• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V Analisa Pendekatan Konsep dan Desain Perencanaan Perancangan Mengungkapkan analisa pendekatan perencanaan dan perancangan sebaga

C.1. Penataan Komoditi Barang Dagangan

8. Penanggulangan Sampah

Pada setiap kelompok mata dagangan disediakan bak penampungan sampah sementara. Petugas kebersihan secara periodik mengumpulkan sampah dari setiap blok untuk diangkut menuju tempat penampungan utama. Dari tempat penampungan utama ini, pengangkutan sampah keluar pasar dilakukan oleh pihak terkait dengan menggunakan truk/container.

D.2. Siteplan (Perencanaan Tapak)

Pengaturan site plan sangat menentukan hidupnya pasar, kaidah site plan yang ideal dapat dilihat dari ilustrasi berikut ini :

commit to user

1. Kios

Setiap kios adalah tempat strategis, sehingga setiap blok hanya terdiri dari 2 (dua) deret yang menjadikan kios memiliki 2 (dua) muka (seperti terlihat dalam gambar). Kios paling luar menghadap keluar, sehingga fungsi etalase menjadi maksimal.

2. Koridor

Koridor utama merupakan akses utama dari luar pasar. Lebar ideal 2 – 3 meter. Sedangkan koridor penghubung antar kios lebar minimalnya adalah 180 cm.

3. Jalan

Tersedia jalan yang mengelilingi pasar. Sehingga semua tempat memberikan kesan bagian depan/dapat diakses dari segala arah. Lebar jalan minimal 5 (lima) meter. Sehingga dapat dihindari penumpukan antrian kendaraan. Disamping itu kendaraan dapat melakukan bongkar muat pada tempat yang tersebar sehingga makin dekat dengan kios yang dimaksud. Tujuan dari adanya jalan yang mengelilingi pasar adalah meningkatkan nilai strategis kios, mempermudah penanggulangan bahaya kebakaran, memperlancar arus kendaraan didalam pasar, mempermudah bongkar muat. Pintu Keluar Pintu Masuk Koridor Kios Koridor Utama Batas Bangunan TPS Akhir

Jalan Mengelilingi Pasar

Gambar 1. Ilustrasi Penataan Siteplan Sumber :www.usdrp-

commit to user

4. Selasar luar

Untuk mengoptimalkan strategisnya kios, terdapat selasar yang dapat juga sebagai koridor antar kios.

5. Bongkar muat

Pola bongkar muat yang tersebar, sehingga dapat menekan biaya dan mempermudah material handling. Akan tetapi harus ditetapkan ketentuan bongkar muat. Antara lain, setelah bongkar muat kendaraan tidak boleh parkir ditempat.

6. TPS

Tempat penampungan sampah sebelum diangkut keluar pasar terletak di belakang dan terpisah dari bangunan pasar.

D.3. Konsep Mempertahankan dan Mengembangkan Pasar Tradisional7

Konsep mempertahankan dan mengembangkan pasar tradisional baik dengan membangun baru, merenovasi, meremajakan maupun mengintegrasikan ke dalam pembangunan pusat perbelanjaan modern pada hakikatnya harus memperhatikan pada tuntutan kebutuhan sebagai berikut :

· Memenuhi kebutuhan penjual dengan fasilitas yang memadahi dan mudah

dicapai oleh pembeli.

· Memenuhi kebutuhan pembeli, dengan kejelasan orientasi, kelancaran lalu

lintas, bersih dan menyenangkan.

· Menyimpan dan membuka rangsangan akan kebutuhan baru konsumen,

menanggapi usaha para produsen dan pembuat barang dan menawarkan pilihan luas pada masyarakat, karena itu menarik untuk terjadinya kegiatan perdagangan, menjajakan dagangan, sarana jual beli, menyediakan pelayanan yang efisien dan menyiapkan barang dagangan yang tepat dengan harga pantas.

· Suasana yang selalu dapat menarik perhatian banyak orang. Dalam suasana ini,

selain gerak kesibukan orang, kegairahan, kemilau, persaingan dan

7

Wedho Handoyo, “Perencanaan Kembali Pasar Kota Dan Terminal Angkuta Wonogiri”, UNS, Surakarta 2010.

commit to user

keanekaragaman, harus pula tercipta rasa akrab dimana pengunjung yakin kemana ia harus pergi untuk mencari apa yang dikehendaki.

· Membuang kesan monoton, pengulangan bentuk dan keseragaman wajah,

menciptakan tampak depan los / toko / kios yang menarik, papan nama / rambu / petunjuk dengan cirinya masing-masing, penataan etalase dengan gelaran dagangan, sistem penerangan dan sistem penempatan yang tepat dari pintu masuk utama bagi para pengunjung harus dipikirkan secara terpadu dalam perencanaan dan perancangan untuk memperoleh hasil akhir yang benar menguntungkan semua pihak.

E. Tinjauan Landmark

Sebagai sebuah kawasan yang dipersiapkan sebagai ibu kota Kabupaten Madiun, Kota Caruban diprediksi akan mengalami perkembangan pesat pada setiap sektor. Perkembangan di setiap sektor tersebut menuntut penyediaan fasilitas umum perkotaan yang memadai, efisien, nyaman dan aman. Untuk itu pembangunan infrastruktur seperti kantor pemerintahan, pusat perdagangan, sarana pendidikan, area pemukiman dan sebagainya perlu segera direalisasikan. Pada tahap ini pembangunan di Kota Caruban dapat dikatakan sebagai langkah awal membentuk karakter atau citra kota. Untuk itu Kota Caruban membutuhkan suatu objek bangunan atau kawasan yang bisa dijadikan sebagai landmark kota, yaitu bangunan atau kawasan yang menjadi titik pusat orientasi yang keberadaannya dapat menandakan ciri, citra, atau image suatu wilayah.

E.1. Teori Landmark8

Landmark atau lebih dikenal dengan tetenger atau titik orientasi lokal yang merupakan salah satu elemen pembentuk citra kota. Kevin Lynch menyatakan bahwa image suatu kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu :

a. Jalur (Paths)

Adalah garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths ini berupa jalan, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api dan

8 Syumar Achmad Raharja, “Penataan Kawasan Terminal Bus dan Stasiun Kereta Api Depok Baru Sebagai

commit to user

yang lainnya. Sebagian besar orang merasakan paths inilah elemen yang paling menonjol dalam bentuk imagenya mengenai suatu kota.

b. Tepian (Edges)

Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara dua jenis fase kegiatan. Edges biasa berupa dinding, pantai, hutan kota dan lain-lain.

c. Aktivitas suatu wilayah (Districts)

Distrik hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila mempunyai kesan visual. Artinya distrik bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.

d. Simpul kegiatan (Nodes)

Adalah berupa titik. Titik dimana orang bisa mempunyai pilihan untuk memasuki distrik yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi tinggi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik.

e. Tetenger (Landmark)

Adalah titik pedoman obyek fisik. Bisa berupa fisik natural berupa gunung, bukit atau berupa fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan atau lingkungan. Dengan kata lain, merupakan tempat yang bisa dijadikan ciri yang bermakna.

Landmark atau tetenger merupakan tipe lain dari point of interest dapat dikenal secara eksternal dari bentuk fisiknya. Landmark tersebut dapat berupa gedung-gedung, tanda-tanda tertentu atau monumen, toko, gunung ataupun sungai dimana menjadi ciri

khas dari suatu tempat atau kota yang tidak terdapat pada tempat lain.9

Elemen-elemen tertentu dapat dikategorikan sebagai landmark karena mempunyai kekhasan dari suatu wilayah seperti :

commit to user

· Berbeda dari elemen-elemen yang lain yang terdapat dari suatu tempat sehingga

mempunyai ciri-ciri khusus ataupun keunikan yang tidak dimiliki oleh elemen- elemen lainnya.

· Elemen yang menjadi sebuah perhatian dari lingkungan dikarenakan skalanya

yang paling menonjol ataupun paling besar diantara elemen-elemen lain pada sebuah wilayah sehingga mudah dikenali terutama dari kejauhan.

· Merupakan sebuah masa yang menjadi “pusat” dari lingkungan yang tertata

secara radial.

· Sebuah elemen yang berbeda dari bentuk-bentuk elemen lain pada suatu tempat

yang cenderung konstan.

· Sebuah bangunan dapat dikategorikan sebagai landmark karena mewakili simbol

pada masa tertentu atau langgam tertentu yang diakui atau dikenali.

Landmark dapat berupa tower-tower yang terisolasi atau kubah emas, bukit-bukit besar. Terkadang titik yang bergerak seperti matahari dimana bergerak secara lambat dan regular dapat digunakan sebagai landmark. Suatu landmark dapat diwujudkan ke dalam suatu wujud bangunan, sculpture dan sebagainya. Dan suatu landmark harus mudah dilihat, dikenali dan diingat karena kekhasan yang dimilikinya karena landmark merupakan salah satu elemen pembentuk citra kota. Landmark diharapkan dapat menjadi suatu titik acuan bagi manusia dan lingkungannya sehingga lokasi yang paling tepat bagi suatu landmark adalah pusat kota, tetapi landmark dapat juga berada dipinggir jalan maupun luar kota sesuai dengan karakter yang ingin ditonjolkan. Namun suatu landmark seharusnya berada di tempat strategis sehingga dapat menjadi titik acuan bagi orang-orang, baik penduduk maupun pendatang. Kunci karakteer fisik suatu landmark adalah tunggal, sedang beberapa aspek lainnya adalah unik atau bersejarah (memorable). Landmark menjadi diidentifikasikan, lebih menjadi pilihan yang signifikan, jika :

· Bentuknya jelas (clear)

· Kontras dengan latarnya (background)

commit to user

Sosok yang kontras dengan latarnya menjadi faktor yang prinsip. Selain itu, dominan dalam bentuk, ukuran dan kontur juga menjadi faktor yang menentukan. Ruang yang terkenal dapat menjadikan suatu elemen sebagai landmark, ada dua cara yaitu :

· Membuat elemen terlihat dari banyak lokasi, sehingga sangat mudah untuk

dikenali, dan bagi orang baru dapat memandu ke tujuannya.

· Latar (setting) yang kontras dengan elemen di dekatnya, yaitu dngan variasi jarak

mundur (setback) dan tinggi (skyline).

Sedangkan dalam hal lain yang dapat memperkuat peran suatu landmark kota adalah :

· Lokasi pada persimpangan jalan juga menguatkan suatu landmark.

· Aktivitas yang mengacu pada suatu elemen dapat menjadikan suatu landmark

· Suara dan bau/aroma kadang memperkuat visual landmark walaupun tidak

tampak.

F. Tinjauan Lokalitas

Lokalitas berasal dari kata dasar lokal dan serapan dari kata locus yang berarti setempat. Kelokalan diartikan sebagai memiliki kekhasan akan sesuatau yang hanya terdapat di daerah tersebut yang patut untuk ditonjolkan. Sehingga diperlukan sebuah upaya untuk menginvestasikan dan merekam segenap bangunan, lingkungan atau kawasan tertentu di daerah atau kota masing-masing yang memiliki nilai kesejahrahan, nilai tradisional, atau nilai arsitektonis yang unik, yang pantas untuk ditelusuri sebagai warisan budaya, merupakan salah satu upaya dala mewujudkan pembangunan berwawasan identitas.

Ada beberapa teori yang cenderung mirip meski bisa dibedakan, yaitu Lokalitas,

Vernakular dan Tradisional. Ketiganya sering muncul dalam sebuah bangunan secara bersamaan dan sering kali dianggap tidak ada bedanya. Arsitektur lokalitas memiliki pendekatan tentang spirit nilai kesetempatan, bisa memiliki bentuk bermacam-macam. Arsitektur tradisional cenderung memiliki bentuk dan tata cara yang sama sesuai tata cara yang diterrima secara turun-temurun. Sedangkan arsitektur vernakular cenderung pada

commit to user

penggunaan material yang ada di sekitarnya untuk menyelesaikan permasalahan desain pada bangunan.

Potensi lokal tidak terbatas pada arsitektur tradisional yang secara fisik berupa bangunan arsitektur tradisional saja. Dalam masyarakat heterogen, potensi lokal mencakup seluruh kekayaan yang memiliki kekhasan, keunikan, kesejarahan, ataupun peran sebagai penanda di kawasan, kota dan daerahnya.

Lokalitas adalah sebuah jawaban atas permasalahan dari sebuah cakupan yang meliputi sebuah kawasan, nilai kearifan lokal, material, budaya bahkan tingkat peradaban masyarakat dalam suatu kawasan.

Lokalitas menjadi isu menarik akhir-akhir ini seiring upaya manusia dalam menggali dan menemukan jati dirinya. Jati diri seseorang dan sebuah tempat tetap diperlukan meskipun dinamika pembangunan begitu cepat. Pernyataan ini membawa kepada sebuah pandangan bahwa kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi tidak

akan pernah manghilangkan kepentingan sebuah komunitas untuk

mendapatkan/membangun jati dirinya dalam proses rancang bangun yang berbudaya. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung mendorong pembangunan bangunan berasitektur lokal terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal. Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi

lahan dan material ramah lingkungan (green product).10

F.1. Memaknai Lokalitas dalam Arsitektur11

Marak diskusi lokalitas dalam arsitektur boleh jadi adalah sebuah bentuk `protes`

atau `gerakan` terhadap kemapanan dari langgam modern – post modern – atau pun

pemikiran dekonstruksi sampai pada generative process dalam dunia arsitektur.

10 Fathony Muchtar Harris, ”Sangiran Sculture Sebagai Wadah Promosi Pariwisata Dan Kerajinan Kab.

Sragen Dengan Pendekatan Arsitektur Lokalitas”, UNS, Surakarta, 2011

commit to user

Lokalitas bukanlah sebuah `gerakan` baru dalam dunia arsitektur – kemunculannya menjadi terasa seiring gencarnya gerakan modernitas dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai senjata yang tepat untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah menyusup dalam kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah Tema Gerakan

tetapi lebih kepada conceptual device yang kita pilih sebagai alat untuk melakukan analisis

dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk menempatkan identitas sebagai prioritas ketimbang intervensi internasional atau pun dogma yang bersifat universal.

Meminjam Vitruvius yang mengatakan: “unsur alam dan raisonalitas manusia membangun sebuah bentuk arsitektur”. Vitruvius percaya bahwa perbedaan dari bangunan-bangunan yang ada di muka bumi ini adalah akibat dari dialog bolak-balik dari manusia dengan lingkungannya = “There is an in-between `temperate` kind of environment that creates temperate architecture and temperate people.

Lokalitas dalam hal ini adalah juga sebuah `perbedaan` yang secara spatiality memang terbentuk dari dimana lokalitas itu tumbuh atau ditumbuhkan. Ini membawa pengertian bahwa ada perbedaan antara lokalitas yang satu dengan yang lain. Lalu, Apakah lokalitas hanya sekedar penampilan dari sebuah identitas ? Apakah lokalitas hanya sekedar sebuah bentuk perlawanan gerakan global ?

Meminjam Lewis Mumford, maka ada lima point dalam kita memandang nilai Ke-Lokalitas- an :

1. Lokalitas bukan hanya terpaku dari kebesaran sejarah, seperti misalnya banyak bangunan bersejarah yang diidentifikasikan sebagai `vernacular brick tradition`. Bagi Mumford bahwa bentuk-bentuk yang digunakan masyarakat sepanjang peradabannya telah membentuk struktur koheren yang melekat dalam kehidupannya. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam sejarah dari sebuah tradisi yang langsung ditranfer dalam sebuah ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah ruang yang tidak memiliki jiwa. Mumford menekankan bahwa tugas kita tidak hanya membuat imitasi sebuah masa lampau tetapi mencoba mengerti dan memahaminya, lalu

commit to user

mungkin suatu saat kita berhadapan dan menyetujuinya dalam kesamaaan semangat kekreatifan. Tugas kita bukan hanya meminjam material atau meng-copy sebuah contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi seharus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.

2. Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharus sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang kita lakukan adalah membuat orang-orang merasa seperti dirumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus dimunculkan karena memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan manusia. Ada kebutuhan social – ekonomi bahkan politik serta lingkungan dalam jiwa Lokalitas itu sendiri.

3. Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.

4. Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya, modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya, kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas dimana Lokalitas ingin ditempatkan.

5. Global dan lokalitas bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu ada keseimbangan diantara mereka. Keseimbangan dimana global menge-print mesin-mesin kapitalis sedang lokal menge- print komunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan. Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana

commit to user

kita melakukan pembelajaran tentang sejarah bangunan, material, latar belakang social, isu-isu konservasi, konstruksi bangunan yang pada akhirnya keunikan sebuah lokalitas dalam arsitektur adalah tentang bagaimana material lokal – teknologi dan formasi sosial dapat ditranfer dalam bahasa arsitektur yang segar.

Berdasarkan uraian di atas maka lokalitas menurut Mumford adalah sesuatu yang dinamis dan akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan jaman. Mewujudkan lokalitas tidak hanya melalui fisik sebuah bangunan saja karena yang terjadi adalah imitasi dari masa lampau. Lokalitas dapat diwujudkan dengan mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal. Menurut Mumford, lokalitas tidak harus statis dan bersifat kaku karena lokalitas harus beradaptasi dengan kondisi jaman dan berkembang seiring perkembangan teknologi.

Pada fenomena lokalitas atau kesetempatan yang memuat konsep kekinian, ada universalitas atau kesemestaan. Di sisi lain, pada universalitas atau kesemestaan yang mengandung konsep kelanggengan, ada fenomena lokalitas atau kesetempatan. Nilai-nilai kesemestaan tak dapat diterapkan tanpa penjabaran pada fenomena kesetempatan. Dalam kesepasangan prosesnya, fenomena kesetempatan tak akan punya arah penumbuh-kembangan yang tepat-bijak-pasti, tanpa pengkristalan pada nilai-nilai kesemestaan. Sama persis pada kehidupan manusia: tanpa spiritualitas, kehidupan intelektualnya keras-kasar-kering mengerontang; tanpa intelektualitas, kehidupan spiritualnya hanyalah hitam-khayal-imajinasi panjang.

Lokalitas Indonesia dengan keberagaman tradisi arsitektural di berbagai tataran, mulai dari filosofi, paradigma, teori, dan metoda, adalah sebuah modal-kekuatan yang luar

biasa. Lokalitas itu bukan mesti didapat dengan mengedepan-utamakan “grand

architecture“, arsitektur masyarakat kalangan atas seperti misalnya kraton —yang

sudah terlanjur dianggap sebagai “ikon budaya Jawa“ sebagai satu-satunya pustaka bahan pelajaran.

Ada perpustakaan yang jauh lebih kaya koleksinya dan tak memerlukan kartu anggota apalagi membayar biaya meminjam bacaan: Arsitektur Nusantara. Dalam tradisi

commit to user

belajar orang Jawa, ada istilah buku garing (kering) dan buku teles (basah). Buku garing

ialah tulisan (harafiah, cetakan-analog-digital) untuk manusia, bukuteles adalah fenomena

alam-semesta termasuk lingkungan binaan manusia. Jika ditinjau lebih dalam, pada buku

garing dan buku teles, masih ada ranah meta-empirik. Ada aksara dari suara, ada aksara

dari bunyi. Suara berbeda dengan bunyi.12

Arsitektur dewasa ini memiliki kecenderungan untuk menciptakan moumen visual. Bentuk distint (beda) secara tidak langsung akan mendapatkan pengakuan publik menyangkut penghargaan terhadap karyanya. Dengan pola pikir arsitektur yang berkiblat pada arsitektur kontemporer yang cenderung barat akhirnya akan melahirkan bangunan- bangunan kotak.

Eksplorasi terhadap bentuk lokal sudah layaknya menjadi prioritas pertama sebelum kita mulai mengambil bentuk-bentuk baru dari luar yang pada gilirannya tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi alam daerah setempat. Bukanlah suatu yang sulit apabila kita mau mengolah bentuk arsitektur tradisional untuk menciptakan fungsi baru di dalamnya. Memperlihatkan kesederhanaan dan kejujuran bahan bangunan, sebagaimana yang dialami melalui pengalaman dalam bangunan-bangunan vernakuler. Material yang digunakan dalam tradisi vernakuler dapat mengatasi iklim dengan baik.

Namun perlu dicatat bahwa penggunaan elemen-elemen arsitektur lokal ini hendaknya tidak sekedar “tempelen yang dipaksakan” pada bangunan-bangunan baru, melainkan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan desain bangunan. Inovasi seperti ditunjukkan oleh Maclaine Pont atau Karsten hampir seabad yang lalu seyogyanya menjadi rujukan bagi para arsitek kita masa kini.

commit to user

Kekayaan arsitektur Nusantara sungguh tiada bandingannya. Tidak ada negara lain di dunia ini yang mempunyai ragam arsitektur tradisional sebanyak dan seindah yang kita miliki. Apabila kita mampu mengolah kekayaan itu, kita dapat menghadirkan wajah- wajah kota yang khas dan menampilkan identitas daerahnya secara elegan. Elemen- elemen arsitektur tradisional pun akan berkembang dengan dinamis seiring dengan perubahan jaman, bukan sekedar merupakan “ragam hias” yang statis dan dijadikan

barang pajangan.13

Dokumen terkait