DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN ... i
SAMPUL DALAM ... ii
PERSYARATAN GELAR DOKTOR ... iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
KATA PENGANTAR ... x
ABSTRAK ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 20 1.3 Tujuan Penelitian ... 21 1.4 Manfaat Penelitian ... 22 1.5 Orisinalitas penelitian ... 23 1.6 Kerangka Berpikir ... 28 1.7 Metode Penelitian ... 29 1.7.1 Jenis Penelitian ... 29 1.7.2 Jenis Pendekatan ... 29
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ... 32
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 33
1.7.5 Analisis Bahan Hukum ... 34
1.8 Sistematika Disertasi ... 35
BAB II : LANDASAN TEORITIK ... 38
2.1 Teori Negara Hukum ... 41
2.2. Teori Keadilan ... 46
2.3. Teori Keberlakuan Hukum ... 51
81
2.5. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 61
2.6. Konsep Otonomi Daerah ... 70
2.7. Konsep Retribusi Daerah ... 73
2.8. Konsep Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ... 75
BAB III : PENGATURAN RETRIBUSI DAERAH ... 80
3.1. Prinsip-prinsip dalam Pengaturan Retribusi Daerah ... 80
3.2. Pengaturan Retribusi Daerah Provinsi Bali ... 85
3.3. Penyelenggaraan Retribusi Daerah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali ... 89
BAB IV : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI DAERAH UNTUK PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI PROVINSI BALI ... 97 4.1. Retribusi Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Provinsi Bali ... 97
4.1.1. Sejarah Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Daerah ... 97
4.1.2. Pemerintahan Daerah dan Pengaturan Keuangan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Retribusi Daerah ... 116
4.2. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Konsep Otonomi Daerah di Bidang Keuangan Daerah dan Retribusi Daerah ... 146
4.2.1 Prinsip Kewenangan Dalam Pengaturan Retribusi Daerah di Provinsi Bali... 146
4.2.2. Retribusi Daerah Sebagai Salah Satu Unsur Pendapatan Asli Daerah... 150
4.2.3. Landasan Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terkait Dengan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Provinsi Bali ... 171
4.2.4. Substansi Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Daerah ... 196
4.2.5. Kedudukan Hukum Pemerintah Daerah dan DPRD Dalam Pengaturan Retribusi Daerah ... 205
4.2.6. Hubungan Fungsional Antara Pemerintah Daerah dan DPRD Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Provinsi Bali Yang Berkaitan Dengan Retribusi Daerah dan APBD... 217 4.3. Bentuk Dan Substansi Norma Peraturan Perundang-undangan
82
Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Daerah Yang Bersumber Dari Retribusi Daerah ………...……….. 231 4.3.1. Bentuk Norma Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah
Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah…………. 235 4.3.2. Substansi Norma Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah
Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah………… 242 BAB V PENUTUP
5.1.Kesimpulan ... 252 5.2. Saran ... 254
DAFTAR PUSTAKA ... 256 LAMPIRAN
83
ABSTRAK
Penelitian Disertasi ini berjudul Kewenangan Pengaturan Retribusi Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Provinsi Bali. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pengaturan kewenangan antara Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang-Undang-Undang 23 Tahun 2014, dan Undang-Undang-Undang-Undang 28 Tahun 2009. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: bagaimanakah kewenangan pengaturan pemungutan retribusi daerah, mengapa pemungutan retribusi daerah diatur dengan peraturan daerah, dan bagaimanakah substansi norma pengaturan tentang retribusi daerah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah. Untuk mengkaji permasalahan tersebut digunakan landasan: teori negara hukum, teori keadilan, teori keberlakuan hukum, teori kewenangan, teori pembentukan peraturan perundang-undangan, konsep otonomi daerah, konsep retribusi daerah, konsep perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan kasus dan pendekatan sejarah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) terdapat ketidakharmonisan antara prinsip otonomi daerah seluas-luasnya dengan adanya pembatasan kewenangan pengaturan retribusi daerah guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Bali, 2) Norma pengaturan retribusi daerah di Provinsi Bali diatur dalam bentuk Peraturan Daerah karena setiap pengaturan pungutan yang membebani masyarakat harus melibatkan partisipasi masyarakat, 3) Perda Retribusi di Provinsi Bali telah memuat substansi minimal yang dipersyaratkan dalam Perda Retribusi dan telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukannya, dan 4) Pemda Prov. Bali tidak dapat melakukan inovasi sesuai potensi walaupun diberikan diskresi karena adanya pembatasan oleh Undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 28 Tahun 2009 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 agar harmonis dengan filosofi pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
84
ABSTRACT
This Dissertation is titled Regulation Authority of Regional Retribution in implementation of Regional Autonomy in Bali Province. The rationale of this study is differences of regulation authority between The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia, Law Number 23 Year 2014 (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014), and Law Number 28 Year 2009 (Undang-Undang 28 Tahun 2009). This research addressed two main issues: 1) How regulation authority implemented in the regulation of regional retribution, and 2) why regional retribution should be regulated in regional regulation, and 3) what are the substance(s) of regulation norm concerning local retribution in the effort to increase original regional revenue. Those issues are analyzed using state of law theory ( teori negara hukum),
equity theory (teori keadilan), theory of validity of law, theory of authority (teori kewenangan), theory of regulation formation (teori pembentukan peraturan perundang-undangan), concept of regional autonomy (konsep otonomi daerah), concept of regional retribution (konsep retribusi daerah), concept of fiscal balance between cetral government and local government (konsep perimbangan keuangan pusat dan daerah).
This study applied normative law research method and used regulation approach, law concept analysis approach, case approach and historical approach.
The results of this study showed that: 1) there was disharmony between the principle of autonomy and the restriction faced by local government in regulating local retribution in the effort to increase original regional revenue, 2) Local retribution in Bali Province was regulated by Provincial Regional Regulation
(Peraturan Daerah Provinsi) every regulation concerning levy that burden people
should give chances for public to participate 3) Regional Regulation of Bali Province concerning local retribution contained minimum requirements of regional regulation on retribution and its process of legislation have given opportunities for the public at large to participate, and 4) The Provincial Government could not innovate to capitalize its unique potential due to restriction by Law. Based on that results, it’s recommended that: UU No. 28 Tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 need to be revised in order to be in harmony with the philosophy of regional autonomy mandated by The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia.
85
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Retribusi daerah sebagai pungutan daerah54 merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang diharapkan menjadi sumber pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mampu tidaknya suatu daerah melaksanakan otonomi daerah ditentukan oleh 4 (empat) faktor yang sering diterjemahkan dengan istilah 4P yaitu: faktor personil, pembiayaan, prasarana dan pengelolaan. Keempat faktor itu satu sama lain memiliki hubungan yang saling berkait dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Josef Riwu Kaho menyebutkan keempat faktor tersebut sangat mempengaruhi penyelenggaraan otonomi daerah sekaligus menentukan prospek otonomi daerah untuk masa yang akan datang.55 Faktor pertama adalah faktor manusia sebagai subjek penggerak atau faktor dinamis dalam penyelenggaraan otonomi daerah, yang mencakup tidak hanya penyelenggara pemerintahan atau aparatur daerah, tapi juga masyarakat daerah yang merupakan lingkungan tempat aktivitas pemerintahan daerah diselenggarakan. Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Salah satu ciri dari daerah otonom adalah terletak pada kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Oleh karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap
54 Bustamar Ayza, 2017, Hukum Pajak Indonesia, Penerbit Kencana, Cimanggis, Depok, h.
157
55 Josef Riwu Kaho, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Penerbit
86
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah, yang harus cukup dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya dan yang terakhir faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien dan efektif.
Mengacu pada faktor-faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yakni bidang keuangan daerah dan pendapatan daerah merupakan penyangga utama untuk melaksanakan kegiatan atau ,pembangunan di daerah. Semakin tinggi pendapatan daerah dan kemampuan keuangan suatu daerah akan mendorong terciptanya kemandirian daerah sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas otonomi daerah.56
Dinamika hukum pemerintahan daerah pada era reformasi, menunjukkan perubahan yang cukup cepat. Dalam waktu 15 (lima belas) tahun sampai saat ini di Indonesia telah berlaku 3 (tiga) undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disamping 2 (dua) undang-undang tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dibandingkan dengan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
56 Ibnu Syamsi, 1983, Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Cetakan I, Bina
87
Nomor 3037), setelah 25 (dua puluh lima) tahun baru mengalami perubahan yaitu melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) itu pun setelah melalui keberhasilan gerakan reformasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125) dan terakhir diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5587) selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Demikian juga undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, baru dilakukan perubahan setelah berlaku sekitar 43 (empat puluh tiga) tahun. Undang-undang perimbangan keuangan yang diganti itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 77) yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848) yang kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (Tambahan Lembaran Negara
88
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4438) selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah. Perubahan tersebut dalam perspektif politik menunjukkan adanya responsi yang bersifat agregatif dari penyelenggara pemerintahan terhadap kepentingan daerah khususnya berkaitan dengan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan.
Prinsip otonomi yang dikembangkan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan umum angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah yang tujuannya adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari dianutnya prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah, maka Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 1 angka 2 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).
Untuk mewujudkan hal itu, maka Kabupaten/Kota dan Provinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan yang berasal dari urusan yang diserahkan kepada daerah untuk melaksanakan fungsi desentralisasi. Menyangkut mengenai
89
pembagian urusan ini, pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur sebagai berikut:
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Menyangkut jenis urusan ini, ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, meliputi: a) politik luar negeri; b) pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e) moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. Pelaksanaan urusan pemerintahan absolut yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, dalam penyelenggaraannya Pemerintah Pusat melaksanakannya sendiri atau melimpahkan kewenangan kepada instansi vertikal yang ada di Daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
Urusan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai daerah otonom sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah meliputi :
1. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan;
90
2. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar;
3. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Termasuk dalam urusan wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, meliputi: a) pendidikan; b) kesehatan; c) pekerjaan umum dan penataan ruang; d) perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e) ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat ; dan f) sosial. Mengenai urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi 18 jenis yaitu : a) tenaga kerja; b) pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c) pangan; d) pertanahan; e) Lingkungan hidup; f) administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g) pemberdayaan masyarakat dan Desa; h) pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i) perhubungan; j) komunikasi dan informatika; k) koperasi, usaha kecil, dan menengah; 1) penanaman modal; m) kepemudaan dan olah raga; n) statistik; o) persandian; p) kebudayaan; q) perpustakaan; dan r) kearsipan. Sedangkan Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: a) kelautan dan perikanan; b) pariwisata; c) pertanian; d) kehutanan; e) energi dan sumber daya mineral; f) perdagangan; g) perindustrian; dan h) transmigrasi.
91
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dinyatakan pada Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Kemudian Penjelasan Pasal 13 ayat (1) undang-undang ini menguraikan bahwa yang dimaksud dengan "prinsip akuntabilitas" adalah penanggung jawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Sedangkan "prinsip efisiensi" adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Untuk "prinsip eksternalitas" suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan. Sedangkan "prinsip kepentingan strategis nasional" adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pola pembagian urusan yang memberi kewenangan kepada Pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota, menjadi landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dasar kewenangan berdasarkan pembagian urusan ini, menjadi dasar bagi pemerintah untuk turut mempengaruhi dan mengendalikan kegiatan yang
92
menjadi urusan wajib dan pilihan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pengaturan ini bukan hanya menyangkut perencanaan, melainkan juga berkaitan dengan distribusi pembiayaan dan pengawasan pelaksanaan urusan yang diserahkan penyelenggaraannya kepada daerah.
Guna mendukung pelaksanaan urusan yang menjadi bagian dari otonomi daerah maka persoalan yang timbul adalah menyangkut pembiayaan walaupun setiap urusan itu dapat menjadi sumber pendapatan bagi daerah. Sampai saat ini kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya ketergantungan Daerah pada Pemerintah Pusat di bidang keuangan disamping terbatasnya sumber dan potensi di bidang pendapatan daerah.
Pengaturan mengenai sumber pembiayaan ini telah ditentukan di dalam Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah yang menyebutkan adanya dana perimbangan pusat kepada daerah sebagai hak yang harus diterima daerah. Hanya saja Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tidak mempertimbangkan faktor budaya dan pariwisata sebagai dasar pemberian perimbangan keuangan kepada Pemerintah Daerah, padahal untuk Provinsi Bali faktor budaya dan pariwisata sangat berpotensi memberikan kontribusi terhadap devisa Negara dan anggaran pendapatan daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5049) selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
93
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari tahun 2010 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048) selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Secara jelas sumber pendapatan daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 285 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah meliputi: 1. pajak daerah;
2. retribusi daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. Iain-lain pendapatan asli Daerah yang sah;
b. pendapatan transfer; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan transfer sebagai sumber pendapatan asli daerah meliputi: transfer Pemerintah Pusat berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dana keistimewaan dan Dana Desa dan transfer antar daerah terdiri atas pendapatan bagi hasil dan bantuan keuangan.
Konstruksi norma yang hampir sama juga ditentukan dalam Undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang didalam Pasal 157 menentukan sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1. hasil pajak daerah ;
94
3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Ditentukan dalam Pasal 159 dan Pasal 160 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni dana perimbangan tersebut terdiri atas Dana Bagi Hasil (bersumber dari pajak dan sumber daya alam); Dana Alokasi Umum; dan Dana Alokasi Khusus.
Berdasarkan pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber pembiayaan daerah dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu:
1) Pendapatan daerah yang bersifat otonom yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah;
2) Pendapatan yang bersumber dari perimbangan keuangan yang berasal dari Pemerintah; dan
3) Pendapatan yang bersumber dari perimbangan keuangan yang berasal dari Pemerintahan Daerah yakni dari Pemerintah Provinsi.
Sejalan dengan pembiayaan daerah tersebut, pertama-tama berasal dari pendapatan daerah yang bersifat otonom yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan demikian, retribusi daerah merupakan sumber dari pembiayaan daerah yang masuk dalam pendapatan daerah. Disamping itu, pembiayaan daerah juga berasal dari perimbangan keuangan dari Pemerintah untuk pembangunan di daerah. Dalam hal ini, secara jelas dinyatakan bahwa pembiayaan daerah itu bersumber dari retribusi daerah dan merupakan pendapatan daerah yang bersifat otonom.
95
Bertolak dari pos pendapatan tersebut dapat diberikan ilustrasi sebagai data faktual bahwa sumber pendapatan daerah Pemerintah Provinsi Bali beserta besaran realisasinya adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Sektor Pendapatan Daerah Tahun 2012 dan 2013
No. Sektor Pendapatan Daerah Tahun 2012 Tahun 2013
1 PENDAPATAN ASLI DAERAH 2.043.004.097.887,20 2.521.833.589.400,76 1. PAJAK DAERAH 1.813.341.218.696,90 2.202.452.935.295,00 a. PKB 622.810.054.445,00 747.941.284.900,00 b. BBNKB 963.162.661.500,00 1.168.894.029.000,00 c. AP/ABT 4.702.333.548,90 7.057.240.785,00 d. PBBKB 222.666.169.203,00 278.560.380.610,00 2. RETRIBUSI DAERAH 50.545.902.585,27 32.012.802.223,60 a. Retribusi Jasa Umum 42.267.942.152,07 5.813.648.923,00 b. Retribusi Jasa Usaha 7.940,295.553,20 11.681.757.190,60 c. Retribusi Perijinan Tertentu 337.664.880,00 14.517.396.110,00 3. HASIL PERUSAHAAN MILIK
DAERAH DAN HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN
76.701.656.390,33 106.105.513.384,09
a. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMD
74.518.234.939,33 103.433.275.669,09 b. Bagian Laba atas Penyertaan Modal
pada Perusahaan Patungan/Swasta
2.183.421.451,00 2.672.237.715,00
4. LAIN-LAIN PAD YANG SAH 102.415.320.214,70 181.262.338.498,07 2 DANA PERIMBANGAN 908.371.147.269,00 980.714.799.525,00 3 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 682.671.342,16 717.601.621.544,74
JUMLAH PENDAPATAN DAERAH (1+2+3)
2.952.057.916.498,36 4.220.150.010.470,50
96
Tabel 2
Sektor Pendapatan Daerah Tahun 2014 dan 2015
No. Sektor Pendapatan Daerah Tahun 2014 Tahun 2015
1.
2. 3.
PENDAPATAN ASLI DAERAH 1. PAJAK DAERAH a. PKB b. BBNKB c. AP/ABT d. PBBKB 2. RETRIBUSI DAERAH a. Retribusi Jasa Umum b. Retribusi Jasa Usaha c. Retribusi Perijinan Tertentu 3. HASIL PERUSAHAAN MILIK
DAERAH DAN HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH YANG
DIPISAHKAN
a. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMD
b. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Patungan/Swasta
4. LAIN-LAIN PAD YANG SAH DANA PERIMBANGAN
LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
2.911.740.845.539,33 2.517.443.041.010,00 857.361.045.850,00 1.185.922.232.500,00 1.761.264.296,00 394.079.626.850,00 71.677.645.698,00 7.782.965.500,00 32.750.197.318,00 31.144.482.880,00 89.829.985.978,02 86.832.387.079,02 2.997.598.899,00 232.790.172.853,31 1.018.431.008.887,00 638.830.684.610,47 3.041.266.607.195,42 2.571.035.790.941,00 928.719.014.550,00 1.031.985.919.500,00 2.720.381.167,00 413.521.131.214,00 59.851.354.001,00 11.408.818.000,00 19.049.050.001,00 29.393.486.000,00 105.388.683.319,25 103.318.363.384,25 2.070.319.935,00 304.990.778.934,17 1.070.197.147.350,00 856.471.396.926,30
JUMLAH PENDAPATAN DAERAH (1+2+3)
4.569.002.539.036,80
4.967.935.151.471,72
97
Tabel 3
Sektor Pendapatan Daerah Tahun 2016
No. Sektor Pendapatan Daerah Tahun 2016
1.
2. 3.
PENDAPATAN ASLI DAERAH 1. PAJAK DAERAH a. PKB b. BBNKB c. AP/ABT d. PBBKB 2. RETRIBUSI DAERAH a. Retribusi Jasa Umum b. Retribusi Jasa Usaha c. Retribusi Perijinan Tertentu
3. HASIL PERUSAHAAN MILIK DAERAH DAN HASIL PENGELOLAAN
KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN
a. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMD
b. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Patungan/Swasta
4. LAIN-LAIN PAD YANG SAH DANA PERIMBANGAN
LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
3.041.192.945.534,15 2.593.093.540.850,00 1.061.226.874.682,00 973.576.055.900,00 2.556.024.949,00 335.831.059.803,00 63.858.566.092,00 14.748.236.500,00 24.334.724.592,00 24.775.605.000,00 172.408.361.957,52 170.530.346.759,52 1.878.015.198,00 211.832.476.634,63 1.867.010.930.284,00 340.811.565.515,65
JUMLAH PENDAPATAN DAERAH (1+2+3)
5.249.015.441.333,80
Sumber : Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Bali
Berdasarkan tabel pendapatan asli daerah Pemerintah Provinsi Bali di atas terlihat bahwa pendapatan asli daerah tersebut terdiri atas empat sektor yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dari uraian materi dalam tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah
98
memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pendapatan daerah. Pentingnya retribusi bagi pemerintahan daerah ditegaskan oleh Anggota DPRD Provinsi Bali ( I Nyoman Oka Antara) saat membacakan pandangan umum Fraksi PDI-P DPRD Bali pada Rapat Pleno DPRD Bali di Ruang Sidang Utama DPRD Bali, hari Selasa, 21 Nopember 2017, dengan mengatakan bahwa retribusi merupakan pendapatan daerah yang potensial di samping pajak daerah, dan selain menjadi sumber pendapatan daerah, retribusi juga merupakan alat bagi pemerintah untuk melaksanakan regulasi dan kebijakan dalam peningkatan kualitas pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat.57
Perolehan retribusi daerah di Provinsi Bali pada tahun terakhir yaitu tahun 2016 menunjukkan bahwa sumbangan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah sebesar Rp. 63.858.566.092,00 dari jumlah pendapatan asli daerah sejumlah Rp. 3.041.192.945.534,15. Perolehan tersebut merupakan jumlah yang besar dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah tersebut, tidaklah seluruhnya dapat dikelola sendiri oleh Pemerintah Provinsi Bali, karena untuk pendapatan tertentu harus dibagi dengan kabupaten/kota se-Bali sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 1) selanjutnya disebut dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.
57 I Nyoman Oka Antara, Objek Retribusi Jangan Pakai Tiket Manual, dalam Bali Post,
99
Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditentukan tentang bagi hasil pajak pemerintah provinsi, sebagai berikut:
1) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh persen);
b. hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen);
c. hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
d. hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh persen).
2) Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).
3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/ kota.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Dengan pengaturan sumber pendapatan asli daerah yang masih bersifat konservatif (dari tahun ke tahun sumbernya selalu sama), maka perlu dilakukan kajian menyangkut pertama, menggali sumber pendapatan baru, dan kedua, adanya upaya intensitas untuk meningkatkan pendapatan asili daerah pemerintah provinsi. Pemerintahan daerah memang diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi daerah sebagai pendapatan asli daerah seperti ditentukan dalam Pasal 286 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
100
yang menentukan, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Namun demikian, ditentukan juga pembatasan yaitu disamping pemberian kewenangan memungut pajak dan retribusi daerah tersebut, di dalam ayat (2) Pasal 286 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, ditentukan larangan bagi Pemerintah Daerah melakukan pungutan atau dengan sebutan lain diluar yang diatur dengan undang-undang. Kemudian Pasal 287 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, menegaskan bahwa Kepala Daerah yang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang diatur dalam undang-undang dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan dan hasil pungutan atau dengan sebutan lain yang dipungut oleh kepala daerah diluar yang diatur dalam undang-undang wajib disetorkan seluruhnya ke kas Negara. Pembatasan atau larangan pemungutan pajak juga ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menentukan bahwa, Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengatur jenis pajak provinsi dan ayat (2) yang mengatur jenis pajak kabupaten/kota.
Adanya larangan atau pembatasan terhadap kewenangan pemerintah daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah seperti di atas tentunya mengurangi makna penyelenggaraan otonomi daerah oleh daerah otonom (provinsi, kabupaten, kota) karena daerah otonom seperti ditentukan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah kesatuan
101
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya diuraikan dalam Penjelasan Umum angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini, pemerintahan daerah berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu, pemberian otonomi luas tersebut diharapkan Daerah mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyimak pengaturan dalam ketentuan di atas dapat dikemukakan bahwa ada perbedaan pengaturan antara ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan ketentuan Pasal 286 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini dan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Apalagi dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan dalam Pasal 18 ayat (5)
102
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Dengan demikian, dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan otonomi seluas-luasnya yaitu mencakup berinovasi mengatur dan mengurus daerah termasuk dalam memungut Retribusi daerah tetapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut membatasi daerah berinovasi dalam pemungutan retribusi. Perbedaan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tentunya akan berpengaruh juga terhadap prinsip atau asas pemberian otonomi daerah sebagai daerah otonom terutama bagi daerah yang memiliki potensi untuk melakukan pemungutan retribusi guna menggali pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembatasan terhadap tindakan yang dapat dilakukan oleh Daerah dalam menggali potensi daerah sangat mempengaruhi alasan dasar pembentukan daerah otonom dan menyulitkan pemerintahan daerah dalam mengembangkan inovasi, mengambil inisiatif dan melakukan prakarsa dalam rangka menggali sumber-sumber pendapatan yang baru dan potensial. Demikian juga ketentuan Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Selanjutnya Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas memberikan kewenangan kepada Pemerintah
103
untuk memungut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang. Kata-kata “pungutan lain” tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah termasuk pemerintah daerah dapat melakukan pemungutan retribusi berdasarkan Undang-Undang dan pengaturan retribusi daerah berdasarkan atas konsep hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras.
Dalam kenyataannya, pengaturan pendapatan daerah yang bersumber dari dana perimbangan aspek kepariwisataan tidak digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemberian dana perimbangan. Demikian juga Undang-Undang yang mengatur retribusi daerah, yaitu Undang-Undang-Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 membatasi kewenangan daerah di dalam melakukan pemungutan retribusi.
Menyangkut perbedaan pengaturan antara ketentuan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 dengan ketentuan dalam Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 juga disampaikan oleh Ketua Pansus Revisi Perda Retribusi Perizinan Tertentu DPRD Bali (Gde Ketut Nugrahita Pendit) terkait dengan Galian C sebagai salah satu perizinan tertentu di Bali yang setelah terbitnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah beralih dari kabupaten/kota ke provinsi, namun Provinsi Bali belum bisa memungut retribusinya karena terganjal Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya DPRD Bali mengajak DPRD dan Dinas Pendapatan dari provinsi lain untuk bersama-sama mengusulkan perubahan
104
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 agar segala kewenangan termasuk pengendalian, pengawasan, dan pemungutannya tidak tumpang tindih.58
Sebagaimana kita ketahui karakteristik Provinsi Bali yang memiliki perbedaan sumber pendapatan daerah dengan daerah otonom lainnya, seperti potensi budaya, potensi wilayah dan terutama sekali besarnya sumber pendapatan daerah dari potensi pariwisata. Dengan demikian, sangat relevan untuk dilakukan penelitian tentang: “Kewenangan Pengaturan Retribusi Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Provinsi Bali”. Pelaksanaan penelitian ini difokuskan pada kewenangan pengaturan retribusi daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi Bali. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tentang retribusi daerah yang dapat mendukung peningkatan pendapatan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Bali.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini dilakukan pembahasan dan pengkajian terhadap permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah kewenangan pengaturan pemungutan retribusi daerah ? 2. Mengapa pemungutan retribusi daerah diatur dengan peraturan daerah? 3. Bagaimanakah substansi norma pengaturan tentang retribusi daerah dalam
rangka peningkatan pendapatan asli daerah?
58 Gde Ketut Nugrahita Pendit, Revisi Dua Perda tentang Retribusi: Pansus Usulkan Revisi
105
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai permasalahan yang menjadi bahasan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pemahaman terhadap pengaturan dan kebijakan retribusi daerah yang dapat dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah Provinsi Bali sekaligus untuk menemukan dan melakukan pembahasan korelasinya dengan norma dan konsep otonomi daerah dalam perspektif kewenangan Pemerintah Provinsi Bali. Otonomi dalam kerangka pemahaman secara umum adalah dimaksudkan untuk memberikan pemberdayaan kepada daerah, demokratisasi serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Intinya otonomi daerah adalah bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
Dengan kerangka pemikiran seperti itu, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman dengan melakukan analisis terhadap berbagai variabel khususnya yang berkaitan dengan sumber-sumber pendapatan daerah dan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Tanpa didukung oleh kemampuan keuangan daerah, maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan menghadapi kendala. Sebagai sistem dalam otonomi daerah, maka semua variabel harus berperan, salah satu diantaranya adalah ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah.
Disamping itu, spesifikasi penelitian yang dilakukan adalah lebih bertitik tolak pada kewenangan dan urusan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan sekaligus mengungkapkan
106
keserasian hubungan antara pengaturan, kewenangan dan upaya untuk mendorong peningkatan pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini diharapkan akan dapat memperoleh temuan, sebagai berikut:
1) Adanya korelasi antara pengaturan tentang retribusi daerah dengan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Secara teoritik model alur pikir yang dapat dikembangkan apabila mengacu pada korelasi ini adalah bahwa kemampuan keuangan daerah sangat berpengaruh terhadap kemandirian daerah. Sebaliknya kemandirian daerah akan ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah yang dipengaruhi oleh kebijakan dan kewenangan daerah.
2) Disamping itu, penelitian ini juga diharapkan mampu untuk menemukan format normatif dalam bentuk dan substansi norma peraturan perundang-undangan dalam rangka peningkatan pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bertitik tolak pada kajian terhadap pengaturan kewenangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Bali dengan fokus bahasan pada pemungutan retribusi daerah dalam rangka meningkatan pendapatan daerah provinsi untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Analisis penelitian yang dilakukan adalah menyangkut aspek pengaturan dan juga implementasi Undang-UndangPemerintahan Daerah yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun
107
2014 dan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan substansi pembahasan yang dilakukan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis diharapkan dapat dibangun suatu kerangka teori menyangkut konsep pengaturan dan kewenangan pemerintah provinsi di bidang pendapatan daerah. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi dan memberikan kontribusi bagi para pembentuk Undang-Undang terhadap pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam menentukan kewenangan daerah dibidang pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Penelitian merupakan suatu karya ilmiah yang bila diartikan adalah pengetahuan yang rasional, hasil berfikir kritis secara sistematis, teratur dengan menggunakan metode-metode tertentu melalui penalaran tertentu (induktif atau deduktif), dalam upaya menguak misteri-misteri di seputar kehidupan duniawi sebagaimana adanya, demi pemecahan berbagai masalah kemanusiaan atau demi pembangunan ilmu itu sendiri.59 Hukum sebagai suatu ilmu maka penelitian hukum menuntut sifat-sifat keilmiahan. Terkait hal ini, Bruggink menegaskan bahwa
59H. Moh. Tadjuddin, 2000, Orisinalitas Gagasan Dalam Penulisan Tesis dan Disertasi,
108
tuntutan keilmuan suatu penelitian ilmiah dalam ilmu hukum setidaknya memuat tiga hal sebagai berikut:60
1. ilmuwan hukum harus mengemukakan dengan cara kerja ajeg dan mengetahui mana yang hendak digunakan untuk membentuk teorinya; 2. ilmuwan hukum mempresentasikan cara kerjanya sedemikian rupa
sehingga orang lain dapat mengkaji hasil-hasil dari teorinya 'dengan bantuan cara kerja itu; dan
3. ilmuwan hukum harus mempertanggungjawabkan (memberikan penjelasan rasional) mengapa memilih cara kerja itu.
Guna memenuhi tuntutan keilmuan di atas, seorang peneliti harus memberikan pertanggungjawaban ilmiah terhadap hasil karyanya, salah satunya dengan menjamin keaslian (orisinalitas) dari penelitian yang dilakukan. Terkait dengan orisinalitas, penelitian ini pada dasarnya terfokus pada kajian mengenai kewenangan pengaturan pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah Provinsi Bali dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Kajian tentang kewenangan dalam kaitan dengan otonomi daerah bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Bila ditelusuri, ada beberapa penelitian tentang kewenangan dan otonomi daerah yang dapat ditemukan sebagaimana uraian berikut.
Pertama, disertasi dari Suko Wiyono yang berjudul: "Pengujian Keabsahan Peraturan Daerah Dalam Rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah", pada
60J.J.H.Bruggink, 1996, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Alih Bahasa:
Arief Sidharta, ''Refleksi Tentang Hukum Pengertian-pengertian Dasar Dalam Teori Hukum", Cetakan ke I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 217-218.
109
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang, yang dipertahankan untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tata Negara, pada tanggal 4 Nopember 2004. Permasalahan yang diangkat dalam disertasi tersebut adalah:61 (1) Apakah sinkronisasi hukum secara vertikal dan horisontal merupakan landasan dalam melakukan pengujian terhadap keabsahan peraturan daerah; (2) Apa tolok ukur kepentingan umum, asas-asas, dan materi muatan yang menjadi dasar pertimbangan pengujian terhadap keabsahan peraturan daerah; dan (3) Apa alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan argumentasi pengajuan keberatan terhadap pembatalan peraturan daerah kepada Pemerintah dan Mahkamah Agung.
Kedua, penelitian dalam bentuk disertasi yang dilakukan oleh Yuliandri pada Tahun 2007 dari Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang berjudul: "Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Dalam Rangka Pembuatan undang-undang Berkelanjutan. Masalah yang dikemukakan adalah:62 1) Mengapa pembentukan undang-undang dewasa ini tidak menghasilkan undang-undang yang berkualitas sesuai dengan tujuan pembentukannya? 2) Apakah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam pembuatan undang-undang? 3) Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi agar pembentukan undang-undang memiliki karakteristik berkelanjutan?
61Suko Wiyono, 2004, Pengujian Keabsahan Peraturan Daerah Dalam Rangka
Penyelenggaraan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-UndangNomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, "Disertasi", Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang, h. 14.
62Yuliandri, 2007, Asas-asas Pembentukan Peraturan PerUndang-undangan Yang Baik
Dalam Rangka Pembuatan Undang-UndangBerkelanjutan, "Disertasi", Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, h.16.
110
Ketiga, disertasi yang ditulis pada Tahun 2007 oleh Ibnu Tricahyo pada Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berjudul: "Pengaturan Pemisahan Pemilu Nasional Dan Lokal Dalam Rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah Yang Demokratis". Dalam disertasi tersebut dikemukakan permasalahan yaitu:63 1) Mengapa pengaturan Pemilu nasional dan lokal dikonsepsikan harus dipisah? 2) Bagaimana mengatur masa transisi untuk memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan lokal? 3) Bagaimana sinkronisasi undang-undang dibidang politik untuk pengaturan pemisahan Pemilu nasional dan lokal demi mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis?
Keempat, penelitian disertasi yang dilakukan pada Tahun 2011 oleh I Nyoman Suyatna pada Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berjudul: "Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Pembentukan Peraturan Daerah". Permasalahan dari disertasi tersebut yaitu:64 1) Mengapa asas-asas umum pemerintahan yang baik harus dijadikan landasan dalam pembentukan Perda? 2) Apakah asas-asas umum pemerintahan yang baik sudah diperhatikan dalam pembentukan Perda? 3) Bagaimanakah pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam pembentukan Perda?
Kelima, disertasi berjudul: "Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan" yang ditulis oleh Jimmy Zeravianus Usfunan,
63 Ibnu Tricahyo, 2007, Pengaturan Pemisahan Pemilu Nasional Dan Lokal Dalam Rangka
Penyelenggaraan Otonomi Daerah Yang Demokratis, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang, h. 10.
64 I Nyoman Suyatna, 2011, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah, Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.25.
111
Tahun 2015 pada Program Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Rumusan masalah dari disertasi tersebut yaitu:65 1) Tinjauan
umum dan filosofis tentang kepastian hukum; 2) kepastian hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; 3) kepastian norma hukum menjamin penerapan hukum oleh penyelenggara pemerintahan.
Bertolak dari judul dan permasalahan dalam 5 (lima) tulisan penelitian di atas, terlihat dengan jelas tidak ada persamaan materi kajian bila dibandingkan dengan penelitian ini. Walaupun ada bahasan seperti kewenangan, otonomi daerah, atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang juga menjadi materi pendukung pembahasan, tetapi dengan fokus kajian mengenai kewenangan pengaturan retribusi daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi Bali, mencerminkan ciri tersendiri keaslian dari penelitian yang berjudul "Kewenangan Pengaturan Retribusi Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Provinsi Bali".
65Jimmy Zeravianus Usfunan, 2015, Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, "Disertasi", Program Doktor, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 23.
112
1.6. Kerangka Berpikir
Gambar 1 Kerangka Berpikir Latar Belakang Masalah
1. Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 3. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945
4. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya 3. Pasal 18A ayat (2) UUD 1945
4. Pasal 23A UUD 1945
5. UU No. 28 Tahun 2009 membatasi kewenangan Pemerintah Daerah untuk berinovasi dalam pemungutan retribusi daerah
6. Ketidakharmonisan pengaturan pemungutan retribusi daerah
7. Sumber retribusi daerah Provinsi Bali tidak sinkron dengan asas otonomi daerah dan asas prakarsa.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kewenangan pengaturan pemungutan retribusi daerah ?
2. Mengapa pemungutan retribusi daerah diatur dengan peraturan daerah?
3. Bagaimanakah substansi norma pengaturan tentang retribusi daerah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah?
Landasan Teoritis 1. Teori Negara Hukum
2. Teori Keadilan
3. Teori Keberlakuan Hukum 4. Teori Kewenangan 5. Teori Pembentukan PPU 6. Konsep Otonomi Daerah 7. Konsep Retribusi Daerah
8. Konsep Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Metode Penelitian: Penelitian Hukum Normatif, Dengan menggunakan: pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan sejarah.
Hasil Penelitian: 1. Terdapat disharmoni norma kewenangan pengaturan retribusi daerah
2. Norma pengaturan retribusi daerah diatur dalam bentuk peraturan daerah. Pengaturan retribusi daerah dalam bentuk peraturan daerah karena retribusi merupakan pungutan kepada masyarakat sehingga pengaturannya harus mendapat persetujuan rakyat melalui DPRD. Produk hukum yang melibatkan peran serta langsung DPRD adalah Peraturan Daerah
3. Menyangkut substansi norma pengaturan retribusi daerah, dari ketiga jenis objek retribusi (jasa umum, jasa usaha, dan perijinan tertentu) semuanya memuat unsur-unsur minimal yang diwajibkan sebagai persyaratan peraturan daerah tentang retribusi daerah oleh UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hanya saja ada pengaturan yang membatasi objek retribusi yang dapat dipungut, dan dalam konteks pendapatan daerah dari dana perimbangan, UU Nomor 33 Tahun 2004 tidak adil karena pengaturannya hanya mendasarkan atas sumber daya alam sedangkan sumber daya budaya dan pariwisata tidak dipertimbangkan dalam pemberian dana perimbangan.
Saran:
1. Norma kewenangan pengaturan retribusi daerah seyogyanya mencerminkan keseimbangan antara kewenangan Pemerintah dengan kewenangan Pemerintahan Daerah guna mewujudkan pemerintahan yang baik sehingga daerah dapat berinovasi sesuai dengan potensi daerah dengan ditunjang oleh APBD yang memadai, yang antara lain bersumber dari retribusi daerah dan dana perimbangan.
2. Peraturan perundang-undangan baik UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maupun UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal perlu diharmonisasi sehingga selaras dengan filosofi pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
113
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini adalah berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada pembahasan tentang kewenangan pengaturan pendapatan daerah dalam konteks otonomi di Bali dengan korelasi pada peningkatan pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengaturan yang dimaksudkan di sini adalah norma-norma dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintahan daerah dalam membentuk peraturan perundang-undangan guna menggali potensi pendapatan yang dimiliki oleh daerah dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Guna mengkaji norma-norma dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintahan daerah dalam membentuk peraturan perundang-undangan dibidang retribusi daerah, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif,66 yaitu untuk memperoleh kejelasan secara normatif atas permasalahan yang diteliti beserta hasil yang diperoleh terkait dengan kewenangan pengaturan retribusi daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum (legal research), dapat digunakan pendekatan guna mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai masalah yang akan
66Philipus M.Hadjon, 1997, Penelitian HukumDogmatik (Normatif), Fakultas Hukum
114
diteliti. Pendekatan dalam penelitian hukum jenisnya berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analitis (analitycal
approach), pendekatan konsep hukum (conceptual approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan kasus (case approach) pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical
approach).67 Dari beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum
tersebut, dalam penelitian ini digunakan , pendekatan yaitu:
a. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach), dilakukan dengan menganalisa peraturan perundang-undangan yang memiliki korelasi dengan pokok bahasan. Dalam pendekatan perundang-undangan yang merupakan pencerminan dari pendekatan normatif, diharapkan dapat diungkapkan aspek legislasi dan regulasi dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan keuangan daerah. Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara eksistensial memperoleh ruang yang lebih luas dan lebih rinci melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejalan dengan tuntutan dan dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana daerah semakin memperoleh pengakuan sebagai bagian penting dari sistem pemerintahan di Indonesia.
b. Pendekatan analisis konsep hukum (analitycal and conceptual approach), merupakan suatu pendekatan yakni dengan melakukan pembahasan dan
115
penganalisaan terhadap permasalahan terkait dengan konsep-konsep hukum. Konsep hukum menurut Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Bernard Arief Sidharta68 dibedakan atas dua jenis, yaitu: a) konsep yang yuridis relevan (legally relevant concept) dan b) konsep hukum asli (genuine legal concept). Konsep yang yuridis relevan adalah konsep yang merupakan komponen aturan hukum, khususnya konsep yang digunakan untuk memaparkan situasi fakta terkait dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan dengan interpretasi. Konsep hukum asli yang juga disebut dengan konsep hukum adalah konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum, misalnya konsep hak, konsep kewajiban, konsep hubungan hukum, konsep lembaga hukum, konsep perkawinan, konsep jual beli, dan lain-lainnya. c. Pendekatan sejarah (hystorical approach), dengan mengkaji atau menelusuri perkembangan bentuk-bentuk pengaturan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Secara historis, perubahan substansial otonomi daerah sehingga mengakibatkan terjadi pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah terjadi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Disamping itu kebijakan dan pengaturan tentang keuangan daerah
68 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum – Sebuah Penelitian
Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 154.
116
secara runtut dapat diikuti melalui undang-undang Perimbangan Keuangan dan undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kajian dari pendekatan sejarah ini, diharapkanakan memberikan gambaran bukan semata terhadap bentuk pengaturan tentang pemerintahan daerah, melainkan juga substansi materi muatan yang mencerminkan kebijakan tentang pemerintahan daerah dan keuangan daerah.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Sunaryati Hartono mengatakan, umumnya dalam melakukan penelitian hukum normatif, bahan hukum yang digunakan bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.69 Dalam penelitian ini, juga menggunakan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, disamping juga dilakukan wawancara sebagai penunjang untuk melengkapi bahan hukum yang digali. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan penelitian, berupa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Selain undang-undang, penelitian ini juga mengkaji Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang
69Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
117
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2013 Nomor 5), Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2015 Nomor 2 ), Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah ( Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2015 Nomor 1), Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha ( Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2016 Nomor 11 ) dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Selanjutnya, untuk mendukung bahan hukum primer tersebut digali bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian terdahulu, buku-buku atau literatur-literatur, serta tulisan-tulisan artikel dan karya ilmiah dibidang hukum khususnya yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini.
1.7.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum untuk kepentingan penelitian ini, semuanya dimulai dengan bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini. Dalam pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut dimulai dengan cara memilah-milah bahan-bahan hukum yang terkait dengan penelitian ini. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian dikaji dan dilakukan analisis secara
118
mendalam, terlebih dahulu dibuatkan pengelompokan bahan-bahan hukum dengan didasarkan pada klasifikasi persoalan tentang kewenangan pengaturan pendapatan daerah oleh Pemerintah Daerah dan yang kedua yaitu mengenai bentuk dan substansi norma peraturan perundang-undangan dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah. Terhadap bahan hukum yang dikumpulkan tersebut kemudian dilakukan inventarisasi dan identifikasi sehingga dapat digunakan sebagai acuan menganalisa permasalahan-permasalahan hukum tersebut.
1.7.5. Analisis Bahan Hukum
Analisis terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang terinventarisir dilakukan melalui tahapan dengan urutan:
a. Tahap awal melakukan deskripsi mengenai retribusi daerah yaitu dengan menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non-hukum yang berkaitan dengan retribusi daerah.
b. Kemudian proposisi-proposisi mengenai retribusi daerah tersebut diurut atau disistematisasi dalam upaya untuk mencari kaitan rumusan suatu proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
c. Dalam tahap melakukan kontruksi norma, proposisi-proposisi hukum dan non-hukum tersebut dilakukan interpretasi atau penafsiran. Philipus M. Hadjon70
menegaskan, interpretasi tersebut dapat berupa, interpretasi gramatikal yang
70Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian limit Hukum Dogmatik (Normatij), dalam
"Yuridika" Nomor 6 Tahun IX Nopember - Desember Tahun 1994, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 6.
119
diartikan sebagai suatu term hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum; interpretasi sistematis, dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum; interpretasi historis, menelusuri maksud pembentukan undang-undang atau menelusuri perkembangan hukum dalam usaha untuk menemukan jawaban atas suatu isu hukum, interpretasi komperatif mengusahakan penyelesaian suatu isu hukum dengan membandingkan berbagai stelsel hukum dan interpretasi antisipatif, menjawab suatu isu hukum dengan berdasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku. Maksudnya, aturan yang masih berbentuk rancangan undang-undang ataupun rancangan peraturan daerah yang berkaitan dengan retribusi daerah. d. Setelah melakukan penafsiran-penafsiran dilanjutkan kemudian dengan
membuat bentuk dan substansi norma di bidang retribusi daerah.
e. Selanjutnya dilakukan evaluasi yaitu berupa penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, ataupun rumusan norma yang ada dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
f. Tahap selanjutnya yaitu melakukan argumentasi berupa penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, sehingga makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
1.8. Sistematika Disertasi
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka berfikir sebagaimana diuraikan di atas, maka penulisan hasil penelitian ini disajikan dalam sistematika yang terdiri atas 5 (lima) Bab yaitu, Bab I Pendahuluan, Bab II
120
Kerangka Teoritik, Bab III Kewenangan Pengaturan Retribusi Daerah di Provinsi Bali, Bab IV Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Provinsi Bali dan Bab V Penutup.
Kelima Bab di atas masing-masing menguraikan materi bahasan sebagai berikut:
Bab I Menyajikan uraian Pendahuluan yang meliputi, 1) Latar belakang Masalah, 2) Rumusan Masalah, 3) Tujuan Penelitian, 4) Manfaat Penelitian, 5) Orisinalitas Penelitian, 6) Kerangka Berpikir, 7) Metode Penelitian, dan 8) Sistematika Disertasi.
Bab II Menguraikan tentang Landasan Teoritik, menyangkut teori yang digunakan sebagai pisau analisa terhadap permasalahan hukum dalam penelitian ini yaitu teori negara hukum, teori keadilan, teori keberlakuan hukum, teori kewenangan, teori pembentukan peraturan perundang-undangan, konsep otonomi daerah, konsep retribusi daerah dan konsep perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Bab III Menyajikan bahasan tentang Pengaturan Retribusi Daerah di Provinsi Bali, dengan uraian materi, 1) Prinsip-prinsip Dalam Pengaturan Retribusi Daerah, 2) Pengaturan Retribusi Daerah Provinsi Bali dan yang ke 3) Penyelenggaraan Retribusi Daerah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Bab IV Membahas tentang Kewenangan Pemerintahan Daerah Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Daerah untuk