• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran dan Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia Pemikiran politik yang didefinisikan dengan menganalis Pemikiran politik yang didefinisikan dengan menganalis

J. Metodologi Penelitian

2. Pemikiran dan Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia Pemikiran politik yang didefinisikan dengan menganalis Pemikiran politik yang didefinisikan dengan menganalis

persoalan-persoalan dan topiknya bertujuan untuk memberikan solusi untuk persoalan-persoalan yang disebabkan oleh “masyarakat politik”. Mayarakat politik ialah masyarakat yang memiliki lembaga kekuasan khusus yang bisa menentukan hukum serta Undang-Undang yang diadopsinya untuk mengatur tingkah laku masyarakat yang selanjutnya hukum tersebut dapat diimplementasikan kepada masyarakat dan mengharuskan masyarakat untuk mematuhi dan mengakui bahwa hukum tersebut merupakan kekuasaan yang paling tinggi dalam kehidupan bermasyarakat serta yang bisa memberikan hukum materil.141

Pemikiran politik dimaksud adalah masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu politik. Ilmu politik mengkaji realitas kekuasaan dan kedudukannya di tengah masyarakat, serta hubungan keorganisasian

140Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1996), HLM. 15.

141Anthony Quinton, Political Philosophy, (USA: Oxford University Press, 1978), hlm 6 dalam buku Tijani Abd, Qodir Hamid, Pemikiran Politik Dalam Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 3.

antar lembaga-lembaga negara, atau hubungan non-organisatoris antara partai dan pemerintah serta lembaga-lembaga di tengah masyarakat, maka pemikiran politik yang dimaksud disini adalah khusus dikaitkan dengan produk hukum Islam atau syariah.

Beberapa Kalangan Muslim berpendapat bahwa : Islam harus menjelma sebagai dasar negara, hukum syariah harus disetujui sebagai konstitusi negara, kedaulatan politik berada pada Tuhan, konsepsi tentang negara bangsa (nation-state) itu tidak sesuai dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak ada batas-batas politiknya, serta konsep syura (musyawarah), konsepsi pengimplementasiannya tidak sama dengan konsep demokrasi satt ini.142 Tetapi, sebagian lagi mendukung pemikiran politik hukum Islam disini tentu saja bukan seperti halnya keyakinan kelompok di atas, tetapi ada alasan yang jauh lebih penting. Hal ini dimaksudkan untuk menangkal ide sekularisme dan liberalisme yang menjadi isu utama dari politik itu sendiri dikarenakan menurut pemahaman mereka bahwa Alquran bukan buku yang membahas ilmu politik.143

Di Indonesia, kebijakan pemerintah untuk menjadikan syariah sebagai hukum negara semakin intens dilakukan awal abad XX. Hal ini

142Bahtiar Effendy, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998), hlm. 12.

143Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Quran. Meskipun “terdapat berbagai ungkapan dalam al-Quran yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik.” Kutipan-kutipan ini diambil dari Qamaruddin Khan, Political Concepts in the

meuncak saat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyusun konstitusi negara tahun 1945. Polemik panjang yang terjadi selama 21 hari kemudian menghasilkan rumusan dasar Negara Republik Indonesia yang disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter atau Gentlement Agreement oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945. Tetapi terjadi sebuah perubahan pada sila pertama yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Tujuh kata yang hilang dari sila pertama membuat kekecewaan yang berkepanjangan. Padahal komprominya adalah Islam tidak menjadi dasar negara, tetapi umat Islam wajib menjalankan syariat Islam yang akan diatur dalam konstitusi. 144 Dengan demikian naskah yang disetujui tersebut menyatakan bahwa Negara Indonesia bukan merupakan Negara agama maupun Negara sekuler. Namun sangat disayangkan bahwa kemudian kalangan Islam harus menuai pahitnya kekecewaan karena dihapuskannya anak kalimat yang menjadi payung legislasi tertulis yang sangat fundamental tersebut.145

Kegagalan umat Islam dalam memenangkan klaim-klaim Islam pada sidang BPUPKI, bukan tanpa upaya serius dari para nasionalis

144Jay Akbar, Soekarno dalam Polemik Piagam Jakarta, (Tirto.id: 20 Juni 2017), dalam https://tirto.id/sukarno-dalam-polemik-piagam-jakarta-cq7m Download: Senin, 02 Desember 2019, Pukul: 16.03 WIB.

145Jeje Zaenuddin, Politik Hukum Islam: Konsep, Teori dan Praktik di Indonesia, (Bandung: Mega Rancage Press dan PERSIS PERS, 2019), hlm. 257-258.

sekuler. 146 Sekularisasi bukanlah sebagai hilangnya pernyataan dan identitas sebuah agama dalam politik.147 Hal tersebut karena mayoritas masyarakat masih menjurus pada agama dan ketika politik kewargaan (civic politics) melemah maka sejumlah partai yang berlandas agama akan tetap menjadi ketahanan utama politik di Indonesia.148

Setelah BPUPKI merumuskan dasar negara, sebagai kelanjutannya maka dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Keanggotaan PPKI dibentuk berdasarkan kedaerahan sehingga tokoh-tokoh Muslim tidak tampil dalam kancah penentu politik, dan hal ini mengindikasikan keburukan bagi usaha politik Islam, dimana setelah kejadian ini maka sejarah politik Indonesia akan tetap menggambarkan inferioritas politik Islam. 12 anggota dari 21 anggota yang bergabung dalam PPKI dapat digolongkan sebagai golongan tua. Pada kelompok Islam diwakilkan oleh Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammaddiyah dan Wachid Hasyim dari Nahdatul Ulama.

Kemudian Kasman Singodimedjo yang merupakan Komandan Peta di Jakarta juga bergabung dalam rapat PPKI dan sebagai orang yang

146Istilah nasionalis sekuler menunjuk kepada sebuah kelompok nasionalis yang berfaham pada sekularisme. Hal ini untuk membedakannya dengan kelompok nasiinalis Islam.

147Nurcholis Madjid memmbuat perbedaan istilah sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi berarti sebuah proses penduniawian atau dapat disimpulkan bahwa sekularisasi merupakan pembenaran wewenang dan ilmu pengetahuan sereta pengmplementasiannya dalam menjalankan kehidupan duniawi. Dimana, ilmu pengetahuan tersebut terus berkembang hingga sempurna sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan sekularisasi bersifat dinamis. Sebaliknya, bahwa sekularisme merupakan paham keduniaan yang membentuk prinsip sendiri dan pandangan baru terhadap dunia atau tidak sehalam dengan mayoritas agama di dunia. : Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan, 1993), hlm. 218.

148 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim

mewakili suara ummat Islam dalam rapat PPKI. Kelompok Islam merupakan kelompok yang minoritas dalam rapat PPKI sehingga tujuh kata yakni ‘‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, dihilangkan dalam Piagam Jakarta.149

Kegagalan berikutnya, ketika wacana mengembalikan Piagam Jakarta kembali menjadi pokok bahasan politik pada Januari 1959. Pada saat itu kabinet memutuskan untuk menyetujui pendapat Soekarno mengenai penerapan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali pada UUD 1945. Poin ke 9 dari 24 poin yang ada, mengaskan bahwa Soekarno berpihak pada suara umat Muslim yang berkehendak bahwa Piagam Jakarta dapat dirujuk ulang : “Demi memenuhi harapan-harapan kelompok Islam dalam kaitannya dengan upaya memulihkan dan menjamin keamanan umum, keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui.” Rupanya isu Piagam Jakarta terus digulirkan untuk menarik simpati tokoh dan politisi Islam yang kecewa. Namun ujungnya kehendak tersebut dihilangkan dalam huru-hara Manipol Usdek dan Nasakom yang digalakkan oleh Sukarno.150

149 Yudi Latif, Intelegensia Muslin dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim

Indonesia Abad Ke-20, Edisi Digital, (Jakarta : Democrasy Project, 2012), hlm. 364-366.

150 Manipol ialah singkatan dari Manifesto Politik, yang bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat revolusi dan keadilan sosial. Tujuan ini diraih melalui pemberlakuan USDEK atau Undang-Undang 1945 serta sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Sementara Nasakom yang dimaksud adalah PNI (nasionalis), Nahdatul Ulama (agama), dan PKI (Partai Komunis Indonesia) bersama partai-partai lainnya yang merupakan perwakilan dari Protestan, Katolik, Muslim, dan sekuler lainnya. Parta yang tidak setuju dengan doktrin tersebut maka akan dibatasi atau dihambat pergerakannya. Sebagai Negara Manipol-USDEK dan Nasakom, politik akan bersifat anarkis dan memaksa kesatuan polotik dan kultur secara tidak beraturan atau sesuka hati, kemudian terjadilah kemuduran politik pada partai-partai oposisi. Baca: Yudi Latif, Ibid. hlm. 456-493.

Kegagalan kedua kali dalam memperjuangkan syariat Islam untuk menjadi dasar negara tertulis formal dalam Konstitusi pada gelanggang sidang Konstituante, tidak berarti bahwa umat Islam kehilangan pijakannya memperjuangkan legislasi syariat dalam perundang-undangan negara. Sebab, peluang untuk memperjuangkan hukum Islam melalui lembaga kekuasaan tetap terbuka lebar karena Indonesia merupakan negara yang berlandaskann kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan hal ini ditegaskan lagi dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 yang mengintruksikan agar kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 dengan Piagam Jakarta yang mengayatinya151

Gambaran di atas menunjukkan betapa jatuh bangunnya perjuangan politik hukum Islam di Indonesia dalam menegakkan syariah, namun proses pembentukan masa depan politik hukum Islam pantang surut. Perjuangan yang dilakukan umat Islam adalah hal yang sangat berarti bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Hal itu masih

memerlukan usaha yang lebih giat, karena hendaknya

mempertimbangkan dimensi sosial, politik, dan budaya. Reformasi hukum harus sejalan dengan proses demokratisasi di Indonesia. Bagaimanapun ia akan senantiasa berada dalam konsensus dan konflik di antara kelompok-kelompok yang berkepentingan.

151Jeje Zaenuddin, Politik Hukum Islam: Konsep, Teori dan Praktik di Indonesia, (Bandung: Mega Rancage Press dan PERSIS PERS, 2019), hlm. 258.