• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Kerusakan Ekosistem DAS

2.3.1. Pencemaran Air

Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan sebagai hajat hidup orang banyak. Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk kehidupannya, sehingga sumberdaya air perlu dilindungi agar dapat tetap dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan generasi sekarang dan mendatang. Oleh karena itu, aspek penghematan dan pelestarian sumberdaya air perlu ditanamkan pada segenap pengguna air (Yunus, 2005).

Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan manusia ternyata telah menimbulkan berbagai efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan hidupnya. Aktivitas yang pada prinsipnya merupakan upaya untuk dapat hidup layak merangsang manusia untuk melakukan tindakan yang menyalahi kaidah yang ada dalam tatanan lingkungan hidup. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertanian, penebangan hutan, domestik dan lainnya terhadap sumberdaya air berupa semakin menurunnya kualitas air yang dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air (Efendi, 2000). Permasalahan utama sumberdaya air saat ini adalah menyangkut kuantitas yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kualitas air yang layak untuk keperluan domestik juga semakin langka diperoleh. Oleh karena itu, perlu pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dengan seksama.

Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air atau udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air atau udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka aktivitas manusia meningkat baik pada bidang pertanian, industri, rumahtangga dan lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran pada perairan, udara dan tanah yang disebabkan oleh hasil buangan kegiatan tersebut. Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dilakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan, termasuk baku mutu pada sumber air, baku mutu limbah cair dan sebagainya. Baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Menurut

klasifikasi dan kriteria mutu air dapat dibedakan menjadi empat kelas (PP No. 82, 2001), yaitu :

1. Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,

2. Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,

3. Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,

4. Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, tetapi bukan berarti semua air sudah tercemar. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. (Saeni, 1989). Untuk memudahkan pembahasan mengenai berbagai jenis zat pencemar, pencemaran air dapat dikelompokkan atas 9 kelompok berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya yaitu padatan terlarut, bahan buangan yang membutuhkan oksigen, mikroorganisme, komponen organik sintetik, hara tanaman, minyak, senyawa anorganik dan mineral, bahan radioaktif dan panas. Pengelompokan tersebut bukan merupakan pengelompokan yang baku, karena suatu jenis zat pencemar mungkin dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu kelompok. (Saeni, 1989).

Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, diperlukan pengujian untuk menentukan sifat-sifat air, sehingga dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air misalnya adalah nilai pH, keasaman dan alkalinitas, suhu, warna, bau dan rasa,

jumlah padatan, oksigen terlarut (dissolved oxygen), kandungan logam berat, kandungan minyak, dan kandungan bahan radioaktif (Fardiaz, 2003).

Secara alamiah, sungai tercemar pada daerah permukaan air saja, tetapi terkadang sungai mengalami pencemaran berat, sehingga zat pencemar dapat masuk melalui proses infiltirasi sampai kedalaman lapisan tanah tertentu. Pada musim kering proses pengenceran dan biodegradasi akan sangat menurun, karena arus air mengalir perlahan dan jumlahnya menurun diperparah lagi oleh penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menghasilkan bahan kimia ke udara. Macam limbah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dan dampaknya terhadap pencemaran adalah :

a. Kegiatan Pertanian

Sutamiharja (1978), mengemukakan bahwa kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam pupuk buatan dan pestisida. Penggunaan pupuk buatan yang mengandung unsur N dan P akan dapat menyuburkan perairan, yang dapat mendorong pertumbuhan ganggang dan tumbuhan akuatik lainnya (Odum, 1993).

Keberadaan hara yang berlebihan dapat memicu terjadinya pengayaan (eutrofikasi) perairan dan dapat memicu pertumbuhan secara pesat mikroalga dan tumbuhan air yang selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem akuatik secara keseluruhan (Effendi, 2000). Selain itu aktivitas pertanian non-konservasi berpengaruh besar terhadap erosi dan sedimentasi yang terangkut ke perairan. Hasil penelitian Sutika (1984) pada perairan Sungai Ciliwung menyatakan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat pada daerah hulu perairan sungai ini bersumber dari daerah pertanian dan sekitarnya. Dari hasil penelitian Hariyadi (1985), pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu bahwa persentasi lahan sawah, perkebunan, tegalan pada DAS Ciliwung Hulu, berpengaruh nyata terhadap nilai BOD5 dan ortofosfat. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa wilayah DAS Citarum bagian hulu telah mengalami degradasi lingkungan, ditunjukkan

dengan penurunan kualitas air Sungai Citarum. Hasil analisis kimia terhadap contoh air, menunjukkan bahwa zat-zat pencemar didominasi oleh yang bersumber dari kegiatan industri dibandingkan dengan rumahtangga dan pertanian.

b. Pemukiman

Kegiatan pembangunan pemukiman baru (perumahan) diawali dengan pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah. Menurut Arsjad (1989), erosi tanah yang akan terjadi pada lahan yang terbuka sangat tinggi, karena tanah tidak terlindungi dari pukulan butir hujan dan kekuatan dari daya angkut aliran permukaan. Sebagian dari tanah yang tererosi ini akan masuk ke badan perairan sungai, sehingga akan menurunkan kualitas airnya. Menurut Puspaningsih (1997) perubahan lahan sawah dan kebun campuran menjadi permukiman cenderung mengakibatkan dampak negatif khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Beberapa parameter kualitas air yang dapat menjadi indikator tingginya laju erosi tanah adalah kekeruhan, dan kandungan sedimen pada dasar sungai.

Pada lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan menghasilkan limbah domestik yang berupa sampah padat (organik dan anorganik), limbah rumahtangga (organik, diterjen dan sebagainya), yang dapat menurunkan kualitas air pada perairan sungai penerimanya. Hal ini pada umumnya akan terjadi pada daerah permukiman padat penduduk dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai. Saeni (1989) menyatakan bahwa di Indonesia telah banyak sungai yang telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai yang melalui daerah perkotaan, daerah padat penduduk dan wilayah perindustrian.

Hasil penelitian Sutika (1984), menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat berasal dari limbah domestik daerah pemukiman pada perairan Sungai Ciliwung yang berada pada wilayah Kota Bogor sampai dengan DKI Jakarta. Nilai BOD5 pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu juga dipengaruhi oleh keberadaan daerah pemukiman yang berada di sekitarnya. Limbah yang dihasilkan dari pemukiman (limbah domestik) adalah sumber limbah organik di perairan. Bahan pencemar sampah rumahtangga menimbulkan gas hidrogen sulfida (H2S) yang berbau busuk, apabila bakteri aerobik dan anaerobik tidak

dapat mengurai secara sempurna (Wahyudi dan Bilal, 1976). Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air.

Parameter Satuan Pencemaran berat Pencemaran sedang Pencemaran ringan 1. Padatan total 2. Bahan padatan terendapkan 3. BOD 4. COD 5. Nitrogen total 6. Ammonia-Nitrogen 7. Klorida 8. Alkalinitas 9. Minyak dan lemak

(mg/l) (ml/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) 1.000 12 300 800 85 30 175 200 40 500 8 200 600 50 30 100 100 20 200 4 100 400 25 15 15 50 0

Sumber : Wahyudi dan Bilal (1976).

c. Kegiatan Penebangan Hutan

Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang lebih tinggi. Luas hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1995). Pengalihfungsian atau konversi hutan menjadi peruntukan lain menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Penutup hutan yang berkurang menyebabkan tingginya aliran permukaan yang membawa butiran-butiran tanah (erosi). Erosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen. Zat padat yang terendap disebut sebagai sedimen (Kimmins, 1987).

Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat aquatik. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan. Sedimen

menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidup dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi, 2000). d. Kegiatan Industri dan Pertambangan

Pencemaran oleh kegiatan industri dan pertambangan sangat tergantung pada jenis kegiatan industri dan pertambangan. Sebagai contoh industri penyamakan kulit, pada umumnya meliputi jenis zat pencemar yang tinggi dari zat tersuspensi protein, CaCO3, Ca(OH)2, CaSO4, Na2S, asam tanat, zat warna, H2SO4, Cr dan logam lainnya dihasilkan dari proses perendaman, pengapuran, pengasaman dan penyamakan (Rao dan Datta, 1979). Logam berat yang berasal dari industri dan pertambangan dapat bersifat racun bagi tanaman. Metcalf dan Eddy (1991) menyebutkan, bahwa logam berat penting yang terlarut dalam air dan berpengaruh terhadap pertumbuhan makhluk hidup serta bersifat racun adalah Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Fe dan Hg.

Menurut Sutamiharja (1978), pengaruh logam berat terlarut dalam air terhadap tanaman tergantung dari jenis tanaman, umur tanaman dan variasi bentuk kimianya. Pengaruh tersebut dapat menyebabkan adanya kerusakan kimia biologik, yaitu terakumulasinya pada sel-sel yang mengandung gugus sulfida, sehingga mengakibatkan struktur sel rusak, tidak berfungsinya pembelahan sel dan tidak berfungsinya sistem pembagian air dalam sel. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air sungai yang digunakan untuk kegiatan pertanian (Bronson, et al., 1975 dalam Shainberg dan Oster, 1978) terdapat pada Tabel 2. Kegiatan pertambangan yang dilakukan akan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan perairan dengan terbentuknya endapan, perubahan pH, masuknya logam-logam berat beracun dan merubah arah saluran dan aliran air. Pertambangan terbuka merupakan sumber pencemar yang menimbulkan kerusakan paling tinggi berupa pelumpuran dan kekeruhan yang berasal dari kerusakan pinggiran sungai.

Tabel 2. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian.

Unsur

Untuk pemberian air terus menerus

(mg / l)

Untuk penggunaan sampai 20 tahun, pada tekstur tanah sangat halus,

pH 6,0 – 8,5 (mg/l) Al (Alumunium) As (Arsen) Be (Berylium) B (Boron) Cd (Kadmium) Cr (Krom) Co (Kobalt) Cu (Tembaga) F (Fluor) Fe (Besi) Pb (Timbal) Li (Litium) Mn (Mangan) Mo (Molibdenum) Ni (Nikel) Se (Selenium) V (Vanadium) Zn (Seng) 5,00 0,10 0,10 0,75 0,01 0,10 0,05 0,20 1,00 5,00 5,00 2,50 0,20 0,01 0,20 0,02 0,10 2,00 20,00 2,00 0,50 2,00-10,00 0,50 1,00 5,00 5,00 15,00 20,00 10,00 2,52 10,00 0,0502 0,020 0,020 1,00 10,00 Sumber : Shainberg dan Oster (1978).

Menurut Darmono (1995), kegiatan pertambangan merupakan sumber pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya (1) berhubungan dengan estetika seperti bau, warna, rasa (2) berbahaya bagi tumbuhan dan hewan, (3) mengganggu kesehatan manusia, (4) menimbulkan kerusakan ekosistem.

2.3.2. Sedimentasi

Asdak (2004) menyatakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik berupa erosi permukaan, erosi parit dan erosi tanah lainnya. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi di daerah tangkapan air, diukur pada periode dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau pengukuran langsung di dalam waduk. Hasil sedimen pada waduk sangat ditentukan oleh tingkat erosi lahan di wilayah hulu. Faktor - faktor yang mempengaruhi erosi juga merupakan penentu hasil sedimen yaitu kondisi fisik lahan, aliran permukaan, debit, tataguna lahan, tindakan konservasi, erodibilitas, kerapatan drainase dan luas DAS (Julien, 1992; Morris dan Fan, 1998; Sa’ad,

2002; Syarif dan Kodoati, 2005). Secara sederhana hasil sedimen dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Asdak, 2004) yaitu Qs = 0,0864 . C . Q, dimana Qs = debit sedimen (ton/ha), C = konsentrasi sedimen, Q = debit sungai (m³ / dt). Penelitian yang dilakukan oleh Sa’ad (2002), di DAS Hulu Ciliwung menyimpulkan bahwa untuk menduga hasil sedimen pada sungai dapat menggunakan rumus :

Y = 1.445 x 10 -2. Ep 0,704 . Ro 0,646 . CP 0,005. A-0,747

Keterangan :

Y = sedimen sungai (ton ha¯¹),

Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha¯¹),

Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³), CP = faktor tanaman dan tindakan konservasi tanah, A = luas Sub DAS (ha).

Rumus tersebut dapat digunakan untuk DAS – DAS lain yang memiliki kemiripan tinggi (berdasarkan koefisien Nash). Hubungan antara perubahan tataguna lahan dan hutan DAS dengan erosi, sedimentasi, kuantitas dan kualitas air telah banyak dilakukan. Misalnya, Sihite (2004) menyimpulkan bahwa perubahan penggunaan lahan hutan menjadi kebun kopi di DAS Besai Lampung telah menyebabkan peningkatan erosi dari 8,29 ton/ha (1975) menjadi 49,85 ton/ha (1997) dan rasio debit maksimum minimum naik dari 7-16 (1975-1981) menjadi 25-41 (1996-1997), sehingga mendatangkan kerugian per tahun (1975-1981) sebesar Rp 16,473 milyar naik menjadi Rp 63,493 milyar (1996-1997). Di DAS Krueng Aceh ditemukan bahwa telah terjadi penurunan volume aliran sungai tahunan sebesar 417,4 mm dan debit aktual turun sebesar 32,1% antara tahun 1996-2003 (Balai Agroklimat dan Hidrologi, 2004).

2.4. Jasa Lingkungan DAS Selain Air 2.4.1. Keanekaragaman Hayati

Disamping air, DAS menghasilkan jasa lingkungan yang lain berupa keanekaragaman hayati, sekuestrasi karbon, rekreasi dan penelitian (Pagiola et. al, 2002). Jasa lingkungan keanekaragaman hayati dikonsumsi oleh konsumen yang

sulit diidentifikasi ambang batas permintaan dan pasokan, sehingga sulit mencari pembeli individual. Disamping itu, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pengusaha telah berpartisipasi aktif dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati dengan kesediaan membayar. Peningkatan kesadaran publik akan manfaat dan ancaman keanekaragaman hayati menyebabkan individu dan komunitas menjadi penjual yang proaktif, sehingga pertumbuhan dan diversifikasi pasar telah menghasilkan inovasi yang nyata dalam desain komoditas dan mekanisme pembayarannya (Williams, et al, 2001).

Setiap mekanisme berusaha mengurangi resiko pasar, mengatasi pengaruh ambang batas dan meminimalkan biaya transaksi. Dengan penurunan resiko dan biaya transaksi, maka partisipasi pasar akan semakin meningkat. Kendala utama adalah biaya transaksi yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan perdagangan terutama di negara berkembang. (Landell-Mills and Porras, 2002). 2.4.2. Sekuestrasi Karbon

Pohon (hutan) dalam proses fotosintesis melakukan pengikatan gas CO2

dari udara dan membentuk biomas yang terdiri dari karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) dan melepaskan sejumlah energi. Kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2 dan kaitannya dengan penurunan jumlah gas CO2 (gas rumah kaca) di atmosfer telah banyak diteliti (Hairiah et al, 2001). Di dalam CoP7 (Conference of Parties ke-7) bulan November 2001 di Marakesh (Maroko) diputuskan bahwa kegiatan LULUCF (Land use and land use change of forestry) di negara-negara maju diizinkan sebagai rosot karbon (carbon sequestration) di bawah CDM (clean development mechanisme) pada periode komitmen pertama dan berpedoman pada Protokol Kyoto 1997 pasal 3.3 dan 3.4. Kegiatan yang dilakukan secara domestik atau melalui JI (jointly implementation) dalam proyek deforestasi, ini dapat menghasilkan unit penyerapan (remove unit RMU) untuk memenuhi target penurunan emisi negara-negara maju (Murdiyarso, 2003).

Pasar bagi penggantian kapasitas pohon dalam sekuestrasi dan simpanannya (sebagai jasa lingkungan) belum terwujud. Proses pembentukan pasar tidaklah mudah dan belum tercapai satu platform perdagangan tingkat transaksi (lokal, nasional, regional, dan internasional) mekanisme pembayaran

dan derajat partisipasi pemerintah. Perdagangan karbon dengan jumlah komoditas ekuivalen 1 ton karbon telah meminimalisasi biaya transaksi. Perdagangan internasional dalam bentuk AIJ (activities jointly implementation) dan CDM untuk penggantian karbon umumnya dilakukan melalui negosiasi individual dengan industri pengembangan pasar yang masih terbatas (Sulandri, 2005).

Walaupun diizinkan LULUCF dalam skema CDM masih diwarnai perdebatan dan pembahasan antara lain hanya berlaku pada periode pertama (2008–2012), terbatas pada kegiatan reforestasi dan tidak lebih dari 1% total emisi pihak investor, namun Indonesia memliki potensi yang sangat besar untuk berperan dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui CDM dan mekanisme lainnya seperti CER (certified emission reduction) (Murdiyoso, 2003).