• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCARIAN SUMBER ASAP DALAM MULTIDISIPLIN Pencarian sumber asap dengan memanfaatkan agen-agen artifisial bukanlah suatu

3.2 Arsitektur Perangkat Keras dan Sensor

3.2.1 Sensor Bau

Bagian terutama dari robot dalam melakukan pencarian sumber asap dengan menggu-nakan agen cerdas adalah keberadaan sensor bau/asap. Kondisi sensor-sensor menen-tukan kelangsungan dari suatu pencarian. Pemilihan sensor pun menjadi hal yang pen-ting untuk diperhatikan. Tidak ada sensor asap/bau yang mampu membedakan dan mengenali seluruh bau yang ada, sensor-sensor bau ini dikhususkan untuk mengenali sejumlah kecil bau. Ada sensor yang dipakai untuk mengenali bau dari pelarut organik seperti alkohol, ada juga sensor yang mampu mengenali gas-gas dari bahan kimia berba-haya seperti karbon monoksida. Ada pula sensor yang mampu mengenali gas-gas yang mudah terbakar seperti hidrogen.

Gambar 3.18: Sensor Asap Jenis Oksida Metal

Dari keterbatasan pengenalan sensor asap perlu ditentukan tujuan dari pemanfaatan robot pencari sumber asap. Jika pemanfaatan robot ini dipakai dalam pabrik kimia, mungkin menggunakan sensor yang mampu mendeteksi gas kimia berbahaya akan lebih tepat dibanding menggunakan sensor lainnya. Kita tidak mungkin menggunakan sensor yang ditujukan untuk mendeteksi pelarut organik dalam melakukan pencarian sumber asap yang mudah terbakar. Meski sensor tersebut mungkin saja dapat mengenali, tetapi kepekaan sensor tersebut tidak sebesar kepekaan sensor yang memang ditujukan untuk asap/bau yang mudah terbakar. Hal ini berlaku untuk semua jenis asap/bau yang mau dideteksi.

Dalam dunia sensor bau ini terdapat dua buah jenis sensor, yaitu sensor yang manfaatkan semi konduktor oksida logam dari kertas film tebal dan sensor yang me-manfaatkan quartz crystal micro balance. Sensor yang meme-manfaatkan semi konduk-tor oksida logam tersebut dikembangkan dan diperjualbelikan oleh perusahaan Figaro dari Amerika Serikat, sementara pengembangan quartz crystal micro balance dilakukan oleh salah satu dari penulis [37]. Kedua jenis sensor ini memiliki kelebihan dan keku-rangannya masing-masing. Untuk mengetahui hal tersebut ada baiknya untuk menelaah satu-per-satu sensor-sensor ini.

Sensor-sensor Figaro TGS adalah jenis dari semi konduktor oksida metal yang menawarkan biaya yang murah, tahan lama dan memiliki sensitivitas yang tinggi ter-hadap gas target sambil memanfaatkan sirkit elektrik sederhana. Sensor-sensor buatan Figaro sangat cocok sebagai pendeteksi kebocoran gas beracun dan gas yang mudah terbakar.

Cara kerja dari sensor ini adalah dengan memanfaatkan bahan untuk mendeteksi asap yaitu oksida metal, secara khusus adalah SnO2. Ketika kristal oksida logam seperti SnO2 dipanaskan pada suhu tinggi tertentu di udara, oksigen teradsorpsi pada permukaan kristal dengan muatan negatif. Oleh sebab hal tersebut, elektron pada per-mukaan kristal dikirim ke oksigen teradsorpsi tersebut, sehingga meninggalkan mu-atan positif di dalam lapisan mumu-atan ruang. Hal ini membentuk suatu permukaan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap aliran elektron (Gambar 3.19a).

(a) Dalam keadaan tidak ada polutan (b) Dalam keadaan ada polutan Gambar 3.19: Model dari Penghalang Elektron

Didalam sensor, aliran elektric mengalir melalui bagian konjungsi (pembatas elek-tron) dari kristal mikro SnO2. Pada batas-batas ini, oksigen yang teradsorpsi memben-tuk sebuah penghalang potensial yang menghalangi pembawa (carrier) dalam

berge-rak bebas. Ketahanan elektrik dari sensor disebabkan oleh penghalang potensial ini. Didalam kehadiran dari gas pengdeoksidasi, kepadatan permukaan terhadap muatan negatif menjadi berkurang, sehingga tinggi penghalang dari pembatas elektron juga berkurang (Gambar 3.19b dan 3.20). Pengurangan tinggi penghalang ini mengurangi ketahanan sensor itu sendiri.

Gambar 3.20: Skema reaksi antara CO dan oksigen yang teradsorpsi oleh SnO2

Relasi antara ketahanan sensor dan konsentrasi dari gas pengdeoksidasi dapat di-nyatakan oleh persamaan berikut ini pada rentang konsentrasi gas tertentu:

Rs=A[C]−∝ (3.18)

dimana:

Rs=Ketahanan elektrik dari sensor A=Konstanta

[C] =Konsentrasi gas ∝=Kemiringan kurva Rs

Setelah kita mengetahui bagaimana sensor oksida metal ini bekerja terhadap polu-tan yang ada pada lingkungan. Kita juga perlu memahami kondisi dan karakteristik dari sensor sehingga kita dapat memahami keadaan yang tepat dalam menggunakan sensor tsb. Karakteristik dari sensor jenis oksida metal bergantung pada tekanan parsial oksi-gen pada lingkungan sensor. Ketahanan sensor akan menurun jika tekanan oksioksi-gen di lingkungan juga mengalami penurunan.

Sensor ini pun terpengaruh dengan sensitivitas dari gas yang ingin dideteksi. Berdasarkan pada persamaan 3.18, hubungan dari ketahanan sensor terhadap konsen-trasi gas adalah linear pada sebuah skala logaritmik didalam rentang konsenkonsen-trasi gas tertentu (dari satuan ppm hingga ribuan ppm). Sensor akan menunjukkan sensitivitas yang berbeda terhadap berbagai macam gas pengdeoksidasi, dengan sensitivitas relatif terhadap gas tertentu yang dioptimisasi dengan formulasi dari bahan penginderaan dan temperatur operasi. Karena ketahanan sensor sesungguhnya berbeda antara sensor satu dengan yang lain, karakteristik sensitivitas diekspresikan dengan menggunakan rasio antara ketahanan sensor dalam berbagai konsentrasi gas (Rs) terhadap ketahanan sen-sor terhadap konsentrasi gas tertentu (Ro).

Gambar 3.21: Respon Sensor

Karakteristik lainnya adalah bagaimana sensor jenis ini merespon polutan dalam lingkungan. Gambar 3.21 mendemostrasikan perilaku ketika sensor terpapar oleh dan lalu dipindahkan dari daerah gas polutan. Ketahanan sensor akan turun dengan sa-ngat cepat ketika terpapar oleh gas dan ketika dipindahkan dari gas. Ketahanan sensor akan kembali ke nilai asli setelah beberapa waktu. Kecepatan dari respon dan proses pengembalian ke kondisi awal akan bervariasi sesuai dengan model sensor dan gas yang terlibat.

Gambar 3.22: Aksi Awal Sensor

Sementara respon sensor terhadap gas berbeda-beda untuk setiap jenis sensor dan gas yang dihadapi, akan tetapi semua sensor ini memiliki kesamaan ketika sensor terse-but baru diaktifkan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.22, semua sensor menun-jukkan sebuah perilaku sementara yang disebut sebagai aksi awal ketika sensor baru di-hidupkan. Rs turun secara tajam untuk beberapa detik pertama setelah sensor diberikan

energi, tanpa mempertimbangkan keberadaan gas, dan selanjutnya sensor akan menca-pai keadaan stabil berdasar pada ambien dari atmosfer sekitar. Panjang dari aksi awal ini bergantung pada kondisi atmosfer, lamanya waktu penyimpanan sensor dan variasi dari model sensor. Perilaku ini harus menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan sebuah sirkit alarm atau sejenisnya.

Prinsip pendeteksian dari sensor oksida logam berdasar pada adsorpsi dan deasorpsi kimia dari gas pada permukaan sensor. Sebagai dampaknya, suhu ruang akan mempe-ngaruhi sensitivitas dengan mengubah rata-rata reaksi kimia. Selain itu, kelembaban menyebabkan penurunan dalam Rs ketika uap air mengadsorpsi pada permukaan sen-sor. Sebuah sirkit yang mengkompensasi ketergantungan suhu ini sebaiknya dipertim-bangkan ketika menggunakan sensor jenis ini.

Sensor jenis oksida logam ini juga terbukti memiliki ketahanan yang cukup lama. Hal ini membuat sensor ini cocok untuk operasi bebas perawatan. Sensor ini juga dide-sain untuk menunjukkan sensitivitas optimal dalam kondisi dengan tegangan pemanas yang konstan. Karena sensor memiliki ketergantungan terhadap voltase dari pemanas, tegangan pemanas yang konstan dan teregulasi harus diberikan kepada sensor berdasar pada spesifikasinya.

Memahami prinsip kerja dari sensor bau/asap dengan memanfaatkan oksida logam memberikan gambaran bagaimana sensor bau/asap bekerja dan hal apa saja yang harus diperhatikan dalam pemanfaatannya. Jika sensor jenis ini memiliki keterbatasan dari segi waktu dalam hal responsi dan kemampuan untuk mengembalikan nilai pembacaan ke keadaan sebelum diberikan polutan, sensor jenis ini memiliki rangkaian yang seder-hana sehingga mudah untuk dikembangkan.

Berbeda dengan sensor berbasis oksida logam, sensor dengan prinsip quartz crys-tal micro balancememiliki respon yang jauh lebih cepat baik ketika mendeteksi polu-tan maupun ketika sensor sedang dalam tahap relaksasi. Kelebihan ini bukanlah polu-tanpa ada harga yang harus dibayar. Sensor jenis ini sulit dikembangkan karena memiliki rangkaian yang cukup kompleks untuk dapat diimplementasikan sendiri. Meskipun demikian bukannya tidak mungkin kita mengembangkan sensor ini dari awal. Wisnu Jatmiko dalam penelitiannya mencoba mengembangkan teknologi sensor ini yang di-gunakan untuk mendeteksi dan mengenali aroma dari buah-buahan [37].

∆F = − 2.3x106xF2x∆M

A (3.19)

dimana:

F =Frekuensi resonansi dasar (Mhz)

∆M =Massa total molekul gas yang terserap (g) A=Luas elektroda (cm2)

Prinsip kerja dari sensor hidung elektronik tersebut adalah menghitung nilai/besar penurunan frekuensi. Frekuensi sensor resonator akan menurun saat molekul gas ter-adsorpsi oleh membran, dan akan kembali normal setelah molekul tersebut mengalami proses deadsorpsi. Fenomena ini disebut efek pembebanan massa (mass loading ef-fect) [8]. Perubahan frekuensi ∆F (hz) sebanding dengan massa total molekul gas yang teradsorbsi, diberikan oleh persamaan Sauerbrey, Persamaan 3.19.

Sensor kwarsa mempunyai sensitivitas yang tinggi bila dibandingkan dengan jenis sensor kimia yang lain, tetapi material kwarsa hanya efektif pada suhu relatif rendah (¡500C). Prinsip dasar sensor ditunjukkan pada Gambar 3.23.

Gambar 3.23: Prinsip Dasar Sensor quartz crystal micro balance

Dalam penelitian Wisnu J, sensor ini dikembangkan dalam dua tahap. Pada proto-tipe yang telah dibuat sebelumnya frekuensi dasar yang digunakan adalah 10 Mhz. Un-tuk menambah kemampuan sistem dalam rangkaian hidung elektronik ini sensor kwarsa yang digunakan menggunakan kwarsa dengan frekuensi dasar yang ditingkatkan men-jadi 20 Mhz dan jumlah sensor yang digunakan ditambah menmen-jadi 16 buah. Semua sensor tersebut dilapisi oleh membran-membran sensitif yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Perubahan frekuensi masing-masing sensor akan membentuk pola karak-teristik tertentu bagi setiap aroma yang berbeda sehingga gas tersebut dapat dibedakan berdasarkan pola yang didapat.