• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria

Pasal 9 UU No 56 Prp/1960 menetapkan

IV. PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE

Pasal 10 ayat (1) UUPA menetapkan: “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.

Ditegaskan lebih lanjut oleh Penjelasan Umum II butir (7) bahwa, ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) adalah merupakan suatu perumusan asas yang menjadi dasar perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia yaitu di negara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut landreform atau agraria reform yaitu bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Sehubungan dengan itu maka diadakanlah ketentuan-ketentuan untuk menghapuskan tanah pertanian secara absentee/ guntai (yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya).

Tindak lanjut ketentuan Pasal 10 UUPA diatur oleh Pasal 3 PP No. 224/1961 dan Pasal I PP No. 41/1964. Pada dasarnya kedua pasal tersebut melarang pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat tanahnya. Pemilikan tanah absentee menimbulkan penggarapan tanah yang tidak efi sien, misalnya tentang penyelenggaraannya,

pengawasannya dan pengangkutan hasilnya. Disamping itu dapat juga menimbulkan sistem penghisapan misalnya orang-orang yang tinggal di kota memiliki tanah di desa yang digarapkan kepada para petani-petani yang ada di desa itu dengan sistem bagi hasil. Hal ini berarti bahwa petani yang memeras keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari hasil tanah yang dikerjakan, sedang pemilik tanah yang tinggal di kota yang kebanyakan juga sudah mempunyai mata pencaharian lain dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya mendapat bagian dari hasil tanahnya pula. Berhubung dengan itu perlu pemilik tanah bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut, agar tanah itu dapat dikerjakan sendiri. Batas daerah diambil kecamatan karena jarak dalam kecamatan masih memungkinkan pengusahaan tanahnya secara efektif. Meskipun pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak diperkenankan oleh UU akan tetapi dimungkinkan juga adanya pengecualian-pengecualian.

Sangat menarik pandangan Maria S.W. Sumardjono yang menyatakan bahwa, perlu adanya perhatian terhadap beberapa aspek tertentu berkaitan dengan pemilikan tanah secara absentee antara lain11:

1. Alasan jarak antara tempat tinggal dan letak tanahnya mengingat kemajuan dalam bidang komunikasi dan transportasi saat ini (Pasal 3 PP No. 224/1960).

2. Pengecualian yang diberlakukan bagi PNS/ABRI atau yang dipersamakan, pensiunan PNS/ ABRI dan janda PNS/ABRI/pensiunan (PP No. 4/1977), mengingat bahwa pengecualian itu didasari atas penyediaan jaminan di hari tua.

a. kemungkinan yang dapat mengadakan pembelian adalah mereka yang relatif mampu yang mungkin tidak perlu menggantungkan diri pada perolehan nafkah di bidang pertanian. Justru mereka yang mungkin lebih dapat memanfaatkan hasil pertanian sebagai sumber kehidupan di hari tuanya, secara fi nansial kurang/tidak mampu

11 Maria S.W. Sumardjono,op.cit,h.88

Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee) dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria

melakukan pembelian tanah pertanian.

b. Bila istri yang berstatus PNS/ABRI, apakah ketentuan ini berlaku terhadap duda/ PNS/ABRI ?

c. Apakah tidak seyogyanya ditegaskan keharusan untuk pindah ke tempat pertaniannya sesudah ybs. pensiun, mengingat bahwa pengecualian dari asas yang termuat dalam Pasal 10 UUPA itu sifatnya temporer ?

d. Terlepas dari ketiga hal tersebut, mungkinkah ketentuan tentang pemilikan tanah absentee ini kelak dihapuskan ?

Masalah No. 1 sebagaimana diungkap di atas nampaknya sangat tepat. Sehubungan dengan itu sudah saatnyalah untuk meninjau kembali produk hukum yang berkaitan dengan jarak tempat tinggal dengan tanah untuk disesuaikan dengan kemajuan dibidang komunikasi, teknologi dan transportasi. Diilhami oleh masalah sebagaimana disebutkan di atas maka penulis merasa perlu juga untuk mempermasalahkan, apakah daerah kecamatan yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan pemilikan tanah absentee masih relevan ? hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa kemungkinan seseorang memiliki tanah di luar kecamatan yang tidak berbatasan dengan kecamatan tempat tinggalnya akan tetapi masih memungkinkan untuk dikerjakan secara efi sien (bila dihitung berdasarkan jarak). Sehubungan dengan itu, apakah tidak

lebih tepat untuk menentukan absentee atau tidaknya pemilikan tanah dipakai kabupaten/kota atau kalau menemui kasus seperti tersebut di atas tetap dipakai ukuran kecamatan tetapi apabila masih memenuhi kriteria jarak yang ditentukan bisa juga dikecualikan ?

Masalah No. 2a kiranya perlu mendapat perhatian yang seksama. Apabila yang disinyalir itu benar maka perlu kajian yang lebih mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehingga harapan yang terkandung dalam PP termaksud sasarannya tepat. Oleh karena itu penulis mengacu pada tujuan UUPA dan penetapan batas minimum pemilikan tanah. Salah satu tujuan UUPA adalah untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani. Penetapan batas minimum bertujuan agar tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf penghidupan yang layak. Bertumpu pada alasan yang telah diungkap di atas maka penulis berpendapat bahwa, ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemilikan maksimal tanah pertanian secara absentee bagi PNS/ABRI dan yang dipersamakan, pensiunan PNS/ABRI dan janda PNS/ABRI/pensiunan perlu ditinjau kembali dan menurut hemat penulis batas maksimum berpatokan pada luas minimum (yaitu dua hektar) bukan 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten/Kota). Hal ini didasarkan pada pemikiran berikut: (a) PNS/ABRI dan janda PNS/ ABRI sudah mempunyai penghasilan tetap (gaji/pensiunan); (2) perlakuan terhadap petani pada umumnya dengan PNS/ABRI, pensiunan PNS/ABRI dan janda PNS/ABRI hendaknya tidak menunjukkan gap terlalu tajam agar tidak memicu kecemburuan sosial.

Terhadap masalah 2b tentang kemungkinan diberlakukannya ketentuan untuk janda PNS/ABRI terhadap duda PNS/ABRI. Penulis merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap istilah janda yang dalam pengertiannya yang luas istilah janda tercakup didalamnya janda perempuan dan janda laki/duda. Istilah janda laki sebagai sinonim istilah duda dipakai oleh Surojo Wignjodipuro, 1973: 233, dan pakar hukum adat lainnya. Dari Penjelasan Umum angka 7 PP No. 4/1977 dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan janda adalah terbatas pada seorang istri yang ditinggal suami karena meninggal dunia. Dengan demikian tidak termasuk mereka yang berstatus janda sebagai akibat perceraian. Motif apa yang mendorong Pemerintah

menetapkan hanya janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena meninggal dunia saja yang bisa memiliki tanah pertanian secara absentee tidak pernah diungkap oleh PP itu sendiri. Dengan mendasarkan diri pada interpretasi ekstensif dan mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 8 UU No.56 Prp/1960 penulis berpendapat bahwa, terhadap duda PNS/ABRI dapat juga diberlakukan ketentuan untuk janda PNS/ABRI.

Terhadap masalah 2c, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain:

(1) Apakah alasan yang diungkap dalam PP termaksud masih relevan? Penulis berpendapat bahwa alasan yang dimuat dalam PP termaksud masih bisa diterima. Bukankah untuk pindah ke tempat letak tanah memerlukan biaya yang cukup tinggi? Bagaimana pula dengan anak- anaknya yang masih memerlukan bimbingan/perhatian orang tua disamping kemungkinan adanya kesulitan untuk beradaptasi dengan suasana/situasi dan kondisi lingkungan yang baru.

(2) Kalaupun pensiunan PNS/ABRI bisa pindah ke kecamatan letak tanahnya belum tentu ia dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif apalagi yang bersangkutan tidak mempunyai ketrampilan dibidang pertanian, faktor usia, disamping UU masih memungkinkan untuk menyerahkan pengusahaan tanahnya kepada orang lain (bagi hasil).

(3) Tidak pindahnya pensiunan PNS/ABRI ke kecamatan letak tanahnya justru kurang menguntungkan pensiunan itu sendiri. Bukankah pemilikan tanah absentee dibatasi (hanya sampai 2/5 dari batas maksimum)?

(4) Ditinjau dari umur rata-rata orang Indonesia, maka bagi pensiunan tidak lama lagi menikmati hidupnya, sehingga setelahnya ia meninggal dunia terjadilah proses pewarisan, hal mana berarti berakhirnya pemilikan tanah pertanian absentee.

Terhadap masalah 2d tentang kemungkinan penghapusan ketentuan pemilikan tanah absentee, menurut hemat penulis diperlukan pemikiran yang cermat. Ada beberapa akibat yang mungkin timbul antara lain:

1. Adanya kesulitan untuk melacak/memonitor pemilikan/penguasaan tanah seseorang dalam kaitannya dengan penetapan pemilikan batas maksimum (seandainya memiliki tanah terpencar).

2. Pemilikan/penguasaan tanah secara terpencar menimbulkan penggarapan yangtidak efi sien

dan optimal, dus ini berarti kurang menguntungkan petani itu sendiri.

3. Memperluas terjadinya pemerasan oleh golongan ekonomi kuat terhadap golongan ekonomi lemah yang tersalur dalam bentuk sewa, bagi hasil dsb.

4. Memberikan peluang kepada segolongan orang tertentu untuk menyimpang dari ketentuan- ketentuan landreform.

Atas dasar pertimbangan di atas maka ketentuan tentang pemilikan tanah pertanian secara absentee belum saatnya dihapus.

V. SIMPULAN

Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee) dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik simpulan berikut:

1. Pemilikan dan/atau penguasaan tanah melampaui batas:

a. Kriteria yang digunakan untuk membedakan daerah padat dan tidak padat berdasarkan indikator sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum butir (7) UU No. 56 Prp/1960 perlu dikaji ulang.

b. Sementara belum ditetapkan penggolongan daerah berdasar peraturan perundang- undangan baru maka, Keputusan Menteri Agraria No. Sk 978/ Ka/1960 hendaknya diperbarui, disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang ada pada saat ini. c. Pemilikan batas maksimum untuk tanah non pertanian sebagaimana ditetapkan oleh

Pasal 12 UU No. 56 Prp/1960 perlu segera direalisir untuk mencegah terjadinya spekulasi dibidang pertanahan.

2. Pemilikan batas minimum

a. Penurunan batas minimum pemilikan tanah pertanian perlu pertimbangan yang cermat. Nampaknya penetapan yang sifatnya bervariasi dirasa lebih rasional dan adil. b. Fragmentasi tanah pertanian yang disebabkan karena pewarisan hendaknya jangan

dibiarkan terus berlanjut, untuk itu perlu dipikirkan jalan keluarnya sekaligus dalam rangka merealisir Pasal 9 UU No. 56 Prp/1960.

3. Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai

a. Dalam rangka penyempurnaan UUPA/pembaruan agraria, ketentuan-ketentuan mengenai pemilikan tanah pertanian secara absentee masih relevan oleh karena itu hendaknya dipertahankan, namun beberapa hal diantaranya perlu dikaji ulang.

b. Kecamatan sebagai kriteria penetapan pemilikan tanah secara absentee perlu ditinjau kembali. Kiranya ukuran yang lebih tepat adalah Kabupaten/ Kota.

c. Batas pemilikan tanah pertanian secara absentee khusus bagi mereka yang dikecualikan, sebaiknya mengacu pada pemilikan batas minimum.

Demikianlah uraian penulis, semoga dalam penyempurnaan UUPA/ pembaruan agraria buah pikiran ini ada manfaatnya.

Abdurrahman, 1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni, Bandung.

Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. kesebelas (edisi revisi), Djambatan, Jakarta.

Efendi Peranginangin, 1979, Hukum Agraria I, Sari Kuliah (2), Jurusan Notariat, FH UI, Jakarta.

Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Cet. pertama, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

_______, 1990, Penggunaan Tanah di Pedesaan Menyongsong Era Industrialisasi,

Makalah pada Seminar Nasional Tri Dasa Warsa UUPA kerjasama Fakultas Hukum UGM- BPN, 24 September, Yogyakarta.

Parlindungan, A.P., 1987, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, Alumni, Bandung.

Surojo Wignjodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-azas Hukum Adat, Alumni,Bandung. Ketetapan MPR RI No. IX / MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam.

Undang Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang Undang No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Peraturan Pemerintah No. 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah No.41/1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP No.224/1961

tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah No. 4/1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai/ Absentee Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.

Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria No. Sekra 9/1/2/1961 tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 56 Prp/1960.

Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee) dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria

Fenomena Cyber Terrorism