• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Konsistensi Pemerintah terhadap Keberlakuan Hukum. Pada dasarnya SBY membuat arah kebijakan pembenahan sistem

H. Landasan Teori

4. Teori Konsistensi Pemerintah terhadap Keberlakuan Hukum. Pada dasarnya SBY membuat arah kebijakan pembenahan sistem

dan politik hukum untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum dan kultur (budaya) hukum.61 Dalam memperbaiki substansi hukum maka telah digambarkan di atas bagaimana

60Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996) hlm. 26. 61Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009,

pemerintahan SBY melakukan kebijakan pembuatan hukum. Sementara untuk melaksanakan ketentuan hukum yang telah ada, atau implementasi dan capaian hukum dimaksudkan untuk memperbaiki struktur dan kultur hukum. Hal tersebut dengan melihat pada penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum serta keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan hukum. Keberlakuan hukum (law applying) adalah wilayah mewujudkan kenyataan dan sering disebut sebagai kekuasaan hukum (the power of law).62 Keberlakuan hukum yang dilihat adalah norma tunggal pada setiap undang-undang yang telah diciptakan oleh dewan legislatif. Teori ini akan menilai bahwa keberlakuan hukum yang telah diciptakan oleh DPR, akan disimpulkan bahwa norma tersebut “eksis” (diberlakukan) dan “non-eksis” (tidak dapat diberlakukan). Asumsi dasar bahwa keberlakuan hukum sebagai produk politik, maka konsistensi pemerintah akan sangat menentukan keberlakuan hukumnya, sehingga studi ini meletakkan politik sebagai variabel bebas dan keberlakuan hukum sebagai variabel terpengaruh. Hipotesis yang lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa konsistensi pemerintah akan menentukan kondisi keberlakuan hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam pemerintahan yang konsisten terhadap amanah undang-undang, maka produk hukum yang telah diciptakan dapat diberlakukan secara eksis, sedangkan pada pemerintahan yang tidak konsisten terhadap amanah undang-undang,

62Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konpres, 2012), hlm. 96.

maka keberlakuan hukumnya terkendala (non-eksis). Pernyataan hipotesis tersebut dapat disajikan dalam ragaan berikut ini:

TABEL 3: Keberlakuan Hukum: Variabel Bebas dan Variabel Terpengaruh

Dalam teori ini, dijelaskan bahwa konsistensi pemerintah dalam menjalankan amanah undang-undang, yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konstelasi politik yang konsisten dan konstelasi politik inkonsisten. Konstelasi politik yang konsisten adalah susunan sistem politik pemerintah yang konsekuen dalam menjalankan kebijakan pelaksanaan atau pemberlakuan sebuah hukum yang menunjukkan berperan aktifnya komponen kekuasaan hukum dan kelembagaan hukum yaitu pemerintah, peradilan, atau kepolisian, serta organ atau lembaga masyarakat terkait. Konstelasi politik tersebut ditandai dengan bekerjanya organ pemerintah dalam mewujudkan ketentuan pelaksanaan dan teknis yang tertuang dalam PP, Perpres, PM, Perka; berjalannya fungsi lembaga peradilan dalam mengeksekusi

pelanggaran kasus terkait; dan berfungsinya pihak kepolisian dalam menciptakan keamanan; serta berperannya organ atau lembaga masyarakat terkait dalam pemberlakuan undang-undang tersebut.

Sedangkan konstelasi politik inkonsisten adalah susunan sistem politik yang tidak konsekuen dalam menjalankan kebijakan pelaksanaan atau pemberlakuan sebuah hukum, baik unsur pemerintah, lembaga peradilan, maupun kepolisian, serta organ atau lembaga masyarakat terkait. Konstelasi itu ditandai oleh tidak akurnya para menteri dan lembaga terkait dalam mewujudkan amanah undang-undang, sehingga undang-undang tidak dapat diturunkan dalam sebuah peraturan di bawahnya; Para elit kekuasaan memaksakan kepentingan masing-masing; Tidak terlaksananya atau tidak terjaminnya hak masyarakat di pengadilan meskipun telah lahir sebuah norma atau undang-undang; Pihak kepolisian tidak bertindak netral sebagai pengawas kebijakan; Organ masyarkat tidak dapat menjalankan fungsinya masing-masing.

Indikator digunakan adalah dengan melihat tiga pilar peran kekuasaan hukum yaitu pemerintah dari kementerian terkait, lembaga peradilan atau kepolisian dan organ atau lembaga masyarakat terkait. Pada konstelasi politik yang konsisten, pemerintah berperan membuat turunan dari undang-undang seperti pelaksanaan dan teknis seperti PP, Perpres, PM, Perka; Peradilan dapat bekerja dalam mengeksekusi pelanggaran kasus terkait; Pihak kepolisian mengambil posisi dalam

memberikan keamanan bagi masyarakat; organisasiatau lembaga masyarakat turut mendukung jalannya peraturan.

GAMBAR 3: Konsistensi Pelaksanaan Hukum: Konsisten dan Inkonsisten

Sedangkan keberlakuan hukum (law applying) dibedakan dalam dua kondisi yaitu norma eksis dan norma non-eksis/terkendala. Norma eksis adalah norma hukum yang telah diciptakan oleh dewan legislatif dapat terwujud keberlakuan hukumnya dalam masyarakat. Terwujudnya keberlakuan hukum ditandai dengan berperan aktifnya komponen kekuasaan, yaitu pemerintah, peradilan, dan kepolisian, yang menunjukkan penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum ditambah dengan peran dan fungsi masyarakat yang menjalankan hukum dalam masyarakat itu sendiri.

Norma non-eksis adalah norma hukum yang telah diciptakan oleh dewan legislatif tidak dapat diimplementasikan atau tidak terwujud

keberlakuan hukumnya dalam masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan tidak terwujudnya peraturan dan ketentuan teknis pelaksanaan serta tidak berperan aktifnya komponen kekuasaan, yaitu pemerintah, peradilan, dan kepolisian, begitu pula masyarakat tidak difungsikan sebagai pelaku hukum.

Indikator yang digunakan adalah wujud peraturan atau teknis pelaksanaan dengan kekuatan hukum yang mengikat. Norma hukum eksis, dapat menunjukkan wujud peraturan di bawahnya atau teknis pelaksanaannya. Pada tahapan berikutnya tentang proses penanganan kasus-kasus oleh hakim dan kepolisian yang menunjukkan kesesuaian antara tujuan hukum dengan pelaksanaanya.Hal ini ditandai dengan aparat penegak hukum yang tidak segan untuk melindungi rakyat (pro rakyat). Capaian/target amanah yang dituangkan dalam undang-undang tepat waktu. Misalnya target pembuatan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan penyelesaian masalah hukum terkait tepat waktunya, sehingga undang-undang tersebut dapat hidup di masyarakat.

Sedangkan norma hukum non-eksis tercermin pada ketidak seriusan pemerintah atau aparat dalam menjalankan UU ini. Indikasinya adalah tidak terwujudnya peraturan pelaksanaan, dan prosedur saling berbenturan satu sama lain. Pada tahapan proses penanganan kasus-kasus oleh hakim dan kepolisian yang menunjukkan ketidakkesesuaian antara tujuan hukum dengan pelaksanaanya. Contohnya adalah aparat

penegak hukum yang enggan melindungi rakyat (pro penguasa dan pemegang uang). Selanjutnya capaian/target amanah yang dituangkan dalam undang-undang tidak tepat waktu. Misalnya target pembuatan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan penyelesaian masalah hukum terkait tidak dapat diketahui kapan waktunya, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat hidup dan berkembang di masyarakat.

GAMBAR 4: Keberlakuan Hukum: Norma Eksis dan Non-Eksis

I. Kajian Terdahulu

Sepanjang yang penulis ketahui belum ada studi khusus yang membicarakan atau membahas tentang politik hukum Islam pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2014. Padahal dalam rangka

studi politik hukum Islam di Indonesia, penelitian tersebut sangat diperlukan.

Abdul Halim menulis desertasi Politik Hukum Islam di Indonesia kajian posisi hukum Islam dalam politik hukum pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Dalam desertasi tersebut beliau membuktikan bahwa kebijakan transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak memiliki hubungan dengan perjuangan untuk menuju negara Islam atau Islam sebagai dasar negara. Tetapi sebaliknya, legislasi hukum Islam menjadi perundang-undangan negara memperkuat daya rekat umat Islam terhadap komitmen negara kebangsaan (nation state) karena syariah bisa berjalan seiring dan compatible dengan Pancasila dan UUD 1945. Proses transformasi hukum Islam menjadi hukum nasional ini dinamai dengan “teori konstitusi” (the constsitution theory) dan “teori akomodasi” (the accomodation theory).63 Karya Abdul Halim di atas memiliki titik singgung pada proses legislasi transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional. Fokus kajiannya di batasi pada Orde Baru dan Reformasi pra SBY, sementara penulis membahas proses legislasi dan pelaksanaan hukum Islam khusus periode pemerintahan SBY.

Saldi Isra, menulis 10 Tahun Bersama SBY, Catatan dan Refleksi Dua Periode Kepemimpinan.64 Pada bab awal buku ini dimulai dengan harapan awal SBY ketika memenangkan pemilu 2004 dengan

63Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam

Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta: Balitbang dan

Diklat Depag RI, 2008), 494 hlm.

64Saldi Isra, 10 Tahun Bersama SBY: Catatan dan Refleksi Dua Periode

memperoleh suara 61 persen. Ia melaksanakan program agenda pembangunan dalam lima tahun ke depan bersama Yusuf Kalla wakil presiden terpilih, disamping program hukum dan program lainnya. Bab berikutnya dituliskan bagaimana SBY menegakkan Pemberantasan Korupsi, hubungan SBY dengan DPR, bagaimana SBY mereshuffle dan bekerja dengan kabinetnya, serta terakhir menggambarkan bagaimana SBY dengan Partai Demokrat. Saldi bukan hanya mengulas dinamika internal partai ini, melainkan juga ikut luluh lantak disebabkan oleh persoalan korupsi yang dilakukan jajaran indivisu pimpinan partai dan anggota DPR-RI dari partai ini.

Jawahir Thontowi, menulis Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY.65 Jawahir menuliskan dalam buku ini kisah selama lima tahun perjalanan pemerintahan SBY atau periode pertama SBY memerintah. Tinjauan yang diperlihatkan lebih pada bidang diplomasi dan bidang hukum. SBY adalah sebagai guru pembangunan diplomasi dan hukum ke depan terhadap momen-momen penting seputar pemerintahan SBY. Dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi oleh kabinet SBY telah dijadikan tekad politik yang populer. Keberanian menyeret sebagian koruptor-koruptor, baik pejabat pemerintah di daerah maupun di pusat terhadap lembaga legislatif dan eksekutif telah dilakukan. Kesungguhan penegakan hukum itu, juga bisa terlihat atas keberhasilan penandatanganan MoU antara pemerintah RI dengan GAM, 15 Agustus

65Jawahir Thontowi, Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, (Yogyakarta, Leutika, 2009), 323 hlm.

2005 di Helsinki. Meskipun MoU tidak sederajat dengan Perjanjian Internasional, praktek di lapangan telah memperlihatkan kedua pihak mematuhinya. Akibat penandatanganan MoU situasi keamanan, kedamaian dan masyarakat Aceh telah pulih. Jawahir banyak menuliskan keberhasilan yang diraih SBY, namun beliau juga menuliskan kelemahan-kelemahan SBY selama memerintah.

Goerge Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century,66 dan Cikeas Kian Menggurita.67 Ia membongkar jejaring kolusi, korupsi, dan nepotisme yang melibatkan pembantu, kerabat, dan orang dekat Presiden. Selain mengupas masalah skandal Bank Century, juga menyoroti yayasan berafiliasi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas (Yayasan Puri Cikeas), Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Namun para pakar berseteru tentang keilmiahan tulisan ini. Sebagian menilai bahwa tulisan Goerge tidak ilmiah karena tidak sesuai dengan prosedur keilmuan, berupa metodologi penelitian, sumber data, validitas asumsi dan sebagainya. Tulisan Goerge hanyalah berdasarkan kumpulan berita-berita internet maupun koran.

Yahya Ombara,68 sahabat SBY, telah menulis dengan gaya roman politik tentang biografi SBY menjadi orang nomor satu di Indonesia. Buku

66Goerge Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank

Century, (Yogyakarta: Galangpress, 2010, 183 hlm.

67Goerge Junus Aditjondro, Cikeas Makin Menggurita, (Yogyakarta: Galangpress, 2011), 204 hlm.

68Yahya Ombara, Presiden Flamboyan SBY yang Saya Kenal, (Jakarta: Eswi Fondation, 2007), 510 hlm.

yang berjudul Presiden Flamboyan, SBY yang Saya Kenal, memulai buku ini dengan Episode Pangdam Sriwijaya tahun 1996-1997, hingga Simpul Akhir diceritakan SBY berhasil memenangkan pemilu pertama langsung dipilih oleh rakyat. Pada bagian Epilog: “Selamat Datang Pemimpin Dunia, Selamat Tinggal Pemimpin Indonesia…”, menurut feeling Yahya bahwa SBY tidak akan mengejar posisi presiden kali kedua jika posisinya sangat sulit. SBY justru ingin menjadi tokoh internasional, mengejar posisi sekjen PBB, atau kepala badan yang terinduk di PBB. Periode akhir penulisan pada 20 Oktober 2006, atau genap dua tahun SBY menjadi presiden. Yahya Ombara pesimis dengan kinerja SBY dengan melafalkan kalimat bahwa Pemerintahan SBY-JK sudah ‘sulit memperbaiki kesulitan’. Hanya untuk selamat saja sampai di ujung masa kerja. Pembangunan bangsa dan pertumbuhan ekonomi berkejaran dengan datangnya malapetaka yang tak kunjung henti, dari alam, dari darat, laut, dan udara.

Selain Saldi, Jawahir, Goerge dan Yahya Ombara ditemukan tulisan kocak Wisnu Nugroho, yaitu Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan Istananya.69 Wisnu menuliskan dengan bahwa di balik pesona seorang Presiden dan gemerlap Istananya, pak Beye juga manusia biasa yang memiliki segudang kekurangan. Secara kasat mata, tulisan ini memang terkesan mengungkap hal-hal yang tidak penting tentang Pak Beye dan segala sesuatu yang ada di kompleks Istana Kepresidenan selama satu periode (2004-2009). Tapi, karena ditulis oleh wartawan Istana yang

mengetahui secara detail seluk-beluk dan liku-liku dinamika di Istana, buku ini menjadi menarik dan sarat dengan pesan-pesan tersembunyi.

Daftar di atas tentu masih banyak lagi yang membahas politik hukum Islam ataupun pemerintahan SBY. Namun dari sekian banyak penelitian dan tulisan, penulis belum menemukan pembahasan secara khusus politik hukum Islam pemerintah SBY tahun 2004-2014, yang mencermati kebijakan politik SBY terhadap kepentingan umat Islam, baik pembuatan hukum Islam maupun konsistensi pemerintah dalam mengimlementasikannya. Sehingga penulis tertarik melakukan penelitian tersebut.