,
103 Sujatmo, Achmad Noerdin dan H Soemarno, 1991, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Proses Pembuatan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Rineka Cipta, Jakarta,
27
sehingga lebih tepat digunakan judul Pembagian Daerah. Istilah Bab IV Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974: “Wilayah Administratip” merupakan perusakan bahasa. Dalam bahasa Indonesia, suatu kata adjective dari kata lain tidak mengalami perubahan, seperti: kursi kayu, meja besi, rumah batu, dan sebagainya. Kata administrasi tidak perlu diubah menjadi “administratif atau “administratip”105
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut menentukan bahwa sebagai pelaksanaan asas desentralisasi,” Daerah Otonom dibagi dalam Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Wilayah Administrasi merupakan pelaksanaan dari asas dekonsentrasi, dibagi dalam Wilayah Propinsi dan Ibukota Negara. Wilayah Propinsi dibagi dalam Wilayah Kabupaten dan Kotamadya. Wilayah Kabupaten dan Kotamadya dibagi dalam Wilayah Kecamatan. Dalam Wilayah Kabupaten dapat dibentuk Kota Administrasi.
Dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ditentukan bahwa daerah otonom cukup disebut daerah dan pemerintahannya dinamakan pemerintahan daerah. Organ Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1). Pasal 17 ayat (2) mengatur, pemerintah daerah adalah pejabat negara, dan sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3), menjalankan hak, wewenang dan kewajibannya secara hierarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan menyampaikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD. Pada pasal 76 dan 77 diatur, wilayah dipimpin
105 Rocmat Soemitro, 1989, Masalah Peradilan Administratif Dalam Hukum Pajak di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h. 4.
28
Kepala Wilayah yang disebut Gubernur untuk Provinsi (Ibukota), Bupati bagi Kabupaten, Walikotamadya untuk Kotamadya, Walikota untuk Kota Administrasi, dan Camat untuk Kecamatan. Kepala Daerah, karena jabatannya, sebagaimana ditentukan pada Pasal 79 dan Pasal 80 adalah Kepala Wilayah dan Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah (Pusat) adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan di segala bidang. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 memberikan kewenangan sangat luas kepada Kepala Wilayah yang merupakan wakil Pemerintah Pusat.
Pengaturan daerah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut terlihat tidak memberikan pengaturan tentang organ Pemerintahan Daerah secara layak untuk penyelenggaraan otonomi daerah, karena konstruksi pemerintahan daerah yang bertanggung jawab kepada Presiden, dan rumusan Penguasa Tunggal yang dimaksudkan untuk membina kehidupan di segala bidang telah menciptakan dominasi Pemerintah Pusat atas Pemerintah Daerah.
Pada tanggal 4 Mei 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian pada tanggal 15 Oktober 2004 dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Kedua Undang-undang ini secara terminologis sesuai dengan ketentuan konstitusional UUD 1945. Pengaturan yang terdapat di dalamnya juga telah memberikan pengaturan yang luas tentang substansi organ Pemerintahan Daerah maupun Pemerintahan Desa. Melalui penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah dilakukan perubahan dalam pengaturan Pemerintahan Daerah,
29
seperti pengaturan daerah otonom yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dengan otonomi yang seluas-luasnya. Keseluruhan materi muatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat dipaparkan secara ringkas seperti tabel berikut.
Tabel 12:
Materi Muatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
NO URAIAN PASAL JUMLAH
01 BABI
KETENTUAN UMUM
1 1 Ps.
02 BAB II
PEMBAGIAN WILAYAH NEGARA
2-4 3 Ps. 03 BAB III KEKUASAAN PEMERINTAHAN 5-8 4 Ps. 04 BAB IV URUSAN PEMERINTAHAN 9-26 18 Ps. 05 BAB V
KEWENANGAN DAERAH PROVINSI DI LAUT DAN DAERAH PROVINSI YANG BERCIRI KEPULAUAN 27-30 4 Ps. 06 BAB VI PENATAAN DAERAH 31-56 26 Ps. 07 BAB VII PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH 57-207 151 Ps. 08 BAB VIII PERANGKAT DAERAH 208-235 28 Ps. 09 BAB IX
PERDA DAN PERKADA
236-257 22 Ps. 10 BAB X
PEMBANGUNAN DAERAH
30 11 BAB XI KEUANGAN DAERAH 279-330 52 Ps. 12 BAB XII BUMD 331-343 13 Ps. 13 BAB XIII PELAYANAN PUBLIK 344-353 10 Ps. 14 BAB XIV PARTISIPASI MASYARAKAT 354 1 Ps. 15 BAB XV PERKOTAAN 355-359 5 Ps. 16 BAB XVI
KAWASAN KHUSUS DAN KAWASAN
PERBATASAN NEGARA
360-362 3 Ps.
17 BAB XVII
KERJASAMA DAERAH DAN PERSELISIHAN
363-370 8 Ps. 18 BAB XVIII
DESA
371-372 2 Ps. 19 BAB XIX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
373-383 11 Ps. 20 BAB XX
TINDAKAN HUKUM TERHADAP APARATUR SIPIL NEGARA DI DAERAH
384-385 2 Ps.
21 BAB XXI
INOVASI DAERAH
386-390 5 Ps. 22 BAB XXII
INFORMASI PEMERINTAH DAERAH
391-395 5 Ps. 23 BAB XXIII
DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI
DAERAH 396-397 2 Ps. 24 BAB XXIV KETENTUAN PIDANA 398 1Ps. 25 BAB XXV KETENTUAN LAIN-LAIN 399-400 2 Ps. 26 BAB XXVI KETENTUAN PERALIHAN 401-402 2 Ps. 27 BAB XXVII KETENTUAN PENUTUP 403-411 9 Ps. J u m 1 a h 411 Ps.
Sumber: diolah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah memberikan pengaturan yang konsisten dan luas mengenai
31
penyelenggaraan pemerintahan, yang tidak hanya mengatur tentang urusan, kewenangan, dan perangkat daerah, pelayanan publik, partisipasi masyarakat, perkotaan, kawasan khusus, kerja sama daerah, pembinaan dan pengawasan, tindakan hukum terhadap aparatur sipil negara di daerah, inovasi daerah, informasi pemerintahan daerah, dan dewan pertimbangan otonomi daerah, tetapi juga menyangkut: keuangan daerah dan desa. Luasnya pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menunjukkan pentingnya pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keikutsertaan Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dengan melimpahkan kewenangan kepada daerah sebagai daerah otonom yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah menurut Lukman Hakim106 adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah.
Realitas tersebut merupakan argumentasi strategis dan urgensi melakukan reformasi organ Pemerintahan Daerah107 dengan kata kunci “otonomi yang
berintikan kedaulatan rakyat (demokrasi)”. Pandangan senada tentang otonomi yang demokratis disampaikan oleh Willy D. S. Voll,108 dengan mengatakan bahwa jika tidak ada otonomi dalam arti demokrasi, maka negara modern demokrasi tidak pernah dapat sempurna, karena hal itu berarti bahwa akan terjadi pemusatan
106 Lukman Hakim, 2012, Filosofis Kewenangan Organ & Lembaga Daerah: Perspektif Teori Otonomi& Desentralisasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Press, Malang, h. 144.
107 Soesilo Zauhar, 1996, Reformasi Administrasi: Konsep, Dinamis dan Strategi, Bumi Aksara, Jakarta, h. 44.
108Willy D. S. Voll, 2013, Negara Hukum Dalam Keadaan Pengecualian, Sinar Grafika, Jakarta Timur, h. 78.
32
kekuasaan secara faktual dan itu merupakan sifat dari negara autokrasi (semua diatur dari atas). Bertolak dari pandangan tersebut, maka pengundangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan langkah hukum yang tepat untuk mereorganisasi struktur Pemerintahan Daerah.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, semua propinsi digeneralisir sebagai wilayah administrasi yang tidak berstatus otonom (Pasal 2 dan 72), dengan meletakkan otonomi daerah pada Daerah Tingkat I dan II (Pasal 2 dan 3). Dalam kerangka NKRI, menurut Ateng Syafrudin, idealnya otonomi daerah diletakkan tidak pada daerah setingkat propinsi melainkan pada daerah di bawah propinsi, seperti pandangannya bahwa:
Keadaan demikian dihubungkan dengan perkembangan kekuatan daerah tertentu yang berpotensi besar bila ditambah dengan kelonggaran menurut hukum, dapat menjadikan daerah otonom menjadi daerah “staat” juga apabila komponennya yang potensial tersedia. Potensi geografis dan demografis tingkat kecerdasannya, kekayaan alam dan sumber daya lainnya, totalitasnya ada pada tingkat suatu daerah seperti propinsi. Ini dapat dikuatirkan menimbulkan ancaman atau gangguan terhadap Negara Kesatuan dan Persatuan jika tidak diwaspadai oleh semua pihak melalui pengaturan kebijaksanaan negara, termasuk pengorganisasian pemerintah daerah otonom.109
Pengaturan praktis penyelenggaraan otonomi daerah sewaktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menurut E. Koswara, sebagaimana dikutip oleh Achmad Sjihabuddin dan Arselan Harahap tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II.110 Tatanan dengan “penekanan organ”
109 Ateng Syafrudin, 1990, Sekali Lagi Titik Berat Otonomi Akan Diletakkan Pada Daerah Tingkat ll, Pro Justitia, Nomor 3 Tahun VIII, Juli 1990., h. 63-64.
110 Achmad Sjihabuddin dan Arselan Harahap, Pembangunan Adiministrasi di Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 150
33
otonomi di Daerah Tingkat II (sekarang dapat dibaca Kabupaten/Kota) belum sepenuhnya mewujudkan Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 18 UUD 1945. Status Pemerintah Daerah Tingkat II sekaligus Kepala Wilayah dengan label Penguasa Tunggal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, cenderung menomorsatukan kepentingan Pemerintahan Pusat. Dwifungsi ini amat merepotkan dan menimbulkan ambivalensi sikap Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota).111
Jajak pendapat pernah dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah yang ternyata tidak diabrengi dengan kesiapan semua komponen daerah dalam menata dirinya sesuai dengan makna otonomi daerah, seperti yang ditulis oleh Anung Wendyartaka dengan judul “Jajak Pendapat Kompas: Birokrasi dan Masyarakat Belum Siap”, sebagaimana diberitakan pada Harian Kompas tanggal 30 November 2000 yang menunjukkan bahwa pihak-pihak yang ada di daerah yang tidak siap di era pelaksanaan otonomi adalah:
a. Masyarakat (40%) b. Pemda (21%) c. DPRD (7%) d. Pengusaha (5%) e. Intelektual (4%) f. Tidak tahu (17%) g. Tidak ada (6%).112
Di samping itu diuraikan pula oleh Anung Wendyartaka bahwa persoalan utama yang akan dihadapi daerah saat pelaksanaan otonomi daerah adalah:
a. KKN (Korupsi, Kolusi dan epotisme) meningkat (24%)
111 Suparto Wijoyo, op.cit, h. 24.
112 Anung Wendyartaka, 2000, “Jajak Pendapat Kompas: Birokrasi dan
34
b. Sumber daya manusia tidak mampu/siap (17%) c. Sumber daya alam tidak memadai (8%)
d. Tingkat pendapatan yang tklak merata (8%) e. Kesenjangan sosial (8%)
f. Pertikaian antar kelompok masyarakat (7%) g. Gangguan kantibmas (2%)
h. Berkurangnya lapangan kerja (4%) i. Lainnya (5%)
j. Tidak ada (9%).113
Dalam jajak pendapat tersebut terungkap pula data yang mengenai kekhawatiran responden terhadap dampak pelaksanaan otonomi daerah, yaitu:
a. Korupsi, kolusi dan nepotisme meningkat: 71% khawatir, 23% tidak khawatir dan 6% tidak tahu.
b. Diskriminasi terhadap pendatang: 39% khawatir, 58% tidak khawatir dan 3% tidak tahu.
c. Ketegangan antarkelompok di masyarakat: 38% khawatir, 60% tidak khawatir dan 2% tidak tahu.114
Data di atas menunjukkan adanya sesuatu yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Hal ini berarti dalam setiap implementasi perangkat hukum organ penyelenggaraan Pemerintahan Daerah perlu dan wajib dipikirkan mengenai implikasi praktisnya. Untuk itulah pengkajian tentang otonomi daerah harus terus dikembangkan untuk mencari struktur Pemerintahan daerah yang sejalan dengan NKRI.
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menguraikan bahwa di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan rakyat, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan, maka di daerah otonom
113 Ibid.
35
akan diadakan badan perwakilan rakyat - DPRD. DPRD diformat dalam kerangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom.115
Apabila otonomi diletakkan pada daerah karesidenan, maka DPRD pun hanya ada pada Pemerintahan Daerah Karesidenan. Hal ini tentunya dapat dijadikan alasan untuk menata ulang DPRD pada tingkatan Kabupaten/Kota. Menurut semangat Pasal 18 UUD 1945, daerah otonomi akan diklasifikasi dalam daerah: biasa atau istimewa (khusus) mengingat “hak-hak asal-usulnya”,116 dan menurut Penjelasan Pasal 18 UUD 1945, sifat istimewa meliputi pula Pemerintahan Daerah Tingkat Desa.117
Adanya rumusan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfsbesturende
landschappen” dan “volksgemeenschappen”, seperti Desa di Bali dan Nagari di
Minangkabau, menunjukkan bahwa daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa yang memerlukan pengaturan secara tersendiri. Dalam kerangka pengaturan desa pernah ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, namun materi pengaturannya terkesan ada pembatasan terhadap penghormatan hak-hak asal-usul daerah istimewa sejenis desa, dan menata pemerintahan desa dalam suatu tatanan nasional. Pengaturan tentang desa juga dapat dilihat dalam