• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria

Pasal 7 UUPA menetapkan:

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Pasal 17 UUPA menetapkan:

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum. (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan

perundang-undangan di dalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA, ditetapkanlah UU No.56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini mengatur tentang: (1) penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; (2) penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; dan (3) penebusan tanah pertanian yang digadaikan. Dengan demikian maka UU tersebut khusus mengatur mengenai soal tanah pertanian saja sedangkan untuk tanah non pertanian akan diatur sendiri dengan PP (Pasal 12 UU No.56 Prp/1960). Sampai saat ini PP termaksud belum diterbitkan, yang ada hanya berupa Instruksi Mendagri No. 21/1973 dan No. 27/1973 yang mendeteksi adanya penguasaan tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesunguhnya dan menegaskan kembali pengawasan sebagaimana diatur oleh Pasal 19 dan 44 PP No.10/1961. Disinyalir oleh Abdurrahman, bahwa pada saat ini telah terjadi meluasnya wabah lapar tanah untuk perumahan oleh karena itulah ketentuan Pasal 12 UU No.56 Prp/1960 perlu segera direalisir. 3

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 12 UU No.56 Prp/1960, Maria S.W. Sumardjono, 2008: 13-14 menyatakan, apabila dicermati ketentuan Pasal 12 UU No.56.Prp/1960 maka ukuran maksimum tanah bangunan didasarkan pada luas dan jumlah tanah. Hal ini berarti bahwa bila sudah ditentukan maksimum untuk daerah tertentu seyogyanya dibedakan antara daerah yang dinilai mempunyai arti strategis bagi pembangunan dan daerah yang kegiatan pembangunannya belum berlaku secara intensif, maka kriterianya dapat dipilih antara: (1) menentukan batas luas tertentu (baik untuk tanah yang sudah ada bangunannya maupun yang belum ada), misalnya 5.000 M2 bagi daerah strategis dan 10.000 M2 bagi daerah lain dengan penentuan bidang tanah sekitar lima atau sepuluh bidang, atau (2) hanya menentukan batas luas tertentu tanpa menentukan bidang tanahnya. Selanjutnya dikatakan bahwa alternatif kedua tampaknya lebih fl eksibel mengingat adanya kemungkinan penetapan luas kapling tanah yang diatur oleh

3 Abdurrahman, 1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni, Bandung, hal 89-90.

Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee) dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria

Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk berbagai penggunaan.

Pada dasarnya Pasal 7 UUPA menegaskan dilarangnya suatu asas groot grondbezit untuk mencegah tertumpuknya tanah di tangan golongan tertentu saja. Pemilikan dan/ atau penguasaan tanah yang melapui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya, hal ini menyebabkan menjadi sempitnya kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri4. Yang dilarang oleh Pasal 7 UUPA bukan hanya

pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi penguasaan tanah. Dalam pengertian penguasaan tidak terbatas pada penguasaan dengan hak milik saja tetapi juga dengan hak-hak lainnya seperti hak gadai, sewa dan sebagainya.

Penentuan batas maksimum memakai dasar keluarga, walaupun yang berhak atas tanahnya mungkin orang seorang. Menurut Penjelasan Pasal 17 UUPA yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar tujuh orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga. Selanjutnya ditegaskan melalui Instruksi Bersama Mendagri dan Otonimi Daerah dengan Menteri Agraria dalam suratnya No. 9/1/2 tgl. 5/1/1961 yang pada butir 5a-nya menyatakan: keluarga adalah sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur pertalian darah atau perkawinan. Namun demikian dalam prakteknya masih terjadi kesulitan sebagaimana diungkap oleh Boedi Harsono, 2007: 374, yang mempermasalahkan: apakah seseorang yang beristri lebih dari satu dianggap berkeluarga satu atau lebih? Dalam peraturan tersebut hal ini tidak diberi penjelasan. Sehubungan dengan itu ia berpendapat, kiranya yang menentukan adalah kenyataan dalam penghidupannya dan bagaimana pendapat umum di daerah ybs. Kalau masing-masing istri serta suami bersama itu pada kenyataannya merupakan kelompok sendiri dalam kehidupannya misalnya tinggal di tempat yang berlainan, mempunyai sumber nafkah sendiri-sendiri -- kiranya masing-masing itu dapat dianggap sebagai satu kesatuan keluarga.

Terlepas dari pandangan Boedi Harsono di atas maka penulis memandang perlu adanya aturan yang memberi ketegasan yang lebih rinci terhadap pengertian keluarga termaksud. Dalam pada itu jumlah anggota keluarga ditetapkan tujuh orang termasuk kepala keluarga (yang dapat laki-laki atau wanita). Apabila jumlah satu keluarga lebih dari tujuh orang maka kelebihan anggota keluarga diperhitungkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No.56 Prp/1960 yang antara lain menetapkan:

(1) Jika jumlah anggota suatu keluarga melebihi 7 orang maka keluarga itu luas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 1 untuk setiap anggota yang selebihnya ditambah dengan 10%, dengan ketentuan bahwa jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%, sedang jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah kering.

(2) Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan paling banyak 5 hektar.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 UU No.56 Prp/1960, Maria S.W. Sumardjono, 1990: 4 Efendi Peranginangin, 1979, Hukum Agraria I, Sari Kuliah (2), Jurusan Notariat, FH UI, Jakarta,hal.53.

87 menyatakan, untuk masa yang akan datang mungkin dapat dipikirkan tentang penyesuaian jumlah anggota keluarga dalam kaitannya dengan batas maksimal yang ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani beserta keluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta perkiraannya dimasa yang akan datang.

Menurut Penjelasan Umum butir (7) a UU No. 56 Prp/1960 luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap Daerah Tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor sebagai berikut: (1) tersedianya tanah yang masih dapat dibagi; (2) kepadatan penduduk; (3) jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering, diperhatikan apakah ada pengairan yang teratur atau tidak; (4) besarnya usaha tani yang sebaik- baiknya (the best farm size) menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan beberapa buruh tani; dan (5) tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.

Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor lainnya, maka luas maksimum ditetapkan sebagai berikut:

Di daerah-daerah yang Sawah

(hektar) atau Tanah kering (hektar) 1. Tidak padat 2. Padat a. kurang padat b. cukup padat c. sangat padat 15 10 7,5 5 20 12 9 6

Beberapa faktor yang dipakai sebagai tolok ukur untuk mengklasifi kasikan suatu daerah ke

dalam daerah padat dan tidak padat perlu mendapat sorotan, diantaranya:

Luas daerah; yang dipakai sebagai perhitungan oleh UU adalah luas keseluruhan tanah yang ada si suatu daerah yang bersangkutan. Apakah perhitungan luas tanah secara keseluruhan ini dapat dianggap memadai? Menurut hemat penulis cara perhitungan ini kurang tepat oleh karena, yang diatur oleh Undang-Undang adalah mengenai tanah pertanian dan oleh karenanya lebih proporsional apabila yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah luas tanah pertanian yang ada di daerah yang bersangkutan.

1. Perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas daerah; apakah tepat kalau yang dibandingkan jumlah penduduk secara keseluruhan (tanpa membedakan klasifi kasi

pekerjaan) dengan luas tanah secara keseluruhan dalam suatu daerah? hal ini juga memerlukan pemikiran. Penulis berpendapat bahwa secara rasional yang kiranya tepat dibandingkan adalah jumlah petani yang ada dalam suatu daerah dengan jumlah luas tanah pertanian sehingga diperoleh perbandingan yang lebih realistis.

2. Selanjutnya pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) UU No.56 Prp/1960 sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk 978/KA/1960 tentang penegasan luas maksimum tanah pertanian. Apakah ketentuan ini masih relevan untuk dipertahankan? Dalam perkembangannya seperti sekarang ini tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi perubahan yang sangat mendasar. Peta daerah yang pada mulanya ditetapkan sebagai Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)

dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria I Gusti Nyoman Agung

daerah yang tidak padat bisa berubah menjadi daerah padat, daerah yang kurang padat bisa berubah menjadi daerah yang cukup padat bahkan bisa dikatagorikan sebagai daerah yang sangat padat lebih-lebih di beberapa daerah telah mengalami pemekaran. Dengan demikian apa yang ditetapkan oleh Menteri Agraria setengah abad yang lalu tidak realistis dimasa sekarang ini dan oleh karenanya mutlak perlu ditinjau kembali, meskipun penetapan yang dilakukan kemudian tidak bisa dipertahankan dalam kurun waktu yang panjang.

III. PENETAPAN BATAS MINIMUM PEMILIKAN TANAH

Selain batas maksimum, UUPA memandang perlu menetapkan batas minimum pemilikan tanah dengan tujuan supaya setiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak, ketentuan ini dimuat dalam Pasal 17 ayat (1) dan (4) UUPA. Menurut Penjelasan Pasal 17 UUPA ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecahbelahan (versplintering) tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya, transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran di luar Jawa dan industrialisasi supaya batas minimum itu dapat dicapai secara berangsur-angsur. Ketentuan lebih lanjut tentang batas minimum pemilikan tanah diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU No.56 Prp/1960.