• Tidak ada hasil yang ditemukan

A hybrid framework suatu alternatif pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "A hybrid framework suatu alternatif pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pengantar Redaksi ... 2 A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia

Ni Ketut Supasti Dharmawan ... 3 - 13

Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi

Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi ... 49 - 64

Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee) dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/pembaruan

Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah

Cokorda Istri Anom Pemayun ... 101-110

Petunjuk Bagi Penulis ... 111

KERTHA PATRIKA

Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Volume 34 Nomor 1, Januari 2010

Penanggung Jawab:

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH.

Pemimpin Redaksi:

Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H.,M.Si.

Dewan Redaksi:

Prof. Dr. Philipus M. Hadjon,SH. (Unsakti) Prof. Dr. Nindyo Pramono,SH.,MS. (UGM) Prof. Dr. Hikmahanto Juwana,SH.,LLM. (UI) Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.,MS (Unud)

Prof. Dr. I Nyoman Sirtha,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani,SH.,MS. (Unud)

Prof. Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum. (Unud)

Prof. Dr. Ibrahim R. SH.,M.Hum. (Unud) Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan,SH.,M.Hum. (Unud)

(3)

Pengantar Redaksi

Edisi perdana di tahun 2010 ini tampak mengalami berbagai perubahan. Dari sisi tampilan, kulit muka (cover) Kertha Patrika berupaya menampilkan ciri, identitas dan jati diri suatu jurnal hukum tanpa mengesampingkan aspek seni dan estetika yang ada. Format penulisan pun juga telah disesuaikan dengan mengikuti standar-stándar yang ada. Dari sisi personil, Kertha Patrika juga mengalami pergantian staf redaksi untuk melakukan proses penyegaran dan meningkatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Dari sisi substansi, ada sesuatu yang membanggakan di edisi kali ini. Telah nampak suatu kesadaran dan kegairahan untuk menulis yang ditunjukkan dengan banyaknya naskah yang diterima oleh redaksi dan datang dari beberapa bagian yang ada di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Hampir seluruh bagian menyumbangkan tulisannya di edisi ini. Bagian Perdata diwakili oleh Ni Ketut Supasti Dharmawan dengan A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, I Wayan Wiryawan dengan Implementasi Prinsip Tri Hita Karana Dalam Kontrak Konstruksi, I Ketut Westra dengan Implementasi Good Corporate Governance dalam Perusahaan Publik di Indonesia, dan I Gusti Nyoman Agung dengan Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum, Absentee) Dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/ Pembaruan Agraria. Dewa Suartha mewakili Bagian Acara dengan tulisannya mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia.Bagian Hukum Administrasi Negara diwakili oleh Cokorda Istri Anom Pemayun dengan tulisannya Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi mewakili Bagian Hukum dan Masyarakat dengan tulisan Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-awig dalam kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman. Bagian Hukum Pidana diwakili oleh I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH dengan tulisannya Fenomena Cyber Terrorism. Sebagai pamungkas, Bagian Internasional diwakili langsung oleh ketua bagiannya I Gede Pasek Eka Wisanjaya melalui tulisan Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional.

Semoga dengan relatif seimbangnya informasi dan pengetahuan yang diberikan oleh para penulis dari beberapa disiplin hukum yang berbeda, dapat menyumbangkan segala konsep, ide, teori, dan pemikiran hukum dengan melihatnya dari beragam sudut pandang dan fokus kajian. Pada gilirannya, proses ini akan memperkaya khazanah keilmuan hukum yang ada khususnya bagi Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(4)

A Hybrid Framework

Suatu Alternatif Pendekatan CSR

(Corporate Social Responsibility)

di Indonesia

1

oleh:

Ni Ketut Supasti Dharmawan

(Bagian Hukum Perdata FH-Unud)

Abstract

There is different way to enforce a CSR in developed countries such as in Europe and America, they enforce the CSR voluntary, otherwise in Indonesia, and it is enforced mandatory based on the Act No. 40 Year 2007 and the Act No. 25 Year 2007. Alternatively, a Hybrid Framework can be employed as solution for further enforcement of CSR in Indonesia instead of mandatory based. Through a hybrid framework, the corporation may contribute better corporate social responsibility that fl exibly adopting their programs by refl ecting the local genuine problem.

Key words: CSR, Voluntary based, Mandatory Based, A Hybrid Framework.

I. PENDAHULUAN

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) , khususnya Pasal 74, dan Pasal 15 huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM), maka CSR ( Corporate Social Responsibility ) di Indonesia secara resmi terkonstruksi melalui bentuk Perundang-Undangan dengan sebutan ”Tanggung Jawab Sosial

Dan Lingkungan” padaUUPT, dan ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ” pada UUPM.

Sehubungan dengan keberadaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungandan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaandalam kedua Undang-Undang tersebut di atas, ternyata telah mengundang pendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan. Konsep CSR di pergaulan dunia internasional lebih dikenal sebagai konsep yang pelaksanaannya melalui framework ”voluntary based”, atau tim peneliti dari Komisi Hukum Nasional (KHN) menyebutkan bahwa dalam praktik CSR berlangsung melalui mekanisme soft law ( deregulasi) seperti code of conducts. Mekanisme soft law ini,2 telah menjadi ciri tersendiri dari pelaksanaan CSR di dunia

hukum korporasi.3 Meskipun dalam praktek korporasi di negara-negara maju seperti misalnya

1 Makalah ini disajikan sebagai bahasan atas Makalah Utama yang disajikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro,SH,MH dengan tema: “CSR ( Corporate Social Responsibility) dalam peraturan Perundang-undangan”, yang disampaikan dalam Acara DISEMINASI REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum Nasional RI dengan FH UNUD Bali, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009.

2 Soft law is collectively rules that are neither strictly binding nor completely lacking in legal signifi cance. In international law , soft law : Guideline, police declarations, or codes of conduct that set standards of conduct but are not legally binding. See Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Thomson West Publishing Co, USA, page 1426.

(5)

di Amerika dan Uni Eropa, CSR diatur melalui mekanisme soft law, namun keberadaan CSR di Indonesia secara tegas diformulasikan dalam bentuk perundang-undangan (UUPT dan UUPM). Sehubungan dengan penomena tersebut, CSR dari konsep awalnya voluntary based bergeser ke mandatory based, ternyata telah menimbulkan perdebatan dan diskusi hangat, pro dan kontra mempertanyakan tentang ketidaklaziman pengaturan CSR (secara mandatary) yang berbeda dengan praktek-praktek di negara maju. Dalam acara Desiminasi Rekomendasi KHN, fokus kajian dan rekomendasi lebih diarahkan untuk mengkaji keberadaan CSR di Indonesia yang tidak sama dengan kelazimannya di negara-negara seperti Eropa dan Amerika, juga mengkritisi tentang apakah ”Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” serta ”Tanggung jawab Sosial Perusahaan” memiliki konsep yang sama dengan CSR di negara-negara maju ? serta bagaimanakah keberadaan Pasal 74 U.U. No. 40 Tahun 2007 yang mengatur tentang ”Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” apakah keberadaan pasal tersebut tidak tumpang tindih (inkonsisten) dengan perundang-undangan lainnya? atau bahkan inkonsisten dalam Undang-Undang itu sendiri.

Sehubungan dengan tema sentral kajian tersebut diatas, melalui kertas kerja / makalah ini saya mencoba untuk ikut menyumbangkan pemikiran dan rekomendasi. Pokok-pokok pembahasan dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada perbedaan model pendekatan dan argumentasi pendukungnya, serta luas cakupan konsep CSR di Indonesia yang tertuang dalam UUPM dan UUPT dan perbandingannya dengan CSR di Eropa dan negara maju lainnya.

Dalam tulisan ini, digunakan studi kepustakaan4 yaitu dengan meneliti bahan hukum

primer dan sekunder untuk mengkaji dan membahas keberadaan CSR di Indonesia dan perbandingannya dengan konsep dan teori CSR di negara-negara maju.

II. PEMBAHASAN

1. Studi Perbandingan Tentang CSR Dalam Dunia Korporasi Di Negara Maju Dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dalam UUPT dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pada UUPM

Keberadaan dan perkembangan CSR secara yuridis formal dengan menyebut secara tegas istilah ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” (CSR) memang masih sangat dini di Indonesia, yaitu melalui pendekatan mandatory diatur dalam UUPT 2007 dan UUPM 2007. Namun demikian, dalam bentuk dan ”nama lain” CSR sudah dikenal sejak lama di Indonesia, misalnya dalam bentuk ”peran serta perusahaan” terhadap pembangunan di masyarakat sekitarnya. Kemudian dengan diundangkannya UUPT dan UUPM perusahaan besar atau perusahaan-perusahaan multinasional mulai mengembangkan program dan konsep CSR.

Praktek perusahaan-perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat ( perusahaan transnasional) menunjukkan bahwa norma-norma CSR dicantumkan dalam code of conduct, dan merupakan satu tipe regulasi internal yang mampu diterapkan atau diberlakukan pada perusahaan yang globalised. Konsep CSR atau pertanggungjawaban sosial di negara-negara maju seperti di Eropa dan AS diberlakukan dan bersifat sukarela atau voluntary.5

CSR diterapkan secara sukarela (voluntary based) di negara-negara maju tentu saja menjadi 4 In legal research, case law, treaties and statutes constituted as part of primary source, otherwise such mass media and textbooks fall within secondary sources. See The Staffs of George Washington University Journal of International Law and Economic, 1993. Guide to International Legal Research, Second Edition, Butterworth Legal Publishers, United States, page 37.

(6)

wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan dengan berbagai defi nisi tentang CSR yang dapat dijumpai dari berbagai literatur. Seperti misalnya

menurut World Bank, CSR didefi nisikan sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable

economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both and good for business development.”6 Senada dengan

World Bank, Danette Wineberg and Philip H Rudolph mengemukakan defi nisi CSR adalah

“the contribution that a company make in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy.”7 Mencermati adanya konsep Corporate

Philanthropy (CP), yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (tempat perusahaan beroperasional), sekali lagi menjadi sangat wajar jika praktek penerapan CSR di negara-negara maju diterapkan secara sukarela atau voluntary.

Keberadaan CSR di Indonesia sekarang ini, selain kontroversial yaitu perdebatan seputar voluntary based v. mandatory based, juga persoalan lain yang juga dipertanyakan adalah mengapa perusahaan atau korporasi yang harus melakukan tanggung jawab sosial ? mengapa bukan pihak lainnya ? mengapa tanggung jawab sosial harus dibebankan kepada perusahaan ?. Jawabannya akan menjadi sangat sederhana jika mengacu pada legal term “CSR” adalah kepanjangan dari Corporate Social Responsibility, tentu saja dari istilah dan konsep tersebut menentukan perusahaan atau korporasi yang mempunyai tanggung jawab sosial. Sehubungan dengan mengapa korporasi atau perusahaan harus bertanggungjawab dan seberapa besar tanggungjawab social yang harus dilakukan oleh perusahaan, dalam ranah keilmuan di kenal empat (4) teori yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dari perusahaan yaitu: 8

Maximizing Profi ts theory, berdasarkan teori ini, yang lebih dikenal sebagai teori atau pandangan tradisional tentang tanggung jawab sosial, mengemukakan bahwa sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan, maka perusahaan berkewajiban untuk meningkatkan dan memaksimalkan keuntungan dari shareholders (pemilik saham perusahaan). Menurut Milton Friedman, seorang pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi melalui teorinya menambahkan bahwa memaksimalkan profi t diartikan sepanjang dilakukan dalam jalur

yang tepat (rule game) dalam skema persaingan bebas tanpa suatu kecurangan. Teori ini banyak dikecam karena hanya menekankan pada tanggungjaab dan kewajiban meningkatkan keuntungan bagi shareholders.

Moral Minimum theory, konsep tanggung jawab sosial menurut teori yang ke dua ini adalah bahwa perusahaan wajib untuk menghasilkan keuntungan dalam operasinya, namun jangan sampai merugikan atau membahayakan pihak lainnya. Sebagai contoh dalam teori ini jika suatu perusahaan menimbulkan pencemaran lingkungan, maka perusahaan tersebut wajib memberikan kompensasi ganti rugi atas kerugian yang terjadi. Jika kemudian pihak perusahaan telah memberikan ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut , maka perusahaan tersebut telah melakukan tanggung jawab sosial yaitu memenuhi moral minimum konsep CSR. Teori ini pun banyak menuai kritik karena tanggung jawab sosial hanya berorientasi pada program pemulihan keadaan setelah terjadi negatif effects .

6 Johannes Simatupang, Memeriksa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http://johannessimatupang.wordpress.com/2009/06/08/, diakses 8 Nopember 2009, hal 1.

7 Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal 2.

8 Henry R. Cheeseman, 2003. Contemporary Business & E-Commerce Law, Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey, page186-192.

(7)

Stakeholder Interest Theory, menurut teori ini perusahaan harus mempertimbangkan efek dari kegiatan operasionalnya terhadap kepentingan stakeholder (karyawan, konsumen, kreditor, masyarakat setempat). Kritik terhadap teori ini adalah bahwa tidak mudah mengharmonisasikan kepentingan stakeholder yang satu dengan stakeholder lainnya, misalnya suatu tindakan mungkin akan mememenuhi kepentingan stakeholder dari kalangan para kreditor, namun belum tentu memenuhi keinginan dan kepentingan stakeholder pegawai/ karyawan maupun masyarakat setempat.

Corporate Citizenship theory, menurut teori ini, tanggung jawab sosial berarti perusahaan berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang baik (to do good) baik untuk perkembangan perusahaannya sendiri maupun keseluruhan stakeholders termasuk didalamnya lingkungan, perusahaan bertanggungjawab untuk membantu memecahkan masalah sosial, mensubsidi mendirikan sekolah-sekolah maupun mendidik anak-anak. Teori ini kemudian banyak diikuti berkaitan dengan penerapan CSR dalam praktek.

Senada dengan Corporate Citizenship theory, berkembang konsep CSR dengan tiga piramida dasarnya berdasarkan konsep triple bottom lines yaitu : profi t, people, dan planet (3P), keberadaan perusahaan ataupun korporasi tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi sejak awal sudah turut melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, orang-orang, atau stakholdernya dan lingkungan.

Konsep CSR di Eropa dan AS, jika dikaitkan dengan CSR yang tercantum dalam Undang-Undang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007 ) dan Undang-Undang-Undang-Undang PT (UU No. 40 Tahun 2007 ) memang terlihat ada perbedaan. Konsep dan teori-teori CSR sebagaimana tersebut diatas, khususnya dari “pemaksaan” pelaksanaannya dan luas cakupan dari CSR itu sendiri. Sekali lagi di negara-negara maju mekanisme pelaksanaannya CSR adalah voluntary based, sedangkan di Indonesia adalah mandatory atau kewajiban hukum, kewajiban tersebut sangat tegas dicantumkan melalui ketentuan Pasal 15 dan Pasal 34 UU No. 25 Tahun 2007 yang menentukan bahwa : setiap Penanam Modal (perseroan ataupun perusahaan berbadan hukum ataupun bukan badan hukum) berkewajiban untuk:

1. Menerapkan prinsip dan tata kelola perusahaan yang baik 2. Melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan

3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal

4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal 5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan ( Pasal 5 UU No 25 Tahun

2007 )9

Undang-Undang Penanaman Modal mengatur sanksi secara tegas mengenai pelanggaran terhadap kewajiban CSR yaitu:

1. Peringatan tertulis

2. Pembatasan kegiatan usaha

3. Pembekuan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal dan 4. Pencabutan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal.

Sementara itu CSR dalam UU PT yang kemudian lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab

(8)

Sosial Dan Lingkungan, melalui ketentuan Pasal 74 U.U. No. 40 Tahun 2007 menyebutkan bahwa:

1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.

5. Penjelasan Pasal 74 UUPT menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan ”perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.

Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan kemudian membandingkannya konsep CSR di negara-negara maju, saya sependapat dengan tim peneliti dari KHN bahwa bahwa konsep dasar Tanggung Jawab Sosial Korporasi dalam Undang-Undang tersebut telah mengalami perubahan yaitu dari konsep dasar ’tanggung jawab sosial” (social responsibility) menjadi

”kewajiban hukum” (legal obligation). Meskipun konsep CSR kemudian mengalami

perubahan ketika diterapkan di Indonesia, kiranya itu bukan suatu kesalahan. CSR sebagai suatu konsep, sebagai suatu pemahaman seperti halnya perkembangan teori-teori CSR tersebut diatas, bukanlah sesuatu yang vacuum melainkan senantiasa progress dan berubah. Dengan demikian bukan merupakan sesuatu yang sangat aneh jika dalam penerapannya di Indonesia konsep CSR berubah dari social responsibility menjadi legal obligation, jika memang perubahan pemahaman atas konsep CSR tersebut lebih tepat untuk mengakomodir tidak hanya kepentingan perusahaan, akan tetapi juga seluruh stakeholders perusahaan seperti: masyarakat setempat, karyawan, konsumen, investor, dan pemerintah. CSR sebagai salah satu perwujudan best practice dari GCG (Good Corporate Governance), jika memang dalam kontekstualnya di Indonesia lebih tepat diformulasikan melalui bentuk Undang-Undang, mengapa tidak ? Indonesia harus berani berbeda karena memang situasi dan kondisi indonesia berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa.

Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia harus berani berbeda dengan negara-negara maju dalam penerapkan CSR jika memang itu diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, melindungi, melestarikan dan merabilitasi lingkungan hidup manusia serta pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Secara singkat, konsep CSR idealnya tetap dikaitkan dengan konsep Community Development (CD). Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pengaturan dan pengimplementasian CSR di Indonesia, adalah suatu progress step dan langkah yang sangat berarti bagi perkembangan Indonesia ke depan dengan berani ”bertegur sapa” dengan pluralism approach, terutama jika memang pendekatan itu yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia (masyarakatnya, lingkungannya, dan juga alamnya). Melalui mekanisme mandatory based, kepastian bahwa keberadaan perusahaan tidak A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia

(9)

hanya akan memikirkan perkembangan perusahaan itu sendiri akan tetapi sama pentingnya dengan berkontrubusi untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat setempat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Secara etis moral, perusahaan dinilai memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan masyarakatnya. Untuk memastikan bahwa tanggung jawab sosial itu terlaksana dengan baik, pendekatan legal obligation atau konsep pertanggungjawaban sosial yang bersifat mandatory kiranya tidak berlebihan diterapkan di Indonesia.

Archie B. Carrol, mengembangkan piramida CSR yaitu sebagai suatu kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lones : profi t, people, dan planet ( 3P), konsep piramida CSR haruslah difahami sebagai suatu kesatuan. Dalam pemahaman CSR sebagai suatu kesatuan, maka penerapan CSR dipandang sebagai sebuah keharusan. Karenanya CSR bukan saja sebagai tanggungjawab, tetapi juga sebuah kewajiban.10

Kontroversi tentang pengaturan CSR dalam Undang-Undang di Indonesia kiranya juga sah-sah saja, sebab baik yang pro maupun yang kontra, mereka mempunyai argumentasi yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Seperti halnya pandangan yang mengkritisi legalisasi CSR ke dalam Undang-Undang yang khusus mengatur tentang korporasi, memandang legalisasi seperti itu malah akan membebankan pihak pengusaha. Kelaziman praktek CSR juga menjadi argumentasi yang relevan untuk mengkritisi pengaturan CSR ke dalam bentuk Undang-Undang. Praktek CSR yang berlangsung lewat mekanisme soft laws ( deregulasi) seperti code of conducts telah menjadi ciri tersendiri pelaksanaan CSR di dunia hukum korporasi, karenanya setiap upaya untuk menstransformasikan CSR dalam hukum perusahaan (regulasi) akan selalu memunculkan permasalahan dan preseden regulasi. CSR dengan ciri khasnya yang terformulasikan dalam bentuk soft law sesungguhnya berada di luar wilayah hukum formal.

Tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku transparan dan etis, konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep CSR dengan demensinya (lingkungan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat, organizational governance, isu konsumen, dan praktek bisnis yang sehat), pelaksanaannya sangat beragam dan sangat bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela yang didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena penerapan CSR dalam prakteknya selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakatnya. Pendekatan regulasi (dalam bentuk UU) sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness, seperti mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, yang tidak hanya pelaporan tentang aspek keuangan, akan tetapi juga pelaporan yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.11 Namun demikian keberadaan CSR dalam bentuk Undang-Undang juga akan dapat

menjadi dasar hukum bagi sektor bisnis agar mampu menjalankan kegiatan usahanya secara lebih bertanggung jawab dan bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban para pebisnis atas berbagai malpraktek yang dilakukannya selama ini dan berdampak sangat merugikan tidak hanya masyarakat setempat, lingkungan, dan bumi Indonesia.

Di negara Eropa, situasi kontroversi sehubungan dengan penerapan CSR juga terjadi seperti yang dialami di Indonesia. Meskipun kelazimannya CSR diterapkan secara sukarela di Eropa,

10 Bing Bedjo Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility Di Indonesia, http://www.petra.ac.id/ , diakses 8 November 2009, hal.93.

(10)

namun dewasa ini, seiring dengan banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi, seperti pelanggaran HAM12, keinginan untuk menerapkan konsep CSR melalui

pendekatan Undang-Undang mulai tumbuh secara progress dan umumnya disuarakan oleh kalangan akademisi dan Non Government Organization (NGO). Kalangan ini berargumen bahwa tanggungjawab korporasi terutama yang berdimensi human rights terlalu riskan dan amat penting jika hanya dibiarkan dikelola oleh korporasi. Menurut pandangan para akademisi dan NGO ini, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh korporasi sudah sewajarnya diimbangi dengan serangkaian tanggungjawab berbasis hukum, terutama korporasi-korporasi dari kalangan Foreign Direct Investment (FDI) yang memiliki serentetan hak-hak yang sangat mendominasi, mengapa harus takut membebani mereka dengan kewajiban hukum. Namun demikian dalam kenyataannya suara-suara mereka belum cukup kuat jika dibandingkan dengan kekuatan korporasi, sehingga di Eropa, CSR masih diterapkan sesuai konsep awalnya yaitu dalam bentuk social responsibility yang voluntary based.13

Di Eropa, starting point tentang perdebatan CSR antara regulatory atau voluntary, khususnya tanggung jawab perusahaan terkait human rights, social and environmental responsibilities, dapat disebutkan berawal dari the EU’s Corporate Social Responsibility Police: The European Commission’s Green Paper On CSR of 2001. Mengkaji proses perkembangannya, The Green Paper 2001 mendi nisikan

CSR sebagai sebuah konsep pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap stakeholders nya dengan basis voluntary atau secara sukarela, namun tetap mempertimbangkan peran aktif dari otoritas publik. Perkembangan selanjutnya tentang CSR adalah pada tahun 2002, melalui the EU Multi-Stakeholder Forum dan the Lisbon Strategy review pada tahun 2005 yang nampaknya masih didominasi oleh para pebisnis (korporasi), karenanya CSR pendekatannya masih pada ranah voluntary. Di sisi lain, pandangan dari the European Parliement agak kontras (berbeda) dengan the EU Multi-Stakeholder Forum maupun the Green Paper 2001, dengan mengedepankan konsep a mixed approach, yaitu suatu kombinasi voluntary dan regulatory. Meskipun European Parliement dan juga NGO yang pada awalnya berkeinginan agar CSR diterapkan dalam format regulatory, namun dalam perkembangannya ternyata suara korporasi yang masih tetap unggul, dan sebagai hasil akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa CSR tetap dalam format voluntary approach14.

Proses perdebatan dan kontroversi tentang pendekatan CSR di Eropa, kiranya juga dapat dijadikan perenungan bahwa meski di negara maju seperti Eropa, konsep CSR tidak begitu saja harus diterapkan dalam format voluntary, akan tetapi ada juga keinginan untuk mengaturnya dalam format regulatory, atau pendekatan yang lebih memadai dengan mixed framework

A mixed framework atau a hybrid framework adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan antara pelaksanaan CSR secara voluntary dan regulatory. Dalam pendekatan hybrid ini tidak melihat keduanya terpisah secara ekslusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang saling melengkapi. Dengan adanya suatu usaha legislasi, itu bukan berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai suatu hal yang tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep CSR ke dalam Undang-undang lebih dimaksudkan sebagai salah satu faktor yang akan dapat lebih mempengaruhi

12 Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi terkait dengan keberadaan Korporasi (MNC) seperti misalnya dalam kasus Filartiga v. Pena-Irala case, Wiwa v. Royal Dutch Petroleum Co Case, Doe I v Unocol Corp Case, dll . penomena seperti itu telah me-narik banyak experts untuk melakukan penelitian terkait dengan tanggungjawab perusahaan. Lihat Menno T. Kamminga and Saman Zia-Zarifi , 2000, Liability of Multinational Corporations Under International Law, Kluwer Law International, The Netherlands, page 3.

13 Jan Wouters, Leen Chanet, Corporate Human Rights Responsibility : A European Perspective, http://www.law.nortwestern.edu/ journals/jihr/v6/n2/3 , diakses 8 Mei 2009, hal 3.

14 Ibid, hal 7-12.

(11)

ketaatan prilaku korporasi dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya. Dalam banyak hal, di luar pendekatan regulatory framework, justru sangat diharapkan korporasi lebih dapat menjalankan tanggungjawab sosialnya melebihi dari apa yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang. Melalui alternatif hybrid model ini, secara yuridis setiap perusahaan sebagaimana pengertian perusahaan dalam UUPT dan UUPM wajib menjalankan CSR, (mandatory based), namun dari aspek mekanisme pelaksanaanya yang berkaitan dengan apakah perusahaan secara langsung atau harus bermitra dengan pemerintah untuk melaksanakannya, begitu juga jenis-jenis kegiatan apa saja yang menjadi cakupan dari CSR, apakah harus dalam bentuk rekrtmen pegawai, pemberian beasiswa, pola pendampingan usaha, model-model pelestarian lingkungan, partisipasi aktif ke masyarakat, dan lain sebagainya, kiranya pelaksanaannya dilakukan dalam sekema voluntary based, dengan berorientasi pada local genuine problem. Model hybrid framework inilah yang kiranya cukup memadai digunakan dalam penerapan CSR di Indonesia ditengah-tengah kontroversi CSR antara voluntary dan regulatory ( mandatory).

Dalam kaitannya dengan persoalan apakah konsep CSR yang berlaku secara umum di dunia korporasi sama dengan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan di dalam UUPT No. 40 Tahun 2007, dapat dikemukakan bahwa dari segi pendekatan yang digunakan memang berbeda. CSR yang berlaku secara umum di dunia korporasi berbasis social responsibility yang voluntary, sementara itu dalam UU No. 40 Tahun 2007 tanggung jawab sosial yang berbasis ”kewajiban hukum” atau legal obligation. Namun demikian, sebagaimana dengan model pendekatan a hybrid framework seperti tersebut diatas, penerapan CSR dalam perundang-undangan hendaknya tidak dilihat sebegai suatu yang berbenturan akan tetapi suatu pendekatan yang saling melengkapi. Jikapun harus dilihat sebagai suatu yang berbeda, sekali lagi pencantuman konsep CSR dalam format Undang-Undang bukan suatu ”kesalahan” melainkan suatu ”kebutuhan”.

Mencermati mengapa CSR dalam prakteknya (kelazimannya) di negara-negara maju dilakukan secara voluntary, mungkin jawabannya karena ”kebutuhan” mereka seperti itu. Umumnya korporasi-korporasi ”MNE”, holding company- nya berasal dari Eropa maupun Amerika. Dalam situasi seperti itu penerapan CSR lebih menguntungkan jika dilakukan dengan pendekatan voluntary. Jika negara negara maju posisinya ditukar, mereka berposisi seperti negara Indonesia yang lingkungannya dan sumber daya alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan operasional bisnis para korporasi, akankah kebutuhan mereka tetap menginginkan CSR diterapkan dengan pendekatan voluntary ? atau jangan-jangan dengan bargaining position mereka yang lebih kuat, pihaknya akan memaksakan agar CSR dimasukkan dalam framework regulatory.

Dalam perkembangan globalisasi sekarang ini, negara-negara maju yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat senantiasa sangat concern memperjuangkan framework regulatory jika menyangkut ”kebutuhannya”, seperti halnya dalam pengimplementasian WTO dengan berbagai Annex- nya yang senantiasa menuai kontroversial. Bagi negara maju, globalisasi ekonomi dan international trade tentunya sangat menguntungkan, namun belum tentu situasinya sama bagi negara-negara berkembang. Oleh karenanya penerapannya mesti dibarengi dengan good governance dan bantuan secara berkesinambungan dari negara-negara maju, sebab jika tidak kehadiran perangkat regulasi ini lebih akan menjadi kutukan atau nestapa (a curse ) dari pada berkah (a blessing to humankind).15

Dalam hal ’kebutuhan” berkorelasi dan menyangkut ”keadilan” masyarakat manusia dan alam lingkungannya, kiranya bertegur sapa dengan pendekatan pluralisme bukanlah sesuatu yang tabu.

(12)

2. Perbandingan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (UU No. 25 Tahun 2007) dan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (UU No. 40 Tahun 2007) Dengan Konsep CSR di Eropa Dan Amerika.

Sehubungan dengan keberadaan Pasal 15 huruf b UUPM serta penjelasannya tentang melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) dan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 74 Ayat 1 UUPT berkaitan dengan kewajiban perseroan untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan ( TJSL), kiranya memang konsep yang diakomodirnya tidak sama persis dengan CSR di Eropa dan AS. CSR baik dalam UUPM maupun UUPT hanya mengedepankan kewajiban perusahaan untuk menciptakan dan memelihara bina lingkungan yaitu berinteraksi dan menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Konsep CSR seperti yang lazim dipraktekkan di Eropa dan Amerika cakupannya lebih luas juga mencakup kewajiban perusahaan untuk mematuhi standar internasional di bidang ketenagakerjaan, pemenuhan kepuasan, atau kebutuhan pemangku kepentingan seperti misalnya konsumen.16 Secara eksplisit cakupan yang seluas CSR di negara

maju memang tidak diatur baik dalam UUPM maupun UUPT. Mengingat CSR merupakan salah satu bentuk perwujudan dari best practice GCG, kiranya kedepannya akan sangat relevan dalam UUPM maupun UUPT mengatur secara eksplisit prihal kewajiban mematuhi standar internasional di bidang ketenagakerjaan, seperti halnya yang lazim dalam praktek di Eropa dan Amerika, begitu juga kewajiban tanggungjawab sosial ( pemenuhan kepuasan dan kebutuhan ) pemangku kepentingan seperti konsumen.

Perbedaan konsep CSR dalam UU di Indonesia dengan CSR di negara maju, selain dalam UUPM maupun UUPT tidak mengakomodir secara eksplisit elemen-elemen penting dari CSR sebagaimana konsep CSR di negara maju, saya sependapat dengan tim peneliti dari KHN bahwa keduanya tidak secara tegas mencantumkan dan menjelaskan apakah konsep CSR dalam Undang-Undang tersebut mencakup bidang ketenagakerjaan dan hak asasi manusi seperti CSR di negara maju. Dalam UUPT Pasal 1 angka 3 hanya menyebutkan : ”Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat.” Selain itu, saya juga sependapat dengan pemakalah, bahwa CSR dalam UUPT terkesan diskriminatif, yaitu karena hanya mewajibkan TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Idealnya CSR diterapkan pada perseroan dalam semua lini.

Konfl ik norma tampak jelas mewarnai keberadaan CSR dalam UUPT, terutama pada Pasal

1 angka 3 dengan Pasal 74. pada Pasal 1 ayat 3 UUPTmenyebutkan ”tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”, sementara itu pada Pasal 74 UUPT mengemukakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, dengan mendasarkan pada konstruksi hukum yang dikemukakan oleh Lawerence Friedman, dimana sistem hukum ( legal system) terdiri dari tiga

16 Mardjono Reksodiputro, OpCit, hal 10.

(13)

unsur yaitu legal substance ( substansi hukum ), legal structure ( struktur hukum ) dan legal culture ( budaya hukum),17 idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana

dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah. Jika dalam tatanan legal substance (substansi hukumnya) terjadi kon ik norma maupun norma kabur, tentu saja dalam

proses penegakan hukumnya akan menyulitkan dan akan menjadi sebagai salah satu faktor penyebab tidak efektifnya hukum dalam ranah penegakannya. Rekomendasi yang dapat diajukan adalah untuk mencermati kembali keberadaan pasal 1 ayat 3 dan relasinya dengan Pasal 74 UUPT .

III. PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan uraian pada Bab Pembahasan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa penerapan konsep CSR di negara Eropa dan Amerika tidak sama dengan di Indonesia, dimana di negara maju tersebut CSR diterapkan dengan mekanisme voluntary based sedangkan di Indonesia melalui UUPT dan UUPM diterapkan dengan mandatory based.

2. Pendekatan hybrid framework relevan sebagai suatu alternatif penerapan konsep CSR dalam situasi kontekstual, terutama pada kondisi kontroversial antara pendekatan regulatory (legal obligation) seperti dalam UUPM dan UUPT dengan voluntary based sebagaimana penerapan CSR di negara-negara maju.

3. Konsep CSR yang dituangkan dalam UUPM dan UUPT cakupannya lebih sempit dari konsep CSR di negara maju seperti Eropa dan Amerika. Baik UUPM maupun UUPT tidak secara tegas mengakomodir kewajiban tanggungjawab sosial yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan hak asasi manusia, serta tidak secara eksplisit menentukan adanya kewajiban tanggungjawab sosial (pemenuhan kepuasan dan kebutuhan ) pada pemangku kepentingan seperti konsumen.

4. Pengaturan CSR dalam UUPT selain diskriminatif juga diwarnai dengan konfl ik

norma, sehingga substansi hukum seperti itu akan dapat menjadi faktor penghambat dalam pengimplementasiannya.

Rekomendasi

1. Hendaknya pendekatan regulatory berkaitan dengan CSR di Indonesia tidak dibenturkan dengan tajam dengan pendekatan voluntary, melainkan dipahami sebagai suatu pendekatan yang saling melengkapi. A Hybrid Framework dapat dijadikan sebagai suatu alternatif solusi .dalam penerapan CSR di Indonesia

2. Perlu pengkajian lebih mendalam tentang substansi hukum dalam UUPT agar tidak terjadi konfl ik norma.

17 Lawrence Friedman, 2001, American law : An introduction, 2nd edition, diterjemahkan oleh Wisnu basuki, Tatanusa, bandung,

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Bryan A. Garner.2004. Black’s Law Dictionary..USA: Thomson West Publishing Co.

Henry R. Cheeseman. 2003. Contemporary Business & E-Commerce Law. New Jersey: Prentice Hall Upper Saddle River.

Jamin Ginting. 2007. Hukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Lawrence Friedman. 2001. American law: An introduction, 2nd edition. Diterjemahkan oleh Wisnu

Basuki.Bandung: Tatanusa.

Menno T. Kamminga and Saman Zia-Zarifi . 2000. Liability of Multinational Corporations Under

International Law. The Netherlands: Kluwer Law International.

Peter Van Den Bossche 2008. The Law And Policy of the World Trade Organization. Cambridge University Press.

The Staffs of George Washington University Journal of International Law and Economic.1993. Guide to International Legal Research, Second Edition. USA: Butterworth Legal Publishers. Mardjono Reksodiputro.2009. CSR ( Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan

Perundang-undangan. Makalah Desiminasi.

Bing Bedjo Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility Di Indonesia, http://www.petra. ac.id/

Jan Wouters, Leen Chanet, Corporate Human Rights Responsibility : A European Perspective, http:// www.law.nortwestern.edu/journals/jihr/v6/n2/3

Johannes Simatupang, Memeriksa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http://johannessimatupang. wordpress.com/2009/06/08/

Mohamad S. Hidayat, Pandangan Dunia Usaha Terhadap Undang-Undang, http://www.madani-ri.com/2007/10/31

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

(15)

Implementasi Prinsip Tri Hita Karana

dalam Kontrak Konstruksi.

1

Oleh:

I Wayan Wiryawan

(Bagian Hukum Perdata FH-Unud)

Abstract

The Tri Hita Karana literally means three things that cause welfare, as an expression of relating pattern in harmony and equitability bears universal values, it means could be implemented by everyone in live activities or in contractual related between each individual and others. Relating to the construction contract, the form and function of Tri Hita Karana which are refl ected in scope of construction works are covered of planning construction works, implementing construction works and controlling construction works.

Keywords: Implementation, Tri Hita Karana, Construction Contract.

I. PENDAHULUAN

Dalam pembangunan nasional, bidang usaha jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan dan bentuk

sik lain, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan

dan perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai pembangunan, usaha jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.2 Bidang usaha jasa konstruksi diharapkan mampu

mengembangkan perannya dalam pembangunan melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara lebih efi sien dan ekektif. Struktur usaha yang kokoh tercermin

dengan terwujudnya pola kemitraan yang sinergis antara pengguna jasa dan penyedia jasa baik yang berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifi kasi umum, spesialis, dan

terampil. Untuk itu perlu diwujudkan pola ketertiban penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban.

1 Disampaikan Pada Seminar Pekan Ilmiah Dalam Rangka HUT Ke- XLV Dan Badan Kekeluargaan Fakultas Hukum Uni-versitas Udayana, Denpasar ,9-10 Oktober 2009.

(16)

Dengan demikian pengaturan jasa konstruksi mempunyai tujuan untuk:

a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;

b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.3

Dalam kaitannya dengan tujuan pengaturan jasa konstruksi tersebut untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, perlu dikemukakan jenis usaha jasa konstruksi, yaitu: usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksana konstruksi dan usaha pengawasan konstruksi. Adapun bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitek, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya. Para pihak yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi adalah yang disebut pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pengaturan hubungan kerja para pihak tersebut dituangkan ke dalam bentuk kontrak konstruksi.4

Salah satu syarat dalam kontrak konstruksi itu mencakup uraian mengenai kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bentuk tanggungjawab mengenai gangguan terhadap lingkungan dan manusia.5

Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan termasuk kepatuhan para pihak yakni pengguna jasa dan penyedia jasa dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pengikatan dalam hubungan kerja kontrak konstruksi di dalam implementasinya selain dilandasi oleh Undang-undang Jasa Konstruksi (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999) dan peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000), juga memperhatikan ketentuan mengenai prinsip dan norma hukum yang berlaku dalam suatu wilayah atau tempat di mana penyelenggaraan kontrak konstruksi itu diselenggarakan. Pada wilayah provinsi Bali, prinsip dan norma hukum yang dimaksud tertuang dalam aturan tentang pemanfaatan tataruang wilayah yang dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (disingkat RTWRP) Bali dan tertuang pula dalam aturan mengenai persyaratan arsitektur bangunan, dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemanfaatan tataruang wilayah provinsi Bali yakni Perda RTRWP Bali Nomor 3 Tahun 2005 yang saat ini perubahannya masih dalam pembahasan, dan Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.

Penyelenggaraan kontrak konstruksi di Bali sudah sepatutnya memperhatikan ketentuan peraturan daerah yang dimaksud, karena kedua peraturan daerah tersebut, baik Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2005 maupun Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 pada azasnya berdasarkan pada landasan fi loso s yang dikenal dengan Tri Hita Karana. Hal ini penting untuk

dikemukakan, sebab Tri Hita Karana telah menjadi landasan keharmonisan hidup masyarakat 3 Pasal 3 Undang-Undang Jasa Koonstruksi.

4 Pasal 22 Undang-Undang Jasa Konstruksi.

5 Pasal 22 Undang-Undang Jasa Konstruksi jo Pasal 23 ayat (1) Huruf m PP No. 29/2000

(17)

Bali. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimanakah wujud, fungsi dan implementasi Tri Hita Karana dalam penyelenggaraan kontrak konstruksi di Bali serta penegakan hukumnya (dari aspek fi loso s, aspek yuridis dan aspek sosiologis).

II. PEMBAHASAN

1. Wujud dan Implementasi Tri Hita Karana

Berdasarkan etimologi, Tri Hita Karana terdiri dari kata: Tri artinya tiga, Hita artinya kemakmuran, dan Karana artinya penyebab atau sebab musabab. Jadi, Tri Hita Karana diartikan sebagai tiga unsur penyebab kebahagian atau kemakmuran. Tiga unsur yang dimaksud adalah: Unsur pertama yang disebut dengan Parhyangan (Ida sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa); Unsur yang kedua yang disebut dengan Pawongan (Umat manusia); dan Unsur yang ketiga yang disebut dengan Palemahan (Alam lingkungan). Konsepsi fi loso s Tri Hita Karana tercantum

dalam Kitab Suci agama Hindu (Bhagawadgita: III.10) yang pada intinya menyebutkan bahwa Tri Hita Karana adalah ”membangun kebahagiaan dengan mewujudkan sikap hidup yang seimbang dan harmonis antara ber-bhakti (ketulusan) pada Tuhan, mengabdi pada sesama dan menyayangi alam berdasarkan yadnya (ritual, korban suci)”.6

Harmonisasi dan keseimbangan berdasarkan yadnya dari tiga unsur tersebut sebagai sebab (Karana) datangnya kebahagiaan atau kesejahteraan hidup (Hita). Dengan demikian harmoni dan seimbang merupakan faktor yang menghasilkan keharmonisan dan keseimbangan sehingga membentuk satu prinsip yang luhur sebagai bagian dari suatu sistem budaya untuk menuju pada intergrated balance harmony. Menurut A White, suatu sistem budaya terbentuk atau terdiri atas tiga elemen pokok yaitu: teknologi, sosiologi dan ideologi.7 Di dalam elemen teknologi terdiri atas

peralatan termasuk cara penggunaan atau pemakaiannya. Pada elemen sosiologi meliputi adat kebiasaan (customs), pranata atau lembaga sosial (institution), dan peraturan (codes). Sedangkan pada elemen idiologi mencakup ide-ide atau konsep-konsep dan kepercayaan. Ketiga elemen sistem budaya itu saling terkait satu dengan yang lainnya. Masing-masing hanya bermakna kalau berkolerasi satu dengan yang lain dalam satu kesatuan sistem secata keseluruhan.

Dalam konteks pengertian Tri Hita Karana, sistem budaya pada masyarakat Bali pada hakekatnya adalah merupakan implementasi dari unsur Parhyangan yang analog dengan subsistem budaya atau pola pikir, unsur Pawongan yang analog dengan subsistem sosial dan unsur Palemahan yang analog dengan subsistem teknis atau kebendaan termasuk lingkungan alam.8

Berdasarkan konsepsi tersebut, Tri Hita Karana secara aplikatif merupakan ekspresi pola-pola hubungan yang serasi, harmonis dan seimbang yang bersifat universal dalam arti dapat diterapkan oleh setiap manusia dalam aktivitas kehidupannya ataupun dalam hubungan kontraktual antara individu satu dengan individu lainnya. Sifat universal dari pola hubungan yang serasi, harmonis dan seimbang tersebut tercermin di dalam pengaturan jasa konstruksi yang berlandaskan pada asas keserasian dan keseimbangan, di samping asas kejujuran dan

6 I.B. Mantra, 2004. Bhagawadgita (Alih Bahasa Dan Penjelasan), Upada Sastra, Denpasar, h.22. Periksa: I Made Titib, Veda (Sabda Suci) Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya, 2004, h. 224. Periksa juga: I Ketut Wiana, 2004.Bali Menuju Ja-gadhita: Aneka Perspektif (Tri Hita Karana Sehari-hari), Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 264-265

7 A. White, The Concept of Culture System, Columbia University Press, New York.

(18)

keadilan, manfaat, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan.9 Asas keserasian

mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk berkualitas dan bermanfaat tinggi. Asas keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya serta menjamin terpilihnya penyedia jasa secara proporsional oleh pengguna jasa.

Sejalan dengan asas keseimbangan dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual, patut disimak pendapat Herlin Budiono yang menyatakan bahwa: ”asas keseimbangan difungsikan sebagai pembenaran daya ikat suatu perjanjian di samping tiga asas pokok lainnya dalam hukum kontrak yakni asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat dan asas kebebasan berkontrak”.10

Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembenaran daya ikat suatu perjanjian itu diekstrasi dari cara pikir khas Indonesia. Keterikatan kontraktual itu dilandaskan pada faktor idiil dan riil sebagai ”bahan dasar” (bouwstenen) yang mencakup pandangan hidup atau wawasan tertentu (pemahaman tentang hukum, falsafah hukum dan cita hukum) serta realitas (kondisi faktual) suatu masyarakat tertentu. Dengan demikian asas keseimbangan memiliki tujuan utama yaitu kepatutan sosial (social gezindheid) untuk menjamin tercapainya keseimbangan antara individu satu dengan individu lainnya atau individu dan masyarakatnya.11

Oleh karena itu, wujud dan implementasi Tri Hita Karana dalam konteks penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang dituangkan ke dalam bentuk kontrak konstruksi fokus pada perwujudan dari unsur keserasian dan keseimbangan hubungan antara pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa (sebagai unsur sesama manusia/pawongan dalam hubungan kontraktual), di samping perwujudan dua unsur lainnya yaitu unsur keserasian dan keseimbangan hubungan dengan Tuhan/Parhyangan, dan unsur keserasian dan keseimbangan hubungan dengan alam lingkungan/Palemahan yang realisasinya diwujudkan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang telah dikerjakan.12

2. Fungsi Tri Hita Karana Dalam Kontrak Konstruksi

Kajian tentang fungsi Tri Hita Karana dengan ketiga unsur yang terkandung di dalamnya yakni: pertama, unsur Parhyangan (Tuhan) yang perwujudannya menunjuk pada fungsi ruang sebagai tempat yang bernilai kesucian termasuk kawasan suci atau tempat-tempat suci. Kedua, unsur Pawongan (manusia) yang perwujudannya menunjuk pada fungsi ruang sebagai tempat tinggal di dalam suatu wilayah atau teritorial. Ketiga, unsur Palemahan (alam lingkungan) yang perwujudannya menunjuk pada fungsi ruang yang menempatkan pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya, mencegah terjadinya eksploatasi terhadap potensi sumber daya alam.

Dalam konteks ini, faktor fungsi mempunyai peranan penting. Pengertian fungsi dalam natuurwissenschaft (ilmu pengetahuan alam) mempunyai empat arti, yaitu:

9 Pasal 2 Undang-Undang Jasa Konstruksi.

10 Herlin Budiono, 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, h. 507

11 Ibid., h.413

12 Pelaksanaan pekerjaan konstruksi “Pengamanan Pura Tanah Lot” dalam kontrak paket III No.001/PKK/Ar.01/DPB.2000 dengan spesifi kasi pekerjaan (scope of work) meliputi pembuatan arti cial reef di lepas pantai untuk mereduksi energi gelom-bang, rehabilitasi areal pura, dan penataan lingkungan kawasan puraTanah Lot.

(19)

(1). Bergantung pada; (2). Tugas;

(3). Hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan; dan 4). Kerja (werking).13

Dalam terminologi hukum, fungsi diartikan sebagai ”tugas khusus dari suatu jabatan”.14

Dengan demikian fungsi baru menampakan arti yang benar jika dihubungkan dengan suatu masalah.15 Permasalahan yang dimaksud dalam konteks kontrak konstruksi diantaranya

syarat-syarat kontrak yang memuat tentang kewajiban terhadap pemenuhan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bentuk tanggungjawab mengenai lingkungan dan manusia.16

Pembangunan proyek panas bumi yang dikenal dengan proyek ”Geothermal Bedugul” di kabupaten Tabanan pada tahun 1998 yang dilaksanakan oleh PT Pertamina dengan Bali Energi Ltd. yang sampai saat ini masih dipermasalahkan dari aspek sosiologisnya yaitu terkait dengan adanya penolakan masyarakat atas proyek yang dimaksud, dan dari aspek yuridisnya yaitu tidak dipatuhinya ketentuan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005 bahwa lokasi proyek tersebut berada dalam areal kawasan suci dan kawasan hutan lindung.

Merujuk pada pendapat bahwa fungsi berarti bergantung pada dan hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan, sangat relevan pada permasalahan proyek panas bumi tersebut. Peranan fungsi dari ketiga unsur Tri Hita Karana telah diabaikan sehingga mengakibatkan proyek tersebut sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Selanjutnya disampaikan fungsi Tri Hita Karana dalam konteks ruang lingkup atau obyek kontrak yakni lingkup pekerjaan perencanaan konstruksi, lingkup pekerjaan pelaksanaan konstruksi dan lingkup pekerjaan pengawasan konstruksi. Ketiga lingkup pekerjaan konstruksi tersebut lebih lanjut dapat dijabarkan pada fungsi unsur-unsur dari Tri Hita Karana sebagai berikut:

1). Unsur Parhyangan yang diimplementasikan sebagai tempat yang mempunyai kekuatan magis (supranatural) berfungsi sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Unsur ini wajib diperhatikan oleh pihak penyedia jasa (kontraktor) berkait dengan tata letak dan fungsi bangunan yang akan dikerjakan. Ketentuan mengenai tata letak dan fungsi bangunan merujuk pada Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung dan berdasarkan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu Tentang Arsitektur Bali, maka ketentuan untuk membangun atau tempat bangunan berpedoman pada pustaka yang disebut dengan Asta Bumi, ketentuan untuk bangunan atau konstruksinya berpedoman pada pustaka Asta Kosala-Kosali, dan ketentuan untuk bahan-bahan atau material yang akan digunakan berpedoman pada Asta Dewa.17 Sedangkan pedoman untuk kawasan bangunan yang berfungsi

sebagai tempat suci berdasarkan ”pola pewilayahan” yang disebut dengan Tri Mandala (Tri=tiga, Mandala=wilayah) yakni: Utama Mandala yang berarti berada pada wilayah yang utama, Madya Mandala yang berarti berada pada wilayah tengah, dan Nista Mandala, yang berarti berada pada

13 Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum, Armico Bandung, 1986, h. 18-19. Periksa: Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pen-gantar, Metode, dan Sejarah Perkembangannya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 34-35

14 IPM Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Sinar Gra ka, Jakarta, 1996, h. 301

15 Koesnoe Goesniardi S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), JP Books, Surabaya,2006, h.25-26

16 Pasal 23 Huruf m PP No.29/2000

(20)

wilayah paling belakang.18

Berdasarkan konsep form follows function (bentuk mengikuti fungsi),19 maka bangunan yang

akan dibangun akan disesuaikan dengan fungsinya terlebih dahulu, baru kemudian bentuk bangunannya mengikuti fungsi tersebut. Apabila fungsi bangunan tersebut sebagai tempat peribadatan atau tempat suci, maka bentuk bangunannya akan disesuaikan dengan kaidah atau norma yang berlaku berdasarkan arsitektur bangunan atau berdasarkan tafsir terhadap aspek agama Hindu mengenai arsitektur Bali.

(2). Unsur Pawongan yang diimplementasikan sebagai teritorial atau wilayah yang mengatur ruang pribadi, ruang transisi, dan ruang bersama dalam kebersamaan fungsi sebagai tempat untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian dalam hubungan kontraktual dan saling menghormati hak dan kewajiban pihak satu dan pihak lainnya. Dalam kaitannya dengan kontrak konstruksi, unsur pawongan ini merupakan media atau sarana untuk saling berinteraksi antara pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa yang dituangkan dalam syarat-syarat sahnya kontrak. Dari unsur pawongan ini tercermin beberapa prinsip dasar yang perlu dikemukakan, antara lain:

a. Prinsip ”kerja keras” yakni mengerjakan pekerjaan dengan tekun dan disiplin.

Dalam Bhagawadgita disebutkan: ”tanpa kerja, orang tidak akan mencapai kebebasan dan kesempurnaan. Hanya orang-orang yang giat bekerja, tulus dan tidak mengenal lelah akan berhasil dalam hidup”.20

b. Prinsip ”kerjasama”. Dalam pustaka Hindu (Yayur Weda dan Rig Weda) disebutkan: ”manusia harus membantu orang lain yang mengalami kesulitan atau ditimpa kemalangan. Tuhan akan selalu memberi karunia kepada orang yang selalu berusaha untuk menciptakan dan memelihara keharmonisan yang selaras diantara sesama”.21

Dalam konteks ini, prinsip ”kerjakeras” dan ”kerjasama” tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang ”Hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak konstruksi” yang meliputi: 1). Hak dan kewajiban pengguna jasa;

2). Hak dan kewajiban penyedia jasa.22

Penjabaran lebih lanjut dari prinsip ini tercermin pula pada ketentuan yang mengatur bagian ”Pelaksanaan Kontrak” yang tercantum dalam Bab II Huruf D 1 a Lampiran I Keppres No.80/2003 memuat tentang Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) bahwa: ”selambat-lambatnya empatbelas hari sejak tanggal penandatanganan kontrak, pihak pengguna jasa sudah harus menerbitkan SPMK”. Ini artinya prinsip ”kerja keras” sebagaimana dimaksud telah dapat dilakukan oleh penyedia jasa setelah menerima perintah mulai kerja dari pengguna jasa. Demikian pula pada ketentuan yang mengatur tentang ”Pemeriksaan Bersama” yang menyatakan: ”pada tahap awal periode pelaksanaan kontrak dan pada pelaksanaan pekerjaan, pihak pengguna jasa bersama-sama dengan pihak penyedia jasa melakukan pemeriksaan bersama”. Implementasi prinsip ”kerjasama” sebagaimana dimaksud nampak dengan dilakukannya pemeriksaan secara bersama sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Ikatan kerjasama yang dilakukan dapat menciptakan suasana yang serasi dan harmonis.

18 Ibid

19 Eko Budiharjo, 1997. Arsitektur & Kota Di Indonesia, Alumni, Bandung, h.31

20 B.Ashrama, 2003.Buku Panduan (Handbook) Tri Hita Karana, Tourism Award&Accreditation Bali Travel News, Cet.Pertama, h.7

21 Ibid

22 Pasal 23 ayat (1) Huruf e PP No. 29/2000

(21)

(3). Unsur Palemahan yang diimplementasikan dalam bentuk-bentuk penataan ruang bagi kehidupan yang heterogen, profesional dan struktural, yang berfungsi untuk mengatur kegiatan pemanfaatan alam. Berdasarkan kenyataan, unsur palemahan ini berhubungan dengan aspek

sik suatu konstruksi bangunan. Ketinggian suatu bangunan tidak melebihi dari limabelas meter

atau setinggi pohon kelapa, kecuali bangunan umum dan bangunan khusus yang memerlukan persyaratan ketinggian lebih dari limabelas meter seperti menara pemancar, mercusuar, bangunan pertahanan dan keamanan dan bangunan keagamaan.23

Implementasi dari unsur palemahan ini dapat dipergunakan sebagai acuan untuk melaksanakan pelestarian dan pengembangan kualitas lingkungan sesuai dengan pemanfaatannya dan sekaligus berfungsi sebagai salah satu syarat untuk dapat tidaknya suatu pekerjaan konstruksi diselenggarakan. Di samping itu hal ini penting untuk diperhatikan, karena pelanggaran terhadap ketentuan normatif dari pemanfaatan ruang dan ketentuan yang berlaku memungkinkan terjadinya pekerjaan konstruksi tidak dapat dilanjutkan.24

3. Penegakan Hukum

Penegakan hukum yang dimaksud dalam kajian ini adalah penegakan hukum dalam konteks implementasi prinsip Tri Hita Karana dalam peraturan daerah yakni Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005. kedua peraturan daerah tersebut pada prinsipnya di arahkan untuk mewujudkan pembangunandi wilayah Provinsi Bali seseuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Pada kenyataannya, pembangunan yang telah dilaksanakan pada beberapa wilayah di Provinsi Bali tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana tertuang di dalam peraturan daerah tersebut. Oleh karena itu penegakan hukum dalam hal ini perlu tegas dan konsisten terhadap tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip dan norma hukum yang berlaku.

Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: a. kepastian hukum (rechtssicherheit);

b. kemanfaatan (zweckmassiheit); dan c. keadilan (gerechtigheit).25

Kepastian hukum merupakan perlindungan masyarakat terhadap tindakan sewenang-wenang. Dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknnya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Demikian pula penegakan hukum harus memperhatikan keadilan. Sebab hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.26

Secara konsepsional, esensi dari arti penegakan hukum (dari aspek fi loso snya) adalah

terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah atau 23 Pasal 30 ayat (1) Huruf e angka 2 Perda No.3/2005

24 Kasus penataan Loloan Yeh Poh di Desa Kuta Utara, Kabupaten Badung Tahun 2007 yang dilakukan oleh PT Bali Unicorn Corporation selaku pihak kontraktor, pengerjaan proyek tidak dapat dilanjutkan karena berdasarkan Surat Keputusan Bu-pati Badung No.637/2003: Loloan termasuk daerah limitasi yang tidak dapat dikembangkan untuk pembangunan.

(22)

norma yang mantap dan diimplementasikan pada sikap tindak untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup.27 Dengan demikan, penegakan hukum

adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagar pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk menuju pada tujuan hukum yaitu kepastian hukum dan keadilan.

Sejalan dengan konsepsi di atas, pada saat hukum akan ditegakan untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka akan ada kemungkinan rasa keadilan masyarakat akan terganggu, sehingga dalam situasi yang demikian ada konfl ik atau benturan kepentingan antara kepastian

hukum dengan rasa keadilan masyarakat.28

Sehubungan dengan hal tersebut, maka fokus kajian penegakan hukum (aspek yuridisnya) adalah dalam kaitannya dengan penerapan prinsip Tri Hita Karana dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali dan dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.

3.1. Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005.

Potensi dan daya dukung alam Bali yang terbatas menimbulkan permasalahan pada tataruang Bali. Permasalahan itu dapat dilihat pada pembangunan fi sik disepanjang jalan arteri

sehingga dapat mengurangi dayatarik keindahan alam sekitarnya, alih fungsi lahan pertanian menjadi bangunan, ketimpangan pembangunan antar kabupaten, tumpang tindih pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya, serta ancaman terhadap pelestarian budaya daerah. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadikan semakin rumitnya persoalan tataruang Bali yang menurut Ketua Badan Perencana Pembangunan Daerah Bali (Bapeda Bali) pada waktu itu, disebabkan oleh lemahnya kesadaran hukum serta kemampuan aparat dalam menegakan hukum sehingga belum mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam pembangunan.29

Secara sosiologis dari akibat lemahnya kesadaran hukum dan kemampuan aparat dalam menegakan hukum dapat mengakibatkan munculnya persoalan pada daerah kawasan baru pembangunan jalan, munculnya pembangunan fi sik dan pelanggaran jalur hijau, mencerminkan

tidak terkendalinya pemanfaatan ruang yang potensial merusak fungsi lingkungan. Telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diamanatkan dalam perundang-undangan yang berlaku, sehingga mengakibat pula telah terjadi ketidakserasian dan ketidakseimbangan hubungan sebagaimana tercermin dari unsur-unsur Tri Hita Karana.

Kasus yang menjadi sorotan berbagai pihak adalah Vila Bukit Berbunga dan sejumlah Rumah Makan bermunculan di kawasan penyangga danau Beratan, Desa Bedugul, Kabupaten Tabanan. Demikian juga pelanggaran kawasan jalur hijau dan peruntukan tataruang disepanjang jalan Desa Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Permasalahan menjadi semakin rumit karena pengelolaan dan kewenangan penataan ruang dilakukan secara parsial oleh masing-masing kabupaten dan kota. Hal ini terbukti dari pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang baru sebagai pengganti RTRWP Bali Tahun 2005 yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Pembahasan menjadi alot karena kecenderungan pemerintah kabupaten dan kota menggali sumberdaya alam dengan mendorong pembangunan semata-mata untuk mengejar 27 Soerjono Soekanto,1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Gra ndo Persada, Jakarta, h. 5

28 Muchammad Zaidun, 2006. Tantangan Dan Kendala Kepastian Hukum Di Indonesia (Kapita Selekta Penegakan Hukum Di Indone-sia), Prestasi Pustaka, Jakarta, h.120

29 Putu Sujana Cahyanta, 2004. Lemahnya Penegakan Hukum, Penyimpangan Peruntukan Ruang (Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita), Pustaka Bali Post, h. 168

(23)

target Pendapat Asli Daerah (PAD), sehingga menimbulkan ketidakefektifan dalam pemanfaatan tataruang dan mengakibatkan pula terjadinya ketidakserasian dan ketidakseimbangan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian tataruang wilayah.

Penegakan hukum dalam persoalan konfl ik kepentingan yang dirasakan saat ini perlu

pengkajian secara cermat. Dalam konteks ini, terhadap semua tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah atau norma yang berlaku harus dilakukan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Berbagai pelanggaran di dalam pemanfaatan tataruang selama ini tidak mendapat tindakan secara proporsional sehingga terus berlangsung dan cenderung meningkat. Berdasarkan kenyataan sebagaimana dimuat dalam media surat kabar dengan judul: ”Pelemahan Bali Nan Terkoyak”, antara lain ditulis bahwa bangunan vila tidak hanya menyerbu kawasan suci sekitar Pura Uluwatu di Desa Pecatu Kabupaten Badung, di daerah persawahan di Desa Canggu dan Desa Kerobokan, juga di kawasan hulu seperti lereng, danau di Kabupaten Tabanan mulai dirambah pembangunan vila. Ironisnya pembangunan vila-vila tersebut tidak lagi mengindahkan pemanfaatan ruang sebagaimana tertuang dalam peraturan daerah yang berlaku saat ini. Kawasan hulu yang diharapkan mampu menyediakan air untuk kawasan hilir, secara perlahan mulai digerogoti dengan adanya alih fungsi lahan.30

Secara spesifi k penegakan hukum di wilayah kabupaten Badung belum berjalan secara

optimal. Masih banyak pelanggaran tataruang dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas. Penegakan aturan tataruang pemerintah kabupaten Badung dinilai ”ompong”.31 Penegakan aturan itu tidak

berdaya karena tidak adanya pengenaan sanksi. Sesungguhnya penjatuhan sanksi pidana dapat dikenakan bagi pelanggar tataruang sebagaimana di atur dalam Pasal 42 Perda RTRWP Bali, yang selengkapnya berbunyi:

Ayat (1) : setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 7 Perda ini (yakni wajib memelihara kualitas ruang dan wajib menaati rencana tataruang yang telah ditetapkan), diancam pidana kurungan paling lama 6(enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Ayat (2) : tindak pidana yang dimaksud adalah pelanggaran.

Ayat (3) : selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seyogyanya pemerintah kabupaten Badung lebih serius memperhatikan penegakan hukum tersebut untuk mewujudkan keserasian dan keseimbangan hubungan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Pemerintah kabupaten Badung harus meningkatkan pengawasan terhadap pengaturan, penataan, pemanfaatan dan pengendalian tataruang. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, lebih menekankan pentingnya penjagaan lingkungan termasuk pengenaan sanksinya. Berdasarkan undang-undang tersebut, para pelanggar aturan dapat dikenakan sanksi denda Rp.500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.32 Sanksi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 jauh

lebih berat dibandingkan sanksi yang di atur dalam Peraturan Daerah tersebut. Dengan payung hukum yang lebih tegas sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, tentunya pemerintah kabupaten Badung tidak ragu-ragu lagi dalam penegakan hukum.

30 Harian Umum Bali Post, Jumat 25 April 2008, h. 2 31 Harian Umum Bali Post, Kemis 21 April 2008, h. 2

Gambar

Tabel 1.7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan Website Elektronik Online Dengan Menggunakan Macromedia Dreamweaver MX, PHP dan MySQL merupakan sebuah aplikasi WWW yang berisi informasi mengenai penjualan

Hasil identifikasi (Lampiran 5) menggunakan Vitek 2 Compact menunjukkan bahwa bakteri yang didapat yaitu jenis bakteri Kocuria kristinae dan Stenotrophomonas maltophilia

Penerapan fuzzifikasi pada suatu sistem pengaturan, besaran suatu masukan yang diperoleh dari plant melalui sensor selalu merupakan crisp yang sifatnya tidak

Panitia Pengadaan Langsung

PAKAIAN ADAT BATAK KARO... RUMAH ADAT

Header juga memuat tag META yang biasanya di gunakan untuk menentukan informasi tertentu mengenai document HTML, anda bisa menentukan author name,

Simpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III di Puskesmas Pleret Bantul tahun

Dari sisi sistem yang dibutuhkan adalah database karena semua aplikasi web yang akan dibuat semua terhubung ke database dan akan melakukan tiga tahap yaitu input,