• Tidak ada hasil yang ditemukan

• Upah tenaga kerja lebih murah • Harga pokok produk lebih murah,

karena upah, bahan bakar, dan unsur biaya produksi lainnya lebih murah

• Upah tenaga kerja lebih mahal • Harga pokok produk lebih mahal,

karena upah, bahan bakar, dan unsur biaya produksi lainnya lebih mahal 2. Secara Makro

• Infrastruktur dari daerah produsen ke pelabuhan ekspor lebih bagus • Gejolak iklim tidak besar

• Memiliki sumber devisa non- migas, sehingga prasarana yang disediakan pemerintah cukup mendukung

• Inprastruktur dari daerah produksi ke pelabuhan ekspor kurang memadai • Gejolak iklim besar

• Sumber devisa non-migas kurang

mendukung, sehingga prasarana yang disediakan pemerintah kurang memadai Sumber: Spillane (1995)

Keunggulan tersebut akan mendukung perdagangan kakao Indonesia di pasar internasional, terlebih lagi jika dipacu melalui faktor dukungan yang lain seperti peningkatan daya saing usaha guna mendapatkan nilai tambah dan pemenuhan standar mutu. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi Indonesia untuk

menjadi negara produsen kakao terbesar di dunia mengungguli negara produsen utama seperti Pantai Gading dan Ghana. Alasannya, Pantai Gading telah meningkatkan pajak ekspor kakaonya sehingga volume ekspor dari negara pemasok kakao utama dunia tersebut diperkirakan akan menurun pada tahun-tahun mendatang. Keunggulan kompetitif kakao Indonesia dibanding dengan kakao dari negara produsen lainnya dapat diukur dari biaya produksi yang digunakan. Bank dunia mencatat, biaya produksi kakao Indonesia relatif rendah yaitu diperkirakan hanya pada kisaran US$ 500-800 per ton (Spillane, 1995). Hal tersebut ditinjau dari dari aspek tenaga kerja, di mana upah tenaga kerja Indonesia relatif sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya. Sebagai pembanding, misalnya negara Malaysia, upah tenaga kerja Indonesia lima kali lebih rendah. Uraian di atas menunjukkan bahwa, walaupun harga kakao di dunia turun, usaha perkakaoan Indonesia secara finansial seharusnya masih menguntungkan karena sekitar 70-80 persen biaya produksi dalam usaha kakao adalah biaya tenaga kerja.

Pangsa pasar produksi Asia-Oceania telah meningkat dengan pesat dari 2,5 persen tahun 1970 menjadi 17,5 persen pada tahun 1990 dan terus meningkat hingga tahun 2005 pangsa pasar produk kakao dunia mencapai 23,4 persen. Hal ini didasarkan pada peningkatan produksi negara-negara produsen utama kakao seperti Indonesia dan Malaysia. Sebaliknya, pangsa pasar produksi kakao dari benua Afrika telah menurun dari 56,1 persen pada tahun 1990 menjadi 53,2 persen pada tahun 2005. Kecuali Pantai Gading, pangsa pasar produksi negara-negara Afrika lainnya seperti Ghana, Nigeria dan Kamerun menurun dengan tajam. Demikian pula pangsa produksi negara-negara produsen kakao di benua Amerika juga sedikit mengalami penurunan. Hal ini terlihat tahun 1970 memiliki pangsa produksi sebesar 26,9 persen menjadi 26,4 persen pada tahun 1990 dan mengalami penurunan hingga angka 23,5 persen pada tahun 2005.

Berdasarkan keterangan di atas, Indonesia merupakan salah satu negara yang patut diperhitungkan oleh negara produsen kakao di dunia karena menunjukkan peningkatan produksi dengan pesat. Hal ini ditunjukkan pada tahun 1994-1995

pangsa produksi kakao Indonesia mencapai angka sebesar 11 persen. Pangsa produksi tersebut masih cenderung meningkat pada masa yang akan datang.

Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa prospek produksi kakao Indonesia masih cukup baik. Terbukti tahun 2003 Indonesia mengekspor kakao ke 19 negara dalam bentuk biji kakao kering. USA merupakan negara pengimportir biji kakao terbesar Indonesia dengan volume mencapai 117,3 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 159.410.000, disusul Malaysia dengan volume 75,9 ton dan nilai US$ 112.309, Brazil dengan volume 64,6 ton dan nilai US$ 100.106, Singapura dengan volume 37,6 ton dan nilai US$ 57.491, dan Belanda dengan volume 25,4 ton dan nilai US$ 28,227. Adapun negara-negara tujuan ekspor produk kakao olahan Indonesia antara lain Belanda, Inggris, Rusia, Hongkong, Taiwan, Polandia, dan Rumania (Dirjenbun, 2003).

Daerah pemasok kakao terbesar nasional adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Produksi kakao dari dua provinsi tersebut setiap tahun berfluktuasi baik volume maupun nilai ekspor, tetapi secara umum masih menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan sebagaimana tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2 Volume dan nilai ekspor kakao Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Tahun 1994-2003

No Tahun Volume Ekspor (ton) Persentase Pangsa Thdp. Total Ekspor Nilai Ekspor (US$) Persentase Pangsa Thdp. Total Ekspor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 146.132 134.279 134.900 172.390 170.022 219.185 214.171 176.110 233.472 174.688 40,02 44,67 30,15 13,41 19,64 20,57 13,47 15,50 21,10 18,65 50.563 51.137 54.039 28.112 28.910 88.659 45.360 57.472 33.779 25.896 48,84 50,95 47,15 32,77 38,30 30,63 18,15 25,50 40,25 28,30

Sumber: Dinas Perindustrian Provinsi Sulsel (2003)

Selain sebagai negara pengekspor, Indonesia juga merupakan negara pengimpor biji kakao dan kakao olahan. Impor ini dilakukan untuk konsumsi dan sebagai bahan baku industri dalam negeri seperti industri makanan dan minuman,

industri kosmetik, industri farmasi, serta industri lainnya yang menggunakan kakao sebagai bahan baku. Alasan dilakukan impor karena harga kakao impor lebih murah dibanding dengan harga kakao dalam negeri. Alasan lain, karena ada beberapa industri pengolahan kakao dalam negeri khususnya yang menghasilkan kakao olahan untuk ekspor memerlukan kakao luar negeri yang bermutu tinggi untuk kebutuhan blending dalam menghasilkan produk tertentu.

Volume impor kakao Indonesia pada tahun 1985 mencapai angka 511 ton dengan nilai US$.652.000 dan tahun 1995 meningkat pesat hingga mencapai angka 3.588 ton dengan nilai US$.8.478.000. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan volume impor kakao mencapai 27,9 persen per tahun dengan nilai 60,3 persen. Demikian halnya ekspor kakao dunia juga meningkat, namun laju peningkatannya lebih lambat dibanding dengan impor. Produksi kakao dunia meningkat dengan laju lebih cepat daripada konsumsi kakao dunia sebagaimana tersaji dalam Tabel 3.

Tabel 3 Realisasi dan proyeksi produksi, konsumsi, ekspor, impor dan harga dunia biji kakao dari tahun 1979-2005

Uraian Realisasi kenaikan rata-rata per tahun (000 ton)

Tahun 1979-1981 1989 1989-1993 1993-2000 2000-2005 Produksi 1,69 2,42 0,66 2,09 2,39 Konsumsi 1,52 2,21 4,43 1,97 2,34 Ekspor 2,05 2,11 1,67 2,04 2,40 Impor 2,03 2,01 1,78 2,14 2,43 Harga (US$/Kg) 2,66 1,24 3,63 6,55 6,88 Sumber: Muharminto 1996

Budidaya Kakao di Indonesia

Varietas kakao yang umum dibudidayakan di Indonesia ada dua jenis yaitu Ferestero yang dikenal dengan bulk cacao dan Criollo atau yang dikenal dengan kakao lindak. Secara umum, tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik di wilayah antara 200LU dan 200LS atau makin mendekati garis khatulistiwa semakin baik. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman kakao adalah 250C dengan suhu minimum sekitar 100C. Tanaman kakao juga dapat ditanam pada ketinggian 0-900 m dari permukaan laut.

Selama proses pertumbuhan tanaman kakao, diperlukan pemeliharaan termasuk pemangkasan dengan tujuan untuk: (1) membentuk percabangan yang seimbang sehingga distribusi sinar matahari seimbang, (2) membuang cabang-cabang atau tunas yang tidak diinginkan seperti cabang yang sakit dan kering, (3) menjamin aerasi yang baik, dan (4) meningkatkan produktivitas.

Penanganan Pascapanen Biji Kakao

Proses penanganan dan pengolahan pascapanen biji kakao merupakan kegiatan yang sangat penting karena kegiatan pada tahapan ini sangat menentukan mutu biji kakao. Salah satu tahapan dari rangkaian proses penanganan dan pengolahan pascapanen biji kakao yang sangat menentukan mutu biji kakao adalah fermentasi karena pada tahapan inilah terbentuk citarasa khas kakao.

Tahapan penanganan dan pengolahan pascapanen kakao secara umum ada tiga, yaitu (1) pemanenan, (2) pengolahan biji, dan (3) proses lanjutan. Tahap pemanenan, mencakup kegiatan aktivitas pemetikan, sortasi buah, dan pemecahan buah. Tahap pengolahan biji, mencakup kegiatan proses fermentasi, pengeringan, sortasi biji, pengepakan, dan penyimpanan. Tahap proses pengolahan lanjut (agroindustri), merupakan proses pengolahan biji kering menjadi berbagai macam produk kakao olahan.

Aktivitas agroindustri relatif masih sangat rendah, atau dengan kata lain industri pengolahan biji kakao belum berkembang di Indonesia sehingga sampai saat ini Indonesia terkesan hanya sebagai penghasil bahan baku untuk keperluan industri negara-negara pengolahan lanjut biji kakao. Secara sistematis tahapan penanganan pascapanen biji kakao secara sederhana ditunjukkan dalam Gambar 1.

Proses 5-12 hari Kematangan buah yang seragam

Benda keras Kulit buah dan

Plasenta

Proses 5-7 hari Cairan fermentasi dan CO2

Air Pencuci Air bekas pencucian

Sisa pulp dan bahan terlarut

Matahari 45-600C Uap air

Udara pemanas Bahan yang mudah menguap

Lama proses 15 menit Warna biji menjadi coklat

sampai 2 jam rasa pahit berkurang

suhu 120-1210C

Biji rusak

Menggunakan Kotoran

Standar mutu

Menggunakan Kapasitas setiap kemasan

Karung goni maksimal 60 kg

Gambar 1 Diagram alir penanganan dan pengolahan pascapanen biji kakao. Pemanenan Buah Kakao

Panen buah kakao dilakukan ketika buah sudah masak yang dicirikan oleh perubahan warna kulit. Buah yang semula berwarna hijau, jika masak akan berubah warnahnya menjadi kekuning-kuningan dan yang semula merah akan berubah menjadi oranye. Proses pematangan buah mulai dari bunga memakan waktu sekitar enam bulan. Pemanenan buah kakao sebaiknya dilakukan secara selektif dengan menggunakan pisau atau alat pemanen yang tajam, sabit atau gunting. Setelah buah dipanen, biasanya dikumpulkan di suatu tempat, selanjutnya dilakukan pemecahan buah untuk diambil bijinya. Alat pemecah yang baik adalah menggunakan kayu keras,

Pengemasan dan Penyimpanan

Biji Kakao Keringg

Biji Kakao Kering Terfermentasi Buah Kakao Pemeraman Buah Pemecahan Buah Fermentasi Biji Pencucian Biji Pencucian Biji Pengeringan Biji

Sortasi Biji Kering Penggarangan Biji

hindarkan penggunaan pisau yang tajam bila belum terampil karena dapat mengenai biji kakao yang berakibat cacat pada biji.

Buah yang masak mempunyai kulit tebal dan berisi 30-50 biji yang dikelilingi oleh pulp yang berlendir seperti getah. Berat biji kering sekitar 0.8-1.3 gram. Biji kakao terdiri dari dua bagian yaitu kulit biji (testa) dan keping biji. Kedua bagian dari biji kakao selama proses fermentasi mengalami perubahan dan menimbulkan aroma dan citarasa pada kakao.

Selama proses pemanenan, diusahakan agar buah kakao tidak mengalami kerusakan terutama fisik. Untuk mendapatkan hasil panen yang baik, menurut Susanto (1994) yang harus diperhatikan adalah : (1) tidak memanen buah yang masih muda, (2) waktu memanen tidak merusak bantalan buah, (3) saat memanen tidak boleh diputar, tapi harus menggunakan pisau yang tajam, (4) buah yang rusak harus segera disingkirkan, (5) pemanenan harus bersih, artinya tidak ada buah yang matang tertinggal, dan (6) tidak ada biji tercecer dan pemanenan harus dilakukan dengan teliti.

Buah yang telah dipanen dikumpulkan untuk selanjutnya dilakukan sortasi kebun. Sortasi kebun dapat dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: (1) sortasi pertama, dilakukan dengan memisahkan kakao dengan kematangan yang seragam; (2) sortasi kedua, dilakukan dengan memisahkan buah kakao yang terkena serangan penyakit, busuk, buah terkelupas dan tercampur kotoran atau tanah; dan (3) sortasi ketiga, dilakukan dengan memisahkan buah yang tidak mempunyai pulp lagi karena dimakan tikus atau tupai.

Tabel 4 Perubahan warna dan pengelompokan kematangan buah kakao Perubahan

Warna

Bagian kulit buah yang berubah warna

Kelas Kematangan Buah

Kuning Pada alur buah C

Kuning Pada alur dan punggung buah B

Kuning Pada seluruh permukaan buah A

Kuning tua Pada seluruh permukaan buah A+

Keterangan: C = belum matang (40%) B = kurang matang (60%) A = matang (80%) A+ = matang sempurna

Pemeraman Buah Kakao

Pemeraman buah dapat mengurangi keasaman biji kakao, karena dapat menurunkan volume pulp dan jumlah gula pulp. Kondisi demikian akan berpengaruh pada peningkatan respirasi gula dan penurunan fermentasi alkohol oleh khamir. Pengurangan pembentukan alkohol menyebabkan asam asetat yang terbentuk semakin sedikit sehingga konsentrasi asam pada biji kering juga lebih sedikit. Penurunan volume pulp mengakibatkan berkurangnya aktivitas bakteri asam asetat dalam biji sehingga pH biji menjadi lebih tinggi.

Pemeraman buah biasanya dilakukan selama 5-12 hari atau tergantung tingkat kematangan buah. Buah yang diperam tidak boleh terlalu matang, sehingga rusak karena serangan cendawan. Untuk menghindari kerusakan buah akibat pemanenan menurut Susanto (1994) yang harus diperhatikan adalah : (1) tempat pemeraman diatur sehingga cukup bersih dan terbuka, (2) pemeraman menggunakan wadah seperti keranjang atau karung goni, dan (3) bila pemeraman dilakukan di kebun, permukaan tanah harus diberi alas. permukaan tumpukan ditutup dengan daun-daun kering.

Pemecahan Buah

Pemecahan buah harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membuat keping biji rusak. Karena itu teknik pemecahan kulit buah harus dilakukan dengan alat yang terbuat dari kayu keras atau dapat juga dengan menggunakan sabit, pisau, atau kulkosan maupun metode yang lebih maju lagi yaitu dengan mesin pengupas kulit. Setelah buah terlepas, biji kemudian dipisahkan dari plasentanya.

Fermentasi Biji Kakao

Proses fermentasi merupakan kegiatan yang sangat penting, mengingat kegiatan inilah yang akan menentukan mutu biji kakao bila ditinjau dari aspek citarasa dan aroma kakao. Selama proses fermentasi terjadireaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang kemudian menghasilkan energi (panas). Proses fermentasi dilakukan dengan maksud untuk mematikan biji, meningkatkan aroma dan citarasa, memperbaiki konsistensi keping biji, melepaskan pulp dari keping biji, dan

memperlonggar kulit biji sehingga setelah pengeringan biji mudah dilepaskan dari kepingnya.

Proses fermentasi terdiri atas dua bagian yaitu : fermentasi internal dan fermentasi eksternal. Fermentasi internal adalah proses perubahan biokimia di dalam biji dengan bantuan enzim, sedangkan fermentasi eksternal adalah proses yang dilakukan untuk menghancurkan pulp yang melekat pada biji kakao dengan bantuan mikroorganisme.

Lama fermentasi dipengaruhi oleh ukuran biji, jumlah biji, dan jenis varietas kakao. Secara umum fermentasi berlangsung selama 5-7 hari. Apabila kurang dari waktu tersebut akan menyebabkan sebagian biji belum terfermentasi, sebaliknya, apabila terjadi proses fermentasi yang berlebihan (overfermentation) akan menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif seperti: kulit biji menjadi rapuh, berat biji berkurang, aroma dan citarasa khas kakao hilang dan sebaliknya timbul aroma yang tidak dikehendaki atau bau asam. Kegiatan fermentasi dapat diakhiri setelah biji menunjukkan tanda-tanda seperti pulp mudah dibersihkan dari kulit biji, kulit biji telah berubah warna menjadi coklat, telah timbul bau asam cuka secara jelas, dan bila dipotong melintang penampang biji tampak seperti cincin berwarna.

Pencucian Biji Kakao

Pencucian biji kakao hanya dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Perendaman biji kakao dilakukan sekitar 2-3 jam. Tujuan dilakukan perendaman untuk meningkatkan jumlah biji bulat, kenampakan biji menarik dengan warna coklat cerah, menghentikan proses fermentasi, memperbaiki kenampakan biji, mengurangi asam cuka, dan mengurangi warna biji hitam. Sedangkan kelemahan jika dilakukan pencucian menyebabkan kulit biji menjadi rapuh sehingga biji yang pecah cukup besar dan mengurangi rendemen.

Pengeringan Biji Kakao

Proses pengeringan dimaksudkan untuk menurunkan kadar air biji dari sekitar 60 persen hingga 7,5-7,0 persen. Pengeringan dapat di lakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) cara konvensional atau pengeringan dengan sinar matahari, (2) pengering

mekanis, dan (3) kombinasi keduanya. Pengeringan dengan menggunakan matahari langsung memberikan hasil yang lebih baik karena biji tidak langsung terkena suhu tinggi. Suhu pengeringan berkisar antara 45-600C. Lama penjemuran bervariasi tergantung pada keadaan cuaca. Cara kedua adalah pengeringan mekanis. Pengeringan mekanis meruapakan salah satu pilihan sekiranya cara penjemuran tidak dapat dilakukan secara penuh. Kelebihan alat pengering mekanis karena suhu pengering dapat diatur secara bertahap yaitu : tahap pertama 500C, tahap kedua 45- 500C, dan tahap ketiga kembali dengan suhunya 500C. Demikian pula pengeringan dengan cara gabungan dilakukan dengan tahapan: pertama biji dijemur selama 14-16 jam, kemudian dikeringkan alat pengering mekanis selama 33-44 jam dengan proses pembalikan dilakukan setiap 2 jam. Bila kadar air biji sudah mencapai 7,5-7,0 persen, proses pengeringan dapat diakhiri.

Penggarangan Biji Kakao

Tujuan dilakukan penggarangan untuk membangkitkan aroma dan bau khas, mengeraskan kulit dan mengeraskan keping biji. Penggarangan sangat tergantung pada waktu dan suhu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : ukuran biji, kadar air biji mentah, alat, dan kegunaan hasil akhir. Contoh, penggarangan selama 15 menit hingga 2 jam pada suhu 1200C untuk membuat Chocolate dan suhu 1210C untuk membuat cocoa.

Selama proses penggarangan terjadi perubahan kadar air, warna, citarasa, dan daya rekat. Berat biji mengalami penurunan 6 persen yang terdiri dari penurunan keping biji 4,6 persen dan berat biji 1,4 persen. Sedangkan air yang tertinggal berkisar 2,5-5,0 persen tergantung pada tingkat penggarangan. Warna biji berubah menjadi coklat tua dan rasa pahit berkurang. Perubahan lainnya adalah daya rekat antara kulit ari dengan kulit keras biji. Hal ini terjadi karena proses destrinasi zat pati serta hidrolisa glukosida pada biji.

Sortasi Biji Kakao

Sortasi berarti pengelompokan biji kakao menjadi beberapa kelompok yang mutunya kurang lebih seragam, sambil memisahkan kotoran dan biji-biji yang tidak memenuhi syarat. Sebagai pedoman dalam pengelompokan biji digunakan standar kualitas biji yang ditentukan berdasarkan berat biji, kemurnian, warna, dan bahan ikutan serta jamur. Dalam menetapkan kualitas biji kakao faktor-faktor seperti kulit ari, kadar lemak, dan kadar air turut diperhatikan.

Pengepakan Biji Kakao

Biji yang telah disortasi dimasukkan ke dalam karung goni, dengan berat maksimum setiap karung 60 kg. Penyimpanan dapat dilakukan selama tiga bulan di daerah tropis dan bila lebih dari tiga bulan biasanya sudah tumbuh jamur dan asam lemak bebas akan meningkat. Gudang penyimpanan sebaiknya bersih dan dilengkapi lubang pergantian udara. Perlakuan fumigasi dapat diberikan sebelum gudang digunakan. Karung goni sebaiknya tidak langsung menyentuh lantai gudang, tetapi diberi jarak antara 7-10 cm agar diperoleh sirkulasi udara yang baik.

Gudang penyimpanan berfungsi untuk menyimpan stok biji kakao. Hal ini penting untuk karena produksi tanaman kakao tidak merata sepanjang bulan dalam setahun. Panen buah kakao bervariasi, di mana terdapat dua kali puncak panen dalam satu periode tahun produksi yaitu pada bulan April - Juni dan bulan November - Desember. Puncak panen pada bulan April - Juni lebih tinggi dibanding dengan panen puncak bulan November - Desember, sedangkan bulan Januari - Maret dan Juli - Oktober produktivitas kebun kakao relatif rendah. Untuk jelasnya, distribusi produktivitas kebun kakao setiap bulan per hektar per tahun (Disbun Sul-Sel, 2004) disajikan pada Gambar 2.

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 350 300 250 200 150 100 50 0 B u l a n P ro du k si b iji k er in g ( k g/h a)

Gambar 2 Perkembangan Produksi Biji Kakao dalam Setahun (kg/ha).

Industri Pengolahan Biji Kakao

Sekitar 70 persen produk kakao Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao kering tidak terfermentasi (unfermented cocoa beans) untuk bahan baku industri negara pengimpor. Hal tersebut membuktikan bahwa industri pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang khususnya skala kecil dan menengah. Penyebab utama tidak berkembangnya industri pengolahan tersebut adalah sistem tataniaga biji kakao yang hanya mengandalkan pasar ekspor. Sebagai akibat dari itu, nilai tambah dari kegiatan industri pengolahan belum dapat memberi sumbangan bagi devisa negara, melainkan menjadi milik negara pengimpor di olah lebih lanjut.

Jumlah industri pengolahan kakao di Indonesia tercatat hanya 41 unit dengan serapan tenaga kerja 18.000 orang (Deprind, 2004). Apabila dibandingkan dengan besaran produksi secara nasional, jumlah tersebut masih jauh dari harapan. Terbukti dengan kemampuan serap bahan baku biji kakao industri dalam negeri hanya sekitar 30 persen dan selebihnya di ekspor dalam bentuk bahan baku biji kakao kering.

Industri pengolahan yang dimaksud umumnya tergolong industri besar dan terkonsentrasi di sekitar perkotaan. Akibatnya nilai tambah dari kegiatan agroindustri ini tidak tersentuh oleh petani-pekebun baik langsung maupun tidak langsung, melainkan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku agroindustri.

Sebaran industri tidak proporsional, artinya sebagian besar industri yang ada tidak berada di daerah sentra produksi bahan baku. Sekitar 70 persen terdapat di pulau Jawa (Banten, Tangerang, Bandung, Jakarta, dan Surabaya). Sisahnya 12 persen berada di pulau Sumatera dan 10 persen di pulau Sulawesi.

Pulau Sulawesi merupakan pemasok bahan baku kakao terbesar secara nasional dengan pasokan mencapai 70 persen, namun industri pengolahan hanya ada lima dan seluruhnya terdapat di kawasan industri Makassar (KIMA) yang terdapat di sekitar perkotaan dan relatif jauh dari sentra produksi bahan baku. Kelima industri pengolahan yang dimaksud adalah : PT. Effem Indonesia, PT. Poleko Kakao Industri, PT. Maju Bersama, PT. Unicon, dan PT. Kopi Jaya.

Total kapasitas olah kelima industri tersebut masih relatif kecil yakni hanya sekitar 75.812 ton per tahun atau sekitar 27 persen dari total produksi kakao Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang rata-rata 296.039 ton per tahun. Produk akhir dari masing-masing industri pengolahan tersebut seluruhnya masih dalam bentuk bahan primer atau produk setengah jadi berupa lemak, pasta, cake, dan bubuk kakao. Produk hasil olahan tersebut seluruhnya diantarpulaukan dan di ekspor. Antarpulau dilakukan ke Medan, sedangkan ekspor dilakukan ke negara Australia, Singapura, London, Amerika Serikat, dan beberapa negara-negara lain yang memiliki industri pengolahan lanjut menjadi berbagai jenis produk barang jadi coklat yang siap dikonsumsi.

Berkaitan dengan aspek penanganan dan pengolahan, sampai saat ini yang dilakukan ditingkat petani adalah mengolah buah kakao menjadi biji kakao kering, baik melalui proses fermentasi maupun tanpa fermentasi. Pengolahan biji kakao kering menjadi lemak kakao (cocoa butter) dan bubuk kakao (cocoa powder) sesungguhnya dapat dilakukan di tingkat petani, karena pengolahannya tidak memerlukan teknologi tinggi yang begitu rumit, tetapi hanya memerlukan penggorengan dan pemisahan lemak dengan teknik hidrolik atau ulir serta

penggilingan untuk pembuatan bubuk kakao. Apabila pengolahan dilakukan di sentra produksi berupa cocoa powder dan cocoa butter, akan diperoleh nilai tambah komoditas guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat di desa pada umumnya.

Produk industri pengolahan yang telah disebutkan di atas memiliki nilai tambah dan permintaan pasar yang cukup tinggi, sehingga merupakan peluang yang baik untuk dikembangkan. Berikut diagram alir tahapan proses pengolahan biji kakao menjadi lemak dan bubuk ditunjukkan dalam Gambar 3.

80%

100 kg Proses pemisah kotoran

dust / debu shell

Dokumen terkait