• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa dari 12 tipe penggunaan lahan di DAS Citarum, penggunaan lahan terluas adalah kebun campuran dan permukiman (26,98%) dan tegalan (15,60%), sedangkan sawah di wilayah datar dan berlereng masing-masing 19,03% dan 7,68% serta hutan sebesar 9,9% dari luas DAS sebesdar 748.460 ha. Selanjutnya, Wahyunto

et.al (2001) melaporkan bahwa telah terjadi pengurangan luas lahan hutan dan sawah di daerah aliran sungai Citarik (bagian hulu DAS Citarum) sebagai akibat pertumbuhan penduduk, pembangunan dan industri.

Suryani dan Agus (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa pada periode 1991-2002 di DAS Cijalupang, kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling luas mengalami pengurangan yaitu 7,27% (202.97 ha), lahan hutan 2,35% (65,51 ha), lahan sawah 0,93% (26,10 ha) dan semak 0,67% (18,67 ha). Akan tetapi, terjadi penambahan luas lahan tegalan 5,64% (157.57 ha), permukiman 5,11% (142.76 ha) dan pertumbuhan teh 0,46% (1.292 ha). Perubahan penggunaan lahan meningkatkan total hasil air tahunan meskipun tidak signifikan (+0,35%). Perubahan signifikan terjadi pada aliran permukaan meningkat sebesar 12,37% dan aliran dasar menurun 2,54%.

Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa pengalihan fungsi lahan non sawah menjadi lahan sawah di DAS Citarum telah menyebabkan meningkatnya potensi terjadinya longsor. Lahan sawah lebih peka terhadap longsor mulai dari lereng dengan kemiringan diatas 3% sedangkan lahan non sawah baru pada elevasi diatas 8%. Kecuali faktor curah hujan, potensi longsor dipengaruhi oleh kondisi tanah dan vegetasi. Jangkauan akar tanaman dapat mempengaruhi tingkat kerawanan longsor (tanaman pangan semusim lebih rawan longsor bila dibandingkan dengan tanaman keras-pohon). Volume tanah longsor di wilayah lahan sawah rawan longsor berkisar antara 1.000–4.200 m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta – Rp. 16 juta per hektar) dan wilayah non sawah berkisar antara 1.000–5.050 m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta – Rp. 20,3 juta per hektar).

Sutono et. al (2003) dalam Kurnia et. al (2004) mengemukakan bahwa lahan sawah lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi di DAS Citarum, potensi erosi lahan sawah lebih rendah (0,33–1,45 ton/ha/th) dibandingkan dengan lahan kering (5,7–16,5 ton/ha/th). Erosi terjadi pada setiap penggunaan lahan, terendah adalah lahan hutan, diikuti oleh sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun campuran dan tegalan. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan tingkat erosi. Secara lengkap rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum.

Penggunaan lahan

Rata-rata erosi / DTA (ton/ha/th)

Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hilir

Hutan 0,13 0,24 0,14 0,24 Kebun campur 8,40 15,40 36,84 30,38 Karet 0,00 8,85 11,39 40,75 Permukiman 0,03 0,02 0,15 0,02 Sawah 0,33 0,40 1,45 1,13 Semak belukar 1,12 1,61 0,47 0,95 Tegalan 22,02 61,31 40,05 35,66 Teh 23,11 26,94 9,65 33,48

Tala’ohu et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa keberadaan lahan sawah di DAS Citarum berpengaruh baik terhadap daya sangga air potensial dibandingkan dengan lahan non sawah (perkebunan teh, perkebunan karet, semak belukar, kebun campuran, tegalan dan permukiman dan industri). Rata-rata daya sangga air potensial di DAS Citarum untuk lahan sawah adalah 0,094 m dan rata-rata tertimbang untuk non sawah adalah 0,074 m. Besarnya biaya pengganti untuk fungsi pengendalian banjir (bila lahan sawah dialihkan menjadi non sawah) adalah USD 4,970 juta/th. Watung et.al (2003) dalam

Kurnia et.al (2004) mengemukakan bahwa mempertahankan lahan sawah (199.985 ha) di DAS Citarum akan mempreservasi (mendaur ulang penggunaan) air tanah sebesar 169.937.254 m³/th. Dengan menggunakan nilai biaya pengganti setara dengan USD 5.098.000 (air digunakan kembali untuk irigasi) dan USD 744.700 (air digunakan kembali untuk air minum).

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2002) menunjukkan bahwa cadangan air tanah di Sub DAS Cilalawi, Cikao dan Ciherang (wilayah hulu Waduk Jatiluhur) masih cukup baik. Di Sub DAS Cilalawi sebanyak 47% volume hujan menjadi cadangan air tanah, di Sub DAS Cikao sebanyak 54% dan Sub DAS Ciherang sebanyak 46%. Selanjutnya hasil penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) menunjukkan bahwa simulasi neraca air DAS dengan melakukan perubahan penggunaan lahan, yaitu menambah luas lahan hutan 10% dari masing-masing Sub DAS, dapat meningkatkan produksi air DAS dan menurunkan aliran permukaan sebanyak 15% (Sub DAS Cilalawi), 0,8% (Sub DAS Cikao) dan 25% (Sub DAS Ciherang). Simulasi dengan model AGNPS menunjukkan bahwa penambahan luas hutan (10%) dapat menurunkan aliran permukaan 8,96%, erosi permukaan 86,82% dan sedimen 40,47% (Sub DAS Cilalawi), erosi permukaan 80,85% dan sedimen 5,72% (Sub DAS Cikao), erosi permukaan 75% dan sedimen 4,55% (Sub DAS Ciherang).

Rizaldi Boer et. al. (2004) menyatakan bahwa DAS Citarum sangat rentan terhadap perubahan iklim. Apabila tidak ada perubahan iklim dan tingkat penggunaan air Sungai Citarum 10% dari aliran tahunan (7.660 juta³) maka akan menimbulkan defisit air di wilayah hilir seperti Karawang, Bekasi dan

Purwakarta, bahkan defisit dapat mencapai 60 juta m³/th. Dengan menaikkan curah hujan 10-20 persen dari saat ini, ketersediaan air di Citarum tetap tidak memenuhi bila pengambilan air sungai sebesar 10% dari aliran tahunannya dan sebagian besar wilayah hilir tersebut akan mengalami kekurangan air. Republika (2005) dalam hariannya menyatakan bahwa pengelolaan DAS Citarum menghadapi kendala tata ruang. Buruknya pemetaan ruang wilayah hulu sungai menjadi penyebabnya 336.000 ha (65%) lahan kritis berada diarea DAS Citarum dan Ciliwung (di Jawa Barat 580.000 ha). Bangunan rumah, industri dan kurangnya hutan di sekitar sungai menyebabkan pendangkalan dan menurunnya debit air sungai. Fluktuasi debit juga mengalami peningkatan yang besar, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau merupakan bukti rusaknya kondisi wilayah hulu Citarum (Nandang, BP DAS Citarum-Ciliwung Bogor).

Hasil penelitian Prihadi (2005) menunjukkan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam kondisi buruk, didasarkan pada kadar sulfat, fosfat, zat organik, H2S, amonia dan nitrit sudah melebihi ambang batas baku mutu lingkungan. Jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata sebesar 38.726 keramba telah melebihi ambang batas kapasitasnya yaitu sebesar 4.625 keramba. Sedangkan Ismail (2007) telah menghitung nilai ekonomi total (NET) sumberdaya air Waduk Jatiluhur (Ir.H.Djuanda) adalah Rp. 160,197 miliar/th yang terdiri dari nilai guna langsung (NGL) sebesar Rp. 149,266 miliar/th (93,18%), nilai guna tidak langsung (NGTL) Rp. 3,328 miliar/th, nilai pilihan (NP) Rp. 3,520 miliar/th dan nilai bukan guna (NBG) Rp. 4,081 miliar/th. Nilai guna langsung terbesar adalah pemanfaatan air untuk pembangkit energi listrik PLTA Jatiluhur sebesar Rp. 72,131 miliar/th. Penurunan kualitas air waduk akibat tingginya konsentrasi H2S telah menyebabkan karat (korosif) pada komponen peralatan PLTA sehingga menurunkan umur ekonomisnya dan memperbesar biaya operasional sebesar 20–25 persen.

Asdak (2007) dalam Pikiran Rakyat (2007) menyatakan bahwa tingkat sedimentasi sungai Citarum saat ini mencapai tahap mengkhawatirkan. Berdasarkan data 1998 hingga tahun 2004 laju sedimentasi sungai Citarum di mulut Waduk Saguling mencapai 4 juta m³/th. Tingginya laju sedimentasi akan

mempengaruhi kinerja PLTA yang menggunakan sumberdaya air sungai Citarum sebagai energi pembangkitnya. Tingginya laju sedimentasi ini juga menujukkan tingginya degradasi sumberdaya lahan dan air di wilayah hulu Citarum. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan upaya yang konkrit misalnya pemberian insentif kepada masyarakat hulu Citarum yang mengkonservasi lahannya melalui penanaman kembali hutan dan lahan yang terdegradasi.

Hasil review penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu belum melakukan :

1. Penelitian tentang pengaruh kualitas lingkungan terhadap biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air mulai dari hulu (penyedia jasa lingkungan) sampai dengan hilir (pengguna/pemanfaat) secara parsial dan komprehensif belum pernah dilakukan.

2. Penggunaan model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan biaya eksternalitas.

3. Penelitian biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air sebagai akibat degradasi lingkungan untuk setiap output produksi (Rp/MWh produksi energi listrik PLTA dan m³ air minum produksi PDAM).

Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Citarum DS terletak dalam wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang meliputi 4 wilayah Kabupaten dan 5 wilayah administrasi pengelolaan hutan (KPH). SWP DAS tersebut terbagi dalam beberapa wilayah Sub SWP DAS, DAS dan Sub DAS, antara lain Sub SWP DAS Citarik, Ciminyak, Cibuni, Cisokan, Cililin, Cipicung, Cikapundung, Cibeet, Cikondang dan Cipunagara. Luas wilayah SWP DAS Citarum DS sebesar 1.348.700 ha, yang terdiri dari kawasan hutan 22,44% dan sisanya sebagian besar terdiri dari persawahan (24,84%), perkebunan (15,08%), perladangan (21,15%), pemukiman dan lain-lain (16,49%) dengan luas wilayah prioritasnya 1.184.102 ha. Dalam SWP DAS tersebut terdapat lahan kritis seluas 166.700 ha, sekitar 155.900 ha terletak di luar kawasan hutan dan 10.800 ha terletak di dalam kawasan hutan.

Jenis tanah pada umumnya lasotol, aluvial glei, andosol-grumosol, podzolik merah, mediteran brown forest dan regosol-renzina. Topografi lapangan pada umumnya datar sampai bergunung. Berdasarkan pembagian tipe iklim menurut Schmidt & Ferguson wilayah ini termasuk dalam dalam tipe iklim C dan D, dengan jumlah curah hujan rata-rata tahunan 1.500 – 3.000 mm. Kondisi tata air (angkutan sedimen pada air sungai dan fluktuasi debit) SWP DAS Citarum DS, Tahun 1980 s/d 1982 adalah sebagai berikut :

1. Sub SWP DAS Cikapundung, sedimentasi: 0,008 juta ton/th, rasio Q max- min sebesar 24.

2. Sub SWP DAS Ciminyak, sedimentasi : 0,03 juta ton/th, (0,24 mm/th). 3. Sub SWP DAS Cibeet, sedimentasi : 0,40 juta ton/th, (2,09 mm/th).

4. Sub SWP DAS Cikondang Cipunagara, sedimentasi : 6,1 juta ton/th, (21,7 mm/th).

Jumlah penduduknya 8.627.321 orang, dengan kepadatan rata-rata 640 orang/km² dengan pertambahan penduduk 1,67%/tahun. Mata pencaharian penduduk pada umumnya bertani (16,94%), berdagang (5,74%), pegawai (4,71%), nelayan (1,02%), buruh dan lain-lain (15,77%). Dalam SWP DAS Citarum, terdapat Waduk dan Bendungan Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Ir. H. Djuanda) yang perlu diamankan melalui upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Sehubungan dengan itu pada Pelita V sasaran kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pada SWP DAS telah ditetapkan seluas 166.700 ha, untuk sasaran kegiatan di luar kawasan hutan seluas 155.900 ha dan di dalam kawasan hutan 10.800 ha, yang dilaksanakan antara lain pada Sub SWP DAS Citarik-Cikapundung, Ciminyak-Cisokan, Cibuni-Cisadea, DAS Cikao-Cibeet dan Cipunagara-Ciasem. (Departemen Kehutanan, 1990). Pada Gambar 10 disajikan Peta Lokasi Penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum).