• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Cyber Terrorism oleh :

II. TINJAUAN TENTANG PENGERTIAN TERORISME

Sebelum membahas mengenai cyber terrorism maka terlebih dahulu akan diulas sedikit mengenai terorisme. Hal ini dilakukan karena cyber terrorism merupakan bentuk lain daripada aksi terorisme yang umum kita kenal.

Terorisme berasal dari kata teror. Sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom dari Franz Magnis-Suseno, Istilah “teror” diinkorporasi ke dalam kosakata politik pada saat Revolusi Perancis. Maximillan Roberspierre (1758 - 1794), ”Imam Agung” teror besar dalam Revolusi Perancis, pemimpin agung Revolusi Perancis memaklumatkan ”la grande terreur”, teror agung terhadap setiap lawan politiknya. Pengagum berat Jean-Jacques Rousseau ini menghukum mati siapa saja yang dicurigai sebagai antirevolusi tanpa proses pengadilan yang wajar. Menurut Roberspierre, kecurigaan rakyat selalu benar1. Diungkapkan pula oleh Oka Metria

dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul “Terorisme Internasional Dalam Kerangka Teori Hukum Internasional (Suatu Analisis Teori)”, di Eropa sendiri kata “teror” baru dikenal pada akhir abad ke-18, lima abad setelah tumpasnya sekte “assassin” itu. Dengan Revolusi Perancis, kekuasaan teror telah berhasil menangkap pasling kurang 300.000 orang tertangkap dan 17.000 orang telah dipenggal kepalanya dengan gillotine dan banyak lagi tindakan kekerasan telah terjadi di luar hukum tanpa melalui proses peradilan2.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom juga mengatakan bahwa teror merupakan fenomena yang cukup tua dalam sejarah kehidupan manusia. Aksi kekerasan berbau teror dapat ditelusuri dari tulisan Xenophon (431-350) mengenai perang psikologis, kekerasan bangsa Roma yang terjadi di Spartacus pada tahun 73 SM, juga peristiwa di sekitar tahun 14 – 34 Masehi dan 37 – 41 Masehi tatkala Kaesar Tiberius dan Caligula dari Romawi mengeksekusi musuhnya tanpa 1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refi ka Aditama, Band-

ung, hal.49

2 Oka Metria K, 1988, Terorisme Internasional Dalam Kerangka Teori Hukum Internasional (Suatu Analisis Teori), Majalah Ilmiah Universitas Udayana, Pusat Penelitian Univ. Udayana, Denpasar, hal.119.

Fenomena Cyber Terrorism I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh

melalui saluran hukum atau pengadilan, melakukan penangkapan-penangkapan, perampasan harta benda, dan berbagai tindakan kekerasan lainnya3. Hal demikian telah membawa kehidupan

rakyat pada masa itu penuh dengan rasa takut dan cemas, penuh dengan pertanyaan kapan akan dirampas harta benda jiwanya oleh Kaesar (penguasa).

Oka Metria dalam tulisannya kemudian menambahkan munculnya kelompok “assassin” pada masa itu terutama awal abad ke-12 yang telah menyebar keberbagai daratan di Eropa seperti ke Suriah, Persia dan Asia Tengah, yang sekarang dikenal sebagai orang Khojas, keadaan “great fear ” antar negara dan bangsa menjadi berkembang Sebagai tambahan diungkapkan juga bahwa diakhir abad 19, awal abad ke 20 dan menjelang PD II, ” terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi dan dapat dilakukan negara. Sebagai contoh rezim Stalin pada tahun 1930-an yang dianggap sebagai “pemerintahan teror”.

Mengenai pengertian terorisme sendiri masih terdapat perbedaan pemahaman antara para pakar dimana masing-masing pakar mengungkapkan pengertian terorisme sesuai dengan teori yang melandasi dan kepentingan politis masing-masing. Sebagaimana juga diungkap oleh I Wayan Parthiana, perbedaan defi nisi ini disebabkan karena pandangan dan kepentingan negara-

negara terhadap terorisme itu sendiri yang beraneka macam yang sulit untuk dikompromikan antara satu dengan lainnya4. Negara-negara yang sedang berkembang tidak setuju jika usaha

kelompok bangsa-bangsa terjajah dalam memperjuangkan hak-haknya yang kadang-kadang dengan tindakan kekerasan, diisebut sebagai kelompok teroris, suatu posisi yang berlawanan dengan negara-negara maju. Sekelompok negara menolak jika tindakannya yang mendukung ataupun membantu terorisme digolongkan juga sebagai tindakan teror, berhadapan dengan negara-negara yang mengklasifi kasikan tindakan semacam itu sebagai terorisme dan masih

banyak lagi lainnya.

Selain itu juga diketahui bahwa kesulitan dalam memberikan defi nisi terorisme terjadi

karena kejahatan ini memiliki kompleksitas yang cukup rumit misalkan mengenai latar belakang peristiwa dan pelaku, target sasaran yang kerap kali tidak pandang bulu serta bentuk-bentuk terorisme yang terus menerus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan jaman. Peraturan perundang-undangan mengenai terorisme yang ada di dunia sendiri masih belum secara jelas memberikan defi nisi terorisme. Liga Bangsa-Bangsa (the league of nations) pernah

memberikan defi nisi terorisme dalam Konvensi Jenewa 1937 yaitu “terrorisme is all criminal acts

directed against a state amd intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or a group of persons or the general public.” Akan tetapi yang disayangkan konvensi ini (Konvensi Jenewa) tidak pernah dinyatakan berlaku sebagai hukum internasional positif, sebab karena tidak memenuhi persyaratan untuk berlakunya karena jumlah negara yang meratifi kasinya tidak

mewakili. Oleh karenanya dalam Resolution F Statuta International Criminal Court disebutkan bahwa sangat disesalkan tidak ada defi nisi kejahatan terorisme yang dapat diterima secara

umum. Dalam prakteknya kemudian, masyarakat internasional mengupayakan defi nisi daripada

terorisme dengan membuat konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang kejahatan- kejahatan yang substansinya berkaitan dengan terorisme dan kejahatan tertentu lainnya sebagai wujud terorisme.

Di Indonesia ketidakjelasan mengenai defi nisi terorisme juga dapat dilihat dari peraturan

perundang-undangan bangsa kita yang mengatur mengenai tindak pidana terorisme, Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Perppu No.1 Tahun 2002 yang ditetapkan menjadi UU No. 3 Ibid.

15 Tahun 2003 menyebutkan tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam perppu ini. Jika berdasarkan pasal ini maka tidak terdapat kejelasan pengertian mengenai terorisme bahkan bunyi pasal terkesan mendua dan multitafsir. Ini dapat dilihat dalam pernyataan “ segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana”, jadi perbuatan yang bagaimana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana ini tidak dijelaskan. Kemudian bila menunjuk unsur-unsur yang terkandung dalam pasal- pasal lainnya seperti pada pasal 5, 6, 7, 9,11, 12 dan 14 yang mengandung delik formil dan material maka akan semakin nampak sifat ambigu dan multitafsir yang dikandung oleh UU No. 15 Tahun 2003. Pada pasal-pasal ini juga tidak terdapat kejelasan yang dapat memberikan kepastian mengenai pengertian tindak pidana terorisme.

Akan tetapi meskipun terdapat kesulitan dalam memberikan defi nisi dari terorisme,

beberapa literatur telah mencoba memberikan pegangan mengenai pengertian terorisme dengan mengemukakan beberapa pendapat antara lain :

1. Ayatullah Sheikh Muhammad Al Taskhiri menyatakan bahwa “terrorism is an act carried out to achieve on in “human and corrupt objective and involving threat to security of mankind, and violation of rights acknowledge by religion and mankind” .

2. FBI menyatakan bahwa “terrorism is the unlawful use of violence “against persons or property to intimidate or coerce a governed, civilian populations, or any segment threat, in furtherance or political or social objective.”

3. Sebuah forum bersama (brain stroming) antara para akademisi profesional, pakar, pengamat politik dan diplomat terkemuka pada pertemuan bersama di kantor Menko Polkam tanggal 15 September 2001 berpendapat bahwa terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, separtatis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum.

4. T.P. Thornton dalam bukunya Terror as a Weapon of Political Agitation yang ditulis pada tahun 1964 menyatakan bahwa terorisme merupakan penggunaan teror sebagai tindakan simbolis untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstranormal, khususnya penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Menurut Thornton, terorisme dapat dibagi menjadi dua macam yaitu enforcement terror dan agitational terror. Bentuk pertama adalah teror oleh penguasa untuk menindas yang melawan kekuasaannya, sedangkan bentuk kedua yaitu teror yang dilakukan untuk mengganggu tatanan politik yang mapan untuk kemudian dikuasai.

5. Igor Primoratz menyatakan bahwa “terrorism is best defi ned as the deliberate use of violence, or threat of its use, against innocent people, with the aim of intimidating some other people into a course of action they otherwise would not take”

6. F. Budi Hardiman menyatakan bahwa dalam mendefi nisikan secara objektif mengenai

terorisme harus dilihat unsur kualitas aksinya. Kualitas aksi tersebut adalah adanya penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas. Menurut Hardiman, pendefi nisian dengan melihat kualitas aksi atau peristiwa lebih

menguntungkan karena dapat mengidentifi kasi pola-pola yang luas dari aksi, dapat

mengenali kecenderungan dimasa depan dan dapat mengetahui pertumbuhan terorisme serta menemukan penyebarannya di dunia5.

5 Seluruhnya dikutip dari Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, op.cit., hal.62 – 63.

Fenomena Cyber Terrorism I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh

Bila diperhatikan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat dilihat bahwa terorisme adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum, menggunakan kekerasan dengan tujuan sosial politik, menjatuhkan pemerintahan, pemaksaan, yang menyerang masyarakat sipil, orang-orang tidak berdosa sampai dengan objek-objek vital strategis yang memiliki peranan penting bagi kemanusiaan.. Kekerasan yang dimaksud dipertegas dengan bentuknya yang dapat menimbulkan rasa takut pada orang lain secara meluas (ancaman) dan bentuknya yang nyata (tindakan yang dilakukan oleh badan).