BAB III : PENGATURAN RETRIBUSI DAERAH
3.1. Prinsip-prinsip dalam Pengaturan Retribusi Daerah
Prinsip dasar dalam retribusi daerah sangat berkaitan dengan prinsip dasar dari pajak daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam hal ini, prinsip retribusi identik dengan prinsip pajak yaitu pada prinsipnya mengupayakan peningkatan pendapatan daerah untuk kepentingan masyarakat. Perihal utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Maksudnya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada
164
bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (selanjutnya disingkat PAD) khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi.
Dalam rangka peningkatan pendapatan daerah tersebut, prinsip yang digunakan yaitu prinsip yang sama dengan perpajakan yakni prinsip kegotong-royongan. Hal tersebut dapat tersirat dalam konsep perpajakan yang dianut dalam undang-undang perpajakan. Sejak reformasi perpajakan Tahun 1983 telah dimulai era baru dengan sistem self assessment yang esensinya adalah meletakkan kewajiban dan kepercayaan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang kepada negara. Pertimbangan penggantian sistem tersebut di atas tercantum dalam huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagai berikut:
“sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia dalam segi kegotong-royongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai”.
165
Dengan demikian sudah tepat reformasi perpajakan mendasarkan pada prinsip gotong royong yang telah hidup dalam pergaulan masyarakat di Indonesia untuk mewujudkan peran serta wajib pajak memenuhi hak kenegaraan masing-masing. Berkenaan dengan pemahaman bahwa hukum itu adalah sesuatu yang tidak pernah pisah dari kehidupan manusia yang secara kultur bisa berbeda namun justru dalam perbedaan itulah ada nuansa kebersamaan. Untuk hal ini pandangan yang dikemukakan oleh Sudiman Kartohadiprodjo merupakan cerminan untuk penegasan kekeluargaan sebagai berikut:
“...pikiran dalam bidang hukum-dapatkah ini sesungguhnya dipisahkan dari pada fikiran hidup sehari-hari kalau dipahami bahwa hukum itu adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya?-hendak mendasarkannya pada filsafat bangsa ialah Pancasila. Pancasila ini yang bersumber pada penglihatan (Bangsa Indonesia) tentang tempat individu dalam pergaulan hidup yang tertentu yang dilukiskan dalam seloka “kekeluargaan” yang sering diucapkan oleh pemimpin-pemimpin yang didapatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasasl 33 suatu penglihatan seperti “perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan suatu penglihatan yang dilukiskan oleh perumusan/penggali Pancasila, sebagai berikut : Internationalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internationalisme”.
97
137
Demikian juga kutipan tersebut di atas bila dihubungkan dengan reformasi perpajakan sudah tepat bahwa “kekeluargaan” dalam memenuhi kewajiban perpajakan antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak lainnya, dimana wajib pajak yang menikmati fasilitas yang lebih banyak akan membayar pajak lebih besar kepada Negara. Selanjutnya dipertegas lagi dalam penjelasan umum tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan bahwa :
“Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di tanah air kita. Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan diluar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh. Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain : Aturan Bea Meterai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944.
Meskipun terhadap berbagai Peraturan Perundang-undangan Perpajakan sisa-sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena berbeda falsafah yang melatar-belakanginya, serta sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan Perundang-undangan tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita Bangsa dan Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan sekarang ini”.138
137 Sudiman Katohadiprodjo. 1981, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT Pembangunan Ghalia Indonesia, Bandung, h. 7.
138 Direktorat Jenderal Pajak, 1983, Undang-Undang Dan Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, h. 24.
98
Berlandaskan pada kutipan di atas reformasi perpajakan sudah saatnya meninggalkan sistem yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia karena begitu pentingnya peranan pajak dalam konteks kontributor utama mengisi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (selanjutnya disingkat APBN) dilandasi dengan asas gotong royong, berikut ini pernyataan yang mempertegas arah dan kebijaksanaan pembangunan, dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila sebagai berikut:
“...dalam hubungan ini sistem perpajakan perlu disempurnakan agar kegiatan ekonomi semakin berkembang, kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan dari sumber-sumber dalam negeri semakin meningkat dan pembagian beban pembangunan antara golongan yang berpendapatan tinggi dan golongan yang berpendapatan rendah semakin sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Disamping itu sistem perpajakan harus pula dapat membantu menciptakan terwujudnya pola hidup sederhana, yang sangat penting untuk memperkokoh solidaritas sosial. Segala pajak harus didasarkan atas Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu diperlukan aparat perpajakan yang mampu dan bersih. Begitu pula kebijaksanaan didalam bidang pasar modal perlu dilanjutkan dan ditingkatkan agar dapat tercapai pemerataan pemilikan dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi, di samping merupakan sumber pembiayaan dalam negeri yang perlu terus dikembangkan”. 139
Melalui Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (selanjutnya disingkat P4) dibudayakan terus menerus agar masyarakat menyadari membayar pajak dengan asas gotong royong mencerminkan rasa keadilan tidak saja tertuju untuk masyarakat tetapi juga ditujukan agar aparat pajak haruslah pejabat yang bersih. Dengan aparat yang bersih penggunaan Peraturan Perundang-undangan menjamin kepastian hukum. Senada dengan pernyataan tersebut, seorang Hakim
139 Undang-Undang Dasar-Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Op., Cit, h. 59
99
Majelis Pertimbangan Pajak, Malimar mengungkapkan “Sudah barang tentu biaya penyelenggaraan pemerintahan dan biaya pembangunan itu tidak dapat dibebankan kepada satu kelompok masyarakat saja, karena semua warga ikut mempunyai hak dan kewajiban”.140
Dalam tata cara pengenaan pajak terkandung makna bagaimana, mengapa, kemana dan apa mulai dari subjeknya, objeknya, berikut perkecualian dan lain sebagainya, maka untuk meneliti lebih dalam lagi berdasarkan ilmu hukum, bab ini dimaksudkan untuk memaparkan teori-teori dan asas-asas hukum yang bertalian dengan pajak, terutama yang erat kaitannya dengan retribusi daerah. Teori, konsep dan asas-asas hukum tersebut bermanfaat untuk melakukan pembenaran teoritik dan klarifikasi terhadap masalah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.
Kerangka teoritik ini bertujuan menjelaskan kepastian hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemungutan retribusi daerah. Kendati demikian, pengenaan retribusi terhadap anggota masyarakat harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagai dasar hukum sesuai cita-cita negara hukum. Dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa “pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan Negara dilakukan berdasarkan Undang-Undang”. Dengan demikian, secara yuridis konstitusional dasar hukum seperti ini memberikan jaminan kapastian dan keadilan dalam pemungutan pajak. Namun demikian, diharapkan agar dalam aktivitas pemungutan pajak harus tetap menjunjung tinggi keseimbangan antara kemampuan ekonomi wajib pajak
140 Malimar. 1998, 101 Putusan Majelis Pertimbangan Pajak Dalam Upaya Menegakkan Keadilan Pajak, Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia, Jakarta, h. 1.
100
sehingga aktivitas perekonomian wajib pajak tersebut tidak terhenti akibat pengenaan pajak yang terlalu tinggi sehingga mengakibatkan berhentinya seluruh aktivitas suatu perusahaan. Oleh karena itu, pengenaan besarnya pajak harus sekecil mungkin dibandingkan dengan pendapatan wajib pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan agar tercipta suatu kepastian hukum dan keadilan. Dalam hal ini, perpajakan tersebut diidentikan dengan retribusi.