Kasepekang di Desa Pakraman Oleh :
TIDAK BERDASARKAN AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Dalam kepemerintahan Desa Pakraman di Bali, penjatuhan sanksi adat umumnya selalu berdasarkan pada awig-awig desa pakraman yang ada. Awig-awig yang merupakan patokan- patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antar sesama krama Desa Pakraman maupun krama dengan lingkungannya19yang secara yuridis dapat dilihat dalam
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 dalam Pasal 1 angka 11 yang menyatakan awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/ banjar pakraman masing-masing. Awig-awig tersebut termasuk substansi hukum sebagaimana yang dimaksud oleh Lawrence M. Friedman adalah aturan- aturan, norma-norma yang berada dalam persekutuan masyarakat hukum termasuk produk hukum yang dihasilkan oleh masyarakat hukum adat setempat termasuk keputusan-keputusan masyarakat hukum adat.
Untuk mengetahui bahwa dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang berdasarkan awig- awig atau tidak, maka dalam forum ilmiah ini akan diungkapkan beberapa hasil penelitian penelitian mengenai penjatuhan sanksi adat kasepekang. Hasil penelitian yang diungkapkan adalah penjatuhan sanksi adat kasepekang di desa pakraman Samplangan dan desa pakraman Pakudui. Hasil penelitian yang di dapat dari dua lokasi di Gianyar yaitu di desa pakraman Samplangan dan desa pakraman Pakudui, bahwa dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang, desa pakraman tersebut tidak berdasarkan pada awig-awig yang ada. Terhadap penjatuhan sanksi adat kasepekang banyak kalangan baik masyarakat maupun pemerintah menyatakan bahwa sanksi adat kasepekang pada 19 Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas
hokum Universitas Udayana, hal 19.
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
dasarnya tidak bisa dijatuhkan (diterapkan) karena tidak ada dasar untuk menjatuhkan sanksi adat kasepekang tersebut (awig-awig tidak mengatur mengenai sanksi adat kasepekang).
Penjatuhan sanksi adat kasepekang tersebut juga sangat terkait dengan wujud awig-awig yang ada pada masing-masing desa pakraman. Mengenai wujud awig-awig di desa pakraman Samplangan dan Pakudui sudah dalam bentuk tercatat (tertulis). Pada dasarnya Awig-awig dalam bentuk tertulis akan sangat meringankan tugas dari pengurus (prajuru desa pakraman) dalam menerapkan aturan hukum dan bersifat pasti bagi semua kalangan (pasti bagi prajuru desa, pasti bagi masyarakat dan pasti bagi pemerintah). Namun yang unik adalah eksistensi awig-awig desa pakraman Pakudui dimana awig-awig desa pakraman pakudui wujudnya sudah dalam bentuk tercatat namum belum disahkan dan dicatatkan pada kantor Bupati Gianyar. Terhadap hal ini, masyarakat memandang bahwa awig-awig tersebut belum bisa diterapkan dengan alasan belum disahkan oleh pejabat Pemerintah.
Mengenai tangapan masyarakat terhadap pencatatan dan pengesahan awig-awig dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 dalam ketentuan Pasal 12 Ayat (1 dan 2) Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menyatakan :
(1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman desa pakraman.
(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor bupati/walikota masing-masing.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat dijelaskan dua (2) poin penting yaitu sahnya awig-awig dan pendaftaran awig-awig secara administrasi di kantor Bupati/Walikota. Bahwa sahnya awig-awig desa pakraman apabila ada suatu kesepakatan krama desa melalui suatu paruman desa. Sehingga awig-awig yang telah disahkan melalui kesepakatan dalam paruman tersebut baru dapat diberlakukan kepada krama desa pakraman. Mengenai pencatatan awig- awig pada kantor Bupati/Walikota berdasarkan pasal 12 ayat (2) diatas, hanya memenuhi unsur administrasi birokrasi pada kantor Bupati/Walikota. Tidak menjadi suatu keharusan untuk mencatatkan awig-awig desa pakraman tersebut mengingat, sekalipun awig-awig desa pakraman tidak dicatatkan secara administrasi di kantor Bupati/Walikota sepanjang sudah disahkan oleh krama desa melalui paruman maka awig-awig desa pakraman bisa berlaku dan mengikat bagi krama desa pakraman. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencatatan awig-awig desa pakraman di kantor Bupati/walikota hanya bersifat administrasi saja.
Berdasarkan hasil penelitian awig-awig yang terkait dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang, bahwa tidak diaturnya sanksi adat kasepekang dalam awig-awig, tidak berarti sanksi adat kasepekang tidak bisa diterapkan (dijatuhkan) pada krama desa pakraman. Mengingat dalam hukum adat salah satu karakter hukum adat adalah kesepakatan dalam arti pengambilan keputusan dalam hukum adat adalah dengan kesepakatan bersama melalui paruman desa pakraman. Oleh karena itu dapat diartikan, sanksi adat kasepekang dapat dijatuhkan (diterapkan) sepanjang keputusan itu diambil berdasarkan kesepakatan bersama melalu paruman desa pakraman. Analisa yang lain juga sangat mendukung terhadap hal ini diantaranya adalah bahwa hukum adat tidak mengenal asas legalitas, sehingga sanksi adat kasepekang tidak mutlak ada pengaturannya terlebih dahulu dalam awig-awig dalam kaitannya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang di desa pakraman.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, mengenai pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awig- awig Desa Pakraman ternyata tidak diatur secara eksplisit. Yang menjadi pokok permasalahan yaitu ketika sanksi adat kasepekang dijatuhkan dan tidak berdasarkan pada awig-awig (sanksi adat kasepekang tidak diatur dalam awig-awig) sehingga banyak kalangan yang berpendapat bahwa sanksi adat kasepekang tidak bisa dijatuhkan, dengan alasan bahwa sanksi adat kasepekang tidak diatur dalam awig-awig desa pakraman. Terhadap hal ini dapat dikemukakan analisa yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang tersebut.
Analisa yang dikemukakan terhadap penjatuhan sanksi adat kasepekang yang tidak ada pengaturannya dalam awig-awig desa pakraman adalah bahwa sesuai dengan salah satu karakter hukum adat yaitu kesepakatan dan tidak mengenal asas legalitas sehingga sanksi adat kasepekang dapat dijatuhkan pada krama desa pakraman walaupun tidak ada pengaturan secara eksplisit dalam awig-awig desa pakraman. Jadi yang dipakai dasar dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang adalah kesepakatan bersama krama desa melalui paruman desa pakraman atau pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat krama desa melalui paruman desa pakraman dan bukan pengambilan keputusan dengan suryak siu, karena hukum adat tidak mengenal asas suryak siu.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas hokum Universitas Udayana.
Ahmad A.K. Muda, 2006, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher .
Biro Hukum Setda Propinsi Bali, 2001, Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-Awig Dan Keputusan Desa Adat, Denpasar
Hadikusuma, H. Hilman, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Isntitut Hindu Dharma, 1986, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu, Proyek Daerah ingkat I Bali.
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Makamh Konstitusi RI, Jakarta
Koti Cantika, I Wayan 2007, “Tata Cara Penerapan Pamidanda” Dalam I Ketut Sudantra dan Anak agung Oka Parwata, Editor Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Upada sastra Denpasar Bekerjasama Dengan Bagian Hukum dan MAsyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni Bandung. Sianturi SR, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta Soeroso R, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafi ka, Jakarta
Soepomo R., 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Serikat Putra Jaya, Nyoman 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Citra Aditya bakti Bandung.
Ter Haar B, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K.Ng.Soebakti Poeponoto), Cetakan Ketigabelas, Pradnya Paramita, Jakarta.
Wirta Griadhi, I Ketut, 2008, ”Kasepekang Dalam Perspektif Hukum Adat”, Makalah disajikan Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
dalam semiloka Kasepekang Dalam Perspektif Hukum dan Ham, diselenggarakan oleh Bali Shanti ( Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali, Denpasar.
Widnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Eresco Bandung.
Windia, I Wayan P, 2008, “Konfl ik Adat dan Sanksi Kasepekang Di Desa Adat Bungaya
Kabupaten Karangasem Bali : Perspektif Kajian Budaya”, Disertasi Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Udayana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Penyelenggara Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan.