• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK AUTONOMUS PADA PENCARIAN SUMBER ASAP Perkembangan teknologi yang semakin maju memberikan kontribusi yang sangat besar

2.2 Pencarian Berbasis Satu Robot

Pencarian sumber asap secara autonomus pertama kali dilakukan dengan memanfaatkan satu agen. Pemilihan pencarian dengan satu agen dimaksudkan untuk memudahkan proses strukturisasi dari agen tersebut dan untuk menyederhanakan proses pencarian. Pencarian dengan menggunakan satu agen dipakai tidak hanya untuk mencari sumber asap, tetapi juga memastikan bahwa sejumlah teknik yang digunakan dapat diaplika-sikan dalam pencarian berbasis banyak agen. Umumnya teknik-teknik yang ingin di-klarifikasi adalah teknik-teknik yang digunakan pada tahap pelacakan arah gerak asap. Baik teknik yang dapat diterapkan dalam pencarian berbasis banyak agen ataupun tidak, teknik-teknik tersebut menjadi landasan dasar dari pencarian berbasis satu agen.

Teknik yang diadaptasi dalam pencarian sumber asap adalah teknik yang digunakan oleh binatang-binatang dalam mencari sumber makanan maupun aktifitas lainnya. Se-bagai contoh, lalat yang terbang secara zigzag menuju pasangannya ketika musim berkembang biak tiba untuk menarik perhatian sang pasangan [15]. Sebenarnya lalat ini melakukan gerakan traversal berulang menuju sumber gas yang dihasilkan oleh pa-sangannya. Contoh lainnya adalah semut-semut yang bergerak dengan mengikuti jejak feromon yang tertinggal di tanah. Apabila teknik-teknik alami ini diadaptasi, maka bukan tidak mungkin sebuah agen dapat menemukan lokasi dari sumber gas [16].

Tidak hanya itu, beberapa serangga memanfaatkan informasi mengenai arah angin dalam mencapai sumber makanan, contohnya lalat. Lalat dapat mencapai sumber makanan dengan lebih cepat dengan bergerak traversal melawan arah angin. Jika in-formasi arah angin tidak tersedia, maka konsentrasi zat kimia pada suatu titik dapat dijadikan sebagai acuan dalam mencapai sumber makanan yang diharapkan.

Tidak hanya metode yang digunakan serangga yang telah diadaptasi dalam penca-rian sumber asap, beberapa metode juga diambil dari hewan yang biasa dipakai dalam mendeteksi asap dan gas, seperti anjing. Metode lainnya yang juga digunakan datang dari hewan laut yang sering disantap, yaitu udang dalam mengetahui konsentrasi garam pada suatu daerah tertentu [17]. Metode lainnya adalah berupa gabungan dari beberapa metode sederhana yang digunakan mahluk hidup yang dapat bersinergi satu sama lain.

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pencarian memanfaatkan anemotaksis, kemotaksis, dan Odor-Gated Rheotaxis. Algoritma pencarian yang sudah dicoba oleh Ferdian Jovan dalam [18] juga dijabarkan disini, yaitu algoritma zig-zag. Algoritma yang hampir mirip dengan algoritma zig-zag yaitu algoritma surge spiral juga akan dibahas. Perlu diingat bahwa buku ini tidak akan membahas secara mendetail mengenai teknik pelatihan untuk membuat agen dapat mengenali zat yang di cari.

2.2.1 Pendekatan dengan Anemotaksis

Banyak sekali mahluk hidup baik manusia, tumbuhan, maupun hewan yang meman-faatkan pergerakan maupun informasi angin dalam aktifitas kesehariannya. Manu-sia memanfaatkan angin untuk memperoleh pasokan listrik, melakukan pelayaran dan penerbangan. Pasokan listrik diperoleh dengan memanfaatkan turbin dengan dorongan tenaga uap atau sering kita sebut sebagai pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pela-yaran pada jaman dahulu kala juga memanfaatkan tenaga angin untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Hal yang sama berlaku dalam melakukan penerbangan.

Gambar 2.5: Visualisasi Konsep Anemotaksis

Sementara manusia memanfaatkan angin untuk menyokong kehidupan, hewan-hewan seperti serangga memanfaatkan angin untuk memperoleh makanan maupun pa-sangan. Lalat, seperti yang telah dijelaskan pada bagian pengenalan dari subbab ini, memanfaatkan pergerakan angin untuk mencapai pasangannya pada masa berkembang biak. Pada saat itu pasangan sang lalat akan mengeluarkan bau tertentu untuk menarik pasangannya. Dengan bergerak melawan arah angin maka pasangan lalat ini akan bertemu nantinya dan proses perkembangbiakan dapat terjadi.

Gambar 2.6: Simulasi Belanger

Teknik yang dimanfaatkan oleh serangga dalam mencari makan maupun mencari pasangan adalah teknik anemotaksis. Anemotaksis berarti memanfaatkan informasi arah pergerakan angin yang mengandung zat tertentu agar dapat menemukan

bernya. Asumsi pada teknik ini adalah arah gerak gas selalu bergerak menjauhi sum-ber. Hal ini berarti bahwa jika agen bergerak searah dengan arah angin, hampir dapat dipastikan bahwa agen tersebut bergerak ke arah yang salah. Sebaliknya, jika agen ber-gerak berlawanan dengan arah aliran gas, kemungkinan besar agen sedang menuju ke arah yang benar seperti yang terlihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 menunjukkan pergerakan angin dinamis dimana partikel-partikel yang berwarna merah dan kuning yang merepresentasikan sekumpulan lalat. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketika memanfaatkan teknik anemotaksis, serangga tidak hanya berurusan dengan angin yang stabil. Kemungkinan dimana angin berubah setiap waktu sangat besar yang sesungguhnya mempersulit proses pencarian sumber.

Gambar 2.7: Diagram Alur Pencarian dengan Anemotaksis

Teknik ini pernah diimplementasikan oleh Belanger JH dan MA Willis sebuah lingkungan simulasi sederhana [19]. Percobaan mereka terinspirasi dari gerak lalat yang telah dijelaskan sebelumnya. Mereka mencoba merepresentasikan gerak dari lalat dalam suatu simulasi yang mereka sebut ’Digiduca’. Simulasi ini menggunakan algo-ritma gerak yang sederhana dalam melakukan perpindahan menuju sumber. Modifikasi algoritma gerak mereka berhasil membawa simulasi mereka dengan tingkat kesuksesan sebesar 30%. Contoh implementasi belanger dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Mereka menggunakan menggunakan pemodelan Reynold untuk membuat pemo-delan dari gas di udara. Pemopemo-delan dengan Reynold ini hanya mampu menggambarkan keadaan angin statis atau bisa dibilang dalam kondisi ideal. Sayangnya dengan pemo-delan seperti ini maka keadaan angin yang tidak stabil tidak tergambarkan, sementara pergerakan agen ini dipengaruhi oleh arah angin pada ruang pencarian. Pada keadaan lingkungan dimana angin tidak berhembus atau tidak stabil, metode ini akan gagal me-nemukan sumber asap.

Berdasar pada algoritma gerak yang diusulkan oleh Belanger JH [19]. Alur pen-carian dengan anemotaksis terbagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah perge-rakan dengan menyebrangi arah angin dengan interval tertentu. Pergeperge-rakan ini lebih baik dilakukan dengan arah yang berlawanan pada setiap interval waktu. Jika pada saat tahap pertama, gas/bau terdeteksi maka tahap kedua dilakukan selama bagian per-tama berjalan. Tahap kedua yaitu melakukan pendeteksian arah pergerakan angin dan melakukan gerak maju melawan arah angin tersebut. Jika pada tahap kedua ini gas/bau hilang dari penjejakan, maka secara bertahap meningkatkan waktu antar putaran arah atau bisa juga dengan bergerak bolak-balik hingga gas/bau terdeteksi kembali. Ketika gas/bau terdeteksi kembali maka pencarian bisa dimulai langsung pada tahap kedua. Alur dari pencarian bisa dilihat pada Gambar 2.7.

2.2.2 Pendekatan dengan Kemotaksis

Gambar 2.8: Ilustrasi Kemotaksis

Sementara anemotaksis memanfaatkan angin dalam pencarian sumber zat, kemotak-sis memanfaatkan pergerakan zat yang terbawa oleh angin berdasarkan konsentrasinya pada suatu posisi untuk dapat menemukan sumber zat tersebut. Pendekatan ini dipakai oleh mahluk laut seperti lobster dalam menemukan makanan yang telah terekstrasi di dalam air. Sama seperti udara, air merupakan fluida bergerak dimana pengaruh dari tur-bulensi juga mempengaruhi pergerakan dari zat-zat yang terkandung pada fluida

terse-but. Berkembangnya kehidupan lobster dilautan telah menunjukan bahawa teknik ke-motaksis merupakan teknik pencarian yang handal.

Kemotaksis adalah teknik yang memanfaatkan kadar konsentrasi dari zat pada flu-ida baik bergerak maupun tflu-idak sebagai informasi untuk mencari sumbernya. Agen yang menggunakan metode ini harus memiliki sensor tertentu yang dapat menghitung konsentrasi gas yang telah ditemukan. Cara ini berasumsi bahwa semakin dekat agen dengan sumber gas, maka konsentrasi zat akan semakin pekat. Cara ini juga dipakai dalam menentukan batas atas konsentrasi gas pada tahap deklarasi sumber gas yang telah dijelaskan pada subbab 2.1.

Gambar 2.9: Diagram Alur Kemotaksis

Grasso et al. [17] dalam penelitiannya mencoba untuk meniru teknik yang dipakai oleh lobster dalam lingkungan perairan. Grasso mencoba untuk mempelajari teknik yang dipakai oleh lobster agar dapat dimanfaatkan dalam bidang lainnya. Untuk menca-pai hal tersebut Grasso membuat sebuah robot lobster yang memiliki manuver, gerakan dan bentuk yang mirip dengan lobster sesungguhnya. Percobaan atas robot lobster dibandingkan dengan pencarian yang dilakukan oleh lobster, hasilnya dianalisis. Robot melakukan pencarian dengan berpedoman pada kadar konsentrasi garam. Robot selalu berusaha bergerak ke daerah dengan konsentrasi garam yang lebih besar. Sayangnya

cara ini memiliki kelemahan yaitu sulitnya menangani perubahan konsentrasi garam pada larutan air. Sama seperti ketika menghadapi perubahan pergerakan arah angin perubahan kadar garam merupakan salah satu contoh lain dari faktor alami yang terda-pat pada area pencarian.

Salah satu contoh ilustrasi kemotaksis dapat dilihat pada Gambar 2.8. Ilustrasi dari sebuah simulasi menunjukkan bagaimana gas/bau berdifusi dengan udara sekitar, di-mana semakin jauh dari sumber, maka konsentrasi dari gas tersebut akan semakin ren-dah. Informasi ini dipakai oleh robot-robot kecil tersebut untuk sampai ke sumber.

Alur pencarian dari metode kemotaksis mirip seperti metode anemotaksis. Perbe-daan mendasar dari metode ini ada pada tahap kedua. Tahap kedua pada metode anemo-taksis adalah dengan melawan arah angin ketika zat yang dimaksud terdeteksi, semen-tara pada metode kemotaksis ketika zat tersebut terdeteksi maka pencarian dilakukan diarea tersebut. Setiap kali zat tersebut terdeteksi lebih tinggi pada suatu posisi maka pencarian akan dipindahkan di sekitar posisi tersebut. Ketika konsentrasi zat selama interval waktu tertentu hilang, maka pencarian harus dilakukan kembali pada posisi ter-akhir dimana zat yang ingin dicari terdeteksi. Pencarian dapat saja mundur hingga ke posisi awal jika memang zat tersebut telah hilang dari wilayah pencarian. Gambaran dari alur kemotaksis dapat dilihat pada Gambar 2.9.

2.2.3 Pendekatan dengan Odor-Gated Rheotaxis

Gambar 2.10: Pemanfaatan OGR dalam percobaan W. Jatmiko [20]

Baik anemotaksis maupun kemotaksis mengalami kegagalan pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang dinamis. Anemotaksis akan mengalami kesulitan jika ter-jadi perubahan arah angin yang cukup drastis, sementara kemotaksis akan mengalami kesulitan ketika zat yang dicari tiba-tiba hilang dari area pencarian sekitar agen pen-cari. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka kedua metode ini dikombinasikan se-hingga dapat saling menutupi kelemahan masing-masing. Metode kombinasi ini disebut dengan Odor-Gated Rheotaxis (OGR) [20].

Metode inipun dimanfaatkan dalam dunia hewan untuk menemukan sumber makanan. Salah satu hewan yang memanfaatkan metode ini adalah kepiting. Kepi-ting tidak hanya memanfaatkan informasi mengenai konsentrasi makanan yang terbawa oleh air, arah dari pergerakan air juga mereka manfaatkan untuk menemukan sumber makanan dengan cepat, tepat, dan akurat.

Dengan memanfaatkan metode ini ketika suatu waktu konsentrasi zat menghilang dari daerah dimana agen pencari berada, maka pengecekan dapat dilakukan berdasarkan informasi arah gerak fluida atau dalam hal ini adalah angin. Jika memang arah angin berubah secara drastis maka pencarian harus diposisikan kembali keposisi dimana agen pencari akan bergerak melawan arah angin. Pada tahap ini bisa dibilang bahwa penca-rian dilakukan dari awal kembali. Baik perubahan pergerakan angin maupun hilangnya konsentrasi zat, pencarian posisi baru untuk memulai proses lokalisasi memerlukan ke-mampuan anemotaksis dan kemotaksis secara bersamaan.

Gambar 2.11: Diagram Alur Odor-Gated Rheotaxis

Pendekatan dengan Odor-Gated Rheotaxis dimanfaatkan dalam penelitian yang di-lakukan oleh W. Jatmiko, et al dengan memanfaatkan banyak agen dalam medi-lakukan pencarian sumber asap [20]. Dalam penelitiannya metode Odor-Gated Rheotaxis di-terapkan dalam teknik yang diberi nama Utilisasi Angin (Wind Utilization). Teknik ini nanti akan dibahas pada Bab 4. Metode ini telah dipelajari kemampuannya dan

di-implementasikan dalam beberapa simulasi pencarian walaupun masih dengan keadaan lingkungan yang sederhana. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh W. Jatmiko me-nunjukkan hasil yang baik. Pencarian dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Gambar 2.10 menunjukkan penerapan OGR dalam penelitian W. Jatmiko dengan meng-gunakan teknik utilisasi angin.

Alur pencarian dari metode ini merupakan penggabungan dari metode anemotaksis dan kemotaksis. Pada tahap kedua, tahap dimana gas/asap telah terdeteksi, pergerakan dari agen pencari haruslah berupa gerakan yang melawan arah angin dengan tetap mem-pertahankan kontak dengan pergerakan asap. Ketika konsentrasi asap tidak terasa maka penyebab yang paling mungkin adalah terjadinya perubahan arah angin. Oleh sebab itu diperlukan penyesuaian kembali posisi agen terhadap arah angin sambil melakukan pencarian ulang posisi dari pergerakan asap. Jika asap telah ditemukan kembali maka proses dapat berjalan seperti biasa. Proses ini berulang hingga akhirnya agen pencari menemukan sumber asap, atau dengan kata lain agen telah menyelesaikan tahap tiga yaitu deklarasi sumber asap. Gambaran dari alur Odor-Gated Rheotaxis dapat dilihat pada Gambar 2.11.

2.2.4 Pendekatan dengan Algoritma Zig-zag

Setelah memahami pendekatan dengan teknik anemotaksis, kemotaksis dan Odor-Gated Rheotaxis terlihat bahwa sesungguhnya pendekatan tersebut merupakan dasar dari pengembangan pendekatan lainnya. Salah satu dari bentuk algoritma hasil dari pendekatan Odor-Gated Rheotaxis adalah algoritma zag dan surge. Algoritma zig-zag akan dijelaskan pada bagian ini, sementara algoritma surge akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Gambar 2.12: Algoritma Zig-Zag

Algoritma ini sesungguhnya adalah penyerapan dari algoritma yang dipakai oleh semut dalam mengikuti jejak feromon yang ditinggalkan semut lain. Semut yang mengikuti jejak feromon akan bergerak secara traversal hingga ia mencapai titik akhir dari feromon tersebut. Umumnya titik akhir dari feromon yang ditinggalkan oleh semut

lain adalah posisi makanan berada. Jejak feromon ini ditinggalkan tidak hanya men-jamin jalur bagi bala bantuan untuk menggotong makanan mereka, tetapi juga untuk menjamin jalan pulang ke sarang mereka. Ini karena semut sering kali berjalan cukup jauh dari sarangnya untuk dapat menemukan makanan.

Gambar 2.12 menunjukkan proses dari pergerakan algoritma zig-zag mengikuti tiga tahapan yang telah dijelaskan pada subbab 2.1. Pada tahap pertama pencarian dilakukan dengan menggunakan algoritma bebas, baik itu berupa gerakan acak maupun dengan algoritma tertentu yang dapat menjangkau sejumlah besar area pencarian. Ketika konsentrasi asap mulai terdeteksi maka pergerakan dari agen pencari dapat mulai di-arahkan dalam bentuk gerakan zig-zag yang melawan arah angin dan melintasi jalur dari gas/asap tersebut. Ketika sumber asap telah ditemukan maka tahap deklarasi sum-ber asap akan dilaksanakan.

Gambar 2.13: Presentase Keberhasilan Algoritma Zig-Zag.

Secara garis besar algoritma ini bekerja sesuai tahapan berikut [18]: 1. Gerak traversal terhadap aliran udara.

2. Temukan dan lewati aliran udara yang mengandung gas/asap yang ingin dicari. 3. Setelah terlewat berputar arah.

4. Kembali ke tahap 2.

Uji coba dari algoritma zig-zag ini telah dilakukan oleh Ferdian J dalam skripsinya [18]. Dalam percobaannya Ferdian melakukan percobaan dalam area pencarian sebe-sar 488cm x 488cm dan membatasi waktu pencarian selama 360 detik. Hal ini di-lakukan sebagai bentuk penyesuaian area pencarian dengan ruangan yang disediakan. Berhubung percobaan dilakukan dalam ruangan tertutup, maka efek dari lamanya pen-carian terhadap konsentrasi gas dalam ruangan akan berpengaruh.

Gambar 2.14: Waktu Pencarian Algoritma Zig-Zag.

Hasil uji coba yang ditampilkan pada Gambar 2.13 menunjukkan bahwa algoritma zig-zag memiliki peluang yang tinggi dalam menemukan sumber asap dalam ruang pen-carian yang relatif kecil. Akan tetapi presentase ini akan menurun jika batas atas dari konsentrasi gas ditingkatkan. Peningkatan batas atas dari konsentrasi gas juga menye-babkan waktu pencarian menjadi semakin lama. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.14. Fakta memperlihatkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menemukan sumber gas akan bergantung pada sudut arah angin saat pencarian. Hal ini dikarenakan metode ini sangat bergantung pada teknik anemotaksis. Cara ini dapat ditangani dengan menerap-kan strategi adaptif yang ditawarmenerap-kan oleh Martinoli, et al [21] yang dapat mengopti-malkan lamanya waktu pencarian.

2.2.5 Pendekatan dengan Surge Spiral

Algoritma lain yang juga merupakan pendekatan Odor-Gated Rheotaxis adalah al-goritma Surge Spiral [9]. Alal-goritma ini merupakan gerakan spiral secara berulang berdasarkan pada konsentrasi gas yang setiap gerakannya diharapkan akan mendekati sumber hingga akhirnya menemukan sumber. Oleh karena gerakannya yang spiral, al-goritma ini juga dapat disebut sebagai alal-goritma surge-spiral.

Algoritma ini juga merupakan penyerapan dari teknik yang dipakai dalam dunia serangga. Algoritma ini telah dipelajari cukup lama dalam dunia entomologi [22], maupun dalam dunia rekayasa lingkungan [23]. Dengan sejumlah modifikasi, algo-ritma ini dapat dimanfaatkan dalam dunia komputer dan terapannya [9, 14].

Gambar 2.15: Algoritma Surge Spiral.

Pada algoritma ini agen bergerak secara spiral hingga agen mendapatkan konsen-trasi tertentu yang lebih tinggi dari keadaan normal. Ketika konsenkonsen-trasi telah ditemukan agen bergerak secara lurus melawan arah angin. Ketika konsentrasi dari gas mulai menurun maka agen dapat melakukan gerakan spiral kembali. Proses ini dilakukan berulang kali hingga posisi dari sumber gas dapat ditemukan. Radius gerak spiral agen akan berkurang seiring dengan semakin dekatnya agen dengan sumber. Meskipun po-sisi sumber secara pasti tidak diketahui, akan tetapi popo-sisi bayangan dari sumber dapat diestimasi dari amplitudo puncak konsentrasi dan interval antara puncak pada suatu posisi dengan puncak pada posisi yang lain. Ketika konsentrasi yang terdeteksi telah melebihi ambang batas, maka algoritma ini akan masuk tahap deklarasi sumber asap. Gambaran dari tahapan-tahapan yang telah dijelaskan dapat dilihat pada Gambar 2.15.

(a) Moorebots (b) Ruang Pencarian Moorebots Gambar 2.16: Alat dan ruang dari percobaan Hayes, et al.

Algoritma surge-spiral dapat berjalan dengan baik dalam lingkungan yang tenang dengan cukup aliran angin. Versi original dari algoritma ini disadari kurang efek-tif, oleh sebab itu beberapa modifikasi dilakukan pada algoritma ini. Salah satu-nya adalah dengan melakukan observasi lingkungan pencarian yang dilakukan oleh

agen sebelum agen benar-benar melakukan pencarian sumber. Ini dimaksudkan untuk melakukan pemetaan konsentrasi lingkungan diberbagai titik. Sumber dapat ditemukan berdasarkan hasil dari pemetaan yang dilakukan. Jika terdapat cukup waktu maka agen dapat melakukan beberapa kali penjelajahan sehingga konsentrasi dari setiap titik dapat dirata-rata dan pemetaan lingkungan dapat menjadi lebih presisi.

Hayes, et al. dalam penelitiannya menggunakan algoritma ini untuk melakukan ins-peksi dalam memahami distribusi gas dalam ruang tertutup [9, 14]. Algoritma ini dipilih karena sifatnya yang dapat mencakup ruang pencarian dengan baik dalam bentuk ge-rakan spiral. Akan tetapi algoritma ini masih perlu modifikasi untuk memenuhi keper-luan penelitiannya. Dalam penelitiannya Hayes juga melakukan modifikasi terhadap algoritma ini dengan menggunakan lebih dari satu agen yang dapat berkomunikasi se-cara sederhana satu sama lainnya. Modifikasi ditujukan untuk mengoptimalkan waktu pencarian sehingga tidak terlalu lama. Oleh karena pencarian dilakukan dalam ruang tertutup, waktu menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan.