• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan 1 Latar Belakang

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENGABDIAN MA (Halaman 130-134)

Jatinangor Tahun

HASIL PENELITIAN

1. Pendahuluan 1 Latar Belakang

Di Indonesia, sejak 1987, kasus HIV/AIDS yang pada anak dilaporkan oleh Kemenkes semakin meningkat. Penularan HIV pada bayi dan anak bisa terjadi secara horisontal melalui transfusi darah, ataupun secara vertikal dari ibu ke bayi yang dilahirkan pada saat kehamilan, persalinan dan laktasi atau pemberian ASI dari ibu HIV positif. Data juga menunjukkan bahwa kasus penularan HIV dari ibu ke bayi jumlahnya semakin meningkat. Kasus-kasus penularan HIV/AIDS juga mulai ditemukan pada perempuan remaja usia reproduktif dan ibu-ibu rumah tangga yang kemudian ternyata sudah banyak yang menularkan kepada bayi-bayi yang dikandungnya. Anak yang hidup dari orang tua yang HIV positif sangat rentan tertular dari kedua orang tuanya. Penularan HIV pada bayi dan anak-anak bisa terjadi secara horisontal melalui transfusi darah, ataupun secara vertikal dari ibu ke bayi yang dilahirkan pada saat kehamilan, persalinan dan laktasi atau pemberian ASI dari ibu HIV positif.

121

Gambar 1. Penularan HIV dari ibu ke bayi (Sumber: Dokumen Peneliti)

Selain itu secara psiko-sosial, anak dari keluarga yang terpapar HIV/AIDS akan menghadapi banyak masalah di lingkungannya. Penelitian tentang kualitas hidup anak dengan HIV/AIDS yang diadakan di Indonesia menunjukan bahwa adanya salah satu anggota keluarga yang terinfeksi HIV dalam rumah tangga berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup anak pra-remaja. Pengaruh negatif tersebut lebih besar apabila anak tersebut perempuan, kurang mendapat pengasuhan, dan berusia lebih muda (Muhaimin, 2010). UNICEF mengidentifikasikan beberapa masalah medis dan psiko-sosial yang dihadapi oleh anak dari keluarga yang terpapar HIV/AIDS, antara lain:

 Anak hidup di lingkungan resiko tinggi HIV

 Anak hidup dengan orangtua yang berpenyakit kronis, sehingga harus bekerja atau putus sekolah dan bertanggung jawab merawatnya

 Rumah tangga keluarga mereka miskin karena penyakit orang tuanya

 Anak memperoleh stigma dan diskriminasi karena mereka tinggal bersama orang HIV. Menjadi yatim piatu (orphan) , kehilangan 1 atau kedua orang tua (meninggal) karena AIDS Yang mana kesemua masalah tersebut bahkan pada akhirnya membuat kerentanan anak terhadap HIV menjadi semakin meningkat.

Bagan 1: Masalah Anak dari Keluarga HIV+

(Sumber: UNICEF, 2004)

122

Jumlah ADHA di Indonesia setiap tahunnya cenderung fluktuatif, pada rentang usia di bawah 4 tahun meningkat drastis pada tahun 2013 dan 2014 tetapi menurun pada tahun tahun 2015. Demikian juga dengan kelompok usia 5-14 tahun, cenderung fluktuatif.

Tabel 1 Jumlah Anak dengan HIV/AIDS diIndonesia

(Sumber: *Data per 8 April 2016 Dinas Kesehatan Provinsi 2016 dalam Ditjen PP Kementerian Kesehatan, 2016)

Data dari Kemenkes menunjukkan bahwa kebanyakan anak baru diketahui status HIVnya di usia 1-4 ketika gejala Infeksi Oportunistik (IO) mulai muncul dan pada saat antobodi anak mulai terbentuk. Antibodi anak mulai terbentuk setelah mereka berusia 18 bulan. Sayangnya, saat IO muncul, anak sudah masuk pada tahap AIDS yang perlu penanganan dengan ARV yang artinya terjadi diagnosa yang terlambat karena kekurangpahaman orangtua, pengasuh dan tenaga medis yang seringkali menganggap IO anak sebagai gejala penyakit biasa. Diagnosa yang terlambat berakibat fatal yang menyebabkan kematian anak karena terlambat penanganan. Apalagi data juga menunjukan bahwa ada anak-anak yang baru terdeteksi setelah usia 5 tahun.

123

Bagan 2: Jumlah Anak AIDS

(Sumber: diolah dari data Kemenkes (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014)

Data mengenai jumlah kematian anak AIDS juga menunjukkan hal yang serupa. Jumlah kematian anak AIDS tertinggi adalah pada kelompok usia 1-4 tahun (bagan 3). Selain karena dalam segi kuantitas jumlah anak AIDS pada kelompok umur ini lebih banyak, secara medis, tanpa didukung oleh perawatan yang optimal, anak-anak yang tertular HIV/AIDS melalui penularan vertikal akan sulit bertahan hidup lama, apalagi ditambah dengan diagnosa dan penanganan yang terlambat.

Bagan 3: Jumlah Kematian Anak dengan AIDS

(Sumber: diolah dari data Kemenkes (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014)

Dari observasi awal di lapangan ditemukan bahwa beberapa yayasan yang peduli dengan anak AIDS, seperti YPI (Yayasan Pelita Ilmu), Lentera Anak Pelangi dan Yayasan Rachel, memberikan perawatan paliatif kepada anak HIV/AIDS dan beberapa dari mereka sudah memasuki usia remaja. Bahkan Yayasan Lentera Anak Pelangi telah mendampingi lebih dari 77 orang anak dengan HIV/AIDS dan sebagian besar dari mereka duduk di bangku Sekolah Dasar.

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, jumlah anak yang sudah mengetahui statusnya masih sangat sedikit. Dan ironisnya, banyak diantaranya mengetahu statusnya karena faktor ketidaksengajaan (Johanna Debora Imelda, Toha Muhaimin, Djoemeliarasanti, Sri Fatmawati Mashoedi, & Annisah, 2015). Hasil kajian yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa disclosure

status pada anak memberikan dampak positif terhadap kualitas kesehatan anak hal ini dikarenakan anak lebih patuh dalam konsumi ARV. Sementara itu, dampak negatif pada aspek psikologis yang muncul akibat disclosure tidak ada (World Health Organization, 2011). Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Johanna Debora Imelda et al., 2015) sebagian besar caregiver tidak berani melakukan disclosure status karena anak dianggap tidak paham apa itu HIV dan khawatir akan berdampak buruk terhadap kualitas kesehatan, munculnya stigmatisasi, dan diskriminasi dari orang lain. Akan tetapi, anak-anak sering menanyakan kenapa mereka harus konsumsi obat dan sebagainya. Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, banyak diantara mereka yang memberikan informasi

124

yang salah seperti mereka sakit jantung, dan sakit lainnya yang harus konsumsi obat agar sembuh. Bahkan ada satu kasus dimana anak diberi tahu bahwa obat yang dikonsumsi adalah obat cantik sehingga dia bagikan ke teman-temannya di kelas. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak dilakukannya disclosure status pada anak tidak hanya beresiko negatif pada anak tetapi juga orang lain.

Hal lainnya yang ditemui yaitu tingkat kepatuhan anak dalam konsumsi ARV masih relatif rendah. Hal ini terlihat dari kebiasaan mereka yang selalu diingatkan konsumsi ARV, hal ini terutama bagi anak yang orangtuanya sudah meninggal dan diasuh oleh keluarga besarnya. Bahkan di antara mereka ada yang putus obat. Oleh karena itu, upaya disclosure status pada anak dengan HIV/AIDS menjadi hal krusial dan harus segera dilakukan. Akan tetapi, masalahnya, banyak diantara caregiver yang tidak mengetahui dengan benar apa itu HIV, upaya menjaga kualitas kesehatan anak dengan HIV/AIDS, pentingnya melakukan disclosure status, dan cara melakukannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini yang menjadi pertanyaan yaitu:

a. Bagaimana upaya intervensi sosial yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan disclosure

status ADHA?

b. Bagaimana impelentasi intervensi sosial tersebut dilakukan?

c. Apa saja yang menjadi kekuatan dan tantangan dalam menjalankan program intervensi sosial tersebut?

1.3. Tujuan Penulisan

a. Mengjelaskan upaya intervensi sosial yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan

disclosure status ADHA

b. Mengjelaskan impelentasi intervensi sosial tersebut dilakukan.

c. Mengjelaskan yang menjadi kekuatan dan tantangan dalam menjalankan program intervensi sosial tersebut

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENGABDIAN MA (Halaman 130-134)