• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6 Landasan Teori

1.6.2 Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi berasal dari perkataan Yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa (Abu Ahmadi, Psikologi Umum:2003). Pendekatan psikologi sastra adalah suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan (Harjana, dalam kutipan:2011). Jadi, pendekatan psikologi ini adalah analisis atau kritik terhadap suatu karya sastra yang menitik beratkan pada keadaan jiwa manusia, baik terhadap pengarang, karya sastra, maupun pembaca.

Psikologi sastra adalah sebuah interdisipliner antara psikolog dan sastra (Endraswara, 2008:16). Pendekatan psikologis terhadap karya sastra muncul setelah Sigmund Freud memperkenalkan teori psikoanalisis, bagi Freud cipta rasa merupakan ambisi alam tak sadar yang tidak terwujud dalam realita. Secara fiktif diaktualisasikan dalam sastra.Pendekatan secara psikologis inilah yang disebut psikologi sastra.

Psikologi sastra adalah suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiawaan dan menyangkut batiniah manusia, lewat tinjauan psikologi akan tampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghindarkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakekatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Andrea Hardjana, 1994:66).

1. Teori Psikoanalisis dari Freud

Di antara beberapa aspek pemikiran Freud, ia memberi tempat khusus pada masalah seksualitas, dan masalah ini pula yang menimbulkan kritik dan penolakan terhadap dirinya. Banyak orang memahami seksualitas berkaitan semata pada masalah dan alat-alat reproduksi.Penolakan besar-besaran terhadap Freud terjadi ketika ia membahas masalah seksualitas pada anak-anak. Orang berpendapat, mana mungkin anak-anak memiliki pengalaman yang berhubungan dengan seksualitas. Bagi Freud, masalah seksualitas lebih jauh, lebih luas, dan lebih awal usianya daripada sekedar seksualita genetikal (Minderop, 2010:45).

Freud membedakan tiga periode kehidupan seksual infantile: pertama, periode kegiatan seksual awal. Menurutnya, pulsi seksual bersumber pada rangsangan yang datang dari bagian-bagian tubuh tertentu (daerah erogen). Pada anak-anak seluruh tubuhnya merupakan daerah erogen (daerah rangsangan) yang menjadi sumber kesenangan. Pada anak-anak, kepuasan seksual berpusat pada daerah pencernaan, selanjutnya pada organ genital.Pulsi alimentasi atau kebutuhan untuk makan/minum dan kesenangan yang terpenuhi merupakan pulsi seksual (Minderop, 2010:46).

2. Penyimpangan Seksualitas

Problem atau masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong

oleh hasrat seksual baik lawan jenis maupun sesama jenis (Sarwano, 1986:137)

Seksualitas meliputi sebuah perasaan, hubungan manusia serta konikasi antar pasangan sehingga tidak dibatasi oleh fisik seseorang. Seksualitas adalah aspek penting dalam kehidupan yang mempengaruhi cara kita memperlihatkan kasih sayang, menilai diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.

Identitas seksual adalah jenis kelamin seseorang yang lebih tertarik secara seksual. Identitas seksual dikategorikan menjadi dua yaitu hoteroseksual (penyuka lawan jenis) dan homoseksual (penyuka sejenis). Sesama lelaki disebut gay dan sesama perempuan disebut lesbian. Dalam pembahasan di atas ada dua pemikiran yang masih tersisa; pertama, kecendrungan biseksual diasumsikan sebagai inverse meski kita tidak mengerti detailnya selain formasi-formasi yang terjadi; dan kedua, kita berhadapan dengan bentuk-bentuk gangguan yang dialami insting seksual selama proses perkembangannya (Freud, 2014:13).

Dalam penyimpangan seksual, Freud berpijak pada konsep; objek seksual (sexual object) dan tujuan seksual (sexual aim). Objek seksual berhubungan dengan arah pilihan sasaran aktivitas seksual, apakah diarahkan kepada sesama jenis (homosexual), lain jenis ( heterosexual) ataukah kombinasi antar keduanya (bisexual). Mengenai penyimpangan berdasarkan tujuan seksual, Freud berangkat dari titik pijak bahwa tujuan

seksual yang mendasar adalah penyatuan alat kelamin (sexsual union), penetrasi penis ke dalam vagina. Namun, di luar tujuan tersebut, ternyata Freud menemukan banyak kasus yang tidak lazim.Cara memperoleh tujuan seksual yang “aneh” seperti ditemui pada kasusgangguan dan penyimpangan seksual diperoleh dengan mempertontonkan alat kelamin kepada orang yang tidak menaruh curiga atau biasa disebut dengan istilahekshibionisme (Freud,20014).

3. Penyimpangan yang Berhubungan dengan Tujuan Seksual

Pertemuan (penyetuan) alat kelamin pada saat aktivitas khas persenggamaan dianggap sebagai tujuan seksual normal. Aktivitas ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan seksual dan mematikan hasrat seksual secara temporer (sensasi kepuasaan yang biasa disamakan dengan kepuasan mengatasi rasa lapar). Meski demikian, dalam perilaku seksual paling normal sekalipun, ada aspek-aspek tambahan yang bias dibedakan. Perkembangan aspek-aspek tersebut mungkin akan menampakkan suatu kecenderungan menyimpang yang disebut perverse. Perverse adalah bentuk perilaku sksual menyimpang yang secara sosial tidak dapat diterima ( Freud, 2014:18-19).

Pada penyimpangan yang berhubungan dengan tujuan seksual akan dibahas mengnai objek seksual yang tidak lazim. Aktivitas seksual yang mengunakan “objek-objek yang tidak lazim”, misalnya dalam kasus fatisisme, atau cara memperoleh tujuan seksual yang “aneh” seperti ditemui

pada kasus fetitisme. Fetitisme adalah aktivitas seksual dengan menggunakan benda-benda yang tidak lazim. Pengganti objek lain biasanya adalah salah satu bagian tubuh yang agak tidak layak untuk menjalankan fungsi-fungsi seksual, seperti kaki, rambut, atau benda-benda mati lainnya (potongan baju, tembok, kayu, tiang listrik dan benda-benda mati lainya), yang memiliki hubungan jelas dengan pribadi seksual, terutama dengan seksualitasnya. Objek pengganti ini tidak bisa disamakan dengan fetish oleh masyarakat tempo dulu dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Tradisi atau peralihan ke arah fetitisme, berikut munculnya penolakan terhadap tujuan seksual normal atau tujuan seksual menyimpang, dibentuk melalui kasus-kasus yang menunjukan bahwa suatu keadaan fetisisme dibutuhkan.

4. Penyimpangan yang Berhubungan dengan Objek Seksual

Teori insting seksual popular mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kisah puitik seputar pemisahan umat manusia dalam dua bagian pria dan wanita dengan cinta akan berjuang menjadi satu. Sangat mengherankan jika kemudian kita menemukan bahwa kondisi sejumlah pria mempunyai objek seksual bukan wanita, melainkan sesama pria atau sebaliknya.Pada penyimpangan yang berhubungan dengan objek sosial akan dibahas mengenai perilaku invert atau pembalikan perilaku seksual yang dialami oleh tokoh yang terdapat pada novel Saman. Perilaku invert yang akan dibahas dalam pembahasan ini ada dua yaitu; kelompok yang terbalik dalam dua arah (amphigenously inverted) dan pribadi yang hanya

1. Kelompok yang terbalik dalam dua arah (amphigenously inverted), atau secara psikoseksual hermaprodit (psychosexually hermaphroditic); objek seksual mereka mungkin ditunjukan secara umum, baik sesama jenis maupun lawan jenis. Dalam kasus ini, inversi tidak memperlibatkan karakternya yang khas.

2. Pribadi yang hanya kadang-kadang memperlihatkan inversi(occasionally inverted). Dalam kondisi tertentu, terutama jika objek seksual normal tidak dapat dijangkau, atau melalui tindakan-tindakan imitasi, kelompok ini mampu beranggapan sesama jenisnya sebagai objek seksual,dan meraih seksual bersamanya (Freud, 2014: 1-4).

5. Penyimpangan Seksual Sosial

Dari berbagai pengertian tentang defenisi penyimpangan sosial, dapat dikatakan bahwa penyimpangan sosial di pahami sebagai tindakan yang dilakuakan oleh individu atau kelompok sosial yang tidak sesuai atau melawan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah yang berlaku di masyarakat tersebut berwujud nilai dan norma yang mengatur perbuatan mana yang baik dan yang kurang baik untuk dilakukan.

Perilaku seksual di luar pernikahan merupakan perilaku atau tindakan yang melanggar norma masyarakat atau norma agama, di katakan melanggar norma karena hubungan seksual tanpa adanya status pernikahan.

seorang yang tidak setia pada pasangannya yang terjalin dalam sebuah komitmen dalam masa pacaran atau sudah menikah. Perselingkuhan disebut suatu penyimpangan seksual sosial karena perilaku yang dilakukan tokoh merupakan perbuatan yang melanggar norma-norma agama dan masyarakat.