• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, LATAR , DAN ALUR PADA NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI

2.1 Tokoh dan Penokohan

2.1.1 Tokoh dan penokohan Saman

Athanasius Wisanggeni sebelum memakai nama Saman adalah seorang anak muda yang baru saja menamatkan sekolah Teologi di Driyakarya dan belajar di Institut Pertanian Bogor. Setelah Wisanggeni menamatkan sekolahnya, acara sakramen presbiterat serta mengucapkan kaul dan pelantikan

dilaksanakan. Sejak saat itu orang-orang memanggil dia Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Tugas untuk melayani umat dimana pun dan kapan pun telah siap diemban Wis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini.

“Terang yang paling kecil datang dari lilin-lilin yang dinyatakan koster

sebelum misa pentahbisan dimulai. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de

lumine,dan Bapak Uskup dengan mitra keemasan memanggil nama mereka satu per satu. Juga namanya: Athanasius Wisanggeni ( Utami, 1998:40).

Sakramen presbiterat.Tiga lelaki tak berkasut itu lalu telungkap mencium ubin katedral yang dingin.Mereka telah mengucapkan kaulnya.Pada mereka telah dikenakan stola dan kasula.Sejak hari itu, orang-orang memanggil mereka pater. Dan namanya menjadi Pater Wisanggeni, atau Romo Wis (Utami, 1998:41).

Saman adalah seorang yang mempunyai jiwa sosial yang sangat tinggi. Hatinya akan cepat tergerak jikamelihat orang yang membutuhkan bantuan. Hal tersebut terlihat ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi penduduk dusun Sei Kumbang. Dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu sangat menggangu jiwanya untuk turut membantu.Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini.

“Ia merebus dua mie instan dan menyodorkan setengahnya pada Upi.Gadis itu Nampak bersemangat, tetapi tak segera makan.Ia mengulang-ulang sesuatu dengan nada pertanyaan. Wis baru bisa menduga maknanya ketika malam itu si ibu menanak nasi dengan sayur daun alas rebus dan mi instan yang ia serahkan tadi pagi. Sebungkus supermi untuk lauk berlima.Tidak dimakan sebagai menu utama karbohidrat (Utami, 1998:74).

“Malam itu ia tidur di rumah keluarga Argani yang nyaris tak bersekat. Cuma ada satu bilik disana, dua kali tiga meter, kamar tidur orang tua. Abang, adik Anson, dan Nasri, juga Wis, tidur bergeletakan di serambi, tiga kali tiga meter saja luas lantainya. (Utami, 1998:74).

“Ia memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cacakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka,(Utami, 1998: 74).

Saman adalah seorang laki-laki yang mempunyai rasa keperdulian yang sangat tinggi dan ia juga mempunyai sifat yang ringan tangan. Ia Selalu ingin membatu siapapun yang membutuhkan bantuan tanpa membeda-bedakannya.Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini.

“Dia? Aduh, kasihan….” Terdengar suara salah seorang perempuan. “jadi Ibu kenal dia?” Tanya Wis antusias namun gelisah karena orang-orang itu seperti lambat mengambil keputusan.Identitas si gadis gila seperti membuat kerumunan itu jadi malas bertindak, (Utami, 1998:66).

Wis meminta selendang untuk menutup hidung dan mulutnya. “Tolong ikatkan tali ke tubuh saya.” Ia juga menyuruh salah satu menyusul Rogam, sebab pemuda itu tentu bisa mencarikan topeng gas yang biasanyadimiliki perusahaan penggalian (Utami, 1998:66).

Sekitar dua puluh meter dari mulut sumur, dilihatnya gadis itu telah terkulai dengan tubuh tertengkuk. Ia sendiri merasa lunglai. Cepat-cepat diambilnya tambang yang kedua dan dijalinnya simpul kursi terhadap perempuan itu.Ia memberi tanda pada orang-orang agar segera menarik mereka.Tetapi sentolopnya jatuh, Wis tak sadarkan diri (Utami, 1998:67)

Selain mempunyai rasa keperdulian yang tinggi terhadap sesama, Saman mempunyai sikap yang bertanggung jawab.Ia sadar telah melanggar aturan gereja karena bertindak yang tidak sesuai dengan peraturan pada tugas pelayanannya sebagai imam. Tetapi hal tersebut dapat diselesaikannya dengan rasa percaya diri dan rasa tanggung tanggung jawab. Ia pun berusaha semaksimal mungkin sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Wis terdiam.Lalu meminta maaf.“Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja.Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu.Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyamandan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika jika hanya berdoa.Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia bisa diatasi dengan beberapa

proposalnya.Dengan agak memelas ia memohon agar diberi

kesempatanmelakukan itu” (Utami,1998:81).

Jika kamu bisa mengusahakan dana sendiri, saya bersedia memberi kamu waktu tiga minggu dalam satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus ada di paroki.Jika saya melihat hasinya, saya berani mengusulkan agar uskup memberimu pekerjaan kategorial di perkebunan (Utami, 1998:82).

Kali ini, tak hanya berisi cerita dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberikan modal sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya (Utami,1998:83). Ayahnya memberikan jawaban setuju. Lalu wis segera kembali ke Lubukrantau. (Utami,1998:83).

Selain sikap Saman yang selalu perduli dengan lingkungan sekitar yang membutuhkanya, Ia mempunyai kisah percintaan yang dialaminya. Percintaanya dengan Yasmin hingga membuat iaakhirnya melakukan hubungan seksual dengan Yasmin.Padahal hal tersebut sangat ditentang oleh agama karena Saman adalah seorang pastor.

Sejak hari itu, orang-orang memanggil mereka pater. Dan namanya menjadi pater Wisanggeni, atau Romo Wis (Utami,1998:41)

Yasmin menangis.Aku memeluknya, hendak menenangkanya.Ia terus menangis pilu bagaikan anak kecil, sehingga aku mendekapnya erat. Namun, tanpa aku pahami akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil, terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami terhimpit. Gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi tapi ia tak perduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tau bagaimana aku akhirnya melakukanya.Ketika usai aku menjadi begitu malu.Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap

Terjaga dini hari atau tengah malam karena ada yang menggigit dekat

ketiakku.Kulihat tanganya masturbasi.Ia naik diatasku setelah

mencapainya.Aku tahu aku tak tahu cara memuaskanya (Utami,1998:177).

23 April terbangun dengan kacau.Sejak kabur dari paroki, aku tak pernah berfikir betul-betul meniggalkan kaulku.Kini tubuhku penuh pagutan.Tak tau bagaimana Yasmin tertarik padaku yang kurus dan dekil?Ia begitu cantik dan bersih. Hari itu ia terus membuat badanku terutul, aku sering garangan yang ditangkap. Ia menghisap habis tenagaku (Utami, 1998:177).

Hubungan Yasmin dan Saman semakin terjalin lebih dekat selayaknya sepasang kekasih yang dilanda asmara. Terbukti ketika Saman selalu terbayang-bayang tentang Yasmin, bahkan ia merasa cemburu bila mendengar Yasmin berhubungan seksual dengan suaminya. Saman dan Yasmin sudah menganggap hubungan seksual tanpa pernikahan yang kerap ia lakukan itu adalah hal yang biasa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini.

Yasmin, New York, 14 Mei 1994

Taukah kamu bahwa kisah ini telah menginspirasikan keputusan-keputusan yang tidak adil bagi perempuan selama berabad-abad?Kita tidak dalam kegetaranpada seks, tetapi laki-laki tidak mau dipersalahkan sehingga kami melepaskan dosa itu kepada perempuan.

Tapi, ya, kamu memang penggoda (Utami, 1998:183).

Yasmin, New York, 13 Juni 1994

Aku cemburu.Kamu bersetubuh, aku tidak.Bukankah Lukas lebih

perkasa?Aku terlalu cepat… kalaupun aku bias menghamili kamu, tentulah

aku orang efisien, yang membereskan suatu pekerjaan dalam waktu amat singkat (Utami, 1998:195).

Yasmin,New York, 21 Juni 1994