• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Situasional

Pola pikir kesisteman adalah proses pengkajian yang berorientasi pada pencapaian tujuan (cybernetic) dengan memandang permasalahan dalam satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh (holistic) untuk mendapatkan keputusan yang efektif (efectiveness). Pendekatan sistem sangat tepat digunakan pada permasalahan yang melibatkan banyak komponen dan interaksi antara komponen yang demikian rumit (kompleks) karena faktor-faktor yang terlibat di dalamnya dapat berubah seiring perputaran waktu (dinamis) namun masih berpeluang dilakukan pendugaan ke masa depan (probabilistik).

Apabila merujuk kepada pola pikir kesisteman dan karakteristik yang mendasarinya, maka pengembangan Agrokakao harus dilakukan dengan pendekatan sistem karena melibatkan serangkaian kegiatan usaha mulai dari budidaya, pascapenen, industri pengolahan, kelembagaan, dan pemasaran. Selain itu, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi dan banyaknya pelaku (stakeholder) yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Petani produsen merupakan pelaku kunci, namun sejauh ini selalu berada pada posisi yang paling lemah, padahal dari segi risiko kegagalan usaha, petanilah yang paling banyak menanggung risiko kegagalan dari seluruh rangkaian kegiatan perkakaoan. Untuk itu, diperlukan langkah strategis pengembangan Agrokakao yang dapat memberdayakan petani sebagai produsen biji kakao sehingga memiliki posisi tawar susuai dengan aktivitasnya.

Perkembangan kakao di Indonesia selama 10 tahun terakhir dinilai cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas areal tanaman yang mengalami pertumbuhan rata-rata 18,13 persen per tahun dan peningkatan volume produksi hingga mencapai 33,41 persen. Namun sangat disayangkan karena perkembangan tersebut tidak diikuti oleh industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut.

Menurut statitistik perkebunan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat merupakan pemasok kakao terbesar dengan total pasokan mencapai 60 persen dari total produksi nasional. Luas areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mencapai 296.093 hektar dan seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dengan total produksi biji kakao kering sebesar 282.692 ton per tahun dengan produktivitas rata-rata 950-1300 kg biji kakao kering per hektar per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kakao di kedua provinsi tersebut baru mencapai 45 persen dari potensi produksi yaitu 2500-3000 kg per hektar per tahun. Artinya, masih dibutuhkan upaya peningkatan sebesar 55 persen (Susanto, 2003). Namun, sangat disayangkan karena sebagian besar ekspor produk kakao masih dilakukan dalam bentuk biji kakao kering, yaitu sekitar 70 persen dari total produksi nasional (Dinas Indag Sulsel, 2003). Kenyataan ini, menggambarkan Indonesia masih tergolong negara produsen biji kakao kering untuk keperluan bahan baku industri negara-negara tujuan ekspor. Kondisi demikian, sekaligus menggambarkan bahwa industri pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang.

Kabupaten Polmas merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang menjadi kawasan pengembangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan luas areal perkebunan 57.578 hektar yang dilakukan oleh sejumlah 47.845 KK dari total 115.300 KK. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa sekitar 45 persen penduduk di kabupaten Polmas menggantungkan hidupnya dari usaha budidaya kakao. Selebihnya adalah petani nelayan 40 persen, perdagangan dan jasa 7,2 persen, industri dan kerajinan 6,8 persen, pegawai pemerintahan dan lain-lain 1 persen.

Industri pengolahan biji kakao di dalam negeri tercatat baru mampu menyerap sekitar 30 persen dari total produksi nasional dan sekitar 27 persen dari total produksi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Industri tersebut seluruhnya tergolong industri besar yang terkonsentrasi di sekitar perkotaan yang jauh dari sentra produksi. Akibatnya, nilai tambah yang dihasilkan melalui industri pengolahan tidak dapat dirasakan oleh petani produsen, baik langsung mapun tidak langsung. Artinya, nilai tambah dari industri pengolahan hanya dinikmati oleh sekelompok pelaku industri yang ada di kota. Kenyataan tersebut mengindikasikan betapa pentingnya dilakukan

strategi pengembangan Agrokakao di Indonesia secara terintegrasi dengan kawasan sentra pengembangan komoditas. Apabila pengembangan Agrokakao dilakukan di sentra komoditas, maka skala usaha yang tepat dan sesuai dengan budaya masyarakat di desa adalah usaha kecil menengah dalam wadah koperasi (UKM). Selanjutnya, UKM yang ada di sentra produksi bekerjasama dan bersinergi dalam koperasi Agrokakao pola-JASA.

Apabila dikaitkan dengan situasi yang terjadi selama ini, justru kerjasama (cooperation) atau kemitraan di peruntukkan antara usaha kecil menengah dengan perusahaan besar, walaupun keduanya memiliki perbedaan yang sangat besar ditinjau dari skala usaha. Akibatnya, kinerja kemitraan sulit dicapai secara maksimal karena pola tersebut terkesan dipaksakan oleh sebuah aturan atau himbauan pemerintah. Selain itu, kesepakatan antara UKM sebagai pemasok kebutuhan perusahaan besar tidak berjalan efektif karena bentuk kemitraan ini tidak dijalankan dengan sungguh- sungguh oleh perusahaan besar. Seringkali usaha besar lebih mementingkan anak perusahaannya yang sengaja dibuat sebagai pemasok kebutuhannya sehingga menjadi suatu bisnis yang tertutup dan sulit dimasuki oleh pihak lain, termasuk UKM. Fenomena tersebut, memberi arahan bahwa sudah saatnya diantara UKM bekerjasama dan bersinergi melalui jejaring usaha yang dibangun atas prinsip kesetaraan (equal partnership). Melalui jejaring usaha, UKM dapat mensinergikan kekuatan, saling menutupi kelemahan untuk mencapai tujuan bersama karena dengan bekerjasama, kekuatan dapat dilipatgandakan.

Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan suatu tahapan awal yang harus dilakukan dalam pengkajian suatu sistem (Eriyatno, 1999). Pada tahapan ini, dituntut kehati- hatian karena harus benar-benar mampu mengidentifikasi dan mengakomodasi semua kepentingan berdasarkan kebutuhan setiap komponen pelaku yang terkait dalam sistem sehingga tercipta suatu sistem yang harmonis. Demikian pula halnya dalam melakukan kajian rekayasa model strategi sistem pengembangan Agrokakao pola- JASA di dalam pengembangannya harus memperhatikan seluruh komponen yang

terkait untuk diakomodasi kebutuhannya sehingga terbentuk suatu sistem yang harmonis. Selanjutnya, unit Agrokakao yang ada bekerjasama dan bersinergi sehingga terbentuk usaha yang memiliki kekuatan baru dan menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi di pasar domestik dan diharapkan dapat menembus pasar global seperti halnya industri besar lainnya.

Kajian sistem yang dimaksud, dapat diwujudkan melalui upaya maksimal dalam mengidentifikasi dan mengakomodasi seluruh kebutuhan komponen pelaku yang terkait dalam sistem. Komponen pelaku yang terkait di dalam sistem pengembangan Agrokakao skala UKM harus dipandang sebagai suatu sistem untuk selanjutnya diformulasikan secara bersama-sama sehingga diperoleh suatu harmonisasi sebagai sasaran akhir dari ilmu kesisteman. Adapun komponen pelaku sistem pengembangan Agrokakao pola-JASA dan identifikasi kebutuhan masing- masing pelaku telah dirinci seperti pada Tabel 9.

Tabel 9 Analisis kebutuhan komponen pelaku sistem pengembangan Agrokakao pola-JASA

No Komponen Pelaku Kebutuhan Pelaku

1. Petani-pekebun dalam wadah Koperasi Pekebun

o peningkatan pendapatan o jaminan produk terserap pasar o jaminan keamanan berusaha o kemudahan mengakses modal usaha o peningkatan nilai tambah komoditas

o distribusi nilai tambah secara adil dari seluruh rantai

nilai yang ada 2. Industri skala UKM yang

tergabung dalam pola-JASA

o jaminan ketersediaan bahan baku o daya saing produk Agrokakao

o tersedianya sarana dan prasarana produksi o kekuatan vertikal industri pengolahan o kekuatan horizontal industri pengolahan

o kekuatan akses pasar global produk kakao olahan o jaminan usaha agroindustri berkelanjutan o kemudahan birokrasi pemerintah

o dukungan infrastruktur di desa

3. Pemerintah Daerah, Dinas lintas sektoral terkait

o menunjang program pembangunan daerah yang

berkelanjutan

o percepatan pembangunan daerah o perluasan kesempatan kerja di desa o peningkatan sarana infrastruktur o penciptaan jaminan berusaha

o peningkatan ketrampilan SDM di desa o peningkatan pendapatan asli daerah

4. Lembaga keuangan dan Investor o jaminan kelancaran pengembalian kredit o jaminan risiko penyaluran kredit rendah o keuntungan yang tinggi

5. Konsumen: pasar dalam negeri dan pasar ekspor

o jaminan keragaman (kualitas & kuantitas) o jaminan bahan baku industri di hilir o jaminan pasar domestik dan global

6. Masyarakat sekitar lokasi industri UKM

o peningkatan perluasan lapangan kerja o peningkatan pendistribusian pendapatan o terjadinya alih teknologi dan ketrampilan o kemanan dan kenyamanan lingkungan o jaminan pencemaran lingkungan

o peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan

Formulasi Masalah

Formulasi masalah dilakukan berdasarkan informasi secara terperinci yang telah dihasilkan melalui identifikasi sistem yang dilakukan secara bertahap (Eriyatno, 1999). Formulasi masalah dimaksudkan agar sistem dapat bekerja berdasarkan

pemenuhan kebutuhan yang telah ditentukan sebelumnya termasuk menentukan output dan keriteria proses berjalannya sistem secara spesifik guna mencapai kondisi yang optimal. Rumusan permasalahan dapat didefinisikan sebagai gugus keriteria perilaku sistem untuk selanjutnya dievaluasi. Permasalahan mendasar dalam sistem pengembangan Agrokakao adalah:

1 Keterbatasan modal mengembangkan Agrokakao, termasuk kesulitan dan kerumitan dalam memperoleh kredit usaha serta tingginya suku bunga bank dan ketidakstabilan nilai tukar rupiah.

2 Keterbatasan jumlah SDM di perdesaan dalam bidang teknis dan teknologi serta manajemen dalam menjalankan usaha.

3 Belum terbentuk pola pikir dan perubahan sikap petani dari usaha pertanian menjadi industrialisasi membuat kehadiran industri di perdesaan sering dipandang sebagai pendatang baru yang sulit diterima (ancaman usaha).

4 Keterbatasan mengakses teknologi proses berdasarkan prinsip pemilihan teknologi tepat sasaran untuk mendapatkan produk yang berdaya saing tinggi. 5 Masih rendahnya kepercayaan pasar terhadap produk UKM, baik pasar domestik

maupun pasar global.

6 Masih rendahnya dukungan Pemerintah Daerah dan Dinas terkait dalam mendorong laju pertumbuhan industri di perdesaan, termasuk dukungan infrastruktur dan jaminan berusaha.

7 Belum ada kebijakan pengembangan agroindustri secara makro dan mikro yang tepat sasaran, mulai dari pusat sampai daerah termasuk pengawasan dan pembinaan industri UKM seperti penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan.

Melalui sistem pengembangan Agrokakao pola-JASA diharapkan terjalin kerjasama yang sinergi yang baik di antara sesama UKM dengan jenis usaha yang sama guna menciptakan produk yang seragam sehingga memiliki daya saing tinggi di pasar domestik dan diharapkan dapat menembus pasar global. Kelemahan yang paling mendasar bagi pengembangan industri UKM sejak dahulu hingga sekarang

selain faktor modal adalah faktor pemasaran produk. Hal tersebut terjadi karena tidak bersatunya industri UKM dalam melakukan kegiatan usaha dan kurangnya akses informasi pasar, baik pasar domestik maupun pasar global. Oleh karena itu, peran kelembagaan Agrokakao pola-JASA dirasakan sangat penting dalam mengatasi permasalahan perkakaoan yang ada.

Identifikasi Sistem

Identifikasi faktor pendukung di dalam pengembangan Agrokakao pola-JASA terdiri atas ketersediaan SDM di desa yang terampil, prospek pasar bagi produk UKM, ketersediaan modal, jaminan ketersediaan bahan baku, sarana dan prasarana produksi, ketersediaan teknologi dan alat produksi, infrastruktur, sistem tataniaga, dan kebijakan pemerintah mengenai jaminan dalam berusaha.

Di dalam melakukan rancang bangun sistem diperlukan suatu input. Input yang diperlukan terdiri dari dua kelompok yaitu input yang berasal dari luar sistem (input lingkungan) dan input yang bersumber dari dalam sistem. Demikian pula halnya output, dibagi dua kelompok yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki oleh sistem. Output yang dikehendaki oleh sistem, diperoleh dari indikator pemenuhan kebutuhan yang ditentukan pada saat dilakukan analisis kebutuhan. Sedangkan output yang tidak dikehendaki oleh sistem, merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan oleh sistem. Jika sistem menghasilkan output yang tidak dikehendaki, input terkendali dapat ditinjau kembali melalui kontrol manajemen.

Dampak positif yang ditimbulkan dari program pengembangan Agrokakao pola-JASA antara lain peningkatan pendapatan petani-pekebun melalui penjualan produk hasil perkebunannya, pembagian deviden dari hasil industri pengolahan, peningkatan daya saing produk, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di desa, penciptaan lapangan kerja dan perluasan kesempatan berusaha, peningkatan keterampilan SDM di desa melalui alih teknologi dan ketrampilan, peningkatan pendapatan masyarakat disekitar industri, dan peningkatan pendapatan asli daerah.

Sedangkan pengaruh negatif yang dapat terjadi apabila sistem perencanaan pembangunan yang dilakukan kurang baik, termasuk di dalamnya pengelolaan limbah dan penanganan lingkungan yang dapat menyebabkan munculnya gejolak sosial. Adapun diagram input dan output program sistem pengembangan Agrokakao dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Diagram input-output sistem pengembangan Agrokakao pola-JASA. INPUT LINGKUNGAN:

• Peraturan Pemerintah • Kondisi sosial ekonomi • Iklim dan cuaca

SISTEM PENGEMBANGAN AGROKAKAO POLA-JASA

INPUT TIDAK TERKENDALI: • fluktuasi harga

• persaingan pasar

• permintaan dan penawaran • tingkat suku bunga bank • nilai tukar rupiah

MANAJEMEN PENGENDALIAN AGROKAKAO SKALA UKM

OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI

• turunnya pendapatan pekebun • turunnya pendapatan masyarakat • tingginya biaya produksi • meningkatnya kredit macet • timbulnya gejolak sosial

INPUT TERKENDALI: • tingkat ketrampilan SDM di desa • teknologi pengolahan

• kualias bahan baku industri • nilai investasi usaha

• kualitas dan volume produksi

OUTPUT DIKEHENDAKI: • peningkatan pendapatan • peningkatan kualitas produk • perluasan lapangan kerja • kelancaran pengembalian kredit • peningkatan nilai tambah

Dokumen terkait