• Tidak ada hasil yang ditemukan

J. Metodologi Penelitian

2. Sumber dan Dalil Hukum Islam

Dalam teori hukum Islam, pembahasan sumber hukum terkadang disamakan antara “mashadir al-ahkam” dan “adillatul ahkam”. Mashdar adalah sumber yang darinya lahir, sedang dalil adalah jalan mengenali

103Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Copyright 2008, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008), hlm. 87.

104Akh. Minhaji, Hukum Islam : Antara Sakralitas Dan Profanitas ( Perspektif

Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam

Pada Fakultas Syariah Di Hadapan Rapat Senat Terbuka UIN Kalijaga Yogyakarta, Tanggal 25 September 2004, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2004), hl. 10.

hukum.105 Secara terminologi, sumber didefinisikan sebagai acuan utama dalam hal memutuskan hukum Islam ialah wahyu Allah, yaitu: pertama, Alquran, kedua, yaitu al-Sunnah/Hadits.106 Namun Wahbah az-Zuhaily mendifinisikan sumber hukum Islam adalah dalil-dalil hukum yang digali menjadi hukum-hukum syar’i. 107 Dari definisi tersebut Wahbah menyamakan antara mashadir al-ahkam dan adillah al-ahkam. Lebih ditegaskan lagi oleh Abdul Wahhab Khallaf, menyatakan bahwa dalil-dalil hukum dan dasar-dasar hukum, serta sumber-sumber hukum merupakan lafadz sinonim dengan makna yang sama.108

Pengertian dalil menurut Khallaf, secara bahasa berarti “sesuatu yang menunjukkan” atau “sesuatu yang menyampaikan kepada tujuan”, sesuatu itu dapat bersifat material ataupun non material. Dari segi istilah, dalil adalah “sesuatu yang menjadi sebuah tumpuan/sandaran dengan penalaran yang shahih atas hukum syara’ yang amali baik secara qath’i maupun dzanni.”109 Wahbah mendifinisikan dalil sebagai “suatu panduan

105Jeje Zaenuddin, Politik Hukum Islam: Konsep dan Praktek di Indonesia, (Bandung: CV. Mega Rancage Press dan PERSIS PERS, 2019), hlm. 137.

106Abu Hamid Muhammad al-Ghazaly, Al-Mustashfa, tahqiq Hamzah bin Zuhaer Al-Hafidz, (Jidah: Dar al-Nasyr, tt), Juz II, hlm. 3.

107Wahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqih al-Islami, (Damascus : Dar al-Fikr, 1986), cet. I, Juz I, hlm. 417.

108Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, Cetakan VIII, (Queisiyah: Dar Queisiyah, 1968), hlm. 20

109Menurut kekuatannya, dalil terbagi pada qath’i (pasti) dan dzanni. Dalil qath’I

terdiri dari dua bagian : pertama, dalil qath’i al-wurud, adalah dalil yangmemverifikasi

kedatangannta dari dari Allah (al-Quran) ataupun dari Rasulullah (Hadits Mutawatir). Al-Quran seluruhnya qath’i wurudnya, dan tidak semua hadits qath’i wurudnya. Kedua, dalil qath’i dalalah, merupakan dalil yang kata-katanyamerujuk pada maksud khusus secara

tegas dan jelas. Contoh dalam Q.S. an-Nisa: 12 yang artinya: “dan bagimu (para suami)

separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” Ayat ini tidak bisa diartikan lain, kecuali menunjukkan bahwa suami mendapat

setengah dari harta peninggalan istri jika tidak mempunyai anak. Pembagian Dalil dzanni, ada dua, yakni : dzanni al-wurud dan dzanni al-dalalah. Dzanni al-wurud merupakan dalil

yang menjadi dasar berfikir yang tepat untuk memahami sebuah hukum syara’ yang bersifat amali (praktis). Dalil tersebut dapat berupa wahyu (Alquran dan as-Sunnah) maupun ra’yu (akal pikiran).110

Alquran secara bahasa adalah bacaan. Menurut istilah Alquran yaitu kalam (firman) Allah yang diturunkan melalui ruh terpercaya yang masuk ke jantung Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz/bahasa Arab namun maknanya dari Allah, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa beliau adalah Rasul Allah.111 Umat Islam seluruhnya sepakat bahwa Alquran al-Karim merupakan hujjah (argumentasi) utama yang wajib dikerjakan seluruh isi didalamnya, tidak boleh menggunakan dalil selain Alquran kecuali tidak ditemukan dalil yang menerangkan hukum tersebut.112

As-Sunnah secara bahasa artinya jalan. Menurut istilah syar’i, sunnah berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.113 Ummat Islam sepakat bahwa segala yang disandarkan kepada Rasulullah saw. dari perkataan,

yang menjelaskan dengan kuat datangnya dari Nabi saw. Ayat al-Quran tidak ada yang dzani wurud, namun hadist ada yang dzani wurud yang disebut hadits ahad hadits ahad

dzanni al-dalalah, merupakan dalil yang ungkapan kata-katanya menunjukkan arti dan

maksud lebih dari satu. Contoh pada QS. Al-Baqarah:228 yang artinya: “dan wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya (beriddah) tiga kali quru.” Kata quru dalam ayat di atas bisa diartikan haid dan bisa pula diartikan suci. Oleh karena itu para ulama sering berbeda pendapat dalam menentukan hukum dari ayat tersebut di atas. Lihat abdul Wahhab Khallaf, Ibid, hlm. 20-24.

110Wahbah membagi dalil kepada dua macam, yaitu pertama, dalil yang disepakati jumhur ulama yaitu: (1) yang berasal dari wahyu adalah Kitabullah dan as-Sunnah, (2) dalil yang berdasarkan akal pikiran yaitu Ijma’, dan Qiyas. Kedua, dalil yang tidak

disepakati ulama yaitu tujuh: istihsan, mashalih al-mursalah, istislah, istishab, uruf,

mazhab shahabi, syar’un man qablana dan adz-zara’i. Wahbah az-Zuhaily, Ibid, hlm.

417.

111Abd Wahhab Khallaf, Ibid, hlm. 23 112Wahbah, Ibid, hlm 431

perbuatan, atau ketetapan, yang tujuannya untuk penggalian hukum baik secara syara’ maupun secara akal (iqtida’), disampaikan dari sanad yang shohih, sehingga para mujtahid menjadikannya sebagai hukum-hukum syara’ wajib dilaksanakan oleh para mukallaf.114

Dalam memahami secara benar teks Alquran dan as-Sunnah yang berbahasa Arab, maka pendapat yang dipikirkan haruslah sesuai dengan kehendak uslub (style) dalam bahasa Arab itu sendiri dan harus sesuai metode pencarian dalil di dalamnya.115 Dengan demikian, bila para faqih berbicara tentang sebuah dalil dari Alquran dan Sunnah, maka itu adalah keputusan hukum yang digali berdasarkan ungkapan khusus suatu ayat maupun hadits. Bila nash syar’i tersebut dapat difahami dari ibaratnya (pengertiannya jelas), isyaratnya, petunjuknya, ataupun tujuannya, maka nash syar’i wajib diamalkan.

Dalam hukum Islam, selain Alquran dan Sunnah, ra’yu juga dapat dijadikan sebagai dalil. Secara bahasa, Ra’yu diartikan sebagai mashdar dari kata ra’a (melihat), yang maksudnya adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah pemikiran dan perenungan dalam rangka mengetahui kebenaran berdasarkan tanda-tanda (‘imarat) atau isyarat tertentu. Jika berbicara ra’yu tentu dikaitkan dengan kata ijtihad, karena ijtihad merupakan bentuk implementasinya dalam menetapkan hukum. Dalam terminologi ushul fikih, ijtihad adalah pencurahan daya dan upaya dalam

114Abd Wahhab Khallaf, Ibid, hlm. 37. 115Abd Wahhab Khallaf, Ibid, hlm. 140

rangka menetapkan hukum syara’ dari dalil terperinci.116 Atau pencurahan daya dan kemampuan secara maksimal dalam rangka mencapai tujuan dan harus terkait dengan aspek kesulitan dan kesusahan.117

Peranan ijtihad yang sangat besar dalam penemuan dan penggalian hukum yang tersirat ketika rasul telah wafat. Ijtihad sebagai suatu upaya untuk mencari dan menemukan hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti penafsiran dan analogi, baik dilakukan secara kolektif maupun perseorangan.118 Ijma berarti sepakat, setuju dan sependapat. Secara istilah ijma’ berarti kesepakatan semua ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu waktu sesudah meninggalnya Rasulullah saw atas suatu hukum syara’.119 Ijma menjadi hujjah atau dalil yang pasti dan mujtahid berikutnya tidak boleh menentangnya atau menghapusnya.120 Ijma’ tersebut dikatakan qath’i apabila dinukil secara mutawatir. Adapun bila dinukil secara ahad atau ijma’ sukuti, maka ijma’ tersebut adalah zhanni, tidak dapat dimanfaatkan sebagai dalil hukum dan tidak dapat dikategorikan dengan qath’i.121

Dalam upaya untuk mencari dan menemukan hukum yang dapat menjawab berbagai persoalan kontemporer, maka ijtihad perseorangan dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Ijtihad yang dapat dijadikan hujjah syar’iyah salah satunya dengan metode analogi atau qiyas. Qiyas

116Abd Wahhab Khallaf, Ibid, hlm. 216. 117Wahbah az-Zuhaily, Ibid, hlm. 1037. 118Wahbah az-Zuhaily, Ibid, hlm. 487. 119Wahbah az-Zuhaily, Ibid, hlm. 490. 120Wahbah az-Zuhaily, Ibid, hlm. 538. 121Wahbah az-Zuhaily, Ibid, hlm. 549.

secara bahasa artinya ukuran, dengan maksud mengetahui ukuran sesuatu. Secara istilah, Qiyas merupakan penyatuan suatu hal yang tidak dipaparkan hukumnya dalam nash dengan suatu hal yang dipaparkan hukumnya oleh nash. Penyatuan itu dikarenakan adanya illat yang serupa di antara kedua hal tersebut. 122 Bila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum maka qiyas dapat dilakukan. Bila ditelaah konsep-konsep mengeluarkan dalil hukum tersebut di atas mengadopsi konsepsi (tasawwurat) filsafat Yunani tentang logika. Kategorisasi pengetahuan filsafat Yunani ini, terlihat dari konsepsi dan pembenaran hingga homonim dan sinonim dari Aristoteles (Aristotle, the Works of Aristotle, Categories).123